Beranda blog

2022, Beragam Agenda

0

Oleh: Sefiani Rozalina, SS

Mengawali tahun Macan air ini, BPNB Provinsi Sumatera Barat sudah memulai langkah dengan menyusun Prosedur Operasional Standar (POS) untuk roda pekerjaan yang lebih baik. Tim kecil pembuatan POS BPNB Provinsi Sumatera Barat yang dipercaya bekerja dari tanggal 7 s.d 11 Januari 2022. Berkaitan dengan itu, sosialisasi tentang POS 2022 dipublikasikan kepada seluruh pegawai BPNB Provinsi Sumatera Barat.pada Senin 31 Januari 2022 dalam rapat rutin BPNB Provinsi Sumatera Barat. Setidaknya ada 9 POS besar yang telah disusun, 8 diantaranya adalah POS terkait dengan program kegiatan yang bersifat teknis dan 1 POS ketatausahaan yang mana terdapat 51 POS generik berkaitan dengan tugas administrasi di bagian ketatausahaan. Seluruh POS ini tinggal menunggu penyempurnaan dan finalisasi yang disetujui oleh Kepala BPNB Provinsi Sumatera Barat.

Selain daripada itu, dalam rapat ini Kepala BPNB Provinsi Sumatera Barat,  Undri, SS, M.Si juga menginformasikan tentang Agenda Kerja Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru,  Ahmad Mahendra yang akan berkantor di BPNB Provinsi Sumatera Barat dari tanggal 7 s.d 16 Februari 2022. Selama kurang lebih 10 hari, Beliau akan mempunyai segudang agenda di Sumatera Barat diantaranya yaitu audensi dengan Gubernur Sumatera Barat dan beberapa pejabat daerah lainnya serta nantinya akan ada Focused Group Discussion (FGD) tentang matrilineal. Beliau juga berencana akan mengunjungi Sawahlunto dan Dharmasraya. Kemudian agenda lain dalam rapat tersebut adalah pendistribusian program kegiatan BPNB Provinsi Sumatera Barat Tahun 2022. Merujuk kepada Perjanjian Kinerja (PK) Kepala BPNB Provinsi Sumatera Barat dengan Direktur Jenderal Kebudayaan yaitu “meningkatkan jumlah festival budaya yang terhubung dengan  platform festival budaya tingkat nasional’, maka tahun macan air ini, BPNB Provinsi Sumatera Barat memiliki beragam agenda untuk mendukung PK tersebut. Diantaranya adalah FESTIVAL MATRILINEAL, FESTIVAL DANAU MANINJAU, beberapa workshop kriya dan wastra yang akan diselenggarakan di wilayah kerja BPNB Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan kajian dan inventarisasi juga akan mendukung terselenggaranya program kegiatan BPNB Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan pameran dan bioskop keliling akan mengakomodir permintaan pemerintah daerah dan stakeholder yang intens dan konsisten untuk mendukung pemajuan kebudayaan.

Ayam Bernama

0
Ernatip

Penulis: Ernatip

Diantara sekian banyak binatang ternak, ayam termasuk binatang ternak yang banyak di sukai oleh manusia. Banyak orang beternak ayam apalagi yang masih tinggal di kampung-kampung. Memelihara ayam dapat dilakukan secara sambilan, berbeda dengan hewan peliharaan lainnya seperti kambing, kerbau atau sapi. Hewan peliharaan ini perlu dicarikan makanannya (rumput) atau dibawa ketengah padang lazim disebut dengan istilah bagubalo. Memelihara ayam tidak menyita waktu dan hasilnya cepat dirasakan. Orang memelihara ayam ada untuk dikembangbiakan dan hanya untuk diambil telurnya. Ayam dikembangbiakan menjadi banyak dan setelah cukup besar (pantas untuk dipotong) bisa dijual atau dijadikan sebagai sajian dalam keluarga. Daging ayam dan telurnya dibutuhkan oleh manusia dalam keseharian sebagai sumber protein.

 Boleh dikatakan hampir semua orang mengenal ayam sekaligus telurnya. Daging ayam banyak disukai orang terutama dikalangan anak-anak – remaja, begitu juga orang tua-tua. Masa dahulu daging ayam termasuk sajian istimewa adanya dikala ada perhelatan atau hari besar keagamaan. Dikala itu sulit mendapatkan ayam padahal kebanyakan orang memelihara ayam. Ayam baru bisa dipotong setelah berumur 4 – 6 bulan (besar secara alami) dan itupun beratnya belum mencapai satu kilo. Kondisi seperti ini membuat orang jarang makan daging ayam dan kalau ada dalam keshariannya berarti mereka itu termasuk orang berada.

Kubutuhan terhadap daging ayam dan telur ayam dari hari kehari terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Tingkat pendidikan masyarakat sudah mulai maju dan didukung oleh perekonomian yang mulai membaik. Pandangan masyarakat sudah berorientasi pada kecukupan gizi bagi anak-anaknya. Salah satu sumber protein yang mudah didapatkan adalah telur, daging ayam sehingga bahan ini terus diburu oleh masyarakat di samping bahan lainnya. Kebutuhan terus meningkat sedangkan produksi sumber protein “ayam, telur” belum bisa dipacu.

Kondisi ini tidak berlalu begitu saja, berbagai upaya terus dilakukan terutama oleh para pakar teknologi. Akhirnya ditemukan teknologi baru yang bisa menghasilkan daging ayam dan telur dalam waktu singkat. Rentang waktu 30 -40 hari ayam sudah bisa dipasarkan. Teknologi modern itu menghasilkan ayam yang dikenal dengan ayam buras dan ayam petelur. Ayam buras dikenal juga dengan sebutan ayam potong karena khusus untuk dipotong menjadi konsumsi sehari-hari bagi kebanyakan orang. Sedangkan ayam petelur hanya khusus untuk menghasilkan telur. Ayam ini baru dipotong bila sudah tua atau produksi telurnya mulai menurun/berkurang.

Semenjak ditemukannya teknologi ini muncul istilah baru terhadap penyebutan nama ayam yakni adanya istilah ayam kampung, ayam potong, ayam ras, ayam petelur. Ayam kampung adalah penyebutan terhadap ayam yang selama ini diperlihara oleh masyarakat secara tradisional. Maksudnya ayam dipelihara dengan cara dilepaskan mencari makan sendiri. Pagi hari ayam dilepas kealam terbuka dan sorenya masuk kandang. Berbeda dengan ayam potong – ayam petelur yang terkurung dalam kandang makan diatur oleh pemiliknya. Penyebutan nama ayam kampung tidak mengacu kepada wilayah/daerah tempat ayam itu dipelihara. Penyebutan nama itu lebih kepada untuk membedakan dengan ayam hasil olahan teknologi.

Ayam kampung dan ayam buras/petelur ada perbedaannya, pertama dari segi bulunya. Bulu ayam buras/ayam potong umumnya berwarna putih dan bulu ayam petelur umumnya berwarna kemerah-merahan. Sedangkan ayam kampung warna bulunya beragam ada hitam, putih, kuning, merah. Satu ekor ayam memiliki bulu 2 – 4 warna dan bahkan ada yang hanya satu warna yakni warna hitam, putih. Keanekaragaman warna bulu ayam itu mempunyai filosopi bagi masyarakat, sehingga ada yang menyebutnya dengan istilah ayam bernama. Maksud bernama tersebut ada kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terutama yang berkaitan dengan mistik (alam gaib).

Peninggalan kepercayaan animisme dan dinamisme masih dipercayai oleh  masyarakat hingga saat ini. Kelompok masyarakat ini memang tidak banyak tetapi masih ada pada daerah-daerah tertentu salah satunya di Kota Prabumulih yakni masyarakat Suku Rambang. Masyarakat Suku Rambang masih ada yang melaksanakan ritual-ritual yang diwarisi dari para leluhur misalnya ritual sedekah bumi. Ritual ini dilakukan dalam suatu upacara besar dalam artian memotong hewan berkaki empat (kambing, kerbau atau sapi). Waktu pelaksanaan ritual berdasarkan petunjuk yang diterima oleh “tua menyan” selaku pemimpin upacara tersebut. Selain itu kelompok masyarakat ini masih mempercayai bahwa setiap anak yang lahir itu ada “ayam bawaannnya”, misalnya ayam burek emas, ayam putih kuning dan lainnya. Ini merupakan istilah karena setiap orang itu sepanjang hidupnya ada sedekahan/sesajen untuk persembahan kepada leluhurnya. Untuk sedekahan/sesajen itu ia menggunakan ayam sesuai dengan ayam bawaannnya sejak lahir. Penentuan ayam bawaan itu oleh “tua menyan” melalui petunjuk yang ia terima.

Menurut mereka ayam bernama terbagi dalam 6 kelompok dengan istilanya tersendiri yakni (1) ayam putih kuning, ayam ini bulunya berwarna putih, kakinya berwarna kuning, (2) ayam putih pucat, ayam ini bulunya berwarna putih kakinya pucat. (3) ayam kumbang, ayam ini bulunya berwarna hitam selalu, (4) ayam bulu cahu, ayam ini bulunya 3 warna yakni kuning, hitam dan putih. (5) ayam burek emas yakni ayam jago dan (6) ayam biriang. Masing-masing ayam ini merupakan simbol atau peruntukan khusus untuk hal tertentu. Ayam putih kuning simbol kemakmuran, digunakan untuk mendarahi rumah. Sebelum rumah dibanggun terlebih dahulu lokasinya didarahi dengan darah ayam sebagai bentuk komunikasi dengan makhluk yang ada dilokasi itu agar tidak mengganggu pembangunan tersebut. Ayam putih pucat simbol kekayaan. Ayam kumbang digunakan untuk mengusir makhluk halus (setan) berupa sesajen. Ayam bulu cahu digunakan untuk pengobatan tradisional terhadap penyakit yang berbahaya seperti santet dan lainnnya. Ayam burek emas atau ayam jago simbol karisma atau panutan bagi orang banyak. Ayam biriang simbol kepatuhan, digunakan untuk menutup kesalahan.

Perbedaan kedua antara ayam kampung dan ayam potong/petelur adalah cita rasa dagingnya. Olahan daging ayam bisa menghasilkan beraneka sajian dengan berbagai cita rasa. Saat ini daging ayam termasuk sajian harian karena ayam mudah mendapatkannya seperti ayam potong. Berkaitan dengan rasa ada orang yang mengatakan lebih enak daging ayam kampung dari pada daging ayam potong. Tetapi dalam kenyataan sehari-hari orang lebih banyak mengkonsumsi ayam potong karena harganya terjangkau. Sedangkan ayam kampung populasinya terbatas dan harganya lebih tinggi.

Untuk konsumsi sehari-hari posisi ayam kampung bisa tergantikan oleh ayam potong tetapi untuk keperluan tertentu tidak bisa. Misalnya untuk pengobatan tradisional seperti orang terkena penyakit diganggu oleh makhluk halus, biasanya menggunakan ayam berbulu hitam, disebut juga dengan ayam hitam. Jenis ayam seperti ini termasuk langka, oleh sebab itu harganya mahal. Sekalipun harganya mahal masih saja dibeli orang karena dipercayai mempunyai kekuatan tersendiri sehingga menjadi syarat pengobatan. Selain itu ada lagi untuk mendarahi rumah, biasanya sebelum mendirikan rumah terlebih dahulu lokasi itu didarahi. Darah yang digunakan adalah darah ayam yakni ayam putih kuning. Jenis ayam yang digunakan terhadap hal seperti ini berbeda-beda setiap daerah, tergantung pada permintaan melalui orang pintar (dukun).

Perbedaan ketiga, ayam kampung ada yang namanya ayam jago, disebut juga ayam jantan, apak ayam. Ayam jago mempunyai kelebihan yakni bisa berkokok dan dijadikan sebagai sarana bermain yakni bermain adu ayam atau sabung ayam. Ayam berkokok pertanda hari telah pagi, sebelum masuk waktu subuh kokok ayam sudah mulai terdengar membangunkan orang. Permainan adu ayam cukup terkenal dimasyarakat terutama dikalangan kaum laki-laki. Pada masa dahulu hingga saat ini permainan adu ayam masih dilakukukan orang. Oleh sebab itu harga ayam jago sangat mahal. Selain permainan adu ayam, kokok ayam pun menjadi ajang permainan. Setiap ayam jago mempunyai kokok yang berbeda-beda menghasilkan bunyi yang merdu enak didengar.

Terlepas dari kegunaan ayam untuk kesenangan dan cita rasa, ayam juga sebagai atribut adat oleh kelompok masyarakat tertentu seperti Minangkabau. Di dalam adat Minangkabau sajian yang bersumber dari ayam termasuk adat seperti singgang ayam. Singgang ayam yang dipasangkan dengan nasi lamak adalah bawaan pada prosesi adat bertunangan (di Kota Padang), prosesi adat manjalang mintuo di Kabupaten Lima Puluh Kota (Pangkalan Koto Baru). Hal ini jelas bahwa ayam yang menjadi barang bawaan telah diolah dan siap untuk dinikamti bersama. Berbeda halnya dengan ayam bawaan yang masih hidup seperti pada acara mancaliak anak yang dilakukan oleh pihak bako. Barang bawaan itu selain ayam yang masih hidup juga disertai dengan kain panjang, emas, dan bahan makanan lainnya. Barang bawaan berupa ayam hidup pada prosesi adat ini mempunyai makna, ayam untuk dipelihara, dikembangbiakan sehingga menjadi banyak. Hasilnya bisa untuk keperluan sehari-hari. Dalam hal ini sudah jelas bahwa ayam yang dibawa adalah ayam kampung karena untuk dikembangbiakan.

Mencermati kegunaan ayam bagi manusia sepanjang perjalanan hidupnya, ayam terus digunakan. Dalam keseharian maupun dalam aktivitas yang berkaitan dengan adat ayam pun masih menempati posisi yang dipentingkan. Lebih khusus lagi  ayam kampung merupakan media bagi manusia untuk kepentingan tertentu seperti pengobatan tradisional. Di sini, ayam yang digunakan tidak bisa diganti dengan ayam potong, seberapapun sulit mendapatkannya tetap diusahakan oleh orang yang berkepentingan [Penulis adalah peneliti di kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 28 April 2019

Undang-Undang Nan Salapan

0
Mardoni

Penulis: Mardoni

Mari kita lirik tentang penerapan hukum adat era sekarang. Hukum adat di negeri kita, baik eksistensinya dan penerapannya dalam masyarakat hampir terkalahkan oleh hukum formal. Sebut saja hukum adat di Minangkabau. Di Minangkabau masih dikenal adanya aturan tentang hukum (pidana) adat, yang terdapat dalam Undang-Undang Nan Duopuluah. Undang-Undang Nan Duopuluah ini terbagi atas dua bagian, yaitu Undang-Undang Nan Salapan dan Undang-Undang Nan Duobaleh. Undang-Undang Nan Salapan menentukan perbuatan kejahatan, dan Undang-Undang Nan Duobaleh menjelaskan tanda bukti yang melanggar Undang-Undang Nan Salapan. Terdapat 8 (delapan) bentuk perilaku yang disebutkan sebagai delik adat dalam Undang-Undang Nan Salapan, yakni: 1. dago-dagi; 2. sumbang-salah; 3. samun-sakal; 4. maling-curi; 5. tikam-bunuh; 6. kicuh-kecong dan tipu-tepok; 7. upeh-racun; dan 8. siar-bakar. Dari kedelapan bentuk delik adat dalam Undang-Undang  Nan Salapan itu, yang cenderung masih mendapatkan perhatian dari para penguasa adat hanyalah “sumbang salah” dan “dago dagi”(Datoek Toeah, Tambo Alam Minangkabau, Bukit Tinggi : Penerbit Pustaka Indonesia, 1956).

Dalam Undang-Undang Nan Salapan mengatur delapan jenis perbuatan yang melanggar hukum. Pertama dago-dagi, Dago ialah perbuatan pengacauan dengan desas-desus sehingga terjadi kehebohan, sedangkan dagi ialah perbuatan menyebarkan fitnah sehingga merugikan orang lain. Kedua, sumbang-salah, Sumbang ialah perbuatan yang melakukan sesuatu tidak pada tempatnya atau bersalahan menurut pandangan mata orang banyak, sedangkan salah ialah perbuatan yang melakukan zina. Sumbah-salah masih banyak terjadi di masyarakat. Baik anak muda, dewasa bahkan yang tua juga melakukannya. Zina dalam islam tidak sekedar diartikan sebagai ‘hubungan seksual’ saja. Akan tetapi lebih sempit dari itu perbuatan mendekatinya saja juga disebut zina, seperti zina mata, zina hati, zina tangan , dan sebagainya. Contohnya perbuatan yang banyak dilakukan oleh muda mudi sekarang yang tidak malu lagi naik motor berduaan sambil berangkulan, dan sebagian orang tuanya, atau ‘mamak-nya pun’ tak sanggup untuk melarangnya. Apalagi memberi sanksi kepadanya.

Ketiga, samun-sakal, Samun ialah perbuatan merampok milik orang dengan cara melakukan pembunuhan, sedangkan yang dimaksud dengan sakal ialah perbuatan merampok milik orang dengan kekerasan atau aniaya. Pasal ini mempunyai sampirannya, yakni rabuik rampeh. Rabuik (rebut) adalah perbuatan mengambil barang yang dipegang pemiliknya lalu melarikannya, sedangkan rampeh (rampas) ialah perbuatan mengambil milik orang dengan cara melakukan ancaman. Contoh perbuatan ini yang banyak terjadi adalah begal, pencopetan, penodongan, dan sebagainya.

Keempat, maliang-curi. Maliang (maling) ialah perbuatan mengambil milik orang dengan melakukan perusakan atas tempat menyimpanannya, sedangkan curi ialah perbuatan mengambil milik orang lain pada waktu pemiliknya sedang lengah. Kelima, tikam-bunuh, Tikam ialah perbuatan yang melukai orang dan bunuh ialah perbutan yang menghilangkan nyawa orang dengan menggunakan kekerasan.

Keenam,  kicuh-kecong dan tipu-tepok, kicuah ialah perbuatan penipuan yang mengakibatkan kerugian orang lain, sedangkan kicang ialah perbuatan pemalsuan yang dapat merugikan orang lain. Pasal ini mempunyai sampirannya, yakni umbuak umbai, umbuak ialah perbuatan penyuapan pada seseorang yang dapat merugikan orang lain, sedangkan umbai ialah perbuatan membujuk seseorang agar sama-sama melakukan kejahatan.

Ketujuh, upeh-racun, Upeh ialah perbuatan yang menyebabkan seseorang menderita sakit setelah menelan makanan atau minuman yang telah diberi ramuan yang berbisa atau beracun, sedangkan racun adalah sejenis obat makanan atau minuman yang telah diberi ramuan berbisa atau beracun yang bisa menyebabkan orang menderita sakit atau bisa sampai meninggal.

Kedelapan, siar-bakar, Siar adalah perbuatan membuat api yang mengakibatkan milik orang lain sampai terbakar, sedangkan baka adalah perbuatan membakar barang orang yang sampai hangus dan habis dengan api yang besar.

Pertanyaannya dimanakah hukum adat ini berlaku sekarang, dan bagaimana pengadilan adatnya dijalankan? Pada hakikatnya hukum adat dan pengadilan adat dilaksanakan dibawah Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai lembaga paling rendah. Namun persoalannya masyarakat kekinian (modern) ada yang kurang yakin dengan penyelesaian secara hukum adat. Sehingga persoalan tersebut telah diambil alih penyelesaiannnya oleh Kepolisian dan hukum formal melalui pengadilan negeri.

Lantas bagaiman eksistensi hukum adat Kita? Seharusnya kedua hukum itu saling mendukung satu sama lainnya. Setelah diberi sanksi hukum formal, maka hukum adat juga dilaksanakan. Seyogyanya, kedelapan macam perbuatan yang diatur oleh UU Nansalapan hendaknya berperan memberikan sanksinya terhadap pelakunya. Sanksi ini merupakan sebuah bentuk eksistensi hukum dan pengadilan adat tersebut bisa dikatakan masih bertahan. Namun jika hukum adat sudah mengalah demi pelaksanaan hukum formal, maka eksistensinya akan dipertanyakan. Seseorang yang sudah mendapatkan sanksi pada hukum formal, maka ada baiknya masih mendapatkan sanksi hukum adat. Sehingga tujuan pemberian sanksi untuk menimbulkan efek jera tercapai.

Secara Sosiologis, sanksi dikenal dengan berbagai bentuk, seperti dicemooh, dicela, dikucilkan, didenda, dan diusir, bahkan ada sebagian masyarakat memakai hukum cambuk, dan pancung (misalnya di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam).  Dalam masyarakat Minangkabau yang komunal, pertama sekali yang berhak memberi hukuman kepada seseorang adalah kaum atau sukunya. Jadi setiap suku harus bertanggung jawab terhadap tingkah laku anggotanya.

Apabila salah seorang anggota kaum melakukan pelanggaran maka pihak yang pertama memikul hukuman adalah kaum kerabatnya sendiri, sedangkan sipelaku kejahatan diberi hukuman oleh kaum kerabatnya sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan berdasarkan kemufakatan anggota kaum secara bersama (Navis, 1984). Sanksi setelah pelaksanaan hukum formal dapat berupa sanksi yang paling ringan (dicemooh) sampai sanksi yang paling berat (diusir) tergantung jenis pelanggarannya.

Bersatunya hukum formal dan hukum adat dalam hal pencegahan perbuatan yang melanggar hukum tersebut, berefek positif kepada keharmonisan hidup dalam masyarakat. Bagaimana tidak, seseorang akan takut dan enggan untuk melawan (melanggar) hukum. Baik melawan hukum formal maupun hukum adat.  Sebab ada hukum yang berlapis yang akan menindak pelangar tersebut. Jika ini dilaksnakan kemungkinan keharmonisasn dalam nagari akan terjaga. Pepatah adat mengatakan “bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, antimun mangarang bungo, nagari aman santoso”Semoga saja ini terwujud [Penulis adalah staf di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 5 Mei 2019

Uniknya Tato Mentawai

0
Rismadona

Penulis: Risma Dona

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, tato berarti gambar atau lukisan pada bagian atau anggota tubuh. Tato hampir kita temukan di berbagai tempat sesuai dengan fungsi adat yang berlaku, seperti mentawai. Tato Mentawai merupakan bagian dari tradisi dan budaya yang berlaku sebagai penanda profesi yang dipegangnya seperti ahli pemanah, ahli pengobatan, pangkat dan lain sebagainya. Artinya tato berfungsi sebagai simbol, tanda pengenal, atau hiasan berupa suatu sistem penandaan atau sistem tanda-tanda visual, antara lain melalui simbol yang merupakan gambaran prinsip hidup.

Bagi sebagian orang, motif yang digunakan syarat dengan simbol dan makna yang diartikulasikan oleh masyarakat pengguna tato itu sendiri. Namun tato saat ini terjadi pergesseran nilai dan menjadi gaya hidup yang ngetren di kalangan anak-anak muda saat ini. Tato saat ini lebih cenderung tentang para pecinta seni keindahan yang ditorehkan pada tubuhnya. Tato mengandung makna yang dapat ditangkap oleh penikmat lukisan rajah tubuh. Begitulah ritme perjalanan tato. Namun tato Mentawai memiliki keunikan tersendiri, dan telah menghiasi kehidupan masyarakat Mentawai itu sendiri.

Orang Mentawai, pada prinsipnya tinggal tersebar dengan jarak yang tidak beraturan disepanjang tepian sungai di daerah pedalaman. Mereka terkelompok dalam organisasi sosial yang disebut uma, yang biasanya terdiri dari beberapa keluarga inti. Organisasi sosial dalam bentuk uma ini lebih bersifat egaliter tanpa hirarki politik atau kepemimpinan yang teroganisir, sehingga pengambilan keputusan politik cenderung lebih bersifat kolektif.

Menurut Adi Rosa (2011), pakar/ahli yang banyak melakukan penelitian tentang tato Mentawai menjelaskan bahwa tato masyarakat adat Mentawai berfungsi sebagai alat komunikasi bagi kelompok suku adat, melalui tergambar (visual) pada tubuh masyarakat adat Mentawai. Alat komunikasi bahasa rupa terwujud melalui unsur-unsur gambar-bahasa rupa, motif tato tradisional, sebagai symbol, tanda kenal dan hiasan. Tato masyarakat adat Mentawai ditemui pada budaya tato di wilayah Austronesia dan Polynesia, pada wilayah Cina, Laos (Indocina), Jepang, Rapa Nui (Kepulauan Easter), Hawaii, Kepulauan Marquesas dan Maori (New Zealand). Tato merupakan identifikasi dengan bahasa rupa sebagai wahana komunikasi melalui ragam motif-gambar.

Tato sebagai simbol jati diri suku, menjelaskan dari mana seseorang berasal. Tato sebagai tanda kenal privasi, menunjukkan tanda kenal kepiawaian masing-masing wilayah kekuasaan suku terdapat perbedaan dalam bentuk motif tato. Tato sebagai tanda kenal pribadi (privasi), menyiratkan kemahiran atau kepiawaian seorang (murourou) pemburu sejati mudah dikenali melalui mtif-motif tato binatang. Tato masyarakat adat Mentawai memiliki fungsi sebagai simbol dan tanda kenal motif tato yang dianggap baku. Tetapi masih tersisa ruang gerak bagi kebebasan privasi kreatif, bilamana tato berfungsi sebagai hiasan. Umumnya manusia adalah mahluk pesolek, tidak terkecuali masyarakat adat Mentawai yang memanfaatkan sejumlah motif tato sebagai hiasan tubuhnya. Tato masyarakat adat dengan sejumlah ragam motif memiliki makna, syarat dengan ajaran kearifan lokal. Karena itu masing-masing motif tato, memberi  arahan sebagai pandangan dan pedoman hidup bagi masyarat pengguna. Motif-motif tato masyarakat adat, sekaligus sebagai bagian dari ajaran keyakinan dari kepercayaan Sabulungan Mentawai.

Lebih lanjut Ady Rosa (2011) menjelaskan bahwa tato tidak saja sebagai pakaian abadi, juga sebagai suluh (obor) penerang dalam perjalanan abadi menuju surgawi. Tato masyarakat adat, diyakini sebagai pedoman hidupnya yang sudah melembaga dalam institusi tradisional-masyarakat adat, lahir atas dasar konvensi. Tato melalui ragam motif, merupakan “buku pintar” berisi tentang ajaran berisi kebenaran, kebaikan, dan pendidikan rasa. Motif-motif tato masyarakat adat, merupakan bahasa rupa sebagai wahana komunikasi yang berisi tentang: (a) eksistensi masyarakat adat, sebagai penanda asal usul seseorang berasal, (b) status sosial seseorang sebagai dukun, pemburu, dan pengayau, (c) tanda kenal batas-batas wilayah, (d) feminim dan maskulin, dan (d) kepiawaian seseorang. Keberagaman pada gambar tato setiap pengguna tato, diyakini tato itu sendiri  memiliki pesan tersendiri. Pesan yang dibuat untuk dapat menjadi bahan pengingat dirinya atau pun orang lain. Pesan yang dengan sengaja dibuat melalui ukiran gambar tato pada tubuh penggunanya, sangat memiliki esensi dalam menyampaikan sesuatu atau makna simbolik personal dan komunal.

Kekinian, budaya tato masyarakat adat di Indonesia, sudah terpinggirkan dengan berbagai permasalahan, diantaranya: (a) dianggap oleh masyarakat sebagai tanda kenal kriminal, (b) identitas geng, dan (c) penggemar dan pengguna tato masyarakat adat Mentawai dengan motif-motif tato yang memiliki muatan kearifan lokal, sampai saat ini masih berjalan, terutama nilai-nilai estetik motif tato Mentawai kekinian. Tato sekarang menjadi bagian dari gaya hidup urban sub culture dan trend. Banyak studio tato dari kelas bawah sampai kelas atas, dari puluhan ribu rupiah sampai jutaan rupiah. Dari kalangan biasa sampai kalangan artis dan ibu rumahtangga, semuanya ingin di tato karena satu hal yaitu membuat dekorasi tubuh.

Akhirnya, untuk memahami tato tersebut maka kita harus melihat tato sebagai bagian dari persoalan budaya yang melingkupinya [Penulis adalah peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 12 Mei 2019

Runciang Jan Mancucuak, Sandiang Jan Maluko

0

Penulis: Kadril

Saat sekarang ditilik dalam kehidupan sehari-hari ada sebagian remaja di Minangkabau ketika berbicara dalam acara formal dan informal sudah jarang memikirkan dengan siapa mereka berbicara dan boleh dikatakan tidak mempergunakan kata – kata yang santun dan baik di dengar oleh lawan berbicaranya.

Seperti ungakapan runciang jan mancucuk, sandiang jan maluko, (runcing jangan menusuk, sanding jangan melukai) artinya adalah suatu perkataan yang melukai atau menyakiti hati seseorang.

Ironisnya lagi seorang anak yang sudah dewasa memaki-maki orang tua dengan kata-kata yang kasar dan kemanakan leluasa berkata kasar kepada mamaknya seperti perkataan, guno mamak tu indak adoh, kini lai doh, nan jadi mamak tu kini pitih (mamak sekarang tidak berfungsi yang berfungsi sekarang itu uang).

Salah-satu makna yang tersirat dari ungkapan tradisional ini adalah  : jika seseorang memiliki kepandaian dan mempunyai ilmu, ketika berbicara pelihara mulut dan berkata peliharalah lidah. Sehingga seseorang yang mempunyai ilmu dapat mempergunakan dengan ilmu dengan baik dan membawa keuntungan atau kemaslahatan bagi khalayak ramai dan masyarakat.

Sebagai obat yang mujarab untuk menyikapi fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan sebagian remaja-remaja di masyarakat, ini, kita perlu kembali memahami norma adat dan  nilai etika atau sopan santun dalam berbicara, serperti ungkapan tradisional : harimau dalam paruik kambing juo nan musti kalua, (sungguhpun harimau dalam perut kambing juga yang mesti di keluarkan). Biasanya ungkapan ini sering diucapkan oleh orang tua-tua dulu kepada anak dan kemanakannya, bagi yang tidak tahu sopan santun dalam berbicara.

Disamping itu, tidak kalah pentingnya perlu kita mengingat kembali pada norma adat sopan santun ketika berbicara. Norma adat atau sopan santun inilah sebagai sendi-sendi nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur kepada kita seperti kato nan ampek (kata yang empat).  Kato nan ampek merupakan adat berbicara di Minangkabau.

Setiap orang dituntut paham perbedaan cara berbicara dengan orang berbeda. Indak ka pernah samo datanyo sawah jo pamatang, (tidak akan sama datar sawah dengan pematang). Maksunya setiap orang punya tingkatan-tingkatan tertentu di masyarakat.

Kato mandaki

Kato mandaki merupakan adat berbicara dengan orang yang lebih dituakan, misalnya dengan ayah dan ibu, mamak dan lain sebagainya. Berbicara dengan orang yang lebih tua haruslah dengan lemah lembut dan penuh sopan santun. Tidak boleh memotong pembicaraan orang lain, apalagi membantah.

Selagi yang dikatannya benar dan demi kebaikan, kita tidak boleh melawan perkataan orang yang lebih dituakan. Sedangkan untuk kata sapaan sendiri juga di bedakan, biasanya mengunakan awak, ambo.

Kato manurun

Kato manurun digunakan saat berbicara dengan lawan bicara yang lebih kecil, misalnya dengan adik. Sebagai saudara yang lebih tua hendaknya berbicara dengan kasih sayang, mengajarkan dengan baik. Bukan membentak-bentak, atau menyuruh dengan kata kasar dan biasakan dengan mengunakan kata tolong dan terimakasih. Sedangkan untuk kata panggilan terhadap diri sendiri mengunakan kata uda, uwan, atau uni, dan lain sebagainya.

Kato mandata

Kata mendata biasanya digunakan untuk berkelakar dengan teman seumuran. Biasanya kata yang digunakan lebih bebas dan kadang juga kasar. Apalagi dalam pertemanan anak laki-laki.  Dengan demikian justru pertemanan mereka nampak lebih akrab dan tidak kaku. Aden,deyen biasa digunakan untuk panggilan diri sendiri. Sedangkan untuk panggilan orang lain digunakan waang,angkau,mandan,andan,ndan dan sebagainya.

Kato malereng

Kato malereng biasanya digunakan untuk berbicara antara orang yang segan menyegani. Misalnya antara mertua dan menantu, sumando,ipa jo bisan. Pembicaraan mengunakan kata kiasan yang sifatnya tidak langsung.  Kok lai dapek mancari bareh dek sutan sagantang sahari, ambo ndak baa sajo anak ambo sutan pabini. Secara logika  mungkin tidak masuk akal, bagaimana mungkin dengan sagantang beras bisa cukup untuk dimakan sekeluarga.

Tentulah harus ada lauk pauk, sayur, dan lain-lain. Jadi maksud mertua adalah orang tersebut haruslah memiliki mata pencarian sehingga bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga tidak hanya makan tapi juga nafkah lainnya.

Oleh karena itu bagi kita generasi muda yang memiliki kepandaian dan mempunyai ilmu, ketika berbicaralah dengan sopan santun dan berpegang kepada kato nan ampek, pertama kato mandata, kedua kato manurunn ketiga kato mandaki dan keempat malereng. Jadi, hendaknya perkataan-perkataan yang keluar dari mulut seseorang terpelihara dan membawa berkah atau kemaslahatan bagi masyarakat [Penulis adalah Pengelola Data Budaya Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 10 Februari 2019

FUNGSI DAN PELESTARIAN ALAT MUSIK SUNAI DI KABUPATEN MUKOMUKO PROPINSI BENGKULU

0
Penulis: Rois Leonard Arios

 

Abstract

Sunai merupakan alat musik utama pengiring tari gandai. Dalam mitologi suku bangsa Pekal mengenal tokoh Malin Deman yang menciptakan sunai untuk mengiringi tari gandai yang ditarikan oleh dayang-dayang. Walaupun berasal dari suku bangsa Pekal, masyarakat Kabupaten Mukomuko yang multi etnis menjadikan alat musik sunai sebagai bagian dari kesenian mereka. Pertanyaannya adalah  bagaimana fungsi sunai bagi masyarakat dan upaya pelestariannya hingga tetap eksis. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan wawancara, pengamatan, dan studi pustaka sebagai alat pengumpul data. Hasil penelitian menggambarkan bahwa sunai menjadi pemersatu masyarakat yang beraneka ragam budaya dan menjadi milik bersama masyarakat Kabupaten Mukomuko. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya pemain sunai dan tampil mengiringi tari gandai. Pemerintah Kabupaten Mukomuko juga melakukan berbagai kegiatan agar sunai semakin dikenal oleh masyarakat.

Perkembangan Bioskop di Kota Prabumulih 1950 – 2000

0
Penulis: Efrianto
Abstract

Bioskop merupakan sarana hiburan rakyat yang populer dan dinikmati oleh masyarakat dari berbagai lapisan dan kelas ekonomi. Hal ini yang menyebabkan bioskop tumbuh dan berkembang ke berbagai daerah di Indonesia. Kota Prabumulih yang memiliki luas 421,6 Km2 dalam sejarahnya pernah memiliki 5 gedung bioskop. Hal ini jelas menggambarkan  bioskop memiliki kenangan tersendiri dalam kehidupan masyarakat di Prabumulih. Tulisan ini mencoba mengungkapkan tentang bioskop di Prabumulih dan kenangan masyarakat ketika menonton di gedung bioskop. Untuk menjawab tujuan penulisan diatas digunakan motede sejarah yang terdiri dari terdiri dari heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Untuk heuristik diperoleh melalui wawancara, observasi, dokumentasi, dan studi pustaka dengan mengunakan teknis analisis data model interaktif, setelah itu dilanjutkan kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bioskop telah lama hadir di Prabumulih dan setiap gedung bioskop memiliki fasilitas sarana dan prasarana yang berbeda antara gedung bioskop. Perbedaan ini meninggalkan kenangan tersendiri bagai masyarakat di Prabumulih.

Selengkapnya baca: https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/36

REFLEKSI NILAI BUDAYA DALAM UNGKAPAN TRADISIONAL MASYARAKAT LUBUKLINGGAU SUMATERA SELATAN

0

Penulis: Hasanadi

 

Abstrak

Penelitian ini menelaah nilai budaya masyarakat Lubuklinggau Sumatera Selatan melalui berbagai ungkapan tradisional. Ungkapan tradisional dimaksud adalah : (1) Ungkapan payu ponga nilek ngelup. Jengan melawan wang tue nilek meresak; (2) Ungkapan awak tue betunak dǝak hiyang melam kire nak ngelong; (3) Ungkapan lah ngidar lah baputar lom dǝpat jelan hatuju; (4) Ungkapan makan ati nenggung sedingan rube abis resan urung; (5) Ungkapan lambat bekat gǝcang dǝpat. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra serta diperkuat dengan analisis hermeneutik peneliti menyimpulkan bahwa bahwa kelima ungkapan dimaksud merefleksikan nilai budaya masyarakat Lubuklinggau, terutama terkait dengan beberapa hal, yaitu : (1) Perlunya komitmen untuk senentiasa berbakti dan patuh kepada orang tua; (2) Pentingnya isteri sebagai pasangan hidup serta kesungguhan menjaga keutuhan keluarga; (3) Perlunya pengetahuan dalam memahami dinamika dialog yang berkembang di tengah masyarakat; (4) Perlunya kompromi dalam menjaga jalinan silaturahim antar warga masyarakat; dan (5) Pentingnya kecermatan sekaligus kecepatan dalam setiap bidang usaha yang ditekuni.

Kok Jauah Cinto Mancinto, Dakek Jalang Manjalang

0
Undri

Penulis: Undri

Ironi, terkadang kita bertetangga saja tidak saling kenal, tegur sapa dan tidak ada rasa berempati kebaikan. Begitu juga dengan orang dirantau, tidak mau pulang kampung membangun kampungnya-tidak ada saling merindukan datangnya waktu untuk berkumpul bersama orang rantau dengan orang yang tinggal dikampung. Sebuah fenomena yang jauh dari nilai kebaikan yang mestinya harus kita hindari. Tidakkah kita belajar ungkapan kok jauah cinto mancinto, dakek jalang manjalang (bila jauh cinta mencinta, dekat jelang menjelang).

Sebuah ungkapan yang syarat makna, bermakna bila berjauhan harus ditanamkan rasa saling cinta mencintai, rasa ingin saling bertemu atau saling merindukan datangnya waktu untuk dapat kembali berkumpul bersama. Meskipun tempat berjauhan, kalau dalam diri masing-masing telah tertanam rasa saling cinta mencintai maka akan selalu terasa dekat.

Baca juga: Papek di Lua, Runciang di Dalam – Talunjuak Luruih Kalingkiang Bakaik

Perihal ini tidak terlepas dari prinsip hidup orang Minangkabau dengan merantaunya. Pijakannya adalah  karakatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu di kampuang baguno balun (karatau (morus indica) tumbuh di hulu, berbuah berbunga belum, merantau bujang  dahulu di kampung berguna belum). Dirantau haruslah tangkas dan gigih, agar pulang dapat membantu orang dikampung. Ketika sang Minang merantau, dan ketika kembali dari daerah rantau, mereka harus membawa sesuatu, harta atau pengetahuan, sebagai simbol keberhasilan.. Kalau tidak, orang kampung akan menyebut mereka bagaikan “seekor siput pulang ke rumahnya” (pulang langkitang) atau menyebut mereka “begitu perginya, begitu pulangnya) (baitu pai, baitu pulang).

Jika pergi merantau sudah berpunya kemampuan secara ekonomi dan ilmu pengetahuan baliklah pulang. Kita tidak dapat menafikan dibeberapa kampung masih ada orang miskin, perlu dibantu jua. Adakah misi budaya yang seperti itu masih tertanam dipikiran sang perantau Minang kini? Jangan-jangan pulang ke kampung hanya ingin pamer kekayaan kepada orang kampung, bahwa si Minang telah berhasil di rantau, setelah dipamerkan kepada orang kampung langsung pergi tanpa peduli dengan nasib orang kampung. Walaupun begitu halnya, yang lebih parah lagi banyak orang dari rantau yang pulang kampung bila ada maunya. Jangankan untuk menolong, mengais reski pula dari orang kampung tersebut. Orang Minang memiliki filantropi yang sangat besar. Coba bayangkan bila roda ini dijalankan-satu orang perantau saja membantu sanak keluarga dan kampung halamannya. Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi? Yang jelas persoalan di kampung halaman kita akan teratasi, seperti masalah kemiskinan.

Perasaan lain yang menjadi dasar seorang Minangkabau menyenangi kampung asalnya tidak selalu disimpan dalam hati namun diungkapkan dalam bentuk kata-kata puitis, seperti sebuah ungkapan dalam bentuk sebuah puisi tentang Batang Sinamar berikut ini : jika ku pandang permaimu dalam lukisan,  terdengar gemuruh deru airmu, disertai siamang berbalas-balas,  teringat kampung halaman di tepi lembahmu, penuh kenangan masa yang lampau,  yang kurindukan jauh di rantau  (Bahasa disesuaikan dengan EYD, sumber Hanafiah, 1970).

Sebaliknya bila tinggal berdekatan, usahakanlah agar supaya dapat jelang –menjelang, saling kunjung mengunjungi antara yang satu dengan yang lain. Dengan adanya rasa saling cinta mencintai baik bagi yang tinggal berdekatan maupun berjauhan tempatnya, maka akan lebih terjalin serta akan lebih mendalam rasa kekeluargaan, rasa saling hormat menghormati, rasa persatuan dan kesatuan. Prinsipnya adalah kalau ada sesuatu kejadian dirumah kita, yang pertama kali kita minta tolong adalah tetangga kita sendiri. Maka berbaik-baiklah dengan sesama tetangga kita.

Perihal ini tidak terlepas bahwa sesama individu berada dalam posisi yang sederajat, sebagaimana diungkapkan dalam petatah ini: tagak sapamatang duduak sahamparan; duduak samo randah tagak samo tinggi. Masing-masing berhak mempertahankan eksistensinya dalam prosesi kehidupan dan berkewajiban untuk memelihara kelanggengan harmoni sosial diantara sesama manusia, dan jangan ditonjolkan ego masing-masing, saling hormat dan menghormati. Sebab dalam hidup bermasyarakat kita harus selalu menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Begitu juga dalam lingkungan pergaulan, berlaku ketentuan yang berlandaskan pada rasa kebersamaan, dan memilihara sikap menjaga perasaan orang lain khususnya tetangga agar tidak tersinggung.

Jadi, ungkapan ini terkandung makna agar supaya dalam setiap diri kita merasakan seakan-akan kita satu keluarga, yang satu merupakan  bahagian dari yang lain. Muaranya akan tumbuh sikap saling hormat menghormati serta dapat bekerja sama dalam bentuk apapun dalam kehidupan ini, baik yang berada di rantau maupun dikampung. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 12 Mei 2019

KONTRUKSI PEREMPUAN DALAM FILM HANTU SUNDEL BOLONG

0
Penulis: Ani Rostiyati

 

Abstract

Penelitian ini mengkaji film-film horor yang mengangkat mitos mengenai hantu Sundel Bolong sebagai tema cerita. Empat film yang menjadi objek penelitian ini yaitu: Sundel Bolong (1981), Malam Jumat Kliwon (1986), Legenda Sundel Bolong (2007), dan Sundel Bolong 2 (2008). Keempat film tersebut mengisahkan tentang perempuan yang menjadi sundel bolong. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengafirmasi kekerasan seksual yang dialami perempuan. Penelitian ini menggunakan sudut pandang feminisme yang mencakup pembahasan mengenai hubungan seksual, femme fatale, dan teori film feminis. Kajian ini menggunakan metodologi interpretatif yakni suatu pendekatan tafsir yang menggunakan ”teks” sebagai analogi atau model yang memandang, memahami, dan menafsirkan suatu kebudayaan atau gejala sosial budaya tertentu. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perempuan dalam film sundel bolong merupakan objek dalam hubungan seksual dan kematiannya merupakan kebangkitannya dalam wujud hantu. Sundel Bolong yang kecewa terhadap laki-laki dan frustrasi muncul sebagai sosok femme fatale dan membalas dendam dengan menggunakan tipu muslihat feminin seperti kecantikan, pesona, dan daya tarik seksual. Penindasan seksualitas perempuan adalah subteks penting dari film horor bertema Sundel Bolong.

Selengkapnya baca: https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/25

Papek di lua runciang di dalam, talunjuak luruih kalingkiang bakaik

0
Undri

Penulis: Undri

Jujur, semua orang paham akan kata dan maknanya, tetapi begitu mudah mengabaikannya dan sulit dikerjakan. Tidaklah salah, banyak diantara kita berkata bila jujur semakin langka dan telah terkubur, dan tidak lagi menarik bagi kebanyakan orang. Coba saja bila kita tidak jujur satu kali saja, seumur hidup orang tidak akan percaya. Orang yang tidak jujur biasanya memiliki sifat yang tercela, mulut manis tapi hati jahat dan berbisa, suka menipu- papek di lua runciang di dalam, talunjuak luruih kalingkiang bakaik.

Bagaimana dengan perihal jujur itu sendiri ?. Jujur adalah sifat yang baik. Orang yang jujur selalu disenangi dan disukai dalam pergaulan. Salah-satu sifat manusia yang mulia, biasanya mendapat kepercayaan dari orang lain. Orang jujur akan mengatakan sesuatu apa adanya. Tidak menyembunyikan sesuatu dan tidak pula melebih-lebihkan atau mengurangi. Menyampaikan sesuatu dengan kenyataan atau menyampaikan sesuatu yang benar. Itulah jujur.

Kita tidak dapat menafikan bahwa seseorang yang diberi untuk memegang amanah adalah orang yang jujur maka amanah tersebut tidak akan terabaikan dan dapat terjaga atau terlaksana dengan baik. Konsekuensi terbalik bahwa amanah tersebut jatuh ke tangan orang yang tidak jujur, berakibat keselamatan amanah tersebut pasti tidak akan terjaga dengan baik.

Orang yang tidak jujur biasanya selalu mancari muko, supaya mendapat perhatian dari orang lain. Orang tersebut disebut juga tukang cari muko. Tukang cari  muko ada disekitar kita, muncul dilingkungan kerja, perkantoran, perusahaan, komunitas, organisasi dan lainnya. Bisa teman dekat kita, dia hidup berkeliaran setiap hari di sekitar kita, dan juga berteman dengan rekan-rekan kita yang lain, atau diri kita sendiri. Dikantor-kantor birokrasi misalnya, ketika ada pimpinan baru berduyun-duyunlah –kasak kusuak si pegawai bawahan cari muko kepada pimpinan baru tersebut,- sibuk cari perhatian dan ingin menunjukkan sikap yang menurut takarannya benar tapi menurut orang lain belum tentu benar.

Secara prinsip munculnya tukang cari muka tidak terlepas dari unsur persaingan yang tidak professional, yang kadang kala merugikan orang lain. Umumnya mereka yang suka cari muka karena dalam hatinya selalu memiliki ambisi yang tinggi tapi tidak diiringi dengan kemampuan yang mumpuni. Semua itu untuk menutupi kekurangannya. Tak peduli ulah mereka merugikan orang lain, yang penting atasan senang. Tidak dapat kita pungkiri hal seperti ini terkadang dalam sebuah kinerja akan menguras emosi kita dan tidak menghasilkan kerja yang baik pula.

Tidak berhenti disitu saja, seorang tukang cari muka sering menjadi corong penyampaian tanpa diminta, apalagi tentang  hal-hal yang  mengenai  kesalahan rekan kerjanya, berapi-api memberikan informasi yang buruk tentang rekan kerjanya tersebut kepada semua orang, bahkan juga kepada atasannya, tak peduli apakah laporan itu sesuai fakta, ataupun hanya rekayasa. Begitulah kodrati, bila seorang tukang cari muka diperbincangkan.

Sifat jujur merupakan salah-satu rahasia diri seseorang untuk menarik kepercayaan umum karena orang yang jujur senantiasa berusaha untuk menjaga amanah. Amanah, sesuatu yang berat karena harus menjaga dan merawat dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab titipan orang. Sudah fatwa alam bahwa berhasil atau tidaknya suatu amanat sangat tergantung pada kejujuran orang yang memegang amanat tersebut.

Kejujuran dalam perkataan, sangat penting dalam pergaulan manusia. Karena itun sifat jujur harus kita biasakan dan menjadi milik kita. Orang yang tidak jujur dalam perkataannya disebut pembohong. Sifat yang harus kita jauhi dalam hidup ini, sebab  orang pembohong tidak disenangi, bahkan dibenci dalam pergaulan. Orang yang jujur adalah orang yang lurus, mengatakan yang sebenarnya. Setiap perbuatan dilakukan secara tulus dan ikhlas, tidak mudah tergoda dengan imbalan yang membuat rusaknya sifat ikhlas itu sendiri. Ia tidak pernah berlaku curang. Pituah urang tuo-tuo kita – satali pambali kumayan, sakupang pambali katayo, sakali lancuang ka ujian, saumua hiduik urang indak picayo. Begitu indahnya jujur bila kita terapkan dalam hidup ini, dengan adanya jujur tersebut rasa saling curiga mencurigai diantara kita tidak terjadi apalagi ada orang yang berprilaku sebagai tukang cari muko tersebut.

Jadi, jujur merupakan perinsip hidup yang harus kita tanamkan dalam diri kita.  Nukilan sabda Muhammad Rasulullah SAW “katakanlah yang benar meskipun terasa pahit”, senanada dengan itu pituah orang tua-tua kita mematrikan : hitam tahan tapo, putiah tahan sasah, putiah kapeh dapek dilihek, putiah hati bakaadaan, dan terakhir jujur itu hebat.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 5 Mei 2019

Pusat Data Matrilineal Sebagai Sumber Sejarah dan Budaya Minangkabau

0
Mardoni

Penulis: Mardoni

Kebesaran sistem matrilineal di Minangkabau tidak bisa dibantahkan lagi. Sistem ini, hanya dianut beberapa suku bangsa di Indonesia, diantaranya yakni suku bangsa Minangkabau di Sumatera Barat dan suku bangsa Flores di Nusa Tengara Timur. Khusus di Minangkabau idealisme ini sangat dibanggakan oleh penganutnya. Sistem matrilineal diartikan sebagai sistem kekerabatan matrilineal dimana anggota masyarakatnya menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Akibat hukum yang ditimbulkannya semua keluarga adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu, serta mewarisi dari keluarga ibu. Sistem kewarisannya disebut dengan cara berfikir komunal atau kebersamaan sehingga sistem ini menitikberatkan garis keturunan kepada  ibu.

Usaha pelestarian terhadap sistem matrilineal ini menjadi penting untuk dilakukan. Mengingat hanya beberapa saja suku bangsa yang memakai sistem ini. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan, menegaskan bahwa ada beberapa usaha yang bisa dilakukan dalam pelestarian kebudayaan, berupa inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelematan. publikasi, pengembangan, pemamfaatan, dan pembinaan. Salah satu usaha tersebut adalah usaha dalam mempublikasikan kebudayaan. Dalam pasal 28 Undang-Undang kebudayaan ini menerangkan bahwa publiksasi kebudayaan dapat dilakukan untuk penyebarluasan informasi kepada publik baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan mengunakan berbagai bentuk media.

Mempublikasi data dan informasi dapat dilakukan dengan mengunakan berbabagi media, melalui media elektronik seperti televise dan radio, media sosial, dan sebagainya. Juga melalu media cetak seperti buku, majalah, koran, dan sebagainya. Ada media lain yang mungkin terlupakan oleh kita selama ini yaitu melalui perpustakaan. Dimanakah ada peprustakaan yang mengkhususkan koleksinya tentang kebudayaan. Itu sangat dan sangat jarang kita temui.

Dalam rangka mendukung usaha pelestarian nilai budaya di Sumatera Barat, dan khususnya melestarikan sistem matrilineal di Minangkabau, di kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat sudah dibangun Pusat Data Matrilineal BPNB Sumatera Barat. Wadah ini merupakan pengelolaan berbagai data-data baik dalam bentuk cetak dan digital yang berhubungan dengan sitem matrilineal di Minangkabau. Pusat Data Matrilineal nantinya dikelola dalam bentuk perpustakaan yang khsusus mengelola data dan informasi  tersebut. Perpustakaan khusus ini mencoba menembus ruang batas dan menjawab tantangan terhadap minimnya minat publik dalam hal koleksi sejrah dan budaya Minangkabau.

Publikasi kebudayaan yang dilakukan oleh perpustakaan khusus ini ada beberapa bentuk, yaitu publikasi secara cetak, dan publikasi secara daring (digital). Pertama, publikasi cetak, dilakukan dalam bentuk pengelolaan koleksi-koleksi cetak yang berkaitan dengan sejarah dan budaya matrilineal. Koleksi yang berhubungan dengan sistem matrilineal yang dimiliki oleh perpustakaan banyak berkaitan dengan kebudayaan Minangkabau, seperti Peran Bundo Kandunag, peran mamak dalam pendidikan, pantun Minang, permainan tradisional anak Minanggkabau, Inventarisasi warisan budaya tak benda Minangkabau, berbagai kuliner khas Minangkabau (rendang, sala lauk, dan lain-lain), maha karya rumah gadang, dan masih banyak koleksi cetak lainnya. Masyarakat dapat berkunjung ke perpustakaan khusus sejarah dan budaya Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat setiap hari kerja dari jam 08.00-16.00 yang berada di Jalan raya Belimbing Nomor 16 A Kuranji Padang.

Kedua, Publikasi daring, (digital/online). Publikasi secara daring dapat diakses melalui dua buah web. resmi perpustakaan yaitu di www.perpusbpnbsumbar.kemdikbud.go.id  dan di repositori.kemdikbud.go.id. Pusat data Matrilineal atau disebut juga dengan perpustakaan khusus sejarah dan budaya BPNB Sumatera Barat, dalam rangka meningkatkan publikasi dan pelayanannya, saat ini sudah dapat diakses secara daring/digital/online. Beragam koleksi perpustakaan dapat diakses melalui web. tersebut. Saat ini sudah hampir 2700 judul dengan 3000 eksemplar koleksi yang bisa diakses disini. Pelayanan sirkulasi koleksi ini sudah dapat diakses sejak setahun yang lalu (2018) sampai saat ini.

Layanan sirkulasi koleksi juga didukung dengan repositori institusi BPNB Sumatera Barat. Repositori institusi merupakan layanan perpustakaan yang menyediakann koleksi secara digital  (format pdf) sehingga masyaraat luas dapat dan bisa memiliki  koleksi tersebut secara gratis. Caranya mudah, cukup dengan mengases web diatas, dan mengunduh koleksi sesuai dengan tema yang diinginkan. Repositori ini merupakan peyimpanan koleksi terbitan BPNB Sumatera Barat, diantaranya Perjuangan Sultan Alam Bagagarsyah, Bagindo Tan Labiah, koleksi jurnal suluah, dan sebagainya [Penulis adalah Staf Pegawai Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

PEMBERANTASAN BUTA AKSARA AL-QUR’AN PADA SUKU ANAK DALAM (SAD) (Studi Kasus di Desa Dwi Karya Bhakti Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi)

0
Penulis: Muklisin Muklis Mukidi

 

Abstract

Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai bidang kehidupan termasuk bidang pendidikan. Salah satu program yang dicanankan pemerintah yaitu pemberantasan buta aksara termasuk di dalamnya aksara Al-Qur’an. Program pemberantasan buta aksara Al-Qur’an adalah rancangan yang akan dilaksanakan dalam memusnahkan atau membasmi kebutaan sistem penulisan dan cara membaca Al-Qur’an. Bagi Suku Anak Dalam di Desa Dwi Karya Bhakti yang baru masuk dan mengenal Islam, menulis dan membaca Al-Quran tentu menjadi kendala atau masalah. Bagaimana metode dalam memberantas buta aksara Al-Qur’an pada Suku Anak Dalam di Desa Dwi Karya Bhakti dan apa saja kendalanya?. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metode dan kendala dalam pemberantasan buta aksara Al-Qur’an pada Suku Anak Dalam di Desa Dwi Karya Bhakti. Pada penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini bahwa pada Suku Anak Dalam khususnya dalam pemberantasan buta aksara Al-Qur’an, masih belum maksimal karena Suku Anak Dalam mayoritas baru menjadi mualaaf, dan jarak tempuh untuk belajar mengaji juga sangat jauh serta kurangnya guru untuk mengajar mengaji masih sangat minim.

Selengkapnya baca: https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/22

Gadang Tungkuih Tak Barisi, Gadang Galogok Tak Bamalu

0
Undri

Penulis: Undri

Apa yang kita sombongkan dimuka bumi ini ?. Tiba saatnya kekayaan berupa harta benda yang kita miliki akan habis, paras wajah nan elok akan keriput diusia senja. Belajarlah seperti padi, makin berisi makin merunduk, artinya makin kaya dan makin banyak ilmu kita harus makin rendah hati. Jangan pula ditiru sifat ayam, bertelur satu ribut sekandang- tahu pula orang sekampung, berilmu sedikit sudah menyombongkan diri.

Sifat sombong adalah memandang dirinya berada di atas kebenaran dan merasa lebih di atas orang lain. Orang yang sombong merasa dirinya sempurna dan memandang dirinya berada di atas orang lain. Seseorang yang berlagak sombong dan angkuh biasanya kurang mempunyai perasaan malu. Selaras dengan itulah diperlukan orang yang memiliki sifat rendah hati.

Bagaimana dengan orang yang memiliki sifat rendah hati ?. Orang yang mempunyai sifat rendah hati akan disenangi orang, ketika dia tidak ada orang merasa kehilangan. Orang yang memiliki sifat rendah hati mudah bergaul dengan siapa saja, tidak memilih teman baginya manusia itu sama saja. Kaya atau miskin, apakah cantik atau jelek, anak pejabat atau rakyat badarai. Semuanya itu tetap dijadikan teman bagi orang yang rendah hati tersebut. Diretas dalam ungkapan : anggang nan datang dari lawuik, tabang sarato jo mangkuto, dek baik budi nan manyambuik, pumpun kuku patah pauahnyo– seseorang yang disambut dengan budi yang baik dan tingkah laku yang sopan, musuh sekalipun tidak akan menjadi ganas, semuanya jadi sahabatnya dalam hidup ini.

Bagaimana kita bisa menentukan dan menilai seseorang memiliki sifat rendah hati. Tentu mudah, sebab seseorang yang memiliki sifat rendah hati memiliki sifat yakni : ia selalu minta maaf kalau bersalah, dan selalu minta ampun dan bertobat kalau berdosa- salah cotok malantiangkan, salah ambiak mangambalikan, salah makan mamuntahkan, salah pado manusia minta maaf, salah pado Allah minta tobat.

Hal ini dilakukan oleh manusia sebab yang ditinggalkan oleh manusia setelah mati itu adalah kepribadian yang baik. Fatwa adat  harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Sebab itu seseorang harus berusaha agar dia meninggalkan nama baik, pada saat dia mati. Ini tentu mengandung pengertian bahwa dia selama hidupnya harus berbuat baik. Begitu juga hendaknya- nan katuju diawak itu, rancak diurang handaknyo (yang kita sukai itu, hendaknya pula bagus bagi orang lain).

Bukan itu saja dalam adat Minangkabau mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Budi pekerti yang tinggi menjadi salah-satu ukuran martabat seseorang- nan kuriak iyolah kundi, nan sirah iyolah sago, nan baiak iyolah budi, nan indah iyolah baso (yang kuriak ialah kundi, yang merah ialah saga, yang baik ialah budi, yang indah ialah basa).

Menurut Ermaleli (2013 :48-49), seluruhnya itu bertujuan untuk membentuk pribadi yang berbudi luhur, manusia yang berbudaya, dan manusia yang beradab. Sebab dari manusia yang beradab itulah akhirnya diharapkan akan melahirkan suatu masyarakat yang aman dan damai, sehingga memungkinkan suatu kehidupan yang sejahtera dan bahagia, dunia dan akhirat- baldatun tayyibatun wa rabbun gafuur– masyarakat yang aman, damai dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Sebuah keinginan luhur yang amat mulia dalam hidup ini.

Untuk mencapai masyarakat yang demikian, diperlukan manusia yang memiliki sifat rendah hati. Sifat rendah hati menjauhkan diri kita dari sifat sombong, congkak, angkuh, acuh tak acuh kepada orang lain. Ungkapannya yakni kacak langan lah bak langan, kacak batih lah bak batih, bajalan dirusuak labuah, tagak sarupo urang mambali, duduak sarupo urang manjua, sarupo lonjak labu dibanam, sarupo kacang diabuih ciek.

Disinilah sebetulnya letak akhlak yang luhur dan mulia. Sebuah fondasi yang diajarkan kepada kita dalam hidup ini. Sebuah kewajiban bagi kita untuk memiliki akhlak yang terpuji, mulia dan menjauhi diri dari akhlak yang tercela. Salah-satu akhlak yang buruk tersebut adalah sikap sombong tersebut. Kato pusako-kok mandi di ilie-ilie, kok bakato di bawah-bawah, sifat sombong usah dipakai, budi baiak nan kapaguno.

Jadi kita tidak boleh mempunyai sifat sombong apalagi sifat tinggi hati sebab manusia itu banyak kekurangan dan kelemahannya. Pupuklah sifat rendah hati, tapi jangan memakai sifat rendah diri. Sebab sifat rendah diri itu adalah sifat yang tidak baik karena akan merugikan kita dan orang lain. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 28 April 2019.

Upacara Bekeu Malekbuk: Nilai-Nilai Budaya dalam Pengadilan Tradisional

0
bunga Hibiscus

Penulis: Mardoni

Bunga ibiscus, begitulah masyarakat Mentawai menamakannya. Dari berbagai sumber bunga ini bernama Hibiscus (kembang sepatu). Bunga ini memiliki klasifikasi ilmiah Kingdom : Plantae (Tumbuhan), Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh), Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji), Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga), Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Magnoliopsida, Sub Kelas : Dilleniidae, Ordo : Malvales, Famili : Malvaceae (suku kapas-kapasan), Genus : Hibiscus
Spesies : Hibiscus rosa-sinensis.

Hebatnya, didaerah pedalaman Desa Madobag Pulau Siberut Selatan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, bunga ini dipakai untuk mencari pencuri. Di berbagai masyarakat lain di Sumatera Barat, bunga ini dijadikan sebagai pengobatan tradisional, baik daun atau bunganya. Dengan cara dihaluskan dan dioleskan pada dada atau punggung si sakit. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia bunga ini dijadikan teh, dengan cara dikeringkan. Di India, bunga ini digunakan untuk menyemir sepatu, sedangkan sebagian masyarakat di Tiongkok bunga hibiscus merah digunakan sebagai bahan pewarna makanan alami. Di pedalaman mentawai bunga ini digunakan untuk upacara bekeu malekbuk

Masyarakat pedalaman di daerah Desa Madobag pedalaman Pulau Siberut Selatan Kepulauan Mentawai Sumatera Barat mencari pencuri atau orang yang melakukan kejahatan (kecil) melalui upacara tradisinal bekeu malekbuk. Upacara bekeu malekbuk adalah pengadilan masyarakat adat terhadap kejahatan kecil. Pengadilan ini ada dan hanya digunakan untuk kejahatan kecil dan bukan merupakan kriminal berat..

Pengadilan ini merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat Mantawai dalam hal pelaksanaan hukum adat terhadap masyarakat yang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap norma di daerahnya. Pengadilan ini dipimpin oleh seorang Sikerei sebagai wali hakim. Sikerei merupakan pemimpin adat dalam masyarakat Mentawai. Kasus yang sering dipecahkan dalam pengadilan ini adalah pencurian, dan kasus-kasus lainnya yang bersifat kejahatan kecil. Kalau terjadi pencurian kecil, sebut saja mencuri makanan, maka kasusnya diselesaikan oleh Sikerei dengan melakukan upacara bekeu malekbuk. Upacara dilaksanakan dengan mengunakan bunga ibiscus. Bunga dipakai sebagai alat untuk mengarahkan siapa pencurinya. Pemilihan bunga ini untuk memudahkan dalam melakukan upacara, dan bunga ini tumbuh subur di perkampungannya.

Tata cara pelaksaan upacara bekeu malekbuk adalah dengan mengumpulkan orang-orang yang dicurigai sebagai pelaku. Mereka disuruh duduk berkeliling menghadapi sebuah wadah yang berisi air. Didalamnya diapungkan bunga ibiscus (warnanya tidak jadi ukuran) dengan tangkainya yang pendek. Bunga didorong oleh Sikerei dengan mencelupkan jari telunjuk ke cawan dan airnya diputar searah jarum Jam, sehingga bunga berputar mengitari orang-orang yang duduk berkeliling tadi.

Kemudian sekali lagi sambil menyuruh bunga untuk mencari siapa yang bersalah atau yang mencuri. Bila usaha yang dilakukan untuk memutarkan bunga sudah mencapai tiga kali dan bunga selalu berhenti pada orang yang sama, maka orang itulah yang dianggap sebagai pencurinya. Tetapi kalau bunga itu tidak berhenti pada orang yang sama, hal semacam ini disebut sengan Taiteukenia, artinya bunga enggan disuruh atau tidak mau menunjukkan pencurinya.

Sekarang sebutlah, bunga itu telah menunjukkan seseorang sebagai pelakunya. Maka semua orang akan arif dan diam-diam bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan tempat tersebut dengan aman dan tertib. Semua orang tidak boleh memberikan komentar apapun karena tidak sopan dan tidak mematuhi tata upacara. Orang yang tertuduh kalau benar-benar pencurinya, akan berusaha mengembalikan barang curian tersebut dengan diam-diam pada malam hari agar tidak diketahui orang lain. (Data ini diperoleh dari laporan pencatatan Warisan Budaya Tak Benda di Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2013 oleh BPNB Sumatera Barat).

Upacara adat ini masih bertahan dan dijalankan oleh masyarakat adat di Desa Madobag Mentawai sampai saat ini. Pengadilan tradisional ini sangat sederhana. Kesederhanaan ini masih dihormati oleh masyarakatnya sebagai milik dan kekayaan pengetahuan lokalnya. Terdapat banyak nilai-nilai budaya yang masih dipertahankan dalam upacara ini oleh Masyarakat Madobog.

Pertama, nilai menjaga alam. Tidak hanya menebang hutan, mengotori air juga merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dibenarkan, bahkan bisa mendatangkan hukuman berupa denda adat. Denda itu setara dengan seekor babi, yang termasuk harta berharga bagi masyarakat Mentawai. Di sungai, buang air kecil saja dilarang, apalagi buang air besar, sangat tidak diperbolehkan karena air adalah sumber kehidupan. Dengan demikian, kelestarian hutan dan air di Mentawai tetap terjaga. Begitu selektif mereka terhadap alam dan lingkungannya.

Kedua, nilai praduga tidak bersalah dalam hukum, dalam hukum formal dikenal dengan azas praduga tak bersalah. Hukum adat mentawai juga mengenal azas tersebut. Penerapan nilai ini dilakukan pada saat pemanggilan individu yang diduga bersalah. Mereka dikumpulkan dan dihadapkan dalam pengadilan adatnya.

Ketiga, nilai kesadaran hukum. Kesadaran akan hukum bagi mereka sangatlah mulia. Mereka menghormati dan menghargai orang yang ditetapkan sebagai bersalah. Semua orang yang hadir dalam pengadilan tersebut tidak memberikan komentar apa-apa ketika seseorang diberi sanksi hukum. Komentar terhadap orang yang bersalah dianggap sebagai perilaku yang tidak sopan dan tidak mematuhi tata upacara adat ini.

Keempat, nilai kepastian hukum. Kepastian terhadap hukum perlu dipertegas dalam kehidupan bermasyrakat. Nilai kepastian hukum ini diperoleh oleh masyarakat dengan pengadilan adat bekeu malekbuk. Orang yang sudah ditetapkan bersalah dalam pengadilan ini, dengan sadar akan melakukan sanksi adat yang ditetapkan. Jika dia mencuri, maka ia akan berusaha untuk mengembalikan barang yang diambilnya dengan cara diam-diam pada malam hari agar tidak diketahui oleh orang lain.

Nilai-nilai ini masih dijalankan dan dipelihara oleh masyarakat adat Mentawai dengan mengutamakan prinsip-prinsip nilai diatas [Penulis adalah Staf Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

bunga Hibiscus

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 21 April 2019

RINTISAN AWAL PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH DI SUMATERA BARAT TAHUN 1925-1939

0
Penulis: Fandy Aprianto Rohman, Mulyati Mulyati

 

Abstract

Muhammadiyah pada awalnya hanya berkembang di wilayah Pulau Jawa saja, namun dalam waktu cepat dapat menyebar ke seluruh Indonesia, termasuk ke Sumatera Barat. Pada tahun 1925, Syekh Abdul Karim Amrullah membawa perserikatan ini ke Sumatera, tepatnya di Maninjau, Sungai Batang, Sumatera Barat. Dari sinilah Muhammadiyah semakin berkembang ke seluruh Sumatera. Penelitian ini menganalisis dan mendeskripsikan proses awal mula Muhammadiyah muncul di Sumatera Barat hingga usaha-usaha yang dilakukan Muhammadiyah untuk mengembangkan gagasan pembaruan. Adapun penelitian ini menggunakan teknik analisa kualitatif, yaitu analisa yang didasarkan pada hubungan sebab-akibat dari fenomena historis pada cakupan waktu dan tempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tarik Muhammadiyah di Sumatera Barat terletak pada gerakan pemurnian Islam, terutama dalam bidang pendidikan. Muhammadiyah memperbarui sistem pendidikan Islam di Sumatera Barat dengan tujuan mendidik masyarakat agar menghindari hal-hal yang bertentangan dan menyimpang dari akidah Islam.

Selengkapnya baca: https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/20

Sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan

0

Penulis: Undri

Sayang kepada anak bukan berarti semua kehendak anak harus dikabulkan. Segala tingkah lakunya yang kurang baik harus ditegur dan diajari. Sayang itu punya batas-batas tertentu, kalau dia bersalah orang tua harus memarahi bila perlu dilacuti. Begitu juga dengan sayang pada kampung, bukan pula berarti ditinggalkan buat selamanya. Pergilah menuntut ilmu, carilah penghidupan dan timbalah pengalaman ke negeri orang namun kampung halaman jangan dilupakan- sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan (sayang di anak dilacuti, sayang dikampung ditinggalkan).

Sayang sebagai sebuah kata memiliki makna luas, namun seringkali disalahgunakan dan disia-siakan hanya untuk untuk terlihat romantis tanpa mengetahui arti yang sebenarnya namun jauh lebih dari itu, yakni perasaan yang cenderung bersifat memberi tanpa berharap mendapatkan balasan. Makna kata sayang sesungguhnya adalah perasaan ikhlas. Perasaan ikhlas itu baik si pelaku maupun si penerima dari sayang itu sendiri.

Sayang di anak dilacuti, bermakna begitu sayangnya orang tua kepada si anaknya, agar anak menjadi anak yang baik. Membingkai kearah tersebut maka perlu komunikasi. Komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak merupakan jembatan kearah menjalin kasih sayang. Ini bisa dimulai dari makan bersama.  Makan bersama, tidak hanya sekedar makan saja namun terkandung nilai yang maha dahsyat bila dilakukan dengan baik. Makan bersama tersebut bisa mengajari anak kita cara makan yang baik, cara duduk sampai cara berucap yang baik. Ketika anak kita duduk tidak sopan kita dapat mengajarinya cara duduk yang baik. Ketika anak kita duduk tidak sopan kita dapat menegur dan mempraktekkan cara duduk waktu makan yang baik pula. Ketika anak kita makan diselingi dengan ngobrol kita bisa memberitahukan bahwa hal tersebut tidaklah baik. Kita bisa menjelaskan bahwa ketika makan sambil ngobrol aliran makanan dalam perut tidak sempurna dan akan menganggu pencernaan. Waktu makan bersama, anak kita bisa didik cara makan dengan baik, berucap sampai kepada perihal cara berbagi cerita tentang pengalaman hidup kita.

Begitu juga dengan anak kita yang sudah akil baliq, bila tidak melaksanakan sholat dan kewajiban lainnya yang diwajibkan oleh Allah SWT maka kita sebagai orang tua untuk menegur, dan bila tidak juga kita harus melucutinya. Melucuti si anak bukan karena kita marah, namun kita sayang agar dikemudian hari kehidupan si anak menjadi lebih baik, baik untuk orang tuanya dan dirinya sendiri.

Sayang di kampuang ditinggakan, bermakna ketika si anak sudah dewasa, bagi laki-laki diajari untuk memahami dunia luar yakni menyuruh untuk merantau, merantau dalam arti kata meninggalkan kampung halaman juga meninggalkan pemikiran kekanak-kanakan menuju pemikiran kedewasaan.

Bagi orang Minangkabau mereka telah diajarkan untuk selalu tangkas baik dikampung halaman maupun dirantau. Di rantau misalnya pijakan hal ini adalah  karakatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu di kampuang baguno balun (karatau (morus indica) tumbuh di hulu, berbuah berbunga belum, merantau bujang  dahulu di kampung berguna belum). Ketangkasan dan kegigihannya dirantau juga diasah dengan baik agar kelak menjadi perantau yang berhasil.  Filosofi kerantauan orang Minangkabau, yaitu sebaiknya dilakukan pada masa muda, untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman sebagai bekal hidup kelak dikemudian hari.

Nasehat bagi orang yang merantau juga agar jangan lupa kampung halaman namun jangan sampai rasa cinta pada kampung halaman membuatnya enggan mencari nafkah atau menuntut ilmu di rantau. Ungkapannya kapai madok kapulang, kapulang madok kapai-akan pergi menghadap pulang, akan pulang menghadap pergi. Begitulah besitan bagi kita memahami rantau yang sesungguhnya. Ungkapan ini digunakan oleh masyarakat Minangkabau untuk menasehati seseorang yang akan pergi merantau ke negeri orang, agar jangan sampai lupa pada kampung halaman dan dirantau mencari dunsanak dan induk semang tempat bergantung hidup di rantau orang-kalau jadi nak kapakan, iyo beli belanak beli,ikan panjang beli dahulu, kalau jadi nak berjalan ibu cari dunsanak cari, induk semang cari dahulu– begitulah hasrat bila seseorang merantau, yang memiliki misi yang amat baik dalam membangun silaturahmi dan penghidupan yang baik untuk masa depannya.

Jadi, begitu pentingnya pemahaman kita untuk memahami persoalan sayang itu sendiri. Khususnya sayang pada anak dan sayang pada kampung- sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan (sayang di anak dilacuti, sayang dikampung ditinggalkan), mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Perempuan Politik dalam Perspektif Budaya Minangkabau

0
Silvia Devi

Penulis: Silvia Devi

Peran perempuan dalam berpolitik yang lebih dikenal dengan sebutan berdemokrasi sebenarnya bukan hal baru. Keterlibatan perempuan Minangkabau dalam politik kekuasaan dapat kita ketahui dari berbagai cerita di kaba. Salah satunya kaba Cindua Mato seperti yang diungkapkan oleh Edy Utomo (2014) bahwa kekuasaan perempuan Minangkabau  sangat besar tidak hanya karena sistem matrilinealnya tetapi karena memiliki kekuasaan memerintah. Begitu juga halnya perkembangan nagari-nagari semenjak dikeluarkannya Perda No 9 Tahun 2000 tentang sistem kembali ke nagari. Peran perempuan bundo kanduang tidak bisa dinafikkan karena perannya sejajar dengan keberadaan ninik mamak. Oleh karena itu jika dilihat dari sejarah begitu besar peran perempuan Minangkabau pada masa lalu, tentunya ini dapat dipahami bahwa perannya tidak melanggar adat. Justru sebaliknya malah memperkuat posisinya ditengah pentingnya sebuah kekuasaan dalam usaha menyelamatkan pemerintahan daerah.

Jika kita telusuri bahwa sistem matrilineal yang dimiliki masyarakat Minangkabau yakni menarik garis keturunan dari garis ibu, namun begitu kekuasaan tetap terletak ditangan laki-laki. Kekuasaan perempuan ada batasnya, begitu juga laki-laki memiliki kewajiban dan tanggungjawabnya yang jelas. Tidak ada tumpang tindih antara keduanya. Sistem egaliter yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau menempatkan kedudukan antara laki-laki sama dimata adat dan agama. Begitu juga dalam hal berpolitik, Ranny Emilia (2014) seorang pakar politik Universitas Andalas mengungkapkan bahwa peranan politik perempuan Minangkabau tidak berlaku hukum jender melainkan dilihat dari kemampuan dan pengalaman seseorang menyediakan perlindungan serta pengawasan dari kerusakan kultural dan material kelompok yang diwakilinya.

Hal ini senada yang diungkapkan oleh Raudha Thaib (2014) jika melihat kedudukan perempuan dan laki-laki Minangkabau dalam adat. Posisi laki-laki dan perempuan Minangkabau memiliki posisi yang sama, sama-sama memiliki kedudukan. Keduanya saling pengaruh mempengaruhi, adanya perimbangan dan kesimbangan dalam semua aspek kehidupan. Menurutnya institusi ibu dan institusi mamak terikat dan berimbang yakni institusi ibu melembaga dalam rumah gadang dan isntitusi mamak melembaga di balai adat.  Laki-laki memperoleh “kekuasaan”  dalam bentuk organisasi pemerintahan dan kepemimpinan baik bidang adat maupun dalam masyarakat. Sedangkan perempuan  memperoleh “kepemilikan” dalam bentuk seluruh harta baik rumah, tanah, sawah dan ladang serta anak-anak. Meski kepemimpinan ada ditangan laki-laki tetapi wajib menghormati kehendak kaum ibu sebelum mencapai keputusan.

Minangkabau memiliki falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabulah, maka segala norma adat dan agama semua telah diatur dan tidak saling tumpang tindih. Antara laki-laki dan perempuan minangkabau telah diatur dalam adat bagaimana cara berperilaku baik didalam rumah ataupun keluar rumah. Seorang perempuan minangkabau tidak mau sebebasnya bersikap, karena sesungguhnya perempuan minnagkabau memiliki sumbang. Sumbag duabelas yang dimiliki oleh perempuan Minangkabau sesungguhnya tidak mengecillkan perannya dimanapun, termasuk dalam hal berpolitik.

Posisi kaum perempuan menurut adat Minangkabau adalah sebagai tokoh sentral. Oleh karena itu ia harus menjalankan peran dan fungsinya sekaligus. Peran tersebut berlaku baik di sektor domestik maupun publik. Petatah petitih Minangkabau yang menggambarkan figur ideal perempuan yakni bundo kanduang sebagai limpapeh rumah nan gadang, umbun puruik pagangan kunci, pusek jalo kumpulan tali, sumarak dalam nagari dan sebagai nan gadang basa batuah, ka undang  undang ka Madinah, ka payuang panji ka sarugo.  Figur tersebut tentu memiliki berbagai tugas dan kewajiban yang harus ditaati antara lain manuruik alua nan luruih (mengikuti aturan), manampuah jalan nan pasa (mengikuti cara yang benar), mamaliharo harato pusako (memelihara harta pusaka), mamaliharo anak kamanakan (memelihara anak kemenakan). Oleh karena itu, Idrus Hakimy (1978) menyimpulkan bahwa  tak salah kiranya bundo kanduang yakni perempuan minangkabau dipandang mulia dan memegang fungsi  yang penting dalam masyarakat.

Bila dikaitkan dengan peran perempuan dalam berpolitik wujudnya adalah peran dalam demokrasi. Peran dalam demokrasi tersebut tercermin dalam bermufakat. Seperti yang ungkapan adat “ kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo kamufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana badiri sendiri. Ini artinya kita sebagai masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tinggi demokrasi, artinya tidak ada pembedaan jenis kelamin disini.

Keterlibatan perempuan dalam demokrasi terwadahi sejak adanya kewajiban kuota 30 persen caleg perempuan. UU No.2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Namun sayangnya sampai saat ini keterwakilan itu belum maksimal. Inilah yang menjadi permasalahan terbesar yang dihadapi perempuan dalam politik. Sehingga kepentingan-kepentingan perempuan dalam kehidupan tidak terwakili. Keberadaan mereka yang dibawah 30 % tidak memudahkan mereka dalam memperjuangkan kepentingan ditengah dominasi laki-laki.

Rendahnya keterwakilan ini sebenarnya harus menjadi introspeksi diri bagi kaum perempuan. Mengapa ini terjadi, padahal kuota tersebut sudah diberikan, namun kenyataannya tak pernah tercapai. Oleh karena itu banyak upaya yang harus dilakukan oleh para kaum perempuan agar kepentingan mereka terwakili dalam berdemokrasi. Salah satunya yakni dengan terus meningkatkan pendidikan dan pengetahuan agar bisa sejajar dengan laki-laki. Apalagi jika dilihat dari paham masyarakat Minangkabau yang egaliter. Tak ada dibedakan secara jender, bahkan sesungguhnya perempuan Minangkabau memiliki kesempatan yang lebih untuk berkarya.

Terkait dengan demokrasi ini, peran perempuan sebagai pemilih lebih harus ditingkatkan. Jika tidak perempuan yang meningkatkannya maka siapa lagi. Adapun beberapa caranya yakni dengan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam dunia informatika. Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan terus berkembang pesat. Jika pada masa lalu kita tidak bisa mengetahui traderecord calon yang akan mewakili kita di parlemen baik daerah maupun pusat, maka saat ini berbeda zamannya. Teknologi memberikan kemudahan bagi kita untuk menggali lebih jauh siapa dan bagaimana calon tersebut. Dengan begitu diharapkan kepentingan para perempuan bisa terwakili oleh calon-calon perempuan di parlemen. Sehingga perempuan tidak lagi dimarginalkan dari berbagai sisi.

Seharusnya kita sebagai perempuan Minangkabau memiliki kesempatan berperan lebih luas, dikarenakan dalam pepatah dikatakan merupakan figur ideal. Namun, tentu saja semua itu tidak mudah. Banyak usaha keras yang harus dilakukan bagi semua perempuan Minangkabau agar benar-benar bisa wakil kaumnya di tengah demokrasi. Salah satu keunggulan perempuan Minangkabau yang dikenal memiliki sifat bijaksana, seperti ungkapan bak maelo rambuik dalam tapuang, rambuik nda putuih tapuang nda taserak. Artinya bahwa dalam mengambil sebuah keputusan tidak dilakukan secara grasa-grusu melainkan dengan hati-hati dan tidak melukai siapapun. Hal yang sulit tetapi itu bisa dilakukan dengan terus mengasah kemampuan untuk bisa bijaksana. [Penulis adalah Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 7 April 2019

ISLAMISASI DI KAWASAN LAUT SULAWESI PADA ABAD KE-19

0
Penulis: Muhammad Nur Ichsan Azis

 

Abstract

Islamisasi yang terjadi di Nusantara pada abad ke-19  tidak terlepas dari peran dan pengaruh para pedagang sekaligus ulama dari Timur Tengah yang membawa ajaran Islam. Proses Islamisasi dan konversi agama membutuhkan waktu dan proses panjang, hingga sampai  diterima oleh masyarakat setempat. Penerimaan ajaran Islam dilakukan melalui beberapa saluran, terutama dalam jaringan perdagangan. Kawasan Laut Sulawesi, sebagai entrepot, merupakan salah satu jalur Islamisasi karena perkembangan perdagangan rempah-rempah  di Maluku sebagai wilayah penghasil rempah-rempah.Tulisan ini bertujuan mengungkap proses Islamisasi di sekitar Kawasan Laut Sulawesi pada abad XIX. Tulisan ini merupakan tulisan sejarah, dengan menggunakan metode sejarah; heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi yang bersifat analisis-kualitatif dan mampu menunjukkan satu rangkaian proses Islamisasi yang terjadi di Nusantara sekitar abad XIX. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pengaruh Islam diawali dari proses perdagangan, di kawasan Laut Sulawesi, bagi pedagang yang menghubungkan ke Maluku sebagai satu pola Islamisasi, sehingga di masa berikutnya komunitas Muslim mampu menciptakan Moslemen clave di Semenanjung Laut Sulawesi.

Selengkapnya baca: https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/14

Tungkek Mambaok Rabah

0

Penulis: Undri

Bagaimana kalau tungkek-tongkat yang kita pakai membuat kita rebah ? Tidak membuat kita berdiri dan tegak. Tempat kita berpegang. Rasanya lunglai juga persendian kalau itu yang terjadi. Tongkat yang ditakdirkan dan diamanahkan untuk menopang dan membawa kita berdiri tegap, namun kini tongkat itu pula yang membawa kita terjatuh dan bahkan terjerembab. Tungkek mambaok rabah (tongkat membawa rebah) muncul ungkapan akhirnya.

Tungkek atau tongkat sesungguhnya ada pada diri kita atau dengan kata lain kitalah tungkek itu. Dalam tingkatan terkecil kita sebagai tungkek pada diri kita, sebagai tungkek dalam keluarga, dan dalam masyarakat. Orang yang diberi amanah tungkek tersebut disebut dengan pemimpin. Pemimpin buat diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat. Orang yang didahului salangkah dan ditinggikan seranting. Orang yang memiliki sikap arif dan bijaksana, tanggap, dan sabar.

Orang yang arif bijaksana adalah orang yang dapat memahami pandangan orang lain, dapat mengerti apa yang tersurat maupun tersirat. Tanggap artinya mampu menangkis setiap bahaya yang bakal datang. Sabar artinya mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan pikiran yang jernih. Dilirik lebih jauh sisi keimanan maka muncul sifat siddiq (benar dalam berbicara dan benar dalam bertindak), amanah (dapat dipercaya),  fatanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan).

Ungkapan ini sangatlah cocok untuk mengambarkan hal diatas, tahu dikilek baliuang nan ka kaki, kilek camin nan kamuko, tahu jo gabak di ulu tando ka hujan, cawang di langik tando ka paneh, ingek di rantiang ka mancucuak, tahu di dahan ka maimpok, tahu di unak kamanyangkuik, pandai maminteh sabalun anyuik. (Tahu dengan kilat beliung ke kaki, kilat cermin yang ke muka, tahu dengan mendung dihulu tanda akan hujan, mega dilangit tanda akan panas, ingat ranting yang akan menusuk, tahu dahan yang akan menimpa, tahu duri yang akan mengait, pandai memintas sebelum hanyut). Begitulah adat Minangkabau menggambarkan orang-orang yang arif, bijaksana dan tanggap terhadap masalah yang akan dihadapi.

Seiring dengan itu, seorang pemimpin-sebagai tungkek– merupakan orang yang sangat dekat dan mengerti akan nasib orang yang dipimpinnya. Sosok pemimpin yang fondasi kepemimpinannya dibingkai oleh kekuatan kepercayaan dan kejujuran. Seorang yang muncul tidak begitu saja (instant), namun mengalami suatu proses yang panjang. Sehingga menjadi pemimpin bagi generasinya dan generasi berikutnya.

Seorang pemimpin mempunyai sikap-sikap seperti tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi sangat berguna baginya untuk menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang baik bagi generasi yang akan datang maupun generasi pada saat itu. Pola tingkah lakunya tersebut merupakan pola tingkah laku yang murni bukan terbias dengan berbagai-macam bias apalagi bias-bias politik yang menguntungkan pribadi atau kelompoknya. Namun harus memperlihatkan suatu sikap yang jelas-jelas memperjuangkan kehidupan masyarakatnya dan orang-orang yang dipimpinnya.

Kikinian, seorang pemimpin otoriter tidaklah masuk dalam kategori ini. Kalaupun ada tidaklah laku, bahkan dicampak orang nantinya. Keputusan misalnya tidak diambil sendiri. Oleh karena itu, sikap otoriter tidak pernah disukai orang-orang Minangkabau. Pepatah Minangkabau menyebutkan, walau inggok mancakam, kuku na tajam ta baguno, walau ma macik tampuak alam, kato mufakek nan kuaso, elok diambiak jo mufakekburuak dibuang jo hetongan (walau hinggap ingin mencekam, kuku yang tajam tak berguna, walau memegang tampuk alam, kata mufakat yang kuasa, yang baik diambil dengan mufakat, yang buruk dibuang dengan rundingan).

Melahirkan pemimpin yang baik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses panjang menuju arah itu. Pondasi kepercayaan, kejujuran dan dekat secara emosional bathiniah dengan rakyat atau orang yang dipimpinnya adalah kunci utama untuk membingkainya.

Pemimpin akan merasakan apa-apa yang dirasakan oleh pengikutnya, begitu juga sebaliknya. Mereka telah merasa satu jiwa, satu tekad dan satu tujuan. Ketika kesemuanya itu terpadu kedalam sebuah kebulatan maka nantinya akan terbentuk suatu kekuatan yang mendukung seorang pemimpin, seperti telah direntang pada bagian diatas.

Namun penting juga diingat ada ungkapan dalam masyarakat Minangkabau. Tungkek mambaok rabah, singgarik mambaok jatuah, piawai nan mamacah timbo. Artinya tongkat membawa rebah, singgarik membawa jatuh, piawai yang memecah timba. Berisi anjuran atau peringatan agar berhati-hati dalam kehidupan ini khususnya bagi seorang pemimpin, sebab tidak jarang apa yang diharapkan membantu malahan sebaliknya. Misalnya, seorang pemimpin yang salah memilih pegawai, orang kepercayaan kadang malah menimbulkan permasalahan fatal kelak kemudian hari, manuhuak kawan sairiang, mangguntiang dalam lipatan, musang babulu ayam, musuah dalam salimuik -namanya untuk menyebutkan perihal diatas.

Seorang pemimpin juga memiliki prinsip, tak ado karuah nan tak ka janiah, tak ado kusuik nan tak ka salasai. Setiap persoalan maka ada jalan keluarnya untuk menyelesaikannya. Demikian pula dalam mengambil suatu keputusan harus bijaksana, sehingga ibarat maambiak rambuik dalam tapuang, nan rambuik indak putuih, tapuang indak taserak.

Akhirnya, tungkek bana nan mambaok rabah– tongkat malah yang membawa jatuh-rebah tidaklah terjadi dalam kehidupan kita. Namun tungkek sebagai panutan, pemimpin yang membuat kita tegap berdiri dengan baik dan itulah sesungguhnya pemimpin yang sejati. Dikenang sampai akhir hayat nantinya.[Penulis adalah Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Basilang Kayu dalam Tungku Mangko Api ka Hiduik

0
Undri

Penulis: Undri

Keunikan orang Minangkabau bahwa setiap persoalan justru dapat terpecahkan dengan adanya silang pendapat dalam setiap musyawarah. Segala persoalan akan selalu dirembukkan dan dimusyawarahkan sehingga tidak ada persoalan yang tidak bisa dipecahkan- basilang kayu dalam tungku mangko api ka hiduik (bersilang kayu dalam tungku makanya api akan hidup).

Pepatah ini mengandung makna bahwa setiap persoalan yang akan dimusyawarahkan akan selalu dipecahkan sesuai dengan bentuk persoalan dan besaran persoalan itu sendiri. Artinya ada pemilihan antara siapa aktor yang boleh terlibat dan dilibatkan serta siapa aktor yang tidak boleh terlibat dan dilibatkan sesuai dengan persoalan yang dimusyawarahkan. Diungkapkan dengan istilah biliak ketek-biliak gadang (ruang kecil-ruang besar). Meskipun mufakat itu sendirinya telah menurut garis yang pantas untuk dibicarakan bersama, mufakat itu mempunyai rukun, yakni kebulatan pendapat, sebagaimana yang dimaksud petitih : bulek aia dek pambuluh, bulek kato dek mufakeik (bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat).

Bulek aia ka pambuluah, bulek kato jo mufakek, tuah sapakek, cilakonyo dek basilang-bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat, tuah hasil sepakat, celaka karena ngotot bersilang pendapat. Menggambarkan nilai kedaulatan rakyat serta adat. Bahwa suara (sikap) rakyat melalui musyawarah mufakat merupakan keputusan tertinggi dalam masyarakat, dan berbahayalah apabila mufakat tersebut tidak menghasilkan keputusan. Karena silang pendapat hanya mengakibatkan kekisruhan.

Nan bana kato saiyo, nan rajo kato mufakat-yang benar kata seiya, yang raja kata mufakat. Kebenaran peribadi seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara bersama oleh masyarakat. Maka yang benar adalah kesepakatan bersama karena dapat dipertanggungjawabkan bersama. Jadi, dalam kehidupan bermasyarakat hendaklah mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan suatu perkara atau nan kusuik.

Kebulatan kata itulah yang dimaksud dengan sakato, yang dapat ditafsirkan apa yang diungkapkan mamangan dan diperkuat oleh petitih itu, bahwa mufakat, yang juga berarti beriya-iya, melahirkan kata yang bulat karena orang yang beriya-iya itu telah melahirkan kesatuan kata dan juga kesamaan kata. Oleh karena itu, pengertian kato di sini, bukanlah merupakan ucapan atau kalimat, melainkan merupakan keputusan mufakat, baik berbentuk peraturan, undang-undang maupun hukum.

            Bagi orang Minangkabau dalam berdemokrasi sering memunculkan perdebatan yang mengarah kepada perdebatan intelektual. Perdebatan intelektual yang dimaksud merupakan upaya perumusan dan penyampaian pemikiran kritis tentang berbagai hal dan aspek kehidupan daerah dan bangsa. Pemikiran-pemikiran kritis tersebut lazimnya disampaikan secara terbuka dan terus terang diberbagai kesempatan, baik secara lisan pada saat dilangsungkan rapat, kongres dan seminar maupun secara tertulis di surat kabar dan majalah. Orang Minangkabau selalu memperdebatkan ide, dan tidak menelan mentah-mentah segala sesuatu yang berhubung dengan perihal kehidupan mereka, baik yang berasal dari rantau maupun dari ranah sendiri yang terdiri atas kelompok-kelompok kecil yang mandiri dan otonom.

Penyampaian pemikiran kritis tersebut selain telah menyebabkan terjadinya konflik (silang pandapek) juga memungkinkan terbentuknya konsensus. Dengan kata lain, naluri berkonflik diimbangi dengan kemauan berkonsensus. Seiring dengan hal tersebut, kebebasan berekspresi tinggi di Minangkabau. Orang dapat mengatakan apa saja. Orang boleh saja marah. Jengkel juga tidak dilarang. Mengkritik, mengingatkan, menasehati, menolak, dan bentuk ekspresi lainnya tidak dilarang, dan bahkan dianjurkan, itulah wajah orang Minangkabau dalam berdemokrasi. Berdemokrasi bagi orang Minangkabau terutama dalam pengambilan keputusan harus dibuat melalui proses musyawarah menuju mufakat.

Keputusan yang benar hanya terjadi apabila sakato atau mufakat telah dicapai oleh semua yang terlibat dalam persoalan-persoalan yang harus diselesaikan. Bahkan ungkapan ”musyawarah untuk mufakat” dianggap sebagai dasar dari bentuk khusus demokrasi di Indonesia.  Kata mufakat hanya bisa dicapai apabila orang-orang menerima nilai-nilai abstrak tertentu, misalnya akal sehat dan kepatutan, apa yang mungkin, dan akhirnya kebenaran. Jadi, kekuasaan mamak, dan penghulu, yang menjadi elemen penting dalam proses berdemokrasi sama sekali bukan mutlak, melainkan tunduk pada pelaksanaan kepemimpinan di bawah syarat-syarat tertentu.  Orang-orang yang memegang kekuasaan lebih dilihat sebagai wakil-wakil kelompok untuk menghadapi dunia luar, dan sebagai penyelenggara musyawarah-musyawarah yang harus berujung dengan mufakat.

Kedepannya, budaya demokrasi yang telah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau harus mendapat tempat dan dilestarikan oleh kaumnya, dan menjadi fondasi kearah dalam penyelesaian persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Segala persoalan selalu dirembukkan dan dimusyawarahkan sehingga tidak ada persoalan yang tidak bisa dipecahkan- basilang kayu dalam tungku mangko api ka hiduik, mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 7 April 2019

Belajar Bersama Maestro Ronggeng Pasaman

0

Pasaman – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat menggelar kegiatan Belajar Bersama Maestro di Kabupaten Pasaman Sumatera Barat. Kepala BPNB Sumatera Barat Drs. Suarman membuka secara resmi kegiatan ini pada Senin, 15 Juli 2019 di Nagari Kumpulan, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman. Lokasi pembukaan dilaksanakan di Balai Pemuda Kampung Melayu, Nagari Kumpulan. Adapun karya budaya yang diangkat dalam kegiatan ini adalah Kesenian Ronggeng Pasaman.

Kegiatan Belajar Bersama Maestro merupakan kegiatan unggulan BPNB Sumatera Barat yang digelar sebagai wadah menggali karya-karya budaya yang hampir punah. Penggalian ini bermaksud untuk menghidupkan dan mewariskan nilai karya-karya budaya kepada generasi muda. Sehingga kegiatan BBM ini melibatkan maestro-maestro karya budaya untuk dapat mentransfer ilmunya kepada peserta BBM.

Peserta kegiatan ini merupakan para pemuda yang tertarik mempelajari karya-karya tradisi. Melalui kegiatan BBM ini, para pemuda yang terlibat diharapkan dapat diandalkan untuk menghidupkan dan mentransfer pengetahuannya kelak kepada orang lain. Sehingga, dengan pola seperti itu, karya-karya tradisional dapat bertahan dan berkembang maju.

Kesenian ronggeng pasaman merupakan kesenian tradisional yang berkembang di daerah Pasaman dan Pasaman Barat. Hingga kini, kesenian Ronggeng Pasaman sudah semakin langka. Jika upaya pelestarian tidak segera dilakukan, maka kesenian ini akan segera mengalami kepunahan. Melalui kegiatan BBM, BPNB Sumatera Barat mencoba memulai upaya pelestarian untuk merangsang masyarakat mempertahankan kesenian tersebut.

Harapannya melalui kegiatan BBM, warga khususnya generasi muda lebih mengetahui arti penting kesenian ronggeng dalam konteks kekinian. Dengan mengetahui arti penting tersebut, warga juga lebih mencintai dan berkeinginan mempelajari kesenian tersebut. Sehingga lama kelamaan kesenian tersebut dapat berkembang di kemudian hari. Demikian disampaikan Firdaus Marbun sebagai nara sumber dalam kegiatan tersebut.

Kegiatan pembukaan Belajar Bersama Maestro diawali dengan laporan ketua panitia, kata sambutan ninik mamak, kata sambutan dari walinagari, kata sambutan sekaligus pembukaan dari Kepala BPNB Sumbar serta penyampaian materi dari narasumber. Pada akhir acara, para peserta BBM memulai latihan perdana yang dipandu oleh seorang pelatih tari dan seorang pelatih biola. (FM)

Runciang jan nan Mancucuak, Sandiang jan nan Maluko

0

Penulis: Undri

Berbuat kebaikan mestilah kita lakukan dalam hidup ini. Bila kita memiliki kepandaian atau mempunyai ilmu, jangalah sampilik kariang– tidak mau berbagi pula. Janganlah digunakan untuk merusak atau menimbulkan bencana bagi orang lain. Hendaklah kita membawa berkah dan keuntungan bagi orang lain atau sikap kita tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan orang lain. Nasehat telah diungkapkan- runciang jan nan mancucuak, sandiang jan nan malukoi (runcing jangan yang menusuk, sanding jangan yang melukai).

Obat dari semua itu adalah rendah hati, sifat ini yang paling ideal dalam hidup. Sifat rendah hati menjauhkan kita dari sifat sombong, congkak, angkuh, acuh tak acuh kepada orang lain. Perhatikan pantun berikut : kacak langan bak langan, kacak batih lah bak batih, bajalan dirusuak labuah, tagak sarupo urang mambali, duduak sarupo urang manjua, sarupo lonjak labu dibanam, sarupo kacang diabuih ciek.

Berkenaan dengan sifat rendah hati itu sendiri, ada beberapa tanda seseorang itu mempunyai sifat tersebut, antara lain dia selalu minta maaf kalau bersalah, dan selalu minta ampun dan bertobat kalau berdosa. Dingkapkan dalam kato pusako, salah catok malantiangkan, salah ambiak mangambalikan, salah makan mamuntahkan, salah pado manusia minta maaf, salah pado Allah minta taubat.

Untuk itu perlu kiranya mencontoh dan belajar dari ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita miliki, semakin tinggi pula sifat rendah hati yang kita miliki. Tidaklah angkuh dan sombong. Apalagi kepandaian dengan ilmu yang kita miliki terkadang untuk memperdayakan orang lain, guna keuntungan kita sendiri. Sebuah perihal yang penting kita hindari dalam hidup ini. Jangan ditiru sifat ayam, bertelur satu rebut sekandang, artinya berilmu sedikit sudah menyombongkan diri. Kita renungkanlah- kok mandi di ilia-ilia, kok mangecek dibawah-bawah (jika mandi di hilir-hilir, jika berbicara di bawah-bawah)- menadakan orang rendah hati, menunjukkan bahwa ia tidak sombong dan tidak angkuh.

Kemudian setiap orang harus sadar pada kekurangannya. Jadi, tidak ada yang akan disombongkan karena alam pemberian Allah SWT kepada hamba-Nya, makin kaya atau makin banyak ilmu, kita harus rendah hati.  Tidak berhenti disitu saja orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi, dalam berbicara janganlah sampai menyinggung perasaan orang lain. Janganlah suka menonjolkan diri meskipun kita orang yang berada dan berpengetahuan.

Dalam hidup ini janganlah menyombongkan diri-pandai menempatkan diri dalam kehidupan masyarakat, tidak boleh bersikap atau bertindak lebih tinggi atau lebih pintar-sok pintar, sok pandai-orang sekarang menyebutnya. Ungkapan mengungkapkan berupa nasehat kok mandi di ilia-ilia, kok mangecek dibawah-bawah tersebut. Artinya hendaklah kalau berbicara jangan meninggi, kalau mandi di sungai hendaklah disebelah hilir dari orang lain. Tentu maksudnya jangan menyombong diri, baik dalam berkata-kata, maupun dalam perbuatan.

Cadiak indak mambuang kawan, gapuak indak mambuang lamak-cerdik tak membuang kawan, gemuk (banyak makan) tak membuang lemak (yang enak). Pepatah yang mengemukakan nilai-nilai prikemanusiaan. Meskipun dirinya telah memiliki kelebihan tetap memperhatikan dan tidak menjauhkan diri dengan orang lain.

Tidak itu saja, diungkapkan panjang jan malindih, gadang jan malendo– besar jangan menindas, besar jangan menyenggol. Jika berkuasa janganlah bersikap semena-mena dengan menekan atau memaksa kehendak pada yang lebih kecil (bawahan) karena mereka pasti akan kalah. Sebab sebagai pemimpin itu hanyalah amanah. Bila kita memegang amanah dengan baik maka orang hormat kepada kita, namun bila tidak buktikanlah bahwa  setelah tidak berkuasa orang mengindar dari kita- tidak menghormati kita.

Ungkapan runciang jan nan mancucuak, sandiang jan nan malukoi (runcing jangan yang menusuk, sanding jangan yang melukai) mengkehendaki sifat yang kita tunduk kepada nilai kemanusiaan, menghargai sesama manusia, atau diistilahkan juga memanusiakan manusia itu sendiri, menghargai sesama manusia, tidak merasa benar dan berilmu sendiri namun kita melihat sesuatu potensi bagi kita sebagai kemuliaan dan kemaslahatan yang bisa menguntungkan bagi manusia lainnya. Kita menghindari perihal tindakan dan perbuatan kita yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Akhirnya pentinglah sifat rendah hati kita tanamkan dalam diri kita. Bila kita memiliki kepandaian atau mempunyai ilmu, mulailah berbagi kepandaian kita kepada orang lain. Jangan dijadikan kepandaian dan pengetahuan yang kita miliki untuk merusak atau menimbulkan bencana bagi orang lain namun kita menjadi berkah dan kemuliaan ditengah masyarakat. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai  Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Meneroka dan Konflik: Orang Jawa di Tanjung Pati (2/habis)

0

Setelah berakhirnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI), S.M Djoko Bupati Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat berupaya keras memindahkan orang Jawa –terutama yang bermukim di Halaban–ke kawasan yang belum terjamah. Dan, daerah yang dituju adalah Nagari Sarilamak.

Setelah menerima seluruh dokumen penyerahan tanah dari Jawatan Agraria, S.M Djoko mengabarkan kepada eks buruh teh Halaban, untuk sesegera mungkin membuka hutan rawa tersebut. Bertempat di rumah Amat Salem, 32 (tigapuluh dua) orang eks buruh Halaban menyepakati untuk membuka lahan yang terdapat di Sarilamak.

Adapun ketigapuluh dua orang Jawa tersebut adalah Amat Salem, Marto Rejo, Wahab, Suwandi, Wongso Rejo, Ngalimi, Saal, Jayahadi, Tukiman, Daswan, Karso, Sutiman, Mukiren, Parno, Amat Sawo, Sujak, Rawen, Waryo Suwito, Dukut, Karyo Jenggot, Harjo Munarah, Cokro, Katmo, Daem, Amat Rejo, Amat Saniah, Munaji, Karto Cenguk, Rasmani, Miso, Sumarto Seneng, dan Karyo Rejo.

Dan, awal lahan yang digarap oleh para transmigran dari Halaban, kemudian dinamakan Sido Dadi (kini: Purwajaya) seluas 130,9 Ha yang kini terletak dari Km.8 hingga Km. 10.  Sedangkan 269,1 Ha lainnya berada di Padang Semut (Kubu Gadang), Kubang Gajah, dan Anak Kubang Nagari Koto Tuo(RPJM Nagari Sarilamak tahun 2011-2015: 1).

Adapun batas-batas daerah transmigrasi yang diserahkan ninik mamak Sarilamak adalah di sebelah utara berbatasan dengan hutan rawa basah, bukit Pauah Sarilamak. Di selatan berbatasan dengan bandar besar Nagari Tigo Batur Padang Barangan. Untuk kawasan timur dengan jalan negara (kini: samping Kodim 0306 Kabupaten Limapuluh Kota), dan sebelah barat dengan Bukit Sarilamak dan Nagari Tigo Batur Padang Barangan.

Masing-masing eks buruh perkebunan yang menginginkan tinggal di lokasi yang telah disediakan, harus mengajukan surat permintaan tanah kepada Kepala Agraria. Tjokromiardjo dalam surat permohonannya pada 19 September 1963. Dalam surat permohonannya, ia meminta tanah di Anak Kubang Sarilamak, seluas 60 x 50 meter dan 100×30 m2.

Surat permohonan Tjokromiardjo kemudian direalisasikan oleh Kantor Agraria Daerah 50 Kota melalui Keputusan Menteri Agraria No.SI/112/Isa/61 Nomor X tahun 1963. Di luar perkiraan, tanah yang diminta Tjokroamiardjo bertambah luas dari permohonannya, yakni 71 x 55,5  meter + 116,5 x 31 m2. Dalam suratnya, Kepala Agraria meminta pada calon transmigran segera membuka lahan dalam waktu satu tahun dan membuat sendiri kediamannya (Keputusan Menteri Agraria No.SI/112/Isa/61 Nomor X tahun 1963).

Setelah selesai menentukan batas-batas daerah dan peruntukkan tanah, tigapuluh dua orang eks buruh teh Halaban mengerjakan jalan poros dan selokan. Setelah pekerjaan rampung, Amat Salem membagi kaplingan tanah untuk 200 KK dan menyerahkan pengerjaannya kepada masing-masing dari eks buruh tersebut.

Kisah membuka hutan berawa di Tanjung Pati pun menarik untuk dicermati. Rombongan peneroka itu tidak seluruhnya memakai kendaraan yang hanya disediakan satu saja oleh Pemda Kabupaten Daerah Limapuluh Kota. Sebagian dari mereka ada yang berjalan kaki di bawah koordinator Amat Salem. “…, ada yang membawa gerobak kayu untuk membawa kayu bakar, untuk dijual pada sorenya ke Payakumbuh dengan membawa kayu api, untuk mereka jual di Payakumbuh dan hasilnya mereka belikan perbekalan untuk keesokan harinya. Begitulah setiap hari mereka lakukan” (Tumirah, wawancara, tanggal 28 Maret 2018 di Jorong Purwajaya Kabupaten Limapuluh Kota).

Setelah lahan di Anak Kubang kering, para transmigran tersebut mendirikan pondok-pondok untuk tempat tinggal. Dengan berbekal ubi, keladi, dan ganyong, para peneroka dengan alat seadanya menantang maut, untuk membuka hutan berawa. Mereka saling bergotong royong menimbun rawa-rawa dan membuat pematang sawah, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

“Lahan yang sudah dibuka, ada yang ditanami singkong, keladi, ganyong untuk dijadikan makanan setiap hari. Pada kesempatan lain, Pak Amat Salem dan beberapa orang lainnya menemui Bupati S.M Djoko, untuk melaporkan perkembangan pekerjaan dan meminta bantuan ransum makanan.” (Ngatmi, wawancara, tanggal 28 Maret 2018 di Jorong Purwajaya Kabupaten Limapuluh Kota).

Permintaan dari peneroka itu segera dipenuhi Bupati S.M Djoko. Mereka diberi beras, gula, minyak goreng, sabun, dan lainnya. Kisah lainnya dituturkan  Samiliyono mengenai semangat para peneroka yang berjalan sampai puluhan kilometer dari Payakumbuh menuju Tanjung Pati. “Dirasa terlalu capek berulang setiap hari, puluhan kilometer dengan berjalan kaki dari Payakumbuh. Sebagian dari mereka membuat gubuk untuk ditempati, apabila sore hari hujan dan tidak mungkin kembali ke Payakumbuh.”. ungkap Samanjono.

Pada tahun 1964 Amat Salem ditemani sepuluh orang peneroka, menemui Bupati Limapuluh Kota, untuk melaporkan hasil pekerjaannya, dan meminta S.M Djoko datang ke Sido Dadi. Dalam kunjungannya pada Juli 1964, SM. Djoko meminta transmigran lokal itu mengganti nama Sido Dadi, menjadi Purwajaya [Penulis adalah Peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 17 Maret 2019

Buruak Muko Camin Dibalah

0

Penulis: Undri

Penyakit kita terlalu sibuk mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain, sehingga kesalahan dan kekurangan diri sendiri terlupakan. Mencari kesalahan orang lain, tak tahunya kesalahan kita berjibun pula, sibuk mencari aib orang lain. Rasa-rasanya hidup hanya dipenuhi dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, berlelah-lelah mencari aib orang lain. Wajah kita sendiri yang jelek, cermin yang dibelah. Orang yang berbuat keburukan atau kejahatan namun menyalahkan orang lain atas apa yang ia lakukan- buruak muko camin dibalah (buruk muka cermin dibelah).

Kita tidak dapat menafikan bahwa beberapa manusia ada yang hobinya hanya mencari-cari kesalahan dari orang lain, kemudian membicarakannya dengan temannya, kerabatnya, bahkan dibicarakan dipublik, lewat media sosial di facebook, tweeter misalnya, dan lain. Jika kesalahan ia dapatkan, ia besakan pula. Bergelora semangat untuk mencari kesalahan orang lain. Kadang kala kekhilafan dalam urusan kecil yang wajar terjadi dan sepatutnya dimaafkan, namun ditampak-tampakkan sebagai kejahatan teramat besar. Begitulah ritme kehidupan dihari ini.

Selain itu, ada penyakit mengada-ada yang lebih buruk lagi. Mengada-adakan kesalahan yang ia mengetahui betul bahwa tidak ada kesalahan pada orang lain, tetapi ia menisbahkan kesalahan kepada orang tersebut, mengesankan kepada orang tersebut bahwa ia berbuat kesalahan yang sangat besar. Ini semua termasuk kepada perihal fitnah yang keji, dan haruslah kita hindari dalam hidup ini.

Buruak muko camin di balah bermakna juga orang yang tidak mau intropeksi diri. Seseorang yang tidak mau menerima akibat buruk dari perbuatannya dan menimpakan kesalahannya pada pihak orang lain. Tersirat bahwa kita dianjurkan mencari penyebab sesuatu itu dengan teliti dan cermat sesuai dengan apa yang terjadi. Jangan sampai kita menjadi seperti orang yang memecahkan kacanya lantaran wajahnya buruk ketika dia lihat di cermin. Serta janganlah menjadi orang yang tidak bertanggung jawab dengan perbuatan sendiri apalagi menyalahkan orang lain.

 Kita sibuk mencari-cari kesalahan orang lain, menunjukkan jika dia merupakan seseorang yang tidak memiliki kesibukan yang berarti. Waktu yang ia miliki tidaklah penting sampai akhirnya waktunya dihabiskan untuk sibuk mencari kesalahan orang lain. Orang baik tidak akan mengumbar aib orang lain, bahkan jika dia tahu akan hal itu maka dia akan menutup-nutupinya. Namun berbeda lagi dengan orang yang dalam hatinya terdapat penyakit hati seperti iri dan dengki, ia akan sibuk mencari kejelekan orang lain dan akan mengumbarnya kepada orang lain pula.

Persoalan mengenai jangan mencari-cari kesalahan orang lain sudah ada dalam kitab suci Al-quran yakni melalui Surat Al-Hujurat ayat 12, Allah SWT berfirman : “Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain”. (Q.S. Al-Hujurat 12). Begitulah pentingnya ajaran untuk jangan mencari-cari kesalahan orang lain, namun berbuat kebaikan diantara kita di muka bumi ini.

Dalam hal ini pentinglah kiranya introspeksi diri, menyadari akan diri sendiri. Introspeksi diri dapat membantu seseorang untuk bercermin tentang diri dan kehidupannya selama ini. Melalui introspeksi diri, kita akan lebih mudah menentukan tujuan hidup ke depan. Tentunya, tujuan hidup yang kita dapatkan melalui introspeksi diri ini akan mampu membawa kita sebagai manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik lagi. Atau dengan kata lain bahwa introspeksi diri merupakan peninjauan atau koreksi terhadap perbuatan, sikap, kelemahan, serta kesalahan dari diri sendiri.

Ungkapan yang sejalan dengan buruak muko camin dibalah (buruk muka cermin dibelah) yakni mancabiak baju di dado, manapuak aia di dulang (merobek baju di dada, menepuk air di dulang). Mengandung makna akan sesuatu perbuatan yang merugikan diri sendiri, sesuatu pekerjaan yang tidak baik atau tidak layak dilakukan. Tersirat sebuah makna bahwa bagi kita agar menasehati seseorang agar dalam pergaulan hidup, bertutur kata harus hati-hati, janganlah menjelek-jelekkan orang lain, keluarga atau membukakan aib orang lain, keluarga sendiri kepada orang lain karena yang akan merasa atau menanggung malu bukan hanya keluarga saja tetapi juga diri sendiri- mancabiak baju di dado, manapuak aia di dulang (merobek baju di dada, menepuk air di dulang).

Akhirnya, penting bagi kita dalam hidup ini agar tidak mencari-cari kesalahan yang dimiliki orang lain, melakukan introspeksi diri bahwa diri kita juga penuh dengan kekurangan dan kesalahan. Selama persoalan ini kita maknai dalam hidup maka hidup telah kita retas dengan baik dan mulia- dan janganlah buruak muko camin dibalah (buruk muka cermin dibelah). Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Jejak Tradisi Daerah 2019 Resmi Berakhir

0

Ogan Ilir – Jejak Tradisi Daerah 2019 secara resmi berakhir. Hal ini ditandai dengan acara penutupan yang diadakan pada Jumat, 5 Juli 2019 di Aula Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Desa Tanjung Pinang, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Penutupan secara resmi dilakukan oleh Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ogan Ilir Zulkarnain, S.Pd.

Baca juga: Laseda 2019 Resmi Ditutup: Anik Dwi Utami Raih Peserta Terbaik

Rangkaian acara penutupan dimulai dengan pembacaan ayat suci Alquran, dan beberapa penampilan kesenian dari peserta. Selanjutnya kata sambutan dari ketua panitia Hasanadi, SS, kesan dan pesan dari peserta didik, kesan dan pesan dari guru pendamping, pengumuman peserta terbaik untuk semua kategori, penyerahan cenderamata dan hadiah serta terakhir penutupan secara resmi oleh Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ogan Ilir.

Pada kesempatan tersebut, Zulkarnain, S.Pd menyampaikan penghargaan kepada Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumaterea Barat yang memberi kesempatan kepada Bumi Ogan Ilir melaksanakan kegiatan Jejak Tradisi Daerah 2019.

Dia juga berpesan agar setiap peserta dan yang terlibat dalam Jetrada 2019 tetap menjaga persatuan dan Bhinneka Tunggal Ika. ‘lain lubuk lain ikan, lain padang lain belalang. Tapi jangan jadikan perbedaan sebagai pemisah karena kita sudah punya Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu’. Ucapnya

Di akhir sambutannya, Zulkarnain menyampaikan harapannya agar kegiatan-kegiatan pelestarian budaya  tetap berkesinambungan di masa mendatang dan kerjasama antar lembaga bisa lebih dieratkan.

Pada kesempatan penutupan tersebut, panitia mengumumkan empat kategori peserta terbaik yakni: guru pendamping terbaik, penampilan kesenian terbaik, kelompok observasi dan presentasi terbaik serta peserta siswa terbaik. Khusus peserta siswa terbaik nantinya akan diutus mewakili BPNB Sumatera Barat pada acara Jejak Tradisi Nasional yang rencananya akan diadakan di Bali pada Agustus mendatang.

Adapun peserta siswa terbaik Jetrada 2019 diraih oleh:

  1. Supran Amar dari SMA N.1 Indralaya Selatan, Provinsi Sumatera Selatan
  2. Diva Augusti Edel dari SMA N.1 Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat
  3. Celina Niria De Dazza dari SMA N.4 Lahat, Provinsi Sumatera Selatan
  4. Anisa Lestari dari SMA N.1 Pagaralam, Provinsi Sumatera Selatan
  5. Ayunni Niza Syafifah dari SMA N.1 Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu
  6. Aditya Saputra dari SMA N.1 Tanjung Batu, Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan
  7. Feni Putri Anjani dari SMA N.1 Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu
  8. Rahmat Kurnia dari SMK N.7 Padang, Provinsi Sumatera Barat

Panitia juga memberikan trophy dan hadiah pembinaan kepada peserta terbaik tersebut.(FM)

Meneroka dan Konflik: Orang Jawa di Tanjung Pati (1)

0

Penulis: Zusneli Zubir

Menelusuri daerah Tanjung Pati Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat yang kini kian padat, akan berbeda situasinya pada lima puluh enam tahun silam. Kondisi dulu dan kini jelas berbeda. Dulu, Tanjung Pati hanyalah hutan belantara dengan jalan yang bisa dilalui kendaraan kecil saja. Kini, tentu kawasan padat penduduk itu selalu ramai dilalui kendaraan yang menuju dan keluar Payakumbuh.

Peristiwa pergolakan, atau yang dikenal dalam ingatan orang Minangkabau sebagai Peri-peri (PRRI-Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) merupakan awal dari migrasi lokal orang Jawa dari Halaban dan sekitarnya membuka lahan baru. Pada tahun 1958, seiring memuncaknya konflik antara pemerintah pusat dengan Dewan Banteng, telah berdampak luas terhadap orang Jawa di Sumatera Barat. Sebagaimana di Halaban, para buruh pemetik teh asal Jawa, mulai merasakan intimidasi dan ancaman pembunuhan dari orang-orang pro PRRI.

Pada tahun 1960, sembilan kepala keluarga eks buruh Halaban yang merasa terancam jiwanya, memutuskan untuk eksodus ke daerah yang lebih aman dan belum dikuasai tentara APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Mereka kemudian meneroka lahan yang masih berupa hutan rawa, terutama di Anak Kubang dan Sarilamak.

Di pengujung 1960, Bupati Kepala Daerah 50 Kota Inspektur Polisi S.M. Djoko–yang menggantikan posisi Bupati Darwis–berupaya untuk memindahkan orang Jawa ke permukiman yang masih kosong. S.M Djoko kemudian memilih Nagari Sarilamak sebagai tujuan transmigrasi lokal 40 KK orang Jawa.

Berdirinya Jorong Purwajaya mengisahkan, awal peruntukkan tanah untuk transmigran asal Halaban bermula dari pertemuan Amat Salem yang bermukim di Parak Getah Payakumbuh dengan S.M Djoko. Ia menawarkan untuk eks buruh Halaban yang menganggur dua lokasi tanah, yakni di Padang Semut dan Anak Kubang Sarilamak. Dan, Amat pun memilih lokasi di Anak Kubang.

Tanah yang diperuntukkan untuk transmigran itu, bermula dari putusan Kerapatan Nagari Sarilamak dalam Surat No.8/SLM/1961, yang menyerahkan tanah nagari seluas 400 Ha. Tidak ada keterangan khusus, sebab-sebab mudahnya petinggi Nagari Sarilamak menyerahkan tanahnya secara sukarela kepada S.M Djoko, apakah karena terkait motif politik, atau keamanan. Dalam versi Berdirinya Jorong Purwajaya, dikisahkan sebagai berikut.

…, setelah menunggu beberapa bulan dapat persetujuan dari KAN Sarilamak dan KAN Tigo Batur Padang Barangan, bahwa kedua KAN mengadakan rapat di nagari masing-masing terdapat kesepa-katan tentang Nagari Sarilamak dan Tigo Batur Padang Barangan sepakat ditunjuk sebagai lokasi transmigrasi lokal. Maka beberapa bulan berselang, pengurus KAN dan ninik mamak Sarilamak de-ngan sukarela menghibahkan tanahnya kepada Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, kemudian diikuti KAN dan ninik mamak nagari Tigo Batur Padang Barangan (Tim Penulis Buku Sejarah Berdirinya Jorong Purwajaya, 2017: 4).

Gambar 1 Surat Bupati Kepala Daerah 50 Kota  No.HB/520/2/61 tanggal 3 Agustus 1961, untuk Kepala Jawatan Agraria Daerah 50 Kota.

Sumber:     Koleksi Kantor Jorong Purwajaya Nagari Sarilamak Kabupaten Limapuluh Kota.

Untuk menindaklanjuti pemindahan eks buruh kebun teh Halaban, SM. Djoko segera segera menyurati Kepala Jawatan Agraria Daerah 50 Kota. Dalam suratnya S.M Djoko menulis, bahwa pemerintah memperoleh tanah seluas 400 Ha atas kebulatan Kerapatan Adat Nagari tanggal 12 Juni 1961 (Surat No.8/SLM/1961 tentang kebulatan Kerapatan Adat Nagari Sarilamak menyerahkan tanah seluas 400 Ha.)

Adapun lahan yang diserahkan terdiri dari tanah kering dan basah yang dimanfaatkan transmigran lokal. Untuk menempati areal seluas 400 Ha, S.M Djoko menulis dibutuhkan sekitar 200 keluarga, atau setara dengan 1050 jiwa. Selain itu, SM. Djoko juga memberi penekanan dalam suratnya: (1). Para transmigran tersebut terdiri dari bekas pekerja kebun teh Halaban yang sedang menganggur.  (2). Bersama ini dikirim kepada saudara 1 helai salinan dari Kebulatan Kerapatan Negeri Sarilamak tersebut di atas, serta 1 helai peta ringkas dari tanah yang diserahkan itu, dan (3). Sekarang para transmigran itu telah merambah/membersihkan tanah tersebut, dan dimaksudkan dalam waktu yang singkat dapat didirikan perumahan (pondok2) bagi mereka (Surat Bupati Kepala Daerah 50 Kota  No.HB/520/2/61 tanggal 3 Agustus 1961, untuk Kepala Jawatan Agraria Daerah 50 Kota).

Transmigran lokal yang dimaksud S.M Djoko, dijelaskan lebih lanjut dalam suratnya, bahwa mereka terdiri dari eks buruh kebun teh Halaban yang sedang menganggur. Mereka yang akan dipindahkan, nantinya meneroka daerah yang masih berbentuk hutan, untuk dibersihkan dan dijadikan areal permukiman dan pertanian. Di samping itu, untuk menyokong produktivitas peneroka selama mem-bersihkan lahan, S.M Djoko meminta bawahannya untuk membantu kebutuhan pangan. Bersambung. [Penulis adalah Peneliti Madya di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 3 Maret 2019

Panjang Karek Mangarek, Senteang Bilai Mambilai

0

Penulis: Undri

Kerapuhan sikap tolong menolong, bekerja sama dengan orang lain dan saling hormat menghormati bermuara pada lunturnya rasa persaudaraan dan persatuan diantara kita. Tersirat sebuah perumpamaan ketika kita mempunyai seutas tali yang cukup panjang, maka potonglah dan berikan lebihnya itu kepada orang yang membutuhkan- panjang karek mangarek, senteng bilai mambilai  (panjang potong memotong, senteng tambah menambah).

Ketika kita  mempunyai sesuatu yang berlebih, maka berikanlah kepada  mereka yang kekurangan dan sangat membutuhkannya. Sebaliknya apabila kita mengalami sesuatu kekurangan, maka tiba pula giliran meminta bantuan kepada orang lain. Dasar yang akan diusahakan berdasarkan prinsip gotong royong itu adalah melaksanakan sesuatu yang merupakan kepentingan umum, kepentingan bersama.

Kita menyadari bahwa orang yang memberi pertolongan kepada orang membutuhkan jauh lebih mulia daripada orang yang meminta pertolongan. Sebab manusia hidup berkelompok. Hidup berkelompok itu disebut bermasyarakat. Dalam kelompok, manusia diikat oleh kebersamaan. Kebersamaan itu mengikat hubungan yang erat sesamanya. Hubungan yang erat dapat terjadi karena adanya persamaan kepentingan, keinginan, dan cita-cita bersama pula.

Dalam adat juga mengajarkan, diungkapkan di dalam ajarannya yakni hiduik dikanduang adat, adat hiduik tolong manolong, adat mati janguak-manjanguak, adat lai bari mambari, adat indak basalang-tenggang. Adat hiduik tolong manolong, maksudnya setiap orang yang hidup harus saling menolong. Kita menolong orang yang sedang membutuhkan. Kita membantu teman-teman yang sedang kesulitan, kita member orang yang tidak punya, dan kita mengulurkan tangan kepada orang yang berharap. Kita menolong tidak memandang suku, tidak memandang bangsa dan sebagainya. Pokoknya, setiap orang yang memerlukan pertolongan kita tolong sebisa kita. Tandanya kita orang beragama dan orang beradat.

Gotong royong yang sejatinya tumbuh atas dan berdasarkan keinsyafan masyarakat akan kepentingan umum, kepentingan bersama. Gotong royong di Minangkabau adalah tumbuh dari bawah dan tidak atas perintah dari atas. Gotong royong tumbuh berdasarkan fatwa adat yakni : ko indak titiak dari ateh, basuitan dari bawah  (kalau tidak titik dari atas, basuitan dari bawah). Suatu pernyataan dari demokrasi sejati, dalam mana inisiatif dan kesanggupan itu berada dalam tangan rakyat.

Beberapa ungkapan yang berkaitan dengan hal ini yakni barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang- berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Sebagai bagian dari masyarakat, maka seharusnya tiap-tiap individu memiliki semangat untuk bekerjasama dan mempertanggungjawabkan secara bersama-sama segala kepentingan bersama.

Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang lapang-duduk sendirian sempit, duduk bersama terasa lapang. Dalam hidup bermasyarakat, sendirian tak berarti. Baik dalam bersuara maupun dalam berbuat. Berbeda ketika di tengah keluarga atau orang banyak (dalam komunitasnya), suara dan sikapnya akan berguna dalam banyak hal, dan misalnya menemui kesulitan akan mudah mendapatkan bantuan mereka.

Kok hanyuik bapintasi, tabanam basilami, tatilantang samo minum ambun, tatungkuik samo makan tanah, tarapuang samo hanyuik, tarandam samo basah– kalau hanyut dipintasi, terbenam diselami, terlentang sama minum embun, terlungkup sama makan tanah, terapung sama hanyut, terendam sama basah. Gambaran mengenai semangat hidup, tenggang rasa, senasib sepenaggungan dalam masyarakat Minangkabau dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Kahilia sarangkuah dayuang, kamudiak saantak galah- ke hilir serangkuh dayung,  ke mudik sehentak galah. Nasihat agar kita harus ikut serta ambil bagian dalam melakukan kegiatan kemanusiaan.  Jangan hanya menjadi penonton, apalagi jika itu untuk kepentingan bersama.

Tatangguak diudang samo mengaruntuangkan, tatangguak di luluak samo mangiraikan-tertangguk udang sama-sama mengeruntungkan, tertangguk lunau (lumpur) sama-sama mengiraikan. Dalam bermasyarakat ada pekerjaan yang harus  dilakukan bersama-sama demi kepentingan bersama. Di sini kalau ada hasil maka sama-sama menikmati, kalau tak membawa hasil juga menjadi resiko bersama.

Dikelampauan sikap bergotong royong telah kita tumbuhkan dengan baik, mengerjakan balai adat, mesjid, jalan-jalan dikerjakan dengan sikap gotong royong. Bukan itu saja membuka kepala bandar hulu irigasi yang tiap tahun harus dikerjakan, dilangsungkan dengan secara bergotong royong.

Dalam sikap gotong royong ini perlu juga sikap arif. Orang arif itu pandai memandang, pandai membaca, pandai menduga suatu keadaan- tahu jo ereng dengan gendeng. Kita mesti pandai membaca keadaan lingkungan kita. Walaupun orang disekeliling kita tidak minta tolong, tapi kita harus yakin dia membutuhkan pertolongan dan harus kita tolong pula.

Ungkapan panjang karek mangarek, senteng bilai mambilai (panjang potong memotong, senteng tambah menambah) harus mendapat tempat terbaik bagi kita, khususnya bagi orang Minangkabau, serta ungkapan ini digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berkorong berkampung. Sebuah nilai yang bermakna kemanusiaan yang hakiki dalam sandaran hidup kita ini. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

 

Kunjungan Laseda 2019: Benteng Malborough (lanjutan)

0
Benteng Malborough

Bengkulu – Pada hari kedua (27/6) kunjungan, para peserta Laseda 2019 dibawa ke Benteng Malborough, sebuah benteng yang sangat bersejarah di Kota Bengkulu.

5. Benteng Marlborough

Benteng Marlborough adalah benteng Inggris yang terletak di Kelurahan Pegantungan. Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu. Lokasi benteng sangat strategis di antara bukit-bukit kecil di pinggir pantai Tapak Paderi. Benteng ini dibangun tahun 1714 secara bertahap selama lima tahun oleh arsitek dan para pekerja yang sengaja didatangkan dari India. Pemberian nama Fort Marlborough adalah sebagai kenangan kepada seorang komandan militer Inggris yang terkenal “The First Duke of Marlborough” (1650-1722).

Baca juga: Kunjungan Laseda 2019: dari Masjid Jamik ke Malborough

Selama pendirian benteng tercatat nama-nama penguasa Inggris keika itu, yaitu Joseph Colet (1712-1716), Theophilus Shyllinge (1716-1717), Richard Farmer (1717-1718) dan Thomas Cooke (1718-1719). Pemerintah Inggris mendirikan Fort Marlborough ini bertujuan untuk memperkuat kedudukan mereka dari ancaman kolonial Belanda, Kesultanan Banten serta untuk mengatasi kemungkinan ancaman pemberontakan rakyat yang merasa tertekan oleh politik yang mereka jalankan.

Di lingkungan benteng, dekat gerbang luar (tepatnya bagian belakang pintu gerbang sebelah kanan), terdapat tiga buah makam, yaitu makam Residen Thomas Parr yang mati terbunuh pada tanggal 23 Desember 1807 oleh rakyat Bengkulu. Kedua, makam pegawainya yang bernama Charles Murray yang berusaha menyelamatkan Parr, namun ia terkena dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia. Ketiga, tidak diketahui dan tidak ditemukan catatan yang dapat memberikan petunjuk mengenai makam itu.

Benteng Marlborough merupakan benteng batu bata berbentuk kura-kura, bagian badan kura-kura sebagai benteng dan keempat kakinya sebagai bastion. Pada bagian kepala kura-kura sebagai pintu masuk ke dalam benteng. Kompelek benteng tersebut seluas 44.100,5 ,m2 dengan panjang 2400,5 m dan lebar 170,5 m. dinding ruangan benteng terbuat dari pasangan batu karang, bata dan batu kali. Tebal dinding 1,25 m, sedangkan pintu ruangan terbuat dari kerangka besi plat denan ketebalan 15 mm, dan jeruji besi bulat dengan diameter 18 mm.

Benteng Marlborough dipergunakan sejak zaman pemerintahan Inggris, Pemerintahan Belanda dan terakhir juga dipergunakan oleh pemerintahan Indonesia. Secara kronologis sejarah Benteng Marlborough dapat dilihat sebagai berikut: tahun 1714-1719 masa pembangunan benteng, tahun 1719-1724 Fort Malrborough ditinggalkan Inggris sebagai akibat serangan rakyat Bengkulu. Tahun 1724-1825 Fort Marlborough kembali dikuasai Inggris, tahun 1825-1942 Fort Marlborough dikuasai Belanda, tahun 1942-1945 Fort Marlborough dikuasai Jepang. Tahun 1949 Fort Marlborough kembali dikuasai Belanda, tahun 1949-1983 Fort Marlborough kembali dikuasai Republik Indonesia (TNI-AD, Kodim 0407 Bengkulu Utara), dan tahun 1983-1984 Fort Marlborough dipugar pemerintah Republik Indonesia, melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Selama kunjungan, para peserta begitu antusias mengikuti dan ingin mengetahui segala informasi tentang objek-objek yang dikunjungi.

Selepas kunjungan ke objek-objek sejarah, para peserta selanjutnya dibawa ke pantai panjang untuk bersantai sejenak. Di pantai yang indah ini, para peserta bersenang-senang sejenak, berselfie  sekaligus menikmati suasana pantai. Selanjutnya panitia juga memperlombakan yel-yel para peserta yang telah disiapkan sebelumnya. (FM)

Laseda 2019 Resmi Ditutup: Anik Dwi Utami Raih Peserta Terbaik

0
Anik Dwi Utami

Bengkulu – Kegiatan Lawatan Sejarah Daerah 2019 resmi ditutup. Secara resmi acara ditutup oleh Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu R. Wahyu. DP pada Jumat, 28 Juni 2019 di Aula Hotel Wedika Bengkulu. Acara penutupan ini selakigus mengakhiri seluruh rangkaian acara Laseda 2019 yang berlangsung sejak Selasa – Jumat, 25-28 Juni 2019. Pada acara penutupan ini juga diumumkan peserta didik terbaik yaitu Anik Dwi Utami dari SMA N.10 Kaur, Bengkulu.

Baca juga: Kunjungan Laseda 2019: Benteng Malborough

Dalam acara penutupan tersebut, Kepala BPNB Sumbar mengucapkan terima kasih kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu atas sambutan dan dukungannya kegiatan Laseda 2019 bisa berjalan dengan sukses. Dia juga menyampaikan bahwa sebagai panitia, dengan dukungan Dinas tidak kekurangan sesuatu apapun.

Senada dengan itu, Kabid Kebudayaan R. Wahyu DP menyampaikan apresiasi atas acara lawatan sejarah dan pilihan Kota Bengkulu sebagai tempat pelaksanaan. Selanjutnya Dia berpesan untuk singgah sebentar berbelanja dan menikmati kuliner maupun belanja oleh-oleh di Bengkulu.

Setelah sambutan dari Kepala BPNB Sumbar, panitia selanjutnya mengumumkan peserta terbaik dari berbagai kategori. Beberapa kategori tersebut yakni.

  1. Kategori Yel-yel Terbaik
  2. Kategori Penampilan Kesenian Terbaik (diraih oleh SMA Sekayu)
  3. Postingan Medsos Terbaik (diraih oleh Edi Kurniawan)

Selain itu, panitia juga mengumumkan peserta siswa dan guru pendamping terbaik sebagai berikut:

Peserta siswa terbaik

  1. Anik Dwi Utami dari SMA N.10 Kaur, Bengkulu
  2. Ade Tri Anggraeni dari SMA N.10 Kaur, Bengkulu
  3. Salsabila Arafani Syafril Putri dari MAN 2 Padang, Sumatera Barat

Peserta guru pendamping terbaik

  1. Yuliani, S.Pd, M.Pd dari SMA N.3 Sekayu, Sumatera Selatan
  2. Okta Pratama, S.Pd dari SMA N.10 Kaur, Bengkulu
  3. Atrisno Santoso, S.Pd dari MAN 2, Padang, Sumatera Barat

Sebelum acara ditutup, terlebih dahulu panitia memberi kesempatan kepada guru pendamping terbaik dan siswa terbaik untuk menyampaikan sepatah kata kesan dan pesan selama pelaksanaan Laseda 2019. Pada kesempatan itu Yuliani mengungkapkan kebahagiaannya terlibat dalam Laseda 2019 dan berharap kegiatan-kegiatan serupa dilaksanakan di tahun-tahun mendatang.

Senada dengan itu, sebagai peserta terbaik, Anik Dwi Utami juga turut menyampaikan rasa terima kasih dan kebanggaanya menjadi bagian dari kegiatan Laseda 2019.

Di akhir acara, panitia memberikan apresiasi kepada para peserta terbaik berupa trophy dan uang pembinaan. Selanjutnya, panitia juga mengumumkan enam nama peserta didik dan tiga guru pendamping untuk diikutsertakan dalam kegiatan Lawatan Sejarah Nasional yang akan diadakan di Medan, Sumatera Utara pada 8-12 Juli 2019. Adapun peserta tersebut yakni:

  1. Anik Dwi Utami dari SMA N.10 Kaur, Bengkulu
  2. Salsabila Arafani Syafril Putri dari MAN 2 Padang, Sumatera Barat
  3. Seruni dari SMA N.1 Ujan Mas, Muara Enim, Sumatera Selatan
  4. Finola Fiftem Eka Putri dari SMA N.3 Mukomuko, Bengkulu
  5. Aka Wijaya dari SMA N.1 Pampangan, OKI Sumatera Selatan
  6. Zahida Putri dari SMA N.8 Padang, Sumatera Barat. (FM)

Rendo bangku; Kerajinan Tradisional Perempuan Kotogadang

0

Penulis: Firdaus Marbun

Kotogadang bagi sebagian besar masyarakat Sumatera Barat mungkin sudah sangat familiar. Sebuah nagari kecil di dekat Ngarai Sianok, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Nagari ini cukup terkenal, bukan hanya karena keasrian alamnya, tapi juga karena kekayaan budaya serta kualitas sumber daya manusianya. Bicara Sumber Daya Manusia, Nagari Kotogadang telah banyak melahirkan tokoh-tokoh terkenal baik di tingkat nasional maupun dunia. Sebut saja Agus Salim, Rohana Kudus, Sutan Syahrir,  dan lain-lain.

Hal lain yang membuat Kotogadang begitu terkenal adalah produk kerajinannya. Sudah sejak dahulu, Kotogadang dikenal dengan produk kerajinan seperti kerajinan perak, sulaman dan renda. Kerajinan tersebut bahkan sudah dikenal hingga manca negara. Bukan saja karena keindahan dan kehalusannya, kerajinan ini dikerjakan dengan menggunakan alat tradisional dan tenaga manusia. Kesenian perak umumnya dilakukan oleh para pria, sementara sulam dan renda dikerjakan para wanita.

Kerajinan renda oleh masyarakat Kotogadang disebut juga kerajinan rendo bangku. Penyebutan tersebut menyesuaikan dengan alat kerjanya yaitu bangku, yakni meja kecil yang dijadikan sebagai alas untuk merenda. Beberapa alat yang digunakan dalam kerajinan ini antara lain: bangku, penggulung renda, kelos (penggulung benang), pola motif, jarum pentul, pengait dan gunting. Sementara bahan utama pembuatan renda adalah benang emas.

Merujuk Refisrul (2011), renda merupakan kerajinan yang terbentuk dari jalinan benang yang dibentuk sedemikian rupa dan menjadi hiasan pada sisi-sisi selendang. Rendo bangku ini menggunakan alat-alat tradisional dengan pengerjaan mengandalkan tangan. Untuk membuat satu renda diperlukan waktu sekitar empat hari. Biasanya untuk menyelesaikan satu renda, seorang perenda harus mengerjakannya dari pagi hingga malam dengan waktu istirahat makan dan sholat.

Proses pembuatan renda dilakukan bertahap, mulai dari membuat pola, menggulung benang, memindahkan, membuat renda dan terakhir memasang renda pada selendang. Renda yang dipasang ke kedua ujung selendang disebut dengan rendo ujung. Sementara renda yang dilekatkan di sisi-sisi selendang disebut dengan rendo tapi. Motif yang biasa dipakaipun bermacam-macam tergantung kreativitas perenda, tapi umumnya berupa tumbuh-tumbuhan seperti bunga matahari, ros, melati.

Bagi masyarakat Kotogadang, kerajinan rendo begitu penting karena lekat dengan adat-istiadat. Hasil rendo umumnya ditempelkan sebagai hiasan pakaian adat seperti selendang bagi perempuan dan kain baterawai bagi laki-laki baru menikah. Selain itu, juga digunakan untuk hiasan tingkuluak yang ditempatkan pada sisi-sisi dan ujungnya. Rendo juga menjadi simbol prestise bagi seseorang. Bahkan setiap anak perempuan yang lahir pada masa lalu sudah disiapkan selendang dengan rendo untuknya.

Pada masa sekarang renda tidak lagi terbatas pada pakaian adat semata. Beberapa produk renda sudah digunakan untuk berbagai peralatan rumah tangga seperti taplak meja, seprai, alas gelas dan sebagainya.

Peran Yayasan Amai Setia

Munculnya kerajinan rendo bangku tidak lepas dari keberadaan Yayasan Amai Setia yang didirikan oleh Rohana Kuddus. Berdiri sejak 11 Februari 1911, awalnya yayasan ini dimaksudkan sebagai tempat berkumpul (Sari, 2016) perempuan Kotogadang sekaligus wadah mengatasi ketertinggalan pendidikan perempuan. Menurut Rohana Kuddus, ketertinggalan pendidikan ditengarai menjadi salah satu penyebab ketertindasan perempuan pada masa itu. Sehingga, pendirian Yayasan Amai Setia diharapkan bisa menjembatani akses pada pendidikan.

Melalui Yayasan Amai Setia, para perempuan Kotogadang  kemudian belajar membaca, menulis dan menghitung (calistung). Mereka juga diajarkan berbagai keterampilan seperti meyulam dan merenda. Hal ini untuk mendorong mereka mampu berkontribusi menopang ekonomi keluarga. Disana mereka dibentuk menjadi perempuan intelek sekaligus mampu mandiri secara ekonomi. Sang pionir Rohana Kuddus juga berpandangan bahwa selain intelektual, perempuan untuk tidak menjadi objek kekerasan maka harus memiliki kemampuan ekonomi.

Hingga kini Yayasan Amai Setia masih tetap eksis. Walau demikian cahaya kejayaan tersebut tidak lagi secerah dahulu. Kini hanya beberapa ibu-ibu yang dengan sabar menggeluti kerajinan ini di gedung yayasan. Tidak banyak perempuan yang berniat belajar kerajinan rendo. Beberapa alasan seperti waktu yang lama serta mengandalkan tangan ditengarai menjadi penyebab kurangnya animo masyarakat untuk belajar rendo bangku.

Penggunaan alat sederhana dan mengandalkan pekerjaan tangan manusia memang membuat proses pembuatan renda ini berjalan lambat. Sementara itu jika dikaitkan dengan ongkos pembuatan yang mahal, maka tentu nilai jualnya juga akan berbanding lurus. Di sisi lain, perkembangan teknologi telah dapat menghasilkan produk serupa dengan waktu yang lebih cepat dan harga yang lebih murah.

Terlepas dari kondisinya akhir-akhir ini, keberadaan rendo bangku diakui telah menjadi tonggak sejarah bagi perempuan-perempuan Indonesia Minangkabau bagi perempuan Kotogadang. Keberadaan rendo bangku tidak hanya mampu menopang ekonomi keluarga di kala sumber penghasilan utama tidak mencukupi. Tapi lebih dari itu, keberadaan rendo bangku telah mampu menjadi wadah mengubah perspektif perempuan di tengah dominasi budaya patriarkhi.

Cita-cita perempuan mandiri dan bebas dari ketertindasan sebagaimana dicita-citakan Rohana kuddus telah menambah peran penting Yayasan Amai Setia Kotogadang dan kerajinan rendo bangku. Para perempuan telah mampu berpikir kritis dan mandiri secara ekonomi melalui pendidikan dan keahlian yang dimiliki. Mereka juga menjadi contoh dan inspirasi bagi perempuan lain untuk melakukan hal yang sama bagi kehidupannya [Penulis adalah peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 10 Maret 2019

Kunjungan Laseda 2019: Dari Masjid Jamik ke Malborough

0
Foro bersama peserta Laseda 2019 dengan latar Masjid Jamik Bengkulu (26/6). Foto.FM

Bengkulu – salah satu acara yang dilakukan dalam kegiatan Lawatan Sejarah Daerah 2019 Bengkulu adalah kunjungan ke objek-objek bersejarah di Kota Bengkulu. Tidak kurang lima objek bersejarah yang dikunjungi selama dua hari berturut-turut. Objek-objek tersebut antara lain Masjid Jamik, Makam Inggris, Makam Sentot Alibasyah, Rumah Pengasingan Bung Karno, Makam Fatmawati dan Benteng Malborough. Kegiatan kunjungan ini dilakukan pada Rabu – Kamis, 26-27 Juni 2019.

Baca juga: Perlu Kreativitas Memaknai Tinggalan Sejarah

Pada hari pertama kunjungan yakni Rabun (26/6), para peserta dibawa ke empat objek sejarah yaitu Masjid Jamik, Makam Inggris, Makam Sentot Alibasyah dan Rumah Pengasingan Bung Karno. Ketiga objek tersebut sangat ikonik di Kota Bengkulu dengan rincian berikut:

  1. Mesjid Jamik

Mesjid Jamik Bengkulu terletak di Pintu Batu, di persimpangan jalan raya yang cukup ramai. Di sekitar lokasi mesjid terdapat bangunan pertokoan dan rumah-rumah makan bahkan hotel dan penginapan.

Masjid Jamik

Pada tahun 1938, Ir. Soekarno diasingkan ke Bengkulu oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada awal kedatangannya ke Bengkulu Bung Karno mengadakan pendekatan pada masyarakat Bengkulu yang mayoritas beragama Islam. Bung Karno sering berkeliling kota untuk mengenal lebih dekat keadaan Bengkulu. Pada saat berkeliling kota itu ia memperhatikan kondisi mesjid-mesjid yang ada di kota Bengkulu. Pada akhirnya Bung Karno merancang gambar bangunan dalam rangka perbaikan sebuah mesjid yang terletak di tengah kota Bengkulu yang bernama mesjid Jamik.

Bung Karno sebagai seorang arsitek tidak merubah dan menambah semua bangunan mesjid yang lama, tetapi sebagian besar tetap dipertahankan seperti dinding yang ada hanya ditinggikan 2 meter, dan juga lantai ditinggikan 30 cm. Adapun yang tembok oleh Bung Karno adalah bagian atap dan tiang-tiang mesjid.

Bangunan masjid Jamik yang ada sekarang merupakan bangunan mesjid dengan konstruksi permanen, terdiri atas tiga bagian yang saling menyatu, yaitu bangunan inti, bangunan serambi dan bangunan tempat wuduk/kamar mandi. Mesjid Jamik mempunyai bentuk atap khas, tidak memakai kubah sebagaimana mesjid-mesjid lainnya.

  1. Makam Inggris

Komplek makam Inggris terletak di Kelurahan Jitra. Komplek ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah Benteng Marlborough, karena menurut catatan Inggris di Bengkulu telah ribuan orang meninggal akibat perang, atau penyakit dan sebagian diantaranya dimakamkan di komplek pemakaman Jitra ini.

Makam Inggris

Komplek pemakaman ini mempunyai luas 4.343 m2 dan diperkirakan makam orang asing berjumlah 127 buah yang berukuran kecil maupun besar. Bentuk makam bervariasi. Ada yang berbentuk limas dan ada pula yang tidak memiliki atap. Pada tubuh makam juga ada ditemui pola hias yang bervariasi dan ada yang menonjol ciri khas Eropa, yang memiliki pilar dan bermotif bunga. Makam ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan baik dalam negeri maupun mancanegara.

  1. Makam Sentot Alibasyah

Makam Sentot Alibasyah terletak di Kelurahan Bajak, Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu. Makam tersebut terletak di kompeleks pemakaman umum. Luas keseluruhan lebih kurang 400 m2. Sentot Alibasyah adalah seorang Panglima Perang Diponegoro dalam melawan kolonial Belanda di Pulau Jawa. Setelah Pangeran Diponegoro dan Sentot Alibasyah ditangkap, kemudian Sentot Alibasyah dikirim ke Sumatera Barat. Karena Sentot Alibasyah memberikan dukungan kepada Kaum Paderi, maka Sentot Alibasyah ditarik kembali ke Jawa dan disingkirkan ke Cianjur.

Makam Sentot Alibasyah

Di Batavia ia diizinkan oleh Belanda untuk menunaikan ibadah haji. Sepulangnya dari Mekkah (1833), ia langsung menjalani putusan pengadilan yaitu, dibuang ke Bengkulu. Pangeran Alibasyah Prawiradiraja, yang lebih dikenal dengan nama Sentot Alibasyah, dengan surat pengusulan dan Gubernur Jenderal dalam Dewan tertanggal 12 Desember 1843 La N dibuang ke Bengkulu.

Sampai saat ini riwayat Sentot Alibasyah selama berada di Bengkulu belum dapat diungkapkan secara baik. Dari data yang ada hanya diungkapkan ia meninggal di Bengkulu pada tanggal 17 April 1855 dan dimakamkan di Kelurahan Bajak, Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu (Lokasi makam Sentot Alibasyah dahulunya disebut juga “Surau Lamo”). Setiap saat makam Sentot Alibasyah banyak dikunjungi oleh wisatawan asing maupun domestik.

  1. Rumah Kediaman Bung Karno

Rumah Bung Karno  terletak di tengah kota Bengkulu, tepatnya di jalan Sukarno Hatta Kelurahan Anggut Atas Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu. Tidak diketahui kapan rumah ini dibangun. Awalnya rumah ini adalah milik seorang pedagang Tionghoa yang bernama Lion Bwe Seng yang disewa Belanda untuk Bung Karno selama pengasingan. Hingga sekarang ciri-ciri rumah masih tetap dipertahankan seperti lobang angin yang terdapat di atas jendela dan pintu bermotif huruf/ungkapan dalam bahasa cina.

Rumah Kediaman Bung Karno

Rumah tersebut cukup luas dengan ukuran 9 x 18 m dan mempunyai luas halaman seluruhnya 40.434 m2. Bangunan rumah tersebut terdiri dari beranda depan, kamar kerja, kamar tidur, beranda belakang, dapur dan sebuah sumur. Di dalam rumah terdapat perlengkapan atau perabot rumah tangga yang dirancang oleh Bung Karno, pakaian kelompok sandiwara (tonil monte Carlo) dan sepeda yang pernah yang digunakan oleh Sukarno selama di pengasingan di Bengkulu.

Pada saat Bung Karno menempati rumah itu, selalu dijaga ketat oleh petugas kepolisian Belanda. Siapapun tamu beliau terlebih dahulu harus melapor dan minta izin kepada petugas penjagaan. Ruang gerak Bung Karno dibatasi. Meskipun demikian, Bung Karno masih lolos untuk berhubungan dengan tokoh-tokoh politik lainnya seperti Husni Tamrin, Hamka, dan Kyai Haji Mansyur.

Bung Karno menempati rumah ini sejak pengasingannya di Bengkulu yakni tahun 1938 hingga 1942. Selama dalam pengasingan, Bung Karno mempunyai dua orang pembantu, yaitu Miin dari Sunda dan Fadil dari daerah Lebong. (bersambung) (FM)

Perlu Kreativitas Memaknai Tinggalan Sejarah

0

Bengkulu – Narasumber pembekalan teknis peserta Lawatan Sejarah Daerah 2019 menekankan  perlunya kreativitas masyarakat khususnya generasi muda untuk memaknai tinggalan sejarah sehingga tinggalan tersebut lebih bermakna. Hal ini disampaikan kedua narasumber Laseda yakni Agus Setiyanto, sejarawan Bengkulu dan Kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman di Aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu pada  Rabu (26/6).

Baca juga: Lawatan Sejarah Daerah 2019 Resmi Dibuka

Agus Setiyanto yang membawakan materi berjudul Peninggalan Sejarah dan Budaya bagi Kehidupan Masyarakat menyatakan bahwa ada kecenderungan generasi muda sekarang jenuh terhadap nilai-nilai lama, krisis identitas, daya saing nilai lama lemah dan daya tarik nilai baru serta masuknya nilai-nilai pragmatis.

Untuk itu perlu melakukan rehistori dan rekulturisasi, dimana upaya ini bertujuan untuk membentuk kesadaran identitas, kecintaan terhadap nilai-nilai lama, kebanggaan terhadap nilai-nilai lama dan selanjutnya mendorong rasa memiliki terhadap nilai-nilai lama tersebut.

Lebih lanjut dia menambahkan bahwa tujuan itu bisa dicapai dengan cara-cara kreatif memaknai tinggalan sejarah dengan implementasi kesadaran identitas, menggali kearifan lokal, menumbuhkan semangat retradisionalisasi, mempertahankan local genius dan melalui pendekatan humanihora.

Suarman, sebagai narasumber kedua juga mengamini pendekatan kreatif tersebut. Dia juga menambahkan bahwa ide-ide kreatif dapat diimplementasikan dalam hal publikasi peristiwa maupun objek sejarah sehingga semua orang dapat belajar dan mengenali identitasnya. (FM)

Lawatan Sejarah Daerah 2019 Resmi Dibuka

0

Bengkulu – Lawatan Sejarah Daerah 2019 secara resmi dibuka. Acara pembukaan dilaksanakan pada 26 Juni 2019 di aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu di Jl. S. Parman No.7 Kota Bengkulu. Acara ini dibuka oleh Gubernur Bengkulu yang diwakili Asisten Administrasi Umum Provinsi Bengkulu H. Gotri Suyatno. Turut hadir dalam acara pembukaan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, Kepala Taman Budaya, Kepala Museum, Ketua BMA Bengkulu dan Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat serta panitia, peserta dan tim juri Laseda 2019.

Acara pembukaan dimulai dengan pembacaan ayat suci Alquran oleh M.Reyhan Pratama F, menyanyikan lagu Indonesia Raya dipimpin oleh Agmunisa Suci Oktira, Laporan Kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman dan pembukaan secara resmi oleh Gubernur Bengkulu yang diwakili Asisten Administrasi Umum H. Gotri Suyatno.

Baca juga: Pembekalan Peserta Laseda 2019

Kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman dalam laporannya menyatakan bahwa tema Laseda 2019 adalah Melacak Warisan Sejarah dan Budaya untuk Mempererat Keberagaman Bangsa. Hal ini dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai sejarah budaya sehingga dapat mempererat persatuan bangsa. Dia juga menyampaikan bahwa pemilihan Bengkulu sebagai lokasi lawatan lebih dikarenakan Bengkulu ikut mewarnai sejarah Indonesia yang ditandai dengan banyaknya objek-objek sejarah di Bengkulu.

Suarman selanjutnya melaporkan peserta Laseda 2019 berjumlah 50 orang, terdiri dari 40 peserta didik dan 10 orang guru pendamping. Seluruh peserta berasal dari sekolah-sekolah yang ada di tiga provinsi wilayah kerja BPNB Sumbar. Adapun asal sekolah para peserta pada tahun ini yakni MAN 2 Padang, SMA N.8 Padang, SMA N.1 Ujanmas, Muara Enim, SMA N.2 Unggulan Sekayu, SMA N.20 Palembang, SMA N.3 Mukomuko, SMA N.10 Kaur (pentagon), MAN 1 Padang, SMA N.1 Kepahiang, SMA N.1 Pampangan, SMK N.9 Padang dan SMK N.1 Padang. Dia selanjutnya berharap para peserta laseda menjadi duta sejarah di masa mendatang.

Sementara dalam sambutan Gubernur yang disampaikan Gotri Suyatno menyatakan sangat mendukung pelaksanaan Laseda 2019. Dia sekaligus mengutip pernyataan Soekarno tentang JASMERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Dia juga berharap melalui kegiatan laseda dapat menghasilkan tumbuhnya semangat apresiasi generasi muda pada sejarah, memberi informasi tentang sejarah, membuka dan menumbuhkan wawasan generasi muda tentang sejarah serta dapat memperkenalkan tokoh-tokoh sejarah kepada generasi muda.

Seperti yang diinformasikan sebelumnya, lawatan sejarah merupakan kegiatan rutin Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat yang dilaksanakan sekali setahun. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menginternalisasikan nilai-nilai sejarah dan budaya kepada peserta didik. Sehingga sasaran kegiatan ini adalah peserta didik tingkat SMA.

Setelah pembukaan, selanjutnya peserta menerima materi sejarah dari beberapa narasumber seperti Agustiyanto, sejarawan Bengkulu dan Drs. Suarman, kepala BPNB Sumbar. Kegiatan pasca materi narasumber berlanjut dengan kunjungan ke berbagai objek-objek sejarah yang ada di Kota Bengkulu. (FM)

Pembekalan Peserta Laseda 2019

0

Bengkulu – Peserta lawatan sejarah daerah 2019 telah tiba di Kota Bengkulu. Sebanyak 40 peserta didik dan 10 guru dari tiga provinsi berkumpul di Hotel Wedika Kota Bengkulu. Panitiapun memberikan pembekalan kepada peserta sebelum seluruh rangkaian acara Laseda digelar. Pembekalan ini diadakan di aula Hotel pada malam Selasa (25/6) yang dipimpin oleh ketua panitia Drs. Ajisman. Hadir dalam pembekalan tersebut yaitu para peserta, panitia dan tim juri.

Hal-hal yang disampaikan dalam pembekalan tersebut terutama berkaitan dengan disiplin para peserta selaama kegiatan berlangsung. Selain itu, panitia juga menjelaskan jadwal dan teknis pelaksanaan acara dari pembukaan hingga penutupan acara.

Baca juga: Pemberangkatan Peserta Lawatan Sejarah Daerah 2019

Adapun rangkaian acara pelaksanaan laseda 2019 yakni:

  1. Pembukaan di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
  2. Pembekalan oleh narasumber
  3. Presentasi makalah oleh pendidik
  4. Kunjungan ke objek-objek bersejarah
  5. Presentasi makalah oleh peserta didik
  6. Pelaporan hasil kunjungan
  7. Penampilan kesenian
  8. Penutupan sekaligus penyerahan apresiasi

Adapun  obyek-objek sejarah yang akan dikunjungi pada laseda kali ini antara lain Masjid Jamik, Makam Inggris, Rumah Pengasingan Bung Karno, Rumah Fatmawati, Museum Bengkulu, Makam Sentot Alibasyah dan Benteng Malborough.

Seluruh rangkaian acara tersebut akan dimulai Rabu (26/6) dengan pembukaan acara di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu. Acara pembukaan rencananya akan dilakukan langsung oleh Gubernur Bengkulu.

Pada acara pembekalan tersebut, panitia menyampaikan bahwa peserta akan dinilai dari berbagai aspek selama Laseda. Beberapa aspek tersebut yakni makalah, keaktifan dan perilaku. Panitia juga menyampaikan bahwa tiga peserta dengan makalah terbaik akan diberikan apresiasi. Adapun kegiatan-kegiatan yang diberikan apresiasi oleh panitia yakni makalah terbaik, kelompok terbaik, penampilan kesenian terbaik dan guru terbaik.

Selanjutnya pada akhir acara nanti, panitia akan memilih dua orang peserta laseda terbaik dari tiap provinsi dan masing-masing satu guru pembimbing untuk mewakili daerahnya ke acara Lawatan Sejarah Nasional 2019. Rencananya Lasenas ini akan diadakan di Sumatera Utara pada 8 – 12 Juli 2019. (FM)

Pemberangkatan Peserta Lawatan Sejarah Daerah 2019

0
Pemberangkatan peserta laseda

Padang – Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat akan melaksanakan Lawatan Sejarah Daerah 2019. Kegiatan akan dilaksanakan pada 25-28 Juni 2019 di Kota Bengkulu. Hari ini, Senin (24/6) panitia dan peserta dari Sumatera Barat berangkat dari Kota Padang ke Bengkulu. Kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman secara langsung memimpin pemberangkatan peserta dari kantor Jl. Belimbing No,16 Kuranji Padang.

Acara pemberangkatan dimulai dengan pengantar dari ketua panitia Drs. Ajisman, kata sambutan sekaligus pemberangkatan dari Drs. Suarman serta doa  yang dipimpin oleh salah seorang peserta didik.

Baca juga: Mati Samuik dek Manisan Jatuah Kabau dek Lalang Mudo

Suarman, saat pemberangkatan menyampaikan harapannya agar selama dalam perjalanan tidak mengalami hambatan apapun. Demikian juga dari mulai acara hingga kelar senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Dia juga menekankan agar peserta khususnya yang berasal dari Sumatera Barat agar menjaga nama baik daerah sebagai pribadi-pribadi yang beradab.

Kegiatan Laseda, merupakan kegiatan tahunan dalam upaya menginternalisasikan nilai sejarah dan budaya kepada peserta didik. Dalam kegiatan ini, peserta didik akan dikenalkan objek-objek serta peristiwa sejarah yang terjadi di suatu daerah. Sehingga kegiatan ini dilaksanakan secara bergilir di tiga wilayah kerja BPNB Sumatera Barat yakni Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Bengkulu  dan Provinsi Sumatera Selatan.

Pada tahun ini, kegiatan Laseda dipusatkan di Provinsi Bengkulu, tepatnya di Kota Bengkulu. Sebanyak 50 orang peserta yang terdiri dari 40 peserta didik dan 10 guru yang berasal dari 12 SMA di tiga provinsi akan berkumpul selama pelaksanaan berlangsung.

Rangkaian acara yang akan dilaksanakan pada Laseda kali ini yakni pembukaan, pembekalan narasumber, kunjungan ke objek-objek bersejarah, presentasi makalah dan penilaian, serta penutupan. Panitia akan memberi apresiasi kepada tiga orang pemakalah terbaik. Selain itu, tiga orang terbaik dari masing-masing provinsi juga akan diutus ke acara Lawatan Sejarah Nasional yang akan diadakan di Sumatera Utara pada bulan Juli mendatang. (FM)

Mati Samuik dek Manisan, Jatuah Kabau dek Lalang Mudo

0

Penulis: Undri

Berhati-hati dan jangan cepat sekali percaya akan bujukan mulut manis dan budi bahasa yang baik. Lekas percaya kepada segala sesuatu yang hanya dilihat lahirnya belaka- fisiknya- sebab bisa saja kenyataannya tak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Terkadang sulit membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, siapa yang tulus dan siapa yang menipu. Terperdaya akan hal ini kita bisa jadi korban nantinya –mati samuik dek manisan, jatuah kabau dek lalang mudo (mati semut karena manisan, jatuh kerbau karena rumput muda).

Semut suka sekali dengan gula atau manisan. Dimana ada gula, ada manisan maka dengan cepatnya semut akan berkumpul pula disana. Akibat terperdaya oleh manisnya gula dan nikmatnya madu. Berkejar-kejar pula semut tersebut. Semut ada yang terpeleset masuk ke dalam genangan manisan hingga akhirnya terperangkap dan mati.  Demikian pula halnya kerbau yang suka sekali dengan rumput muda. Bila melihat rumput muda atau lalang  maka kerbau itu memakannya sampai sekenyang-kenyangnya. Bahkan lalang yang tumbuh ditepi tebingpun asal muda akan diusahakan untuk dapat dimakannya sekenyang-kenyang perutnya. Oleh karena badan kerbau itu cukup berat maka runtuhlah tebing dan jatuhlah ia ke dalam jurang.

Sebuah nasehat bagi kita untuk mengendalikan hawa nafsu. Bila kita terlalu memperturutkan hawa nafsu maka kita bisa terjerumus karenanya. Kadang membuat kita sulit membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, siapa yang tulus dan siapa yang menipu. Irama hidup yang harus menjadi pilihan bagi kita.

Sebab hawa nafsu adalah sebuah  perasaan atau kekuatan emosional yang besar dalam diri seorang manusia yang perlu dikendalikan; berkaitan secara langsung dengan pemikiran atau fantasi seseorang. Hawa nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu objek atau situasi demi pemenuhan emosi tersebut.

Terkadang sebagian orang menganggap hawa nafsu sebagai “syaitan yang bersemayam di dalam diri manusia,” yang bertugas untuk mengusung manusia kepada kefasikan atau pengingkaran. Mengikuti hawa nafsu akan membawa manusia kepada kerusakan. Akibat pemuasan nafsu jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. Hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang bahkan kehancuran.

Bagaimana kita memahami tentang hawa nafsu tersebut. Secara dasarnya setiap orang diciptakan dengan potensi diri yang luar biasa, tetapi hawa nafsu dapat menghambat potensi itu muncul kepermukaan. Potensi untuk menciptakan keadilan, ketenteraman, keamanan, kesejahteraan, persatuan dan lainnya. Namun karena hambatan  nafsu yang ada pada diri seseorang potensi-potensi tadi tidak dapat muncul kepermukan.

Kita sadari usaha untuk mengendalikan nafsu ini bukan perkerjaan yang mudah. Karakter nafsu yang tak tampak dan kerapkali membawa efek kenikmatan yang amat besar  menjadikannya sebagai musuh paling sulit untuk diperangi. Rasulullah SAW sendiri mengistilahkan ikhtiar pengendalian nafsu ini dengan “jihad”, yakni jihâdun nafsi. Bahkan diibaratkan nafsu itu sebagai hewan beringas dan nakal. Untuk menjinakkannya, menjadikan hewan itu lapar dan payah merupakan pilihan strategi yang efektif. Selama proses penundukkan itu, nafsu mesti disibukkan dengan hal-hal positif agar semakin jinak dan tidak buas bagi seseorang dalam kehidupan ini.

Memposisikan perihal kehati-hatian kepada bujukan mulut yang manis dan budi bahasa yang baik itu seseorang nampaknya penting bagi kita. Jangan terperdaya kepada bentuk seseorang namun jauh lebih dari itu, yakni hati yang suci penting untuk dimaknai.  Terkecoh kita bila bentuk fisik saja yang kita pahami.  Sejalan dengan itu dalam petitih Minangkabau dijelaskan  gadang bungkuih indak barisi, gadang suok indak manganyang-besar bungkus tidak berisi, besar suap tidak mengenyang. Merupakan nasehat atau anjuran agar jangan lekas percaya kepada segala sesuatu yang hanya dilihat lahirnya belaka, sebab bisa saja kenyataannya tak sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Untuk itu mari kita mensucikan diri atau mengendalikan hawa nafsu, berjalan di jalur-jalur yang benar saja. Jika hal tersebut kita ikuti maka kita akan selamat dan terhindar dari korbannya dari hawa nafsu yang tidak terkendali tersebut.

Jadi –mati samuik dek manisan, jatuah kabau dek lalang mudo (mati semut karena manisan, jatuh kerbau karena rumput muda) merupakan sebuah nasehat bagi kita supaya  kita agar tidak terperdaya oleh mulut manis, penuh janji-jani tapi tidak ditepati. Sebuah keharusan yang harus kita pahami dan laksanakan bila kita tidak ingin jadi orang yang merugi dikemudian hari nantinya. Mudah-mudahan. [Penulis adalah peneliti Balai pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Filosofi Kain Panjang

0

Penulis: Ernatip

Kain dan manusia saling terkait sejak lahir hingga ajal datang menjemput, disimbolkan dengan pambaduang dari kain. Bayi baru lahir setelah dibersihkan lalu dibedung menggunakan kain agar tidurnya nyenyak. Hingga tiba waktunya manusia itu meninggal dunia kain digunakan untuk menutup jenazahnya. Kain lazim digunakan oleh manusia dalam kesehariannnya. Kain dalam pemahaman orang kini adalah kain yang bukan pakaian sehari-hari, melainkan kain yang dipakai untuk kegitan tertentu. Kain itu banyak jenisnya, ada yang disebut dengan kain sarung dan kain panjang. Kain sarung bentuknya seperti karung ada namaya sarung plikat yang lazim dipakai oleh kaum laki dan untuk shalat bagi kaum perempuan. Selain itu ada pula namanya sarung batik jao yang lazim dipakai oleh kaum perempuan. Sedangkan kain panjang adalah kain yang berukuran panjang hingga menjapai 3-4 meter.

Kain panjang berasal dari bahan batik yang memilki banyak jenis misalnya batik tulis, batik tanah liat, batik cetak dan lainnya. Kain panjang memiliki banyak warna dan motif yang beragam. Kain sarung dan kain panjang mempunyai nilai yang berbeda dalam kehidupan manusia, walaupun dalam keseharian sama-sama digunakan. Secara kasat mata kain panjang menempati posisi yang khusus dan bahkan termasuk legitimasi adat pada daerah tertenu seperti Minangkabau. Orang Minangkabau menempatkan kain panjang sebagai peralatan yang bernilai tinggi dan sebagai penghormatan. Hal ini terlihat dari pada pelaksanaan upacara adat perkawinan dan upacara adat lainnya. Kain panjang dijadikan sebagai alas kasur tempat duduk penghulu dan ninik mamak pada upacara adat yag sedang berlangsung. Selain itu kain panjang pun ada juga digunakan untuk penutup bagian tertentu dari rumah di saat berlangsungnya perhelatan.

Kain panjang dalam adat Minangkabau termasuk atribut adat yang ada semenjak sesorang itu dilahirkan hingga akhir hayatnya. Setiap fase yang dilalui oleh seseorang itu kain panjang menjadi barang yang tak terabaikan. Kain panjang menjadi barang bawaan yang diperuntukan untuk seseorang sebagai bentuk kasih sayang dan hubungan silaturahmi. Ikatan keluarga semakin kuat setelah lahirnya generasi baru yang ditandai dengan datang bersilaturahmi.

Fase pertama kehidupan manusia atau sebelum lahir kain panjang telah disediakan yang nantinya akan digunakan untuk bedung maupun pandukuang.  Semenjak masa bayi kain panjang telah dipakai oleh manusia sebagai pelindung dari kedinginan, membuat tubuhnya hangat karena dibedung. Kondisi seperti ini membuat ia tertidur pulas sampai berjam-jam. Selain itu kain panjang pun digunakan sebagai pandukuang bayi. Menggendong bayi menggunakan kain panjang terasa lebih leluasa baik si bayi maupun yang menggendongnya. Bayi yang digendong bisa dibaringkan karena kain yang lebar mampu menutup seluruh tubuh. Begitu juga orang yang menggendong terasa enteng karena kekuatan gendongan terletak pada bahu bukan pada tangan. Kedua tangan bisa melenggang dan bayi tetap nyaman dalam gendongan bahkan sering ia tertidur.

Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa kain panjang begitu berarti bagi manusia mulai sejak bayi. Oleh sebab itu dalam adat Minangkabau tradisi mancaliak anak umumnya orang membawa kain panjang. Tradisi mancaliak anak dilakukan oleh pihak bako anak (nenek dari ayah) beserta anggota keluarganya. Pada acara ini biasanya nenek dan anggota keluarga lainnya datang beramai-ramai melihat cucu baru lahir. Rombongan itu terutama nenek dan keluarga terdekat membawa kain panjang, di samping bawaan yang lain seperti emas dan lainnya. Barang bawaan berupa kain panjang merupakan adat turun temurun. Sedangkan emas atau yang lainnya adalah penyerta adat karena adanya kemampuan keluarga yang bersangkutan.

Melewati fase masa bayi, kain panjang pun masih menjadi peralatan adat yang diberikan kepada seseorang. Memasuki masa peralihan yakni menikah kain panjang sebagai pengisi piring hantaran. Pada prosesi adat bertunangan yang ditandai dengan istilah maantaan nasi lamak. Maantan nasi lamak adalah prosesi adat dalam rangka penentuan waktu pelaksanaan pernikahan. Maantaan nasi lamak dilakukan oleh pihak perempuan ke rumah pihak laki-laki. Selain itu nasi lamak juga diantarkan ke rumah bako, mamak anak yang akan menikah tersebut. Piring nasi lamak ini nantinya oleh yang menerima akan diisi dengan bermacam-macam barang salah satu nya adalah kain panjang.

Adat seperti tersebut sangat kental terlihat pada masyarakat di Kota Padang. Hampir setiap waktu dapat disaksikan adanya arak-arakan orang mancaliak anak, orang maantaan piriang nasi lamak. Prosesi adat tersebut menjadikan kain panjang sebagai adat yang harus diisi. Oleh sebab itu tidak heran pada acara tersebut ada puluhan bahkan ratusan helai kain panjang yang diterima oleh keluarga yang bersangkutan. Kain panjang pemberian itu terutama dari pihak bako mempunyai nilai yang sangat dalam, adat bako terhadap anak pisang. Hubungan bako dan anak pisang tidak akan putus sampai akhir hayat walaupun “ayah” nantinya telah tiada.

Kain panjang begitu berarti dalam kehidupan manusia tidak hanya semasa hidup setelah meninggal dunia pun demikian. Orang yang telah meninggal dunia jasatnya disemayamkan ditutupi menggunakan kain panjang. Adat kematian berbeda-beda setiap daerah di Minangkabau, disebut jiga dengan istilah adat salingka nagari. Adat kematian di Kota Padang, penyelenggaraan jenazah tidak hanya menurut ajaran agama Islam yakni dimandikan, dikapani, disahalatkan dan dikuburkan. Penyelenggaraan jenazah disertai adat yang berlaku semenjak lama yakni adanya pasambahan dan aturan adat lainnnya terkait dengan memandikan jenazah. Hubungan keluarga baik bertali darah maupun bertali adat terlihat pada prosesi penyelenggaraan jenazah tersebut.

Berkaitan dengan hal itu, pada hari kematian kain panjang sangat diperlukan. Kain panjang digunakan mulai dari jenazah disemayamkan, dimandikan, dikapani sampai kepemakaman. Begitu banyak kain panjang yang terpakai maka dihari kematian tersebut kaum kerabat terdekat biasanya membawa kain panjang. Kain panjang itu lazim disebut dengan istilah kain alas tilam. Kain alas tilam adalah istilah yang digunakan untuk acara kematian yang terdiri dari beberapa helai kain panjang. Kain alas tilam digunakan sebagai alas jenazah ketika dibawa kepemakaman.

Berdasarkan kenyataan tersebut, ternyata kain panjang sangat erat kaitannnya dengan aktivitas manusia. Terlepas dari untuk pengisi adat kain panjang pun banyak digunakan dalam keseharian. Bagi orang yang mempunyai anak bayi kain panjang bisa juga digunakan untuk ayunan atau buayan di samping untuk menggendong.  Kain panjang disebut juga dengan kain pandukuang karena digunakan untuk mandukuang (menggendong) anak. Sesungguhnya dalam situasi tertentu yang didukuang tidak hanya manusia tetapi barang bawaan berupa benda ada yang didukuang.  Selain itu kain panjang dapat digunakan sebagai alat bantu dalam suatu pekerjaan seperti untuk sangguluang. Pada masa dahulu baik kaum laki-laki maupun perempuan sering menggunakan sangguluang untuk membawa barang yang berat dengan cara dijujung di atas kepala. Sangguluang digunakan sebagai alas kepala agar barang bawaan mudah diletakan dengan baik.

Kegunaan lain dari kain panjang adalah sebagai pakain sehari-hari, maksudnya dijadikan sebagai selimut tidur. Kain panjang banyak digunakan untuk selimut karena ukurannnya yang panjang sehingga bisa menutupi seluruh tubuh. Pada masa dahulu orang lazim menggunakan kain panjang untuk selimut tidur, dua atau tiga orang anak-anak bisa diselimuti dengan satu helai kain panjang. Begitu juga remaja laki-laki yang pergi tidur ke surau atau tidur bersama kawan-kawannya berselimutkan kain panjang.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kain panjang mempunyai makna yang sangat dalam bagi manusia. Ia lahir dinanti dengan kain pajang dan ketika meninggal dunia pun jenazahnya ditutup kain panjang diantar kepemakaman. Hal ini menandakan bahwa kain panjang termasuk pakaian manusia yang akan selalu ada sepanjang hayatnya. Memang diakui saat ini bahwa kain yang fungsinya sama dengan kain panjang cukup banyak. Misalnya untuk bedung bayi, menggendong bayi, selimut tidur. Tetapi semua itu tidak sama dengan kain panjang, untuk acara adat di Minangkabau masih menggunakan kain panjang sebagaimana yang diwarisi oleh para tetua dahulu [Penulis adalah Peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 24 Februari 2019

Baju Kurung Basiba: Cerminan Jati Diri Perempuan Minangkabau

0
Silvia Devi

Penulis: Silvia Devi

Pakaian adalah salah satu hasil kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat dimana saja berada. Pakaian dikenakan sesuai dengan kondisi lingkungan dan juga nilai adat, norma dan agama yang memang dipatuhi oleh tiap kelompok masyarakat. Pakaian tidak hanya tidak hanya sebagai penutup tubuh saja melainkan sebagai lambang status seseorang dalam masyarakat dan  merupakan perwujudan “rasa malu”,  sehingga berusaha menutup segala bagian tubuh.

Bagi masyarakat Minangkabau yang memiliki falsafah hidup Adat Basandi Syara Syara Basandi Kitabullah, maka pakaian harus menutup aurat. Namun sebelum masuk ajaran Islam di Minangkabau maka pakaian yang dikenakan oleh perempuan Minangkabau terlihat seperti pakaian Jawa dan Bali yang dikenal dengan sebutan kemben. Seperti yang diungkapkan oleh Fatimah (2018) bahwa kemudian bentuk pakaian perempuan Minangkabau mengalami perubahan semenjak masa Paderi 1803 (Pembaruan Islam I) akibat adanya akulturasi dengan bangsa India, Timur Tengah, Cina dan Melayu. Bentuk-bentuk pakaian pada masa itu berbentuk jubah, kerudung dan cadar. Barulah pada fase kedua, dikenal sebagai masa Pembaharuan Islam Awal abad ke-20 yang ditandai dengan kepulangan tokoh Islam antara lain Syech Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Syekh Ibrahim Musa. Para tokoh ini kemudian mengembangkan paham pembaharuan yang berbeda dengan Wahabi abad ke-19. Pada awal abad ke-20 pakaian Islam Wahabi berubah menjadi pakaian baju kurung dengan penutup kepala. Model abad ke 20, hampir sama bentuknya dengan pakaian perempuan Minangkabau yang berkembang sekitar tahun 1682. Masih menurut Fatimah (2018) dikatakan bahwa munculnya baju kurung basiba dipopulerkan  Perguruan  Rahmah, tidak lagi mengikuti model Paderi abad ke-19. Bedanya dengan kedatangan Islam pertama  yang dipengaruhi oleh pakaian dari Cina yang biasanya dibuat pendek kini diperpanjang sampai kebawah panggul.

Sebagai masyarakat yang memegang falsafah Adat Basandi Syara Syara Basandi Kitabullah, maka baju kurung basiba salah satu bentuk perwujudannya. Hal ini dikarenakan baju ini menutup aurat dan longgar. Pakaian ini dikenakan lengkap dengan tingkuluak dan kain jao. Tidak semata-mata longgar melainkan memiliki makna yang sangat terkait dengan kebudayaan Minangkabau.

Adapun makna pada bagian-bagian dari kekhasan baju kurung basiba, seperti yang diungkapkan Fatimah (2018) yakni :1) Bagian siba. Siba batanti  baliak balah, disisiak makau ka amasan. Secara fisik siba menyambung dua kubu dan belakang. Menggambarkan kemampuan perempuan Minangkabau untuk menyambung dua kubu yang bertolak belakang. Perempuan minangkabau harus mampu menjadi mediator, penengah, fasilitator, penyambung lidah dua kaum yang bertolak belakang.2) Bagian kikiek.  disebut juga daun budi merupakan pelindung ketiak agar tidak terlihat (berbeda dengan baju you can see). Kikiek mencerminkan bagaimana seorang perempuan Minangkabau memiliki fungsi menutupi malu. Mamakai raso jo pareso, manaruah malu jo sopan. Yang juga bermakna adat mamakai, dipakai siang jo malam yang berarti dimanapun berada perempuan Minangkabau tetap             berpedoman pada adat basandi syara’, syara’ basandi  kitabullah.3) Baju berbentuk kurung, yakni baju yang longgar berbentuk kurungan yakni kain pandindiang miang, Ameh pandindiang malu.Artinya pakaian bagi orang minang adalah sebagai pelindung tubuh. Pakaian juga sebagai penutup malu. Perempuan Minangkabau  menutup malu dengan  memakai pakaian yang bersifat mengurung tidak menampakkan lekuk tubuh.4). Lengan Lapang. Mengandung pepatah tagak baapuang jo aturan, baukua jangko  jo jangka. Artinya segala tindak tanduk perempuan Minangkabau harus  sesuai dengan aturan, pandai membawa diri dalam kondisi apapun, menjaga sopan santun. Adapun bentuk lengannya dibiarkan lepas sampai pergelangan tangan agar memudahkan perempuan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari 5).Leher tanpa krah Lihianyo lapeh tak  bakatuak, babalah sainggo dado.Leher berfungsi untuk menempatkan aksesoris. Bagi permpuan Minangkabau, memakai aksesoris dalam menghadiri acara-acara tertentu akan mencerminkan bagaimana kondisi keluarga dan kaumnya.

Baju kurung basiba dikenal sebagai pakaian adat perempuan Minangkabau. Secara definisi baju kurung basiba menurut Imelda (2016) adalah pakaian adat  khas perempuan Minangkabau yang bentuknya longgar dan panjang sampai ke lutut. Mempunyai siba, kikik pada ketiak dan lengannya panjang sampai pergelangan tangan, leher tanpa kerah dan bagian depan  sedkit dibelah sebatas dada.

Adapun pepatah minang terkait pakaian ini yakni : “babaju kuruang gadamg langan, paapuih miang dalam kampuang, pangipeh angek nak nyo dingin, Siba batanti baliak balah, basisiak makau ka amasan,  Gadang basalo jo nan ketek, Tando rang gadang bapangiriang, Tagak baapuang  jo aturan, Baukua jangko jo jangkau, Duduak baagak bainggoan, lihianyo lapeh tak bakatuak, babalah sainggo dado, Rang gadang pahamnyo lapang, rang cadiak paham salero”.

Fenomena saat ini

Namun yang terjadi pada saat ini adalah banyak perempuan Minangkabau yang tak lagi mengetahui apa itu baju kurung basiba. Besarnya pengaruh model pakaian yang sangat mudah didapatkan dari kemajuan teknologi menyebabkan mereka lebih merasa bangga menggunakan model pakaian di luar daerahnya. Bahkan meski telah tahu bahwa itu menampakkan aurat mereka tetap saja mengenakannya dengan rasa bangga.

Kenyataan ini tidak bisa dibiarkan karena akan sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat Minangkabau. Terlebih perempuan Minangkabau adalah limpapeh rumah nan gadang.  Limpapeh adalah tiang tengah sebuah bangunan, pusat segala kekuatan tiang-tiang lainnya. Jadi maknanya bahwa perempuan di Minangkabau merupakan tiang kokoh dalam rumah tangga. Jika tiang itu rusak tergerus oleh kuatnya arus modernisasi zaman, maka hancurlah masyarakat Minangkabau dengan segala adat yang dimilikinya. Padahal nilai-nilaia adat, nilai agama dan norma tercermin dari baju kurung basiba tersebut.

Saat ini baju kurung basiba yang merupakan identitas perempuan Minangkabau  sudah kurang bermakna. Baju kurung basiba sudah dianggap sebagai pakaian kuno, yang dipakai oleh nenek moyang pada masa dahulu. Mereka tidak lagi memahami apa makna dari pakaian tersebut. Baju kurung basiba saat ini hanya dipakai oleh para bundo kanduang. Bahkan meski dipakai pun oleh para bundo kanduang tetap saja mereka sebagian besar belum memahami apa makna dari bagian-bagian khas pakaian tersebut. Sehingga banyak kita lihat mereka memakai baju kurung basiba hanya sebatas nama saja. Pakaian yang dipakai terlihat melekat ketat ke badan sehingga menampakkan lekuk tubuh si pemakai. Padahal seyogyanya baju kurung basiba tersebut longgar dan tidak menampakkan lekuk tubuh si pemakainya, karena sesungguhnya wanita itu adalah aurat.

Saat ini hal biasa kita melihat pakaian tradisional perempuan Minangkabau yang tidak lagi sesuai dengan falsafah yang dianut. Bahkan banyak para desainer yang terlalu berkreasi sehingga melanggar nilai-nilai kesopanan yang dimiliki masyarakat Minangkabau dengan mengatasnamakan seni. Hendaknya hal itu diberi penjelasan pada berbagai forum diskusi dengan melibatkan berbagai lini agar nilai-nilai tradisi yang terdapat dalam pakaian tersebut tidak luntur. Adanya penjelasan bagaimana pakaian perempuan Minangkabau bisa di kreasi tanpa menghilangkan nilai-nilai di dalamnya. Akhirnya, kedepannya kita dapat melestarikan baju kuruang basiba dalam kehidupan ini [ Penulis adalah peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 24 Maret 2019

Manuladan Ka Nan Baiak, Maniru Ka Nan Nyato

0

Penulis: Undri

Mengajari anak dengan pengetahuan adat istiadat mestilah kita lakukan bagi setiap orang tua. Jebakan berbagai pengaruh menjadi hantu yang menakutkan, dan telah menjadi semacam hiasan dinding bagi generasi muda saat ini. Bertolak dari itu, dahulu pengaruh dari luar belum begitu besar, adat istiadat masih kuat dan kokoh. Segenap anggota masyarakat mempelajari tentang adat istiadat kepada yang tua-tua yang memiliki pengetahuan yang banyak tentang hal tersebut. Dengan cara yang demikian pengetahuan seseorang mengenai adat istiadat sudah tidak diragukan lagi, apalagi pemangku adatnya. Meniru dan meneladani sesuatu yang baik, kalau mencontoh hendaklah mencontoh kepada yang nyata. Janganlah menjadikan sesuatu yang belum pernah ada sebagai contoh dan teladan. Sejalan dengan itulah muncul ungkapan manuladan ka nan baiak, maniru ka nan nyato.

Beranjak kearah lebih jauh atas ungkapan tersebut kita juga dikenalkan dengan mandapek urang dahulu, kahilangan urang kudian. Orang dahulu dalam ungkapan di atas menurut adat Minangkabau adalah generasi dahulu atau angkatan orang tua-tua dahulu dan yang disebut dengan orang kemudian ialah angkatan atau generasi berikutnya, generasi yang muncul kemudian generasi yang lebih muda.

Ungkapan ini digunakan oleh masyarakat Minangkabau untuk menasehati para remaja generasi masa sekarang, generasi yang telah kehilangan. Pengertian kata kehilangan disini yaitu dalam arti bahwa kecenderungannya mereka sudah tidak lagi mempunyai pengetahuan tentang adat istiadatnya sendiri. Sebaliknya yang dimaksud dengan istilah orang dahulu mendapat tiada lain daripada mereka mendapat, mempunyai dan sepenuhnya memiliki pengetahuan mengenai adat istiadatnya sendiri. Hingga sekarang ungkapan ini masih tetap hidup, dijunjung tinggi dan dijadikan sebagai pedoman oleh masyarakat Minagkabau dalam kehidupannya.

Agar kita menghargai keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Dengan berteladan kepada  yang lebih maju berarti kita juga ingin maju, ingin mencapai sesuatu yang lebih baik lagi dari pada yang telah sudah-sudah. Kita harus mencontoh kepada yang telah pernah terjadi yang nyata kepada yang telah ada yang kesemuanya itu dapat kita saksikan dan kita lihat dalam kehidupan ini.

Dengan demikian, segala sesuatu itu akan kita temui kebaikan dan keburukannya. Sekalian yang kebaikan kita ambil untuk dijadikan contoh dan teladan, dan segala yang buruk kita buang jauh-jauh sehingga kita akan memperoleh suatu kemajuan sebagaimana yang diharapkan. Ungkapan ini terutama sekali ditujukan kepada kaum remaja agar mau dan suka menghargai pendapat orang lain dalam hidup masyarakat.

Bagi generasi muda perlu juga kita ingatkan akan hal perilaku buruk seseorang yang melupakan orang-orang yang telah berperan dalam hidupnya. Managa karambia condong, pangka diawak, buah jatuah ka parak urang-memagar kelapa condong, pangkal pada kita, buah jatuh ke kebun orang. Manganjurkan agar kita senantiasa berbakti kepada orang tua dan guru, selalu ingat kepada mereka yang berjasa dalam proses keberhasilan kita.

Disamping itu juga penanaman tekat yang kokoh dalam mempertahankan nilai dan kebenaran yang diyakini perlu juga diajarkan kepada anak kita. Walaupun musuh atau bermacam gangguan terus menghadang tetap akan dilawan. Demi kebenaran tersebut tidak takut mati, karena mati mempertahankan keyakinan (membela agama) akan memperoleh ganjaran dari Allah SWT.

Nan ketek indak talendan, nan gadang usah talantuan-yang kecil jangan terlindas, yang besar jangan tersinggung. Perbedaan status sosial di antara anggota masyarakat niscaya ada. Namun janganlah hal itu menyebabkan permusuhan. Syaratnya adalah si kaya jangan suka memaksakan kehendak kepada si miskin. Begitu pula sebaliknya, bawahan jangan suka menyinggung perasaan pemimpin.

Kemudian  manauladan ka nan baiak, maniru ka nan nyato- meleladan kepada yang baik, mencontoh kepada yang nyata. Dan pandai-pandailah hendaknya kita dalam memilih teman agar dapat dijadikan sebagai teladan untuk kebaikan. Kemudian haruslah kita menghargai prestasi orang lain. Jangan iri melainkan harus mengikuti jalan keberhasilannya.

Kita juga tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri dan pekerjaan yang tidak baik untuk dilakukan. Tersirat dalam ungkapan urang ingek pantang takicuah, urang jago pantang kamaliangan, ingek ingek sabalun kanai, kok malantai sabalun lapuak, kalau maminteh sabalun anyuik– orang ingat pantang terkecoh, orang jaga pantang kemalingan. Ingat-ingat sebelum kena, kalau malantai sebelum lapuk, kalau memintai sebelum hanyut. Nasehat agar senantiasa waspada dalam menjalani kehidupan sehingga terluput dari bermacam gangguan.

Begitulah irama hidup yang mesti kita ajarkan buat anak kita, agar lindasan  pengaruh dari luar dapat ditangkal, dan menjadikan sebagai generasi yang andal kedepannya. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Perut punai, Camilan Khas Bengkulu

0

Perut punai merupakan makanan tradisional khas masyarakat Bengkulu. Sesuai namanya, camilan ini berbentuk usus yang dililitkan. Punai sendiri merupakan jenis burung yang hidup di hutan. Walau begitu, perut punai bukan satu-satunya nama untuk kuliner ini. Kudapan ini juga dikenal dengan juada karei, juada keras, dan arai pinangPerut punai biasa dihidangkan sebagai camilan dalam berbagai hajatan seperti perkawinan, lebaran, sunatan dll.

Bahan pembuatan perut punai terdiri dari tepung beras (sekarang diganti dengan tepung sagu), gula, kapur sirih, garam. Pada masa lalu, tepung beras untuk pembuatan bahan perut punai masih diolah secara tradisional yaitu dengan menumbuk beras dan mengeringkannya dengan dijemur. Sementara itu, untuk menambah rasa maka bahan-bahan perasa turut ditambahkan seperti cabai (pedas), gula (manis) dan ebi.

Proses Pembuatan

Proses pembuatan perut punai dilakukan dengan cara menyiapkan bahan terlebih dahulu. Tepung beras dijemur (sekarang cukup digongseng) hingga kering. Sembari mengeringkan tepung, air dipanaskan dengan tambahan garam dan kapur. Setelah tepung kering dan air kapur telah mendidih, selanjutnya air tersebut dimasukkan ke wadah berisi tepung, lalu diadon hingga kental. Adonan kemudian dibentuk seperti batangan bulat dan panjang, kira-kira satu jengkal orang dewasa. Bulatan-bulatan tersebut dililitkan serupa usus.

Baca juga: Maanta Pabukoan, Tradisi yang Makin Ditinggalkan

Di wadah lain minyak telah dipanaskan. Setelah proses membentuk perut punai selesai, pekerjaan selanjutnya adalah menggoreng hingga masak. Tanda bahwa perut punai telah masak adalah dengan melihat perubahan warna dari putih menjadi kecoklatan. Waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng kira-kira 15 menit dengan nyala api yang tidak begitu besar. Selanjutnya perut punai diangkat, didinginkan dan dipres hingga kandungan minyaknya semakin hilang.

Setelah proses pengeringan selesai, maka perut punai siap dihidangkan. Pada masa sekarang, perut punai telah dijadikan barang komoditas yang diperjual-belikan. Jika hendak dijual, maka pekerjaan pasca pengeringan adalah mengemasnya. Selain itu, untuk beberapa komoditas perut punai membutuhkan penggulaan yakni pemberian rasa ke dalam perut punai. Ada empat rasa yang telah diperjual-belikan sekarang ini yakni asin, manis, pedas dan ebi.

Proses penggulaan dilakukan dengan cara memanaskan campuran air, vanili dan garam(rasa asin), gula aren dan gula pasir (rasa manis), cabai (rasa pedas) dan ebi (rasa ebi). Campuran bahan-bahan tersebut dipanaskan hingga mengental (tidak terlalu kental ataupun cair). Lalu perut punai dimasukkan ke dalam campuran tersebut hingga merata. Perut punai siap untuk dihidangkan.

Hingga kini, camilan perut punai masih diproduksi oleh masyarakat dan seringkali dijadikan sebagai oleh-oleh dari Bengkulu.(FM)

Dialog Budaya Spritual dan Buka Bersama

0

Padang – Menjelang akhir bulan Ramadhan sekaligus mendekati libur bersama Idul fitri, Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat mengadakan Kegiatan Dialog Budaya Spritual. Kegiatan ini dilaksanakan pada Rabu, 29 Mei 2019 di Hotel Grand Zuri Kota Padang. Acara dibuka pada pukul 15.30 oleh Kepala BPNB Sumatera Barat Drs. Suarman. Turut hadir sebagai narasumber dialog ini adalah Ustadz. Dr. Urwatul Wusqa, MA.

Kegiatan ini merupakan kegiatan silaturahmi BPNB Sumatera Barat dengan masyarakat khususnya budayawan yang sering terlibat aktif dalam berbagai kegiatan kantor. Peserta kegiatan ini yakni seluruh pegawai BPNB Sumbar, budayawan serta mantan-mantan Kepala dan pegawai BPNB Sumbar beserta keluarganya. Panitia juga turut mengundang anak yatim dalam kegiatan ini.

Tema Dialog Budaya Spritual yakni Penyebaran Informasi dalam Pandangan Islam. Tema ini bertujuan mengajak semua orang khususnya pegawai untuk menyebarkan informasi yang  benar sesuai dengan kaidah-kaidah agama Islam. Pemilihan tema ini berkaitan erat dengan keprihatinan akan maraknya penyebaran informasi yang tidak benar (hoax) di masyarakat.

Selain memperdalam pengetahuan, tujuan lebih penting kegiatan ini adalah untuk meningkatkan keimanan umat khususnya di Bulan Ramadhan. Tujuan penting lain dari kegiatan ini adalah  untuk tetap menghidupkan tali silaturahmi di antara pegawai dan masyarakat khususnya mantan pejabat dan pegawai BPNB Sumatera Barat.

Pada akhir acara, diadakan buka puasa bersama dan selanjutnya panitia membagikan bingkisan sebagai bentuk tali asih kepada anak yatim.

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa dan Menyambut Hari Raya Idul Fitri. (FM)

Ba Baliak Ka Surau

0
Rismadona

Penulis: Rismadona

Kembali ke surau (ba baliak ka surau)  pada era ini mustahil bagi sebagian banyak orang.  Sebab ada pandangan bahwa surau dulu dengan surau sekarang secara fungsi telah berubah. Surau lebih banyak berfungsi untuk pendidikan agama, seperti mengaji, pertemuan majelis  taqlim, latihan qasidah dan terutama sekali untuk beribadah. Sementara itu penyimpangan sosial di kalangan generasi muda semakin meningkat, seperti narkoba, LGBT, prostitusi, pelaku kriminalitas, dan lainnya jarang lagi dibicarakan di surau-surau.

Penyimpangan sosial merupakan penyakit masyarakat atau istilah lain kuman yang merusak etika dan susila yang berlaku di negeri kita ini. Banyak tempat untuk memberikan pengobatan terhadap penyakit. Penyakit fisik bisa di bawa ke dokter, penyakit bathin bisa di bawa untuk ruqiyah, penyakit masyarakat bisa dibawa ke mesjid atau ke surau. Kenapa demikian?

Sebagaimana kita ketahui, perspektif historis surau memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan nagari, tempat beribadah, tempat pemuda berkumpul dan belajar ilmu bela diri, dan lainnya.  Bisakah untuk memutar waktu? Waktu tak bisa diputar karena terus berjalan, namun tradisi bisa dikembalikan, tinggal kesepakatan masyarakat untuk kembali sehingga melangkah babaliak ka surau. Surau sebagai fungsi pendidikan masih berlanjut, tapi fokus ke pendidikan agama dan akhlak yang bisa ditanamakan pada peserta didik. Surau tempat beribadah  masih tetap berjalan namun peminat beribadah kesurau pasang surut. Dan kekurangan yang dapat dilihat adalah surau tempat perkumpulan para pemuda dalam bertukar pikiran dan beroganisasi serta berlatih untuk bersilat kehilangan fungsi.

Pemuda sebagai pagar nagari, ia akan memagar dari seluruh persoalan dalam nagari, namun kenyataannya pemuda membawa tungkek rebah, pemuda tersandung dalam persoalan narkoba, LGBT, pelaku kriminalitas, pelaku asusila, dan lainnya. Pelaku demikian pemuda kehilangan fungsi tersebut. Organisasi pemuda tidak lagu beranjak dari surau, persoalan-persoalan penyakit masyarakat tidak lagi dibicarakan di surau, pemuda tidak lagi berkontribusi untuk solusi dari persoalan tersebut. Surau sebagai tempat ibadah, begitu salam diucapkan selesai para jamaah pulang kerumah masing-masing, tidak berdiam diri untuk membicarakan persoalan tersebut. Sehingga  jamaah baik dari kalangan pemuda, orang tua tidak lagi berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain untuk saling berbicara tentang persoalan dalam nagari itu sendiri. Penyakit masyarakat tidak lagi terbaca oleh masyarakat itu sendiri akibat tingginya sifat individualistis.,

Fungsi surau bisa dikembalikan dengan program pemerintah serta mengalokasikan dana untuk aktivitas surau itu sendiri. Aktivitas surau seperti pemuda surau bersilat, baik silat ilmu bela diri maupun silat lidah dalam petatah petitih dalam pidato adat masyarakat. Jadi kan surau seperti lembaga dinas pendidikan, adanya kontrol masyarakat yang berpijak dari surau. Pendidikan di surau mungkin saja terbatas tapi ada dalam setiap minggunya. Kita berharap setiap hari Sabtu malam, pemuda berkumpul di surau, tidur di surau dan belajar di surau. Dalam belajar silat, khususnya silat lahir bathin ia tidak saja mengajarkan langkah tapi juga mengajarkan tentang Allah, maka penanaman nilai-nilai agama seiring sejalan lahir dan bathin. Sabtu malam atau istilah lain malam Minggu bisa dimanfaatkan oleh generasi pemuda untuk berkumpul positif, bukan mengincar cewek atau cowok yang mengarah pada perilaku menyimpang dalam masyarakat itu sendiri.

Kembali ka surau kita kebanyakan separuh hati, bukan sepenuh hati, hanya dalam retorika dan batas wacana. Penulis menyaksikan dizaman tahun 80-an, surau tempat beribadah dan tempat berguru baik kalangan generasi muda maupun generasi tua. Generasi tua lebih banyak mengaji tentang tafsiran Al Quran dan tarekat. Dan selesai sholat subuh ke warung bersama untuk menunggu gorengan, dan bercerita tentang sawah, tentang ternak, tentang perilaku anak, tentang kemalingan sebelah tetangga dan begitu matahari bersinar terang mereka berpencar untuk beraktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Agaknya aktivitas ini juga hilang sesuai dengan perkembangan waktu. Kebiasaan berbagi cerita tentang pengalaman hidup harian tidak terakomodir lagi. Sebab  begitu usai sholat kembali ke rumah, lalu sarapan dan berangkat kerja. Surau bahkan kehilangan jamaah, khususnya sholat Zuhur dan Ashar, dengan alasan warga tidak di tempat dan berada di lokasi kawasan kerja. Surau di wilayah lokasi kerja lebih banyak dikenal dengan istilah mesjid, tidak bisa menerima cerita warga, karena kita hanya mendengar ceramah ustad mengisi waktu menjelang sholat.

Salah satu fungsi surau selain beribadah, berguru silat dan mengaji sesungguhnya penampungan curahan hati masyarakat setempat tentang rutinitas yang terjadi disekitarnya tidak berfungsi, masalah di sekitar tidak dipedulikan. Tokoh agama dengan masyarakat di surau dikondisikan dengan satu arah, bahkan dibatasi waktu untuk memberikan pencerahan. Hal demikian tidak memberikan kontribusi terhadap persoalan yang sedang berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Masalah LGBT, prostitisi dan tindakan kriminal, dan lainnya akan bisa memberikan tindakan preventif beranjak dari surau, dengan memberikan pencegahan, pengawasan dan kontrol serta tindakan keras yang dilakukan oleh pemuda surau. Tentunya bagi pemuda surau perlu kekuatan, baik kekuatan fisik maupun kekuatan mental. Kekuatan fisik tersebut dapat dilakukan untuk menggalakkan kembali belajar bersilat ka surau. Dengan memantapkan iman akan memberikan kekuatan mental untuk berjuang dari tindakan pihak-pihak lain yang menghancurkan generasi itu sendiri.

Jadi intinya dalam solusi untuk kembali ke surau dilakukan oleh masyarakat, pertama dalam beribadah memberikan tempat untuk duduk bersama selesai sholat. Dengan duduk bersama membangun interaksi dan bercerita tentang persoalan yang sedang berlangsung pada masyarakat sekitarnya. Kemudian memanfaatkan malam Minggu untuk pemuda belajar ilmu bela diri dan bermalam di surau selain belajar langkah juga diberi asupan tentang ilmu Allah SWT. Mengarahkan organisasi pemuda dan dilegalitaskan, sehingga semua kegiatan dan aktivitas pemuda dapat dipantau di surau, kenapa demikian diluar surau kita bisa saja meragukan pertemuan tersebut yang bersifat negatif, sehingga diluar aturan tersebut bisa kita panggil atau melapor pada pihak yang berwajib. Kemudian dalam kembali ke surau tidak bisa dilakukan oleh masyarakat itu sendiri tanpa andil pemerintah, karena situasi saat sekarang kita memulai dari nol dan perlu proses. Untuk pencapaian tersebut maka diperlukan anggaran untuk aktivitas di surau sampai masyarakat itu mandiri dalam berorganisasi dan materi. Kita berharap jamaah surau bukan didiktekan tentang dosa dan pahala dalam materi dakwah, karena semua umat Islam tahu hal demikian, tapi bagaimana surau mengkaji Islam secara mendalam sehingga masyarakat mampu mengimplementasikan dalam kehidupan. Mudah-mudahan [Penulis adalah Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang dalam Kolom Bendang pada Minggu, 31 Maret 2019

Maanta Pabukoan: Tradisi yang Makin Ditinggalkan

0
Hariadi

Penulis: Hariadi

Sholat Zuhur baru saja selesai. beberapa orang ibu-ibu mulai sibuk di dapur mempersiapkan beberapa jenis makanan. Masing masing ibu-ibu dalam pekerjaannya masing masing.  Kejadian itu tidak biasanya dilakukan dalam bulan Ramadhan. Seorang anak berumur belasan tahun melihat kejadian tersebut bertanya kepada ibunya “mak,kamanga awak” sambil menoleh kepada anaknya, ibu itu menjawab” awak kamaanta  pabukoan, beko kawani uni maantakan ka rumah mamak”. Sepenggal dialog itu telah terjadi sekitar dua puluh lima tahun yang lalu di Nagari Simalanggang, Kabupaten Limopuluh Koto, Sumatera Barat.

Maanta pabukoan adalah tradisi yang dilaksanakan dalam bulan Ramadhan di Nagari Simalanggang, sebuah nagari dalam wilayah administratif Kabupaten Lima Puluh Kota. Belum di ketahui kapan tradisi ini bermula. Bentuk tradisinya adalah  mengantar menu berbuka ke rumah penghulu suku dan mamak oleh  kemenakan dalam bulan Ramadhan.

Prosesi  tradisi maanta pabukoan ini dimulai dengan menyiapkan pabukoan oleh sebuah keluarga besar dalam sebuah suku, umumya oleh perempuan adik beradik. Pabukoan yang disiapkan terdiri dari nasi, samba (lauk pauk) dan makanan untuk berbuka seperti kolak, silamak, sarikayo, agar agar dan makanan sejenisnya.

Makanan yang telah disiapkan tersebut ditempatkan di dalam satu rantang jinjing bertingkat. masyarakat Simalanggang menyebutnya siya. Bagian paling bawah diisi nasi, tingkat kedua samba (lauk pauk) adakalanya gulai, gorengan atau rending,  tingkat ketiga adalah kolak atau konji, biasanya kolak pisang, sarikayo atau jenis kolak lainnya. Tingkat keempat diisi dengan silamak atau lamang dan  rantang paling atas biasanya diisi dengan surabi atau agar agar atau onde onde atau makanan sejenisnya.

Pabukoan tersebut diantarkan ke rumah penghulu suku dan mamak. Waktu mengantarkannya umumnya setelah waktu Sholat Ashar sampai menjelang waktu berbuka. Pengantar pabukoan adalah kemenakan yang masih gadis dan biasanya ditemani oleh kemenakan perempuan yang masih anak-anak. Pabukoan diserahkan kepada istri mamak. Rantang disalin terkadang rantang tersebut diisi oleh istri mamak dengan makanan atau kue. Pengantar pabukoan  kembali pulang, dengan demikian prosesi tradisi mengantar pabukoan selesai.

Seiring berjalannya waktu tradisi maanta pabukoan semakin ditinggalkan. Berbagai faktor penyebabnya antara lain: (1) perubahan tatanan kehidupan yang terjadi di masyarakat, (2) semakin meredupnya  peran penghulu suku dalam sukunya dan peran mamak dalam sebuah keluarga matrilineal, (3) semakin meredupnya rasa bermamak dan berkemenakan dalam kehidupan masyarakat.

Makna yang terkandung

Tradisi maantaan pabukoan ini bukan hanya sekedar mengantar makanan tetapi mempunyai beberapa makna yang terkadung di dalam tradisi ini. Dengan dilaksanakannya tradisi maanta pabukoan ada beberapa nilai positif yang dapat terwujud.

Tradisi maanta pabukoan merupakan pengamalan hadist nabi berkaitan dengan keutamaan orang yang memberikan makan minum  untuk orang yang sedang menjalankan ibadah puasa. Hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad Tirmidzi dan Ibnu Majah  : “Siapa yang memberi perbukaan (makanan dan minuman) bagi orang yang berpuasa, maka  baginya pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sama sekali”. Dengan demikian tradisi maanta pabukoan mempunyai landasan yang kuat dari hadist nabi Muhammad SAW.

Maanta pabukoan adalah bentuk penghormatan kepada penghulu suku dan mamak oleh kemenakan. Dalam adat Minangkabau tanggungjawab penghulu suku dan mamak terbilang berat. Posisi keduanya fungsional dalam sebuah suku dan keluarga matrilineal. Penghulu suku dalam sebuah pesukuan mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagaimana diibaratkan “baban barek Singguluang batu”(beban berat singgulung batu). Permasalahan kemenakan di internal sebuah suku atau eksternal merupakan tanggung jawab penghulu suku untuk mencarikan solusinya. Seorang penghulu suku juga mesti mengetahui keadaan kemenakannya sebagaimana diibarat “siang mancaliak caliakkan, malam mandanga dangakan”. Senantiasa memantau keadaan kemenakan sepanjang hari.

Adapun tanggung jawab mamak dalam budaya Minangkabau sebagaimana dalam pantun  adat” kaluak paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang lenggokkan, bao lalu ka Saruaso, anak di pangku kamanakan dibimbiang urang kampuang dipatenggangkan, tenggang nagari jan binaso”. Sebelum datangnya pengaruh Islam tanggung jawab terhadap kemenakan berada pada mamak. Mamak memastikan kebutuhan pokok kemenakannya bisa terpenuhi. Seiring dengan menguatnya pengaruh Islam maka tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok kemenakan beralih kepada ayah. Walau pun telah terjadi banyak pergeseran tanggung jawab mamak terhadap kemenakan tetap ada walaupun sudah mulai berkurang.

Tradisi maanta pabukoan juga merupakan bentuk rasa terimakasih  kemenakan kepada penghulu suku dan mamak yang telah mencurahkan perhatiannya, waktu, pemikiran   untuk kebaikan kemenakannya. Tradisi maanta pabukoan juga sebagai bentuk memperkuat silaturrahim antara kemenakan dengan keluarga penghulu suku dan keluarga mamak. Dengan datangnya kemenakan ke rumah mamaknya, tentu saja akan bertemu dengan istri dan anak anak mamak (anak pisang). Pertemuan tersebut akan membangun keakraban dan saling mengenal yang akan membuahkan silaturrahim yang semakin kokoh antara kemenakan dan keluarga penghulu suku dan mamak [Penulis adalah Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 26 Mei 2019

Kalah jadi Abu, Manang jadi Arang

0
Undri

Penulis: Undri

Polarisasi pasca Pemilihan Umum tahun ini, disadari atau tidak hingga kini belum juga berakhir. Kita masih terbelah dan saling berlawanan dan belum menempatkan persatuan yang hakiki. Jika ini terus menerus terjadi bisa jadi mengancam keutuhan dan persatuan bangsa dan negara kita kedepannya. Tidakkah kita sadar bahwa kalah dan menang sebuah pilihan, pilihan yang berproses, kita dapatkan dari hasil usaha yang kita jalani selama ini. Jika kalah berlapang dada menerimanya, dan jika menang harus pula menunaikan semua janji yang telah diperjanjikan sebelumnya.  Namun perlu juga diingat, menangnya dengan cara baik, dan jangan pula menghalalkan berbagai cara untuk meraih kemenangan, ini tidaklah baik pula kita tiru.

Jika persoalan ini terus berlarut, sama-sama tidak mendapat keuntungan apa-apa, dan masyarakat yang rugi. Kita tidak boleh melakukan kerusakan hanya untuk menghasilkan sebuah kemenangan, sebab tidak ada artinya kemenangan yang dirayakan di tengah kehancuran. Kepentingan rakyat yang diutamakan, itulah kata kuncinya –kalah jadi abu, manang jadi arang (kalah jadi abu, menang jadi arang) tidak mendapat apa-apa, baik yang kalah dan yang menang akhirnya.

Baca juga: Tradisi Suluk dan Pelaksanaannya

Kusuik bulu paruah manyalasaikan, kusuik banang dicari ujuang jo pangkanyo, kusuik sarang tampuo api manyalasaikan, kok masiak diparambunkan, kok karuah ditanangkan (kusut bulu paruh yang menyelesaikan, kusut benang dicari ujung pangkalnya, kusut sarang tempua (burung manyar) api menyelesaikan, kalau kering diembunkan, kalau keruh ditenangkan). Begitulah teknisnya dalam menyelesaikan sebuah persoalan atau pertentangan, sebab kita harus menemukan cara maupun alat yang tepat untuk mengurai permasalahan sehingga bertemu duduk persoalan yang sesungguhnya.

Nasroen (1957 :83) menjelaskan pertentangan itu pada hakikinya tidak akan dapat dihilangkan. Tetapi yang dapat dihilangkan, yaitu akibat dari pertentangan itu dan sebenarnya yang demikian inilah yang penting bagi seseorang dan bagi semua orang. Penting juga kita inap-inapkan fatwa dari adat Minangkabau yang berikut ini dan dapat kita laksanakan : hilang samo barugi, mandapek samo balabo, ringan samo dijinjiang, barek samo dipikua, hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicacah, gadang kayu gadang bahannyo, ketek kayu ketek bahannyo, gadang jan melendo, cadiak jan manjua (kalau hilang rugi bersama, kalau untung laba bersama, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, hati gajah sama dimakan, hati tungau sama dicacah, besar kayu besar bahannya, kecil kayu kecil bahannya, besar jangan melanda, dan cerdik jangan menipu).

Solusinya adalah menghadapkan pertentangan dengan cara nyata dengan mufakat berdasarkan alur dan patut (alua jo patuik)-carilah keseimbangan yang penuh berdasarkan keputusan : kok bulek buliah digolongkan, kok picak lah buliah dilayangkan, indak ado kusuik nan tak salasai, indak ado karuah nan tak janiah (jika bulat sudah boleh digolongkan, jika gepeng sudah boleh dilayangkan, tidak ada kusut yang tidak selesai, tidak ada keruh yang tidak jernih).

Saciok bak ayam, sadanciang bak basi (seciap bagaikan ayam, sedencing bagaikan besi)- dalam kehidupan bermasyarakat harus selalu menjaga persatuan, harus seiya dan sekata demi kebaikan dan keselamatan bersama. Harus senada dan sekata demi kebaikan dan keselamatan bersama. Harus senada dalam tindakan, sependapat dalam mengatasi suatu persoalan. Harus mengutamakan kepentingan masyarakat dari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Agar kita menjaga persatuan, bila terjadi keselahpahaman atau perselisihan, maka selalu diingatkan agar tercipta kembali persatuan itu sendiri.

Disamping itu perlu juga kita pahami bahwa ada tingkatan dari suatu kepentingan, tempat dan saatnya. Kepentingan yang rendah itu harus mengalah kalau berhadapan dengan kepentingan yang lebih tinggi : adat badunsanak, dunsanak patahankan, adat bakampuang, kampuang patahankan, adat banagari, nagari patahankan, sanda basanda, serupo aua jo tabiang (adat bersaudara, mempertahankan saudara, adat berkampung, mempertahankan kampung, adat bernagari, mempertahankan nagari, tupang manupang seperti bambu dengan tebing).

Akhirnya perlu juga kita renung-renungkan juga- manang jadi arang, kalah jadi abu– kita akan mengetahui bahwa siapapun itu, baik yang menang maupun kalah pada suatu persengketaan sama-sama tidak mendapat keuntungan apa-apa dan bahkan rakyat yang dirugikan. Jauhkanlah sifat saling menjatuhkan, menimbulkan kegaduhan dan permusuhan, kebencian, kedengkian, tidak saling mencela, serta saling memfitnah. Sebab semua itu akan merusak sendi-sendi persatuan bangsa dan negara kita ini. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum SInggalang Kolom Kurenah pada Minggu, 26 Mei 2019

Parangai

0

Penulis: Undri

Parangai-kelakuan atau tingkah laku hari ini bagi yang sudah dewasa tidak terlepas dari apa yang dilakukan masa kecil. Masa kecil terbiasa, dewasa sulit mengubahnya. Kebiasaan jelek misalnya, diwaktu kecil hendaknya cepat diubah sebab kalau sudah terbiasa sangat susah mengubahnya. Perihal ini tak terbantahkan sampai hari ini.  Senada dengan itu muncullah ungkapan ketek taanjo-anjo gadang tabao-bao tuo tarubah tido (masa kecil terbiasa besar terbawa-bawa sudah dewasa sulit mengubahnya).

Balik kelampauan, beragam cara dilakukan dalam bentuk nasehat oleh orang tua mengajari anaknya waktu kecil supaya menjadi anak nan elok, berbudi pekerti yang baik dan berbahasa yang terpuji. Beragam pantanganpun difondasikan hal tersebut, mulai dari makan berdiri, duduk dikapalo janjang, berucap dan berujar tidak pada tempatnya dan sebagainya. Memang secara kasat mata itu bersifat larangan, namun nuansa yang sarat dengan nilai kebaikan, seperti ajaran agama, dan adat istiadat pun mengitarinya.

Kalau kita biarkan saja perangai buruk anak-anak kita nanti sulit untuk merubahnya, terbiasa ia sampai besar. Ungkapan ketek taanjo-anjo gadang tabao-bao tuo tarubah tido muncul akhirnya. Makanya dikatakan kecil teranja-ranja. Anak mulai besar segala kelakukan yang tidak baik tetap terbawa-bawa. Bisa berulang-ulang tingkah laku yang buruk itu walaupun ia sudah menjadi ayah atau  ibu kelak. Bayangkan bila ini terjadi, bisa tercengang yang muda-muda melihat yang tua bertingkah  laku seperti anak muda.

Kondisi hari ini, paling kecil saja kita sebut cara berpakaian sebagian anak gadis kita misalnya banyak ala ceper –serba singkat- diangkat keatas nampak pusat ditarik ke bawah nampak dada. Tak tanggung-tanggung gilanya paha –betis putih dipertontonkan juga. Miris kita melihatnya kondisi seperti ini.

Itu kalau perangai buruk. Kelakukan yang elok seperti itu juga. Kalau sudah terbiasa dengan yang baik-baik dari kecil ketika besar akan terbawa-bawa, tua terubah tidak. Makanya anak diajar sejak kecil. Bahkan memarahi anak mesti pandai-pandai. Kalau terlampau marah, terlampau ajar bisa buruk pula akibatnya. Anak akan bosan kalau kita mengomel siang malam. Ada yang terbaik mengajari anak bujang tanggung dan gadis mulai besar. Anak diajar dengan lunak, dengan kias, dengan contoh, dengan sindir halus. Sebuah pengajaran nilai moral yang terbaik.

Jangan dengan kasar, dengan marah-marah saja, yang tua memberi contoh. Umpamanya menyuruh anak sholat atau puasa. Kita bagi orang tua juga harus sholat dan puasa, jangan menyuruh anak saja namun kita tidak melakukannya-tungkek mambawo rabah namanya.

Waktu yang tepat untuk mengajari anak yakni waktu makan bersama, diajarkan tertip sopan, cara makan, hadap duduk bersama dan lainnya. Jadi jangan dibiasakan anak kita makan tidak serempak atau bersama. Siapa yang datang makan. Datang seorang lagi terus makan. Muncul seorang lagi ambil nasi pula. Seorang makan mancangkuang di sudut, seorang lagi menghenyak dilantai. Kesudahannya teronggok piring kotor, bertengkar akan mencucinya.

Kalau cara begini cara makan tidak ada kesempatan untuk mendidik anak tentang tertip sopan cara makan bersama. Lama-lama sukar merubahnya. Biasanya makan bersama-sama yang tua memberi contoh. Nan tidak elok dipandang mata, waktu pesta atau baralek, makan berdiri sudah biasa pula.

Makan bersama, kita dapat berkumpul dengan anak-anak, makan dan minum bersama. Setelah makan bersama kita bisa berdiskusi dan berbagi cerita, pengalaman hidup kepada anak. Durasi waktu  sekitar limabelas menit dan rutin kita lakukan setiap hari.

Budaya berkumpul dan makan bersama keluarga mulai terkikis. Makan bersama keluarga dirumah adalah momen kebersamaan yang sangat berharga. Meski terdengar sederhana atau sepele, namun kegiatan ini menyimpan pengaruh positif yang bisa membantu menguatkan keharmonisan keluarga. Sebab keluarga memiliki peranan penting dalam membentuk generasi muda, khususnya anak-anak menjadi lebih sehat dan berkualitas di masa depan. Selain itu, apabila dijadikan kebiasaan rutin-sehari-hari anak-anak akan tumbuh sehat karena relasi keluarga yang sehat.

Jadi, kebiasaan-kebiasaan-parangai waktu kecil haruslah ditaburi dengan parangai kebaikan, sebab parangai kecil tersebut akan terbawa waktu remaja dan tidak bisa diubah waktu dewasa.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Suluk dan Pelaksanaannya

0
Hariadi

Penulis: Hariadi

Suluk adalah istilah yang lazim terucap pada kalangan penganut Islam tradisional, lebih khusus pada penganut tarekat Naqsabandiyah. Suluk secara  harfiah bermakna jalan. Orang yang menempuh jalan tersebut disebut saalik. Menurut istilah, suluk dapat dimaknai sebagai upaya hamba (saalik) mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah yang bertujuan menyucikan diri dari berbagai bentuk kesalahan dengan memperbanyak zikrullah.

Dalam melaksanakan  suluk, para saalik dibimbing oleh guru yang  lazim disebut mursyid. Muryid membimbing para saalik untuk menjalani tahap demi tahap latihan (riadhoh). Tahapan yang umum dilakukan mulai dari pembersihan diri dari berbagai kesalahan (takholli) kemudian mengisi diri dengan hal hal yang positif (tahalli) dan terakhir merasakan kehadiran Allah dalam setiap tarikan nafas dan dalam segala aktifitas (tajalli).

Bersuluk merupakan salah satu tradisi ke Islaman yang terbilang awal pada masyarakat muslim Minangkabau. Praktik  suluk terdapat di berbagai daerah. Tempat tempat pelaksanaan suluk yang termashur misalnya di Lubuk Landur Pasaman Barat, Kumpulan dan Bonjol di Pasaman, Belubus, Batu Hampar, Taeh dan Taram di Lima Puluh Kota dan banyak lagi daerah yang mempunyai surau suluk. Merujuk informasi dari A.Angku Mudo untuk daerah Lima Puluh Kota saja  ada sekitar 200 surau suluk yang masih melaksanakan setiap tahunnya.

Beberapa surau suluk yang terdapat di daerah Lima Puluh Kota di antaranya surau suluk Syekh Ilyas di Pandam Gadang, surau suluk Ongku Boncah di Taeh Baruah, surau suluk Buya Zed di Koto Tuo Mungka, surau suluk Buya Edison Kasim di Sarilamak, surau suluk Almarhum Datuak Angso di Lubuak Batingkok Tanjuang Pati, surau suluk Angku Mudo Sawir di Taram dan surau suluk Syekh Mudo Abdul Qodim di Belubus dan banyak lagi surau suluk lainnya.

Sebutan terhadap sebuah surau suluk umumnya dikaitkan dengan nama mursyid yang mendirikan dan menjadi guru yang pertama kali di surau tersebut. Setelah mursyid yang mendirikan surau pertama kali meninggal dunia, tongkat estafet dilanjutkan oleh anak atau kemenakan. Pada beberapa surau ada juga yang dilanjutkan oleh murid pilihan atau murid kesayangan mursyid. Beberapa surau suluk telah mengalami silih  generasi beberapa kali. Namun beberapa surau suluk ada juga yang terhenti karena tidak ada lagi pelanjutnya.

   Untuk daerah Lima Puluh Kota surau suluk yang mememegang peran cukup penting adalah surau suluk di Batuhampar dan surau suluk Syekh Mudo Abdul Qodim di Belubus. Beberapa mursyid di surau surau suluk sekarang mempunyai keterkaitan silsilah keilmuan  dengan kedua surau suluk ini.

Pelaksanaan Suluk

Pelaksanaan suluk pada umumnya  dimulai  sepuluh hari sebelum bulan Ramadhan dan selesai pada saat hari raya Idul Fitri. Beberapa surau suluk ada juga yang melaksanakan pada bulan Zulhijjah. Lama pelaksanaan suluk ada yang empat puluh hari ada juga yang dua puluh hari. Para Saalik yang pertama kali melaksanakan suluk, umumnya melaksanakan selama empat puluh hari.  Sedangkan yang sudah pernah melaksanaan pada tahun sebelumnya melaksanakan empat puluh hari atau dua puluh hari. Namun hal itu bergantung kepada kesanggupan masing  masing.

Para saalik pada sebuah surau suluk tidak hanya berasal dari tempat sekitar surau. Pada beberapa surau suluk  para saalik juga datang dari tempat yang jauh bahkan ada yang berasal dari negeri jiran Malaysia. Dari sigi usia, para saalik ada yang tua dan ada juga yang masih muda. Namun demikian umumnya para saalik berusia di atas empat puluh tahun.

Selama pelaksanaan suluk, para saalik memfokuskan diri melaksanakan ibadah, menjaga adab adab, memperbanyak zikir dan melakukan ibadah berdasarkan bimbingan mursyid. sehingga tujuan suluk tercapai dengan baik.  Para Saalik  tidak disibukkan oleh  urusan  konsumsi, karena urusan tersebut  ditangani oleh panitia bagian dapur umum dengan pembiayaan bersumber dari para saalik.

Tempat suluk umumnya terdapat di bagian samping dalam surau. Masing masing saalik menempati ruang berukuran sekitar satu setengah meter kali dua meter. Sekat satu tempat dengan tempat lainnya hanya terbuat dari kain putih yang sekaligus berfungsi sebagai kelambu. Alas tempat duduk biasanya kasur yang bertujuan untuk kenyamanan dalam berzikir.

Selama pelaksana suluk para saalik akan berada lebih banyak di ruangan masing-masing. Mengurangi berbicara dan berinteraksi. Para saalik keluar hanya untuk hajat syar’i. Para saalik fokus melaksanakan petunjuk petunjuk mursyid. Dalam proses tersebut para saalik akan meperolehan pengalaman spiritual berbeda  antara satu saalik dengan yang lainnya bergantung kepada niat dan kesungguhan dalam menjalankan setiap wirid yang diajarkan dan juga iradat Allah.

Bagi saalik yang menurut pandangan mursyid telah dibukakan oleh Allah hijab (kasful hijab) akan diberikan gelar dan juga otoritas untuk mengajarkan  ilmu yang diperoleh dan Juga diperbolehkan untuk mendirikan surau suluk sendiri. Beberapa surau suluk, disamping memberi gelar juga mengeluarkan ijazah tertulis sebagai bukti silsilah keilmuan.  Dengandemikian setiap mursyid mempunyai silsilah keilmuan yang bersambung,  diakui dan dapat dipertanggung jawabkan [Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 14 April 2019

Biduak lalu kiambang batauik

0
Undri

Penulis: Undri

Pemilihan Umum sudah usai, kita tidak boleh terpecah karena berbeda dukungan dan pilihan. Perbedaan dukungan dan pilihan dalam sebuah pemilihan sesuatu yang jamak dalam alam demokrasi, namun tujuannya pasti untuk kebaikan bersama. Mari pula kita bersabar atas hasil akhirnya yang akan diumumkan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Jangan pula kita bersiteru dan terjadi perpecahan. Bila berseteru dalam perbedaan pilihan mari kita bersatu kembali saling bahu membahu dalam membangun bangsa ini, mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Ungkapannya biduak lalu, kiambang batauik (biduak lalu, kiambang bertaut).

Biduak lalu kiambang batauik  adalah ungkapan orang Minangkabau yang jamak diserukan untuk merangkul kembali dua orang atau beberapa pihak yang sempat bertikai, berselisih paham atau berbeda pandangan sebelumnya. Biduak lalu kiambang batauik,  frase ini merujuk pada tanaman di atas air yang akan tersibak ketika dilewati perahu atau biduk, tetapi akan menyatu kembali setelah biduk itu lewat. Lekas berbaik atau berkumpul kembali. Seperti perselisihan antara sanak keluarga yang kembali rukun dan damai dalam untaian persatuan dan kesatuan.

Makna terdalamnya adalah bahwa kita bersaudara, usai berbantahan pasti rukun kembali. Kalau berselisih dengan siapapun, walaupun kita menang. Kita tetap kalah yang menang hanya ego dan emosi diri sendiri. Kita tak tahu bahwa yang jatuh adalah citra dan jati diri kita sendiri.

Bila kita menang janganlah berbanga diri berlebihan, sombong dan angkuh. Perlu sifat tawaduk, rendah hati bahwa semua kemenangan yang dicapai merupakan usaha untuk menuju kebaikan. Tidaklah boleh bereforia-berlebihan, sebab kemenangan bukan saja merupakan sebuah keberuntungan namun juga ujian yang maha dahsyat bila kita tidak melaluinya dengan baik. Kemenangan yang ditempuh dengan baik dan penuh kejujuran.

Bukan itu saja bahwa kompetisi dalam memperebutkan kemenangan mestinya dimaknai sebagai persaingan untuk melakukan yang terbaik. Dalam ajaran agama disebutkan dengan seruan berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Tersadari bahwa hakikat dari sebuah kemenangan tidak membutuhkan objek untuk dikalahkan. Meskipun tentu ada pihak yang dianggap lebih unggul dan lebih baik dari yang lain,tapi tidak menjadikan yang kalah diangap sebagai hal yang “jelek,” “rendah,” “tidak berbobot,” dan atribut negatif lainnya. Karena baik yang menang maupun kalah telah sama-sama mengupayakan yang terbaik, bukan yang terjelek. Keduanya selalu berproses untuk arah terbaik pula.

Begitu juga bila kalah, kita harus berlapang dada menerima kekalahan. Tidaklah elok mencari alasan untuk mencari-cari akan kesalahan yang dimiliki bagi yang menang. Kita harus instropeksi dan evaluasi diri, sejauh mana kerja kita berproses yang telah dilakukan. Apakah kerja yang kita lakukan tersebut memang benar-benar baik bagi kebaikan buat bersama atau sebaliknya.

Sebetulnya tidaklah muda untuk menghadapi sebuah kekalahan, namun kita harus memiliki sifat arif dan bijaksana, bahwa semua itu ada hikmahnya, sebuah hikmah yang kadang kala belum pernah dipikirkan oleh manusia. Sebuah kekuatan yang maha dahsyat bila hikmah itu kita sandingkan dengan kekuatan untuk memahami bahwa kita itu harus menerima dengan lapang dada apa yang kita hadapi dimuka bumi ini.

Kita harus menghilangkan persepsi dalam diri kita masing-masing  tentang persepsi atas kekalahan tersebut. Kita selalu mempersepsikan kalah sebagai suatu momok, memalukan, kerendahan, dan semacamnya. Sedangkan menang adalah kepuasan, tujuan akhir, puncak kejayaan, dan segala macam euforia. Konsekuensinya, semua orang berlomba meraih kemenangan dan tidak siap menerima kekalahan. Namun kita harus menyadari bahwa menang dan kalah merupakan bagian dari esensi kehidupan manusia yang bersifat dinamis dan berjalan silih berganti. Tidak ada kemenangan atau kekalahan yang abadi. Itu pula sebabnya  budaya menerima kekalahan mesti disandingkan dengan budaya menerima kemenangan.

Kedepan,  perlu kita sadari bahwa kalah dan menang adalah merupakan  sebuah pilihan yang harus dihadapi dalam hidup ini, bersikap legawa– siap menang dan siap kalah. Bukankan indah jika saat pengumuman KPU (Komisi Pemilihan Umum) nanti kita melihat para negarawan dan politisi saling berjabat tangan mengucapkan selamat satu sama lain, menjunjung sikap sportivitas dan fair play-belajar dari permainan olahraga. Ketika permainan usai, setiap pemain berjabat tangan, saling sapa dengan penuh keakraban, bahkan bertukar seragam tanda persahabatan. Kita tidak mau perihal kalah dan menang menjadi persengketaan, permusuhan terus menerus dan menghilangkan persatuan diantara kita. Namun sebaliknya kita haruslah menghindari persengketaan, permusuhan dan jalin rasa persatuan dan kesatuan yang hakiki untuk kemjauan bangsa kedepannya- biduak lalu kiambang batauik. Mudah-mudahan. [Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 21 April 2019.

Undangan Menulis

0

Jurnal Suluah, media komunikasi kesejarahan, kemasyarakatan, dan kebudayaan diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat. Mulai tahun 2019, jurnal ini telah terbit dalam bentuk elektronik (OJS), terbit dua kali dalam setahun yakni Juni dan November. Kami mengundang peneliti, akademisi, dan profesional untuk mengirimkan hasil penelitian, kajian, dan telaahan diperkuat melalui penggunaan data dan referensi yang kuat dan belum pernah dimuat (dipublish). Artikel akan diedit dan dinilai berdasarkan orisinalitas, sistematika, teknik penelitian, kebaruan, dan kontribusi tulisan. Redaksi hanya menerima semua hasil penelitian sejarah dan budaya. (Redaksi)

Kusuik nan Kamanyalasaikan, Karuah nan ka Mampajaniah

0
Undri

Penulis: Undri

Pemimpin yang bagaimana yang harus kita pilih ?. Tentunya,  pemimpin ketika kusut yang akan menyelesaikan, keruh yang akan menjernihkan. Bukan sebaliknya, memperkusut dan memperkeruh sebuah permasalahan. Menyulut amarah banyak orang dan meniadakan kesejukan. Kedudukannya itu ia dituntut mampu membimbing, memperbaiki serta menyelesaikan banyak persoalan dalam masyarakat, mampu menata tata kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik. Pemimpin yang sangat dekat dan mengerti akan nasib rakyatnya.

Pemimpin yang seperti itu kita dapatkan jika fondasi kepemimpinannya dibingkai oleh kekuatan kepercayaan dan kejujuran. Seorang yang muncul tidak begitu saja (instant), namun mengalami suatu proses yang panjang. Sehingga menjadi pemimpin kharismatik bagi generasinya dan generasi berikutnya.

Kekinian kita sadar bahwa demokratisasi telah melahirkan embrio pemimpin yang secara emosional bathiniah tidak terhubung erat dengan rakyatnya atau bawahannya, bingkai kekuasaan yang paling menonjol bukan hubungan emosional bathiniah yang melahirkan pemimpin kharismatik.

Melahirkan pemimpin kharismatik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses panjang menuju arah itu. Pondasi kepercayaan, kejujuran dan dekat secara emosional bathiniah dengan rakyat adalah kunci utama untuk membingkainya.  Sejalan dengan itu ada beberapa perihal yang melekat pada pemimpin kharismatik itu sendiri. Pertama, kusuik nan kamanyalasaikan, karuah nan ka mampajaniah (kusut yang akan menyelesaikan, keruh yang akan menjernihkan). Peran orang pandai, intelektual, atau pemimpin yang dibesarkan oleh masyarakatnya. Posisinya ibarat, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, agar dapat menyelesaikan dengan baik permasalahan yang timbul, bukan sebaliknya membuat masalah pula. Kedua, kuek katam karano tumpu, kuek sampieh karano takan-kuat serut karena tumpuan, kuat sendi karena ditekan. Segala sesuatu sangat tergantung pada pemimpin karena tugas pemimpinlah yang harus memimpin tata kehidupan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Ini bisa berjalan bila adanya suatu proses interaksi yang bersifat aktif antara seorang pemimpin dengan anggota masyarakatnya.

Interaksi yang bersifat aktif tersebut nantinya akan memperlihatkan hubungan yang bersifat harmonis keduanya. Dengan kata lain proses ini secara umum dapat dikatakan sebagai suatu interaksi antara pemimpin dengan pengikut-pengikutnya. Dalam keadaan interaksi ini, pemimpin itu mengemukakan, dan pengikutnya menerima, tentang pengenalan dirinya sebagai pemimpin mereka yang telah ditakdirkan dan tentang pendapatnya mengenai dunia mereka yang sebenarnya .

Pemimpin akan merasakan apa-apa yang dirasakan oleh pengikutnya, begitu juga sebaliknya. Mereka telah merasa satu jiwa, satu tekad dan satu tujuan. Ketika kesemuanya itu terpadu kedalam sebuah kebulatan maka nantinya akan terbentuk suatu kekuatan yang mendukung seorang pemimpin. Akhirnya menjadi seorang yang kharisma dipandang oleh masyarakatnya. Disamping itu adanya sifat penghormatan terhadap seorang pemimpin. Sikap penghormatan diperlukan menginggat bahwa karena dengan penghormatan terhadap pemimpin tersebut justru nantinya akan membuat eksistensinya dalam masyarakat semakin kuat.

Kedua, gunung timbunan kabuik, lurah timbunan aia, bukik timbunan angin (gunung timbunan kabut, lurah timbunan air, bukit timbunan angin). Nasihat untuk para pemimpin agar menyadari bahwa dengan menduduki kedudukannya itu ia dituntut mampu menyelesaikan banyak persoalan dalam masyarakatnya.

Ketiga, manukuak mano nan kurang, mambilai mano nan senteng, manyisik sado nan umpang, mauleh mano nan singkek-menambah mana yang kurang, membilang mana yang lebih, menisik segala yang rumpang, mengulas mana yang pendek. Upaya pemimpin dalam membimbing dan memperbaiki kehidupan rakyatnya. Sehingga seorang pemimpin mempunyai tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi sangat berguna baginya untuk menjadikan dirinya sebagai seorang tokoh kharismatik bagi generasi yang akan datang maupun generasi pada saat ini. Pola tingkah lakunya merupakan pola tingkah laku yang murni bukan terbias dengan berbagai-macam bias apalagi bias-bias politik yang menguntungkan pribadi atau kelompoknya.  Keempat, panjang jan malindih, gadang jan malendo- panjang jangan melindas, besar jangan menyenggol. Jika berkuasa janganlah bersikap semena-mena dengan menekan atau memaksakan kehendak pada yang lebih kecil (bawahan) karena mereka pasti akan kalah. Kelima, tibo di paruik jan dikampihan, tibo dimato indak dipiciangkan, tibo di dado indak dibusuangkan-tiba diperut tak dikempiskan, tiba di mata tak dipejamkan, tiba didada tak dibusungkan. Sikap yang harus dimiliki oleh seseorang pemimpin dalam mengambil keputusan, yang adil, tak membedakan orang per orang, serta bersedia memahami persoalan apa adanya.

Jadi, akhirnya seorang pemimpin memiliki kewajiban hakiki menyelesaikan yang kusut dan menjernihkan yang keruh. Bila itu ada dalam sikap  tingkah laku seorang pemimpin maka penataan kehidupan masyarakat yang dipimpinnya akan kearah yang lebih baik. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 31 Maret 2019

Seminar Proposal Kajian Pelestarian Nilai Budaya

0
Suasana seminar

Padang – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat mengadakan Seminar Proposal Kajian Pelestarian Nilai Budaya. Seminar ini berlangsung selama dua hari yakni pada Senin-Selasa, 18-19 Maret 2018 di Ruang Rapat BPNB Sumatera Barat. Acara dibuka secara langsung oleh Kepala BPNB Sumatera Barat Drs. Suarman.

Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari akademisi seperti Drs. Syafrizal Sirin, M.Hum dari Universitas Andalas, Dr. Wirdanengsih, S.Sos, M.Si dari Universitas Negeri Padang dan Prof. Dr. Erwin dari Universitas Andalas serta peserta dari berbagai universitas dan dinas-dinas  yang ada di Kota Padang. Masukan narasumber dijadikan dasar penyempurnaan sistematika dan laporan kajian.

Dalam sambutannya, Suarman menyampaikan bahwa kajian yang dilakukan peneliti BPNB Sumbar sesuai tugas dan fungsi pelestarian yakni policy research. Untuk itu, dalam pelaksanaan kajian diharapkan semua peneliti harus menghasilkan sesuatu sebagai pendukung pemajuan kebudayaan. Suarman juga menambahkkan agar para peneliti melakukan koordinasi dengan pemerintah setempat untuk lebih suksesnya kegiatan penelitian ini.

Baca juga: Daftar Kajian BPNB Sumbar ta. 2019

Selama dua hari seminar akan membahas 10 judul proposal penelitian dimana seluruhnya dilaksanakan oleh peneliti BPNB Sumatera Barat. Proposal penelitian tersebut terdiri dari aspek budaya dan sejarah di tiga wilayah kerja BPNB Sumatera Barat yakni Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan.

Pada hari pertama membahas empat proposal yakni Dinamika Kehidupan Sosial Budaya Daerah Koto Tangah Kota Padang Sumatera Barat, Batagak Payuang Pada masyarakat Kuranji Kota Padang, Padang Pinggir Kota (Papiko) dan Tari Serasan Seandanan: Tari penyambutan tamu di Kabupaten Ogan Komerin Ulu Selatan Provinsi Sumatera Selatan. Seminar hari pertama ini dimoderatori oleh Israr Iskandar, SS, M.Si dengan nara sumber Drs. Syafrizal Sirin, M.Hum.

 Adapun seluruh judul proposal yang akan dibahas dalam seminar antara lain:

  1. Dinamika Kehidupan Sosial Budaya Daerah Koto Tangah Kota Padang Sumatera Barat (1980-2010)
  2. Batagak Payuang pada masyarakat Kuranji Kota Padang (1980-2017)
  3. Padang Pinggir Kota (Papiko) dari Kampung menjadi Kelurahan; studi kasus: Nagari Nanggalo (1980-2018)
  4. Tari Serasan Seandanan: Tari Penyambutan Tamu di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Provinsi Sumatera Selatan (1989-2018)
  5. Nilai Budaya Masyarakat Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu dalam Sastra Lisan Serambeak
  6. Kearifan Lokal Masyarakat Ogan Ilir Sumatera Selatan dalam Cerita Rakyat Jeliheman
  7. Rumah Kajang Padati di Kota Padang: Konsep Tata Ruang dan Fungsi Sosial
  8. Tradisi Bimbang Babelai pada Suku Bangsa Serawai di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu
  9. Adat Sedulang Setudung di Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan
  10. Ritual Batepong pada Suku Bangsa Pekal di Kecamatan Ketahun Kabupaten Bengkulu Utara.

Pelaksanaan seminar berlangsung dinamis. Berbagai masukan diberikan para peserta untuk lebih memaksimalkan hasil penelitian khususnya berkaitan dengan urgensi penelitian dan kaitan dengan pelestarian budaya.

Kajian ini diharapkan selain mendeskripsikan aspek budaya dan sejarah, juga dapat menghasilkan kebijkan strategis pelestariannya. Jadi kajian pada intinya berisi temuan kebijakan pelestarian budaya maupun sejarah yang dikaji. (FM)

 

NB: Beberapa judul penelitian pada berita sebelumnya telah diubah sesuai kebutuhan peneliti

Daftar Kajian BPNB Sumbar T.A. 2019

0

Padang – Sebagai unit kerja pelestari budaya, Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat memiliki kegiatan Kajian Pelestarian Nilai-Nilai Budaya. Tujuan pengkajian dimaksudkan untuk menggali nilai-nilai dalam karya budaya atau objek pemajuan kebudayaan. Sebagaimana tertera dalam UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan terdapat sepuluh objek pemajuan kebudayaan. Ke sepuluh objek tersebut yakni tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

Pada tahun 2019, BPNB Sumbar akan melakukan kajian tentang objek-objek tersebut. Total ada sepuluh kajian yang tersebar di tiga wilayah kerja yakni Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Ke sepuluh kajian tersebut yakni empat kajian di Provinsi Sumatera Barat, tiga Kajian di Provinsi Bengkulu dan tiga kajian di Provinsi Sumatera Selatan. Sementara tahap-tahap pelaksanaan akan dimulai dengan seminar proposal, pengumpulan data, pengolahan data dan seminar hasil.

Baca juga: Pengumuman Program Kerja 2019

Adapun judul kajian yang rencananya akan dilaksanakan sepanjang tahun ini antara lain:

  1. Dinamika Perubahan Nilai Sosial Budaya Masyarakat Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat;
  2. Rumah Kajang Padati pada Masyarakat Padang– Konsep Tata Ruang dan Fungsi Sosial;
  3. Masyarakat Kuranji Kota Padang dalam Perspektif Sejarah dan Budaya (1992-2017);
  4. Padang Pinggir Kota (PAPIKO) dalam Perspektif Sejarah dan Budaya: Studi Kasus Masyarakat Kecamatan Nanggalo Tahun 1990-2017;
  5. Upacara Daur Hidup pada Suku Bangsa Pekal di Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu;
  6. Tradisi dan Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu;
  7. Tradisi Bimbang Babelai pada Suku Bangsa Serawai Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu;
  8. Kearifan Lokal Masyarakat Ogan Ilir dalam Cerita Rakyat Jeliheman;
  9. Budaya Masyarakat Banyuasin di Desa Geledak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan;
  10. Kearifan lokal Masyarakat Kawasan Danau Ranau Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Provinsi Sumatera Selatan.

Nantinya, hasil kajian-kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai dokumen pendukungan pengusulan warisan budaya tak benda nasional maupun dunia. Hasil kajian juga diharapkan dapat ‘menelurkan’ rekomendasi kepada pemerintah daerah perumusan kebijakan pelestarian budaya.

“kajian ditekankan menghasilkan kontribusi kebijakan strategis kebudayaan. Kemasan hal ini dalam bentuk kegiatan pengedukasian dan internalisasi nilai-nilai budaya untuk menguatkan ketahanan budaya masyarakat” terang Suarman

Selain kajian nilai budaya dan sejarah, BPNB Sumbar juga akan mengadakan pencatatan warisan budaya tak benda (WBTB) di tiga wilayah kerja. Disamping juga mengadakan berbagai even internalisasi seperti Jejak Tradisi Daerah, Lawatan Sejarah Daerah, Belajar Bersama Maestro, Dialog Budaya, Dialog Sinergitas dan lain-lain.(FM)

Pengumuman Program Kerja BPNB Sumbar T.A. 2019

0

Padang – Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat mengumumkan Program Kerja 2019. Pengumuman dilakukan pada Selasa, 29 Januari 2019 di Ruang Rapat BPNB Sumatera Barat. Pengumuman ini  sekaligus menetapkan tim pelaksana semua kegiatan yang meliputi kajian, revitalisasi dan internalisasi nilai budaya. Dengan pengumuman ini artinya seluruh kegiatan sudah dapat dimulai.

Kegiatan tahun ini sesungguhnya merupakan terjemahan dari  tugas dan fungsi BPNB Sumbar sebagai pelestarian budaya. Kegiatan-kegiatan tersebut juga sudah rutin dilaksanakan di tiga wilayah kerja BPNB Sumbar yakni Provinsi Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Beberapa kegiatan unggulan juga sama yakni Belajar Bersama Maestro, Gelar Budaya, Lawatan Sejarah Daerah dan Jejak Tradisi Daerah serta Fasilitasi dan Kemitraan.

Baca juga: Undangan Menulis Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya

Dalam kesempatan pengumuman tersebut, kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman menekankan agar kegiatan 2019 dilaksanakan ke wilayah-wilayah yang sama sekali belum pernah atau jarang dimasuki. Hal ini sesuai dengan arahan Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk menciptakan pemerataan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Sehingga kegiatan kali ini akan menyasar daerah-daerah yang sama sekali baru.

Suarman juga menekankan agar setiap pelaksanaan kegiatan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Hal ini untuk memastikan kegiatan berjalan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara administrasi maupun aspek kemanfaatannya.

Bagi pegawai, kegiatan ini menjadi kegiatan pendukung Sasaran Kinerja Pegawai. Walau begitu, kegiatan tersebut sama pentingnya dengan kegiatan utama. Melalui pelaksanaan kegiatan ini diharapkan pegawai dapat mencapai realisasi sasaran kerjanya dengan baik, disamping mencapai tugas dan fungsi kantor sebagai pelestari budaya.

Adapun kegiatan yang akan dilaksanakan tahun ini antara lain:

  1. Kajian Pelestarian Nilai Budaya di tiga wilayah kerja BPNB Sumbar
  2. Penerbitan Buku, Jurnal, Leaflet dan Booklet
  3. Inventarisasi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di tiga wilayah kerja BPNB Sumbar
  4. Internalisasi Nilai Budaya di tiga wilayah kerja BPNB Sumbar (Jejak Tradisi Daerah, Lawatan Sejarah Daerah, Dialog Budaya, Belajar Bersama Maestro, Bioskop Keliling dan Pameran hasil kajian, Lomba Karya Tulis, Gelar Budaya, Festival Film Pendek serta Fasilitasi dan Kemitraan). (FM)

LAKIP BPNB Sumbar 2018

0

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat tahun 2018 dapat diunduh di LAKIP BPNB SUMBAR 2018

Undangan Menulis Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya

0

Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat akan kembali terbit. Hingga 2019 ini, penerbitan jurnal ini telah memasuki volume lima. Mulai tahun ini, jurnal tidak hanya terbit dalam edisi cetak, tapi juga online. Waktu penerbitan akan tetap dilakukan secara berkala yaitu dua kali setahun. Untuk nomor satu akan terbit di Juni dan nomor dua terbit di Desember.

Redaksi mengundang para peneliti, profesional dan akademisi untuk dapat mensubmit artikel di http://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/. Redaksi menerima artikel hasil-hasil penelitian bertemakan sejarah dan budaya di seluruh Indonesia, terkhusus di wilayah kerja Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat yakni Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan.

Artikel yang masuk akan direview oleh redaksi dan Mitra Bestari dan hasil/rekomendasi Mitra Bestari akan menjadi pertimbangan utama sebuah artikel layak atau tidak layak dimuat di jurnal ini.

Panduan penulisan sekaligus template dapat diunduh di TEMPLATE PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL.

LAKIP BPNB SUMBAR 2017

0

Terlampir Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat Tahun Anggaran 2017

LAKIP

Seminar Revitalisasi Budaya Minangkabau

0

Bukittinggi – Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat menggelar Seminar Revitalisasi Budaya Minangkabau. Seminar ini diadakan selama tiga hari berturut-turut pada 27-30 November 2018 di Hotel Novotel, Bukittinggi, Sumatera Barat. Hadir dalam kegiatan ini dinas-dinas provinsi dan kabupaten di seluruh Sumatera Barat, Balitbang, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), pemangku adat, bundo kanduang, akademisi, praktisi dan Cerdik Pandai. Acara dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bukittinggi.

Acara dimulai dengan pengantar oleh MC, pembacaan ayat Alquran, tari pasambahan yang dibawakan oleh Sanggar Puti Limo Jurai serta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Selanjutnya laporan panitia, sambutan kepala menyusul kemudian kata sambutan sekaligus pembukaan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bukittinggi.

Laporan ketua panitia, Dra. Maryetti, M.hum, menyebut peserta dalam kegiatan ini berjumlah 125 orang termasuk panitia. Masih menurut dia, kegiatan ini bertujuan sebagai wadah mensosialisasikan UU Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Meningkatkan pengetahuan tentang budaya Minangkabau dan menghasilkan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah terkait pelestarian budaya.

Berkaitan dengan itu, Kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman dalam sambutannya menyampaikan bahwa sebagai adi budaya dunia, Indonesia paling potensial meraih kemajuan dari kebudayaan. Sebagai adi budaya, tidak saja potensial sebagai magnet pariwisata dan sumber ekonomi masyarakat. Kebudayaan juga berperan penting sebagai landasan peradaban. Suarman juga menyampaikan bahwa seminar ini dapat menjawab berbagai tantangan pelestarian kebudayaan di masa mendatang, merumuskan tata kelola budaya melalui ekosistem kebudayaan dan rekomendasi sebagai rujukan pembuatan regulasi terkait pelestarian budaya.

Melihat bahwa budaya adalah akar kebudayaan, maka Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bukittinggi sangat mendukung kegiatan seminar ini. Dia menambahkan bahwa jika kebudayaan tidak dirawat maka peradaban tidak akan tumbuh dengan sempurna. Sehingga seminar ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang tepat untuk kemajuan kebudayaan Minangkabau.

Seminar ini sendiri akan berlangsung selama tiga hari, peserta akan dibagi dalam 5 rapat komisi. Ke lima komisi akan membahas 10 obyek kebudayaan sesuai UU Pemajuan Kebudayaan. Hasil rapat komisi akan dibawa ke rapat seluruh peserta untuk menghasilkan rekomendasi pelestarian budaya Minangkabau. (FM)

Seminar Hasil Kajian Nilai Budaya

0

Padang – Setelah melakukan kajian selama setahun, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat melaksanakan seminar hasil kajian. Seminar ini dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut sejak Rabu-Jumat, 21-23 November 2018. Seminar diadakan di Hotel Grand Inna, Padang Sumatera Barat. Sebanyak 15 hasil penelitian diseminarkan baik kajian sejarah maupun budaya. Hadir sebagai keynote speaker dalam seminar ini Prof. Dr. Dwi Purwoko dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Acara yang dibuka secara resmi oleh Kasubag Tata Usaha BPNB Sumbar Titit Lestari, S.Si, MP ini dihadiri oleh beberapa orang narasumber dari akademisi dan tokoh-tokoh dari daerah lokasi penelitian. Selain itu turut hadir dalam seminar ini perwakilan dari Balitbang provinsi Sumatera Barat, Balai Bahasa Sumatera Barat, Akademisi dan mahasiswa.

Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin BPNB Sumatera Barat setelah seluruh penelitian selama tahun berjalan selesai. Sebagaimana tugas dan fungsinya sebagai pelestari budaya, BPNB Sumbar selalu mengadakan kajian rutin berkaitan dengan sejarah dan budaya di tiga wilayah kerja yakni Sumbar, Bengkulu dan Sumatera Selatan.

Selain sosialisasi hasil kajian, seminar hasil kajian ini sekaligus sebagai ajang menambah pengetahuan akademis baik terkait metode maupun teori yang berkembang. Hal ini untuk memastikan bahwa peneliti senantiasa update perkembangan ilmu pengetahuan.

Dalam kesempatan itu, Dwi Purwoko menekankan penting untuk tetap fokus dalam melakukan kegiatan penelitian. Hal ini untuk memastikan bahwa hasil penelitian tersebut berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Dia juga menambahkan bahwa peneliti harus berani mengambil resiko, yang penting data yang diberikan valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Harapannya, hasil-hasil penelitian BPNB Sumatera Barat dapat bermanfaat khususnya hasil penelitian 2018.(FM)

Renstra Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat 2015-2019

0

Rencana Strategis Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat T.A. 2015 – 2019 dapat diunduh:

RENSTRA-2015-2019-BPNB-PADANG

Upacara Peringatan Hari Sumpah Pemuda

0

Padang – Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-90, Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat menggelar upacara pada Senin, 29 Oktober 2018. Upacara dilaksanakan di halaman kantor BPNB Sumbar Kuranji, Padang. Sebagai pembina dalam upacara Kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman. Upacara diikuti seluruh pegawai dan mahasiswa yang sedang magang.

Upacara yang dimulai sejak jam 08.00 wib tersebut berlangsung hikmat. Dimulai dengan penaikan bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan teks Pancasila, Pembacaan UUD 1945, Pembacaan Keputusan Kongres Pemuda Indonesia serta pembacaan naskah pidato Menteri Pemuda dan Olahraga. Selain itu, peserta upacara juga menyanyikan lagu-lagu nasional.

Baca juga: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/wp-admin/post.php?post=2284&action=edit

Sebagaimana diketahui, Hari Sumpah Pemuda yang jatuh tanggal 28 Oktober merupakan peristiwa sejarah penting dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Pada momen tersebut pemuda Indonesia mengikrarkan bahwa sebagai Indonesia adalah satu bangsa, tanah air dan satu bahasa. Peristiwa ini sekaligus mengakhiri perjuangan bangsa yang sebelumnya masih bersifat kedaerahan.

Selamat Hari Sumpah Pemuda!(FM)

PPKD dan Komitmen Pemerintah Daerah

0

Kita menyadari sepenuhnya bahwa kebudayaan itu penting, sebab persoalan budaya sudah melekat dan menjadi pakaian hidup serta sebagai harga diri bagi seseorang. Jamak terjadi bagi kita pemahaman tentang pentingnya kebudayaan terkadang hanya dalam bentuk ucapan-pemanis saja-tidak dituangkan dalam bentuk dokumen sebagai fondasi untuk melaksanakan kegiatan atau program. Sebuah dokumen yang bisa dipraktikkan atau dilaksanakan dikemudian hari. Sebuah dokumen yang memuat tentang Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).

            Penguatan kearah tersebut telah diperteguh dengan keluarnya Undang-Undang nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pemajuan kebudayan berpedoman pada PPKD kabupaten/kota, Dalam arti kata bahwa pemerintah daerahlah yang menyusun PPKD. Namun sampai bulan ini baru 8 (delapan) kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Barat yang sudah menyusun struktur tim PPKD tersebut. Kabupaten/kota yang sudah dan sedang berjalan menyusun PPKD tersebut yakni Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Padang Pariaman,  Kabupaten Tanah Datar, Kota Bukittinggi dan Kota Payakumbuh. Bagaimana dengan daerah lainnya ?. Apakah punya niatan untuk menyusun PPKD tersebut. Kita berpikiran positif bahwa pemerintah kabupaten/kota lainnya punya niatan kearah tersebut, dan kita tunggu untuk menyiapkan dokumen PPKD tersebut.

Sebuah keniscayaan bila kita ingin memajukan kebudayaan di daerah kita namun belum menyiapkan langkah awal pembentukan PPKD tersebut, seperti penyusunan tim PPKD. Sebab tim PPKD inilah yang nantinya menyusun roh pokok-pokok kebudayaan yang ada di daerah.

Baca juga: Silek, indonesiana dan ekosistem kebudayaan

Ditelisik lebih jauh untuk persoalan inipun telah didorong untuk menyusun PPKD di daerah. Diawali dengan Lokakarya Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Kabupaten /Kota hari Kamis, 26 April 2018 di Grand Inna Padang. Kegiatan yang digagas oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebuah langkah awal untuk melaksanakan amanah dari Undang-Undang nomor 5 Tahun 2017 tersebut. Perihal terpenting dalam rangka pemajuan kebudayaan di daerah. Namun respon positif belum seratus persen, sebab hanya 7 (tujuh) kabupaten kota di Propinsi Sumatera Barat yang punya komitmen untuk itu. Kita tidak menafikan bahwa kabupaten dan kota yang lain juga punya respon positif dan komitmen kuat kearah tersebut, namun belum memperlihatkan jalan kearah tersebut, kita tunggu.

Kenapa penting PPKD tersebut ?. Jawabnya adalah bahwa PPKD merupakan fondasi utama bila kita ingin memajukan kebudayaan daerah, sebagai acuan, kompas kemana arah kebudayan kita nantinya.Bila ini tidak disusun dikuatirkan arah kebudayaan daerah kita tidak menentu, dan tidak ada fondasi utamanya.

Disinilah pentingnya komitmen dari pemerintah daerah untuk menyusun PPKD tersebut. Komitmen ini penting mengingat keberlanjutan dari apa yang menjadi PPKD tersebut, alias PPKD tersebut tidak hanya sebatas dokumen saja namun bisa dilaksanakan untuk pemajuan kebudayaan di daerah.

Dari segi penganggaran dalam bidang kebudayaan kita masih “dianak tirikan”, baik dari segi kebijakan apalagi anggaran. Coba sandingkan saja anggaran bidang lain dengan kebudayaan, saya yakin dan percaya akan lebih besar dibidang lain seumpama bidang pariwisata. Paradigma yang terbangun oleh pengambil kebijakan selama ini adalah bahwa membangun pariwisata akan dapat menghasilkan pendapatan secara langsung dan cepat seperti orang datang atau para turis, baik internasional maupun domestik. Tidakkah pernah kita berpikir yang kita jual dan promosi yang kuat itu adalah kebudayaan kita sendiri !

Ditambah dengan persoalan kuatnya kedudukan kebudayaan dalam kehidupan kita. Dikatakan tak berbudaya saja tamparan dan muka merah beringas akan kita dapati. Begitulah gambaran tatkala kita mengutas dengan cemohohan pada pribadi seseorang dengan ungkapan tak berbudaya. Ini bisa saja terjadi pada anak-anak, apalagi pada angku-angku, datuak-datuak yang kesehariannya melekatkan diri dengan budaya itu sendiri.

Berbicara masalah budaya, sebetulnya sangat luas bukan saja persoalan cara berpakaian, pembagian harta warisan, pementasan teater, tari-tarian dan lainnya namun jauh dari itu. Konsep budaya itu luas dan dinamis-berubah. Irama hidup kita yang makin cepat tentu saja mempengaruhi perubahan tersebut.

Sebuah komitmen terbaik dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk mengusulkan DAK (Dana Alokasi Khusus) di bidang kebudayaan pada masing-masing kabupaten dan kota. Ini tidaklah mudah untuk memperjuangkannya perlu komitmen kita bersama, khususnya pemerintah daerah, salah-satunya adalah penyusunan PPKD tersebut.

Menurut penulis ada beberapa langkah yang harus dilaksanakan untuk memujudkan PPKD tersebut. Pertama, pemerintah daerah kabupaten dan kota harus terlebih dahulu punya komitmen untuk pemajuan kebudayaan daerahnya. Komitmen tersebut dipraktikkan dengan menyusun Tim Penyusun PPKD. Tim tersebut merupakan orang yang memiliki profesional dibidangnya, sebab merekalah yang akan bekerja untuk menyusun PPKD tersebut.

Kedua, setelah dibentuk PPKD tersebut perlu kiranya diajak serta semua stakholder dibidang kebudayaan. Mereka memiliki kontribusi yang besar untuk penyusunan PPKD tersebut, prosesnya seperti melaksanakan FGD (Focus Group Discussion). Hasil FGD tersebutlah yang menjadi rujukan awal untuk disusun oleh tim tersebut.

Ketiga, setelah dilaksanakan FGD tersebut (bisa satu kali atau lebih) maka mulailah tim menyusun PPKD tersebut. Tim haruslah bekerja dengan baik dan professional sehingga menghasilkan PPKD yang baik pula nantinya. Keempat, setelah dilaksanakan penyusunan PPKD oleh tim tersebut, maka perlu penguatan akan hal ini yakni berbentuk regulasi. Maka sebaiknya hasil dari tim tersebut dalam bentuk PPKD dibuatlah Peraturan Daerah (Perda) supaya bersifat mengikat dan dapat dilaksanakan nantinya dari isi yang diamanatkan dalam PPKD tersebut. Kelima, pemerintah daerah Sumatera Barat dalam hal ini Dinas Kebudayaan Propinsi Sumatera Barat dapat mengkoordinir dan mendorong terbentuk dan tersusunnya PPKD setiap kabupaten dan kota. Keenam, perihal yang sangat penting adalah PPKD tersebut tidak hanya sebagai dokumen semata namun dilaksanakan kedepannya. Disinilah pentingnya komitmen kepala daerah dan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dalam bidang kebudayaan untuk melaksanaknnya.

Jadi, sangatlah disayangkan bila kerja baik untuk menuju pemajuan kebudayaan daerah kita tidak kita respon dengan baik.Sebab PPKD tersebut merupakan  sebuah fondasi awal untuk menuju pemajuan kebudayaan daerah. Marilah kita semuanya punya komitmen untuk itu. Mudah-mudahan. Wasalam.

Hidup Seadanya di Laut yang Kaya

0
para nelayan di Pesisir Selatan sedang menarik pukat. Foto. Firdaus Marbun

Pagi itu, beberapa nelayan duduk santai di dipan sebuah rumah panggung di Nagari Lansano, salah satu nagari di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Terik matahari mulai menyengat mengiringi kepulangan mereka seakan mendorong untuk mengaso sejenak. Mereka memang butuh melepas lelah sejenak setelah sejak subuh bekerja di tengah laut. Umumnya obrolan dan canda mereka membahas seputar hasil yang diperoleh pagi ini.

‘dapek bara (dapat berapa)?’ tanya seorang bapak.

‘limo pulu ibu nyo (cuma lima puluh ribu rupiah)’ jawab yang lain.

Penghasilan mereka pagi itu hanya Rp.50.000,-. Hasil sebanyak itu dibagi untuk biaya baka (bahan bakar) melaut dan dibawa ke rumah. Kala itu musim melaut sedang sedikit. Banyak diantara nelayan tidak mendapatkan hasil tangkap. Bahkan, beberapa diantara mereka untuk menutupi baka saja kadang tidak bisa. Begitulah keseharian sekelompok bapak-bapak tersebut yang sehari-hari melaut menggunakan sampan robin (sampan 15 PK) dengan alat tangkap seadanya. Mereka disebut juga dengan nelayan robin.

Baca juga: PPKD, titik awal atau pengulangan sejarah

Sebagian masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan memang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Berdasarkan data statistik tahun 2016, terdapat 18.937 orang berprofesi sebagai nelayan dengan rincian 14.091 jiwa nelayan penuh waktu dan 4.846 jiwa nelayan paruh waktu. Jumlah tersebut, umumnya hidup sebagai nelayan tradisional dengan mengandalkan alat tangkap sederhana, modal kecil dan hasil tangkap yang sedikit. Bahkan, sebagian hidup memburuh kepada pemilik alat tangkap tanpa memiliki alat kerja.

Hidup sebagai nelayan tradisional di Kabupaten Pesisir Selatan bisa dikatakan sangat memprihatinkan. Seringkali, hasil tangkap yang mereka peroleh di pagi hari hanya cukup memenuhi konsumsi di hari yang sama. Bahkan sering hasil tangkap mereka tidak cukup untuk memenuhi biaya melaut yang mereka keluarkan. Ketika masa seperti ini tiba, maka jalan keluar yang mereka tempuh adalah berhutang. Menjadi tradisi bagi mereka hidup dengan menggali lobang tutup lobang.

Kita yang selalu merasa bangga dengan luas dan kayanya laut seakan ironis menyaksikan kehidupan nelayannya. Mengandalkan hasil menangkap sangat tidak mungkin bahkan hanya untuk sekadar mempertahankan hidup. Tidak peduli apakah mereka nelayan robin, nelayan pukat tepi atau nelayan pukat payang, semua sama saja. Sehingga, lama kelamaan mereka selalu terperangkap dalam kondisi yang cukup memprihatinkan dan miskin.

Untuk dapat melanjutkan dapur tetap ngebul merekapun harus kreatif. Jika tidak, maka mengandalkan hasil tangkap akan mengancam hidup mereka. Beberapa cara yang mereka lakukan disaat hasil tangkapan mereka tidak ada adalah dengan membantu penangkapan orang lain, memanfaatkan pasang sedang naik untuk menangkap kepiting atau udang, bekerja di luar kerjaan nelayan dan sebagainya. Namun, pekerjaan-pekerjaan sampingan tersebut hanyalah sementara.

Berbagai program pemerintah sebenarnya telah digulirkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan. Beberapa diantaranya seperti asuransi nelayan, bantuan alat tangkap, tabungan nelayan dan lainnya. Namun pemberian bantuan tersebut belum berdampak signifikan pada peningkatkan taraf hidup nelayan. Program yang ada seakan tidak mampu mengangkat penghasilan mereka. Mereka yang mengandalkan alat tradisional seakan takluk pada alam.

Persoalan masyarakat nelayan di Kabupaten Pesisir Selatan memang cukup rumit. Keterbatasan penguasaan teknologi mengakibatkan nelayan tradisional senantiasa takluk pada alam. Kekalahan teknologi juga mengakibatkan pengumpulan hasil laut yang kecil jika dihadapkan pada penggunaan teknologi yang lebih canggih. Disisi lain dari sumber daya manusia, nelayan tradisional juga umumnya sangat minim mengecap pendidikan formal dan keterampilan yang berpotensi mencari penghasilan tambahan.

Penulis: Firdaus Marbun, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang pada 23 September 2018

Ragam Aliran Silek Tradisi di Kabupaten Solok Selatan

0
Salah satu gerak silek luncua. Silek ini merupakan salah satu aliran silek tradisi yang terdapat di Kabupaten Solok Selatan.

Silek tradisi di Kabupaten Solok Selatan sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan silek tradisi Minangkabau. Masyarakat sendiri mengakui bahwa silek mereka berasal dari daerah darek yang kemudian dikembangkan di Solok Selatan. Bahkan silek yang terdapat di Solok Selatan umumnya menggunakan nama-nama aliran silek di darek seperti pangian, kumango, taralak, harimau dan lain-lain. Memang, sebagian mereka mempertahankan gerak dan keunikannya sebagaimana di darek. Sebagian lain memodifikasi sesuai keadaan lingkungan dan kebutuhan.

Dari penelusuran tim kajian Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat tahun ini, hingga kini masih banyak aliran silek yang tetap bertahan. Walau begitu, tidak semua aliran berkembang dengan baik. Ada yang baik dan ada juga yang kalau tidak bisa disebut hampir punah. Beberapa kendala seperti kurangnya minat masyarakat untuk belajar, ketertutupan tuo silek untuk mengajarkan, dan berbagai alasan lain ditengarai sebagai faktor penting yang mempengaruhi perkembangan silek tersebut.

Beberapa perbedaan antara silek darek dengan solok selatan lebih disebabkan adaptasi terhadap kondisi lingkungannya. Sehingga terdapat pada beberapa bagian silek mendapat perubahan penting. Salah satu aliran yang dimodifikasi yakni silek Kumango. Silek ini sangat berbeda dengan silek kumango yang umum dikenal masyarakat Minangkabau. Jika Rusli (2008) menyatakan bahwa silek kumango bukanlah gabungan silek, tapi disini silek kumango adalah gado-gado oleh masyarakat setempat. Gado-gado karena merupakan gabungan dari berbagai gerak aliran silek yang ada di Solok Selatan.

Baca juga: Silek, Indonesiana dan Ekosistem Kebudayaan

Solok selatan memang dikenal sebagai perbatasan antara darek dengan rantau. Sebagai perbatasan, daerah ini dipengaruhi oleh dua kebiasaan atau tradisi yang berbeda yang saling berinteraksi. Interaksi masyarakat yang lebih heterogen dan rumitnya berbagai persoalan yang dihadapi menyebabkan persepsi yang berbeda terhadap suatu hal. Persepsi pada Silek juga sama. Silek yang berkembang di Solok Selatan turut disesuaikan dengan alam, kebiasaan dan kebutuhan.

Di sisi lain, mempertahankan silek dengan nilainya yang murni bukanlah pekerjaan mudah. Selalu mengalami tantangan sesuai dengan kondisi alam dan keadaan sosial budayanya. Silek yang awalnya dipakai membela diri, pada perkembangannya dimanfaatkan untuk silaturahmi. Namun demikian, masyarakat menyadari pentingnya silek menjadi alat pengamanan dan pembentuk karakter. Sehingga, beberapa aliran silek dikembangkan dan hingga kini masih tetap eksis. Bahkan beberapa aliran mengalami perkembangan signifikan.

Beberapa aliran silek yang masih eksis hingga kini tersebut yakni silek pedang abai, Silek Pangian, Silek Taralak, Silek Colau, Silek Katiani, Silek Luncu, Silek Koto Anau, Silek Kumango, Silek Tuo Lubuk Gadang Yang Dikenal Juga Dengan Silek Langkah Ampek, Silek Paninjauan Atau Junjung Sirih, Silek Harimau (Termasuk Silek Kucing Putiah), Silek Tuo Sungai Pagu, dan Silek Guntiang.

Semua aliran tersebut dikelompokkan dalam silek langkah tigo dan silek langkah ampek. Menurut masyarakat perbedaan kedua silek terletak pada langkah dan geraknya. Gerak silek langkah tigo bersifat lebih menyerang atau menyambut, sementara silek langkah ampek disebut lebih mengalah dan lebih lembut. Silek padang abai termasuk ke dalam silek langkah tigo, sementara yang lain masuk ke silek langkah ampek.

Secara sederhana, perbedaan tersebut menggambarkan orientasi masing-masing silek. Kalau langkah tiga bertujuan untuk menghabisi lawan, sementara langkah ampek membuka peluang untuk berdamai terlebih dahulu. Ketika tidak ada lagi kesempatan untuk berdamai, barulah mulai menyerang atau menghabisi.

Namun demikian, baik langkah tiga maupun langkah ampek sama-sama memiliki filosofi yang sama terkait kawan dan musuh. Silek tidak digunakan untuk mengurangi kawan, juga tidak dipakai untuk menambah musuh. Silek itu hanya sebagai senjata dan pertahanan diri yang sewaktu-waktu bisa dikeluarkan ketika dalam posisi terancam.

Keberadaan dua kelompok silek ini pada masa lalu sama-sama dibutuhkan untuk menghadapi berbagai gangguan terhadap individu maupun kelompok. Sehingga silek juga disebut sebagai silek parik paga nagari. Silek menjadi andalan atau senjata ampuh untuk menjaga keamanan nagari.

Penulis: Firdaus Marbun, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimual di Harian Umum Singgalang pada Minggu, 7 Oktober 2018

PPKD, “Titik Awal atau Pengulangan Sejarah”?

0

Pasca lahirnya undang – undang pemajuan kebudayaan No 5 tahun 2017, Kebudayaan mulai mendapatkan prosi lebih dalam kerangka berbangsa dan negara. Pasca lahirnya undang – undang tersebut pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan merencanakan pada pertengahan tahun 2019 Indonesia sudah punya Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan, yang akan digunakan untuk menyusun RPJMN kebudayaan tahun 2020-2024.

Kehadiran undang – undang pemajuan kebudayaan seharusnya mendorong Pemerintah daerah untuk memanfaatkan kehadiran undang – undang tersebut demi memajukan budaya daerah mereka. Kebudayaan dan kearifan lokal setiap daerah didorong untuk dapat dikembangkan sehingga menjadi haluan pembangunan nasional. Sebagai bangsa kita menyadari untuk menyaingi negara-negara lain dalam hal teknologi sangatlah sulit bahkan kita harus akui sebagai bangsa kita sudah sangat jauh tertinggal. Solusinya yang mungkin ditonjolkan adalah kekayaan budaya dan  kearifan lokal sehingga bisa menjadikan bangsa ini diperhatikan oleh dunia.

Besarnya tanggungjawab yang diamanatkan dalam undang – undang menyebabkan Direktorat Jenderal Kebudayaan sebagai ledding sektor utama dalam melaksanakan undang – undang pemajuan kebudayaan melakukan peran aktif untuk mengwujudkan itu.  secara masif  Direktorat Jenderal kebudayaan  dari satu propinsi ke propinsi  mensosialisasikan tentang undang – undang pemajuan kebudayaan dan mendorong setiap kabupaten dan kota agar segara menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).

Baca juga: PPKD dan komitmen Pemerintah Daerah

Dalam konteks Sumatera Barat, kegiatan sosialisi tentang PPKD dilaksanakan pada bulan mei 2018. Kegiatan ini mengundang seluruh Bupati/walikota, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Kepala Bidang Kebudayaan dari kabupaten dan kota agar menghadiri kegiatan tersebut. Inti kegiatan ini adalah mensosialisasikan bahwa saat ini telah ada kebijakan baru tentang pengelolaan kebudayaan di Indonesia.

Pasca sosialisasi dan pertemuan tersebut ada beberapa kabupaten dan kota terlibat aktif dalam penyusunan PPKD tersebut, bahkan beberapa kabupaten kota secara aktif  melibatkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat sebagai unit pelaksana teknis direktorat Jenderal Kebudayaan dalam menyusun PPKD daerah mereka.  Setelah mengalami penundaan beberapa kali akhirnya awal september 2018,  seluruh kabupaten dan kota harus menyerahkan PPKD ke tingkat propinsi.

Tahapan selanjutnya adalah propinsi mengkompilasi seluruh PPKD dari kabupaten dan kota untuk dijadikan PPKD propinsi. Menurut rencana hasil PPKD dari 34 propinsi di Indonesia akan dibahas dalam acara kongres kebudayaan tahun 2018. Hasil kongres kebudayaan ini yang harapkan akan menjadi strategi kebudayaan untuk pemajuan kebudayaan indonesia.

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah PPKD efektif untuk menjadikan kebudayaan sebagai media bangsa Indonesia untuk bersaingan dan menunjukan eksitensi di tengah percaturan dunia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh wakil ketua komisi X Ferdiansyah, dalam focus group discussion Menuju Simposium Kebudayaan. Beliau berharap kekayaan budaya dan kearifan lokal yang kita miliki bisa membuat bangsa ini sejajar dengan bangsa asing sebab dari aspek teknologi indonesia telah jauh tertinggal.

Namun kehadiran PPKD yang bermuara pada lahirnya strategi kebudayaan yang akhirnya akan menghasilkan  RPJMN untuk tahun 2020 – 2024 diharapkan akan mengatarkan bangsa ini pada cita – cita luhur yaitu seluruh kekayaan budaya bisa dikembangkan dan dipertahankan.

Di sisi lain penelitian yang dilakukan Tod Jones yang dituangkan dalam tulisannya yang berjudul Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia “ kebijakan budaya selama abad ke 20 hingga era reformasi yang terbit pada tahun 2015. Tulisan ini dengan jelas memberikan gambaran bagaimana  Kebudayaan dan kekuasaan selalu mempunyai hubungan yang khas. Kebudayaan yang lahir dari rahim masyarakat selalu mempunyai peluang untuk digunakan sebagai alat legitimasi oleh pemegang kekuasaan. Rezim penguasa selalu menjadikan kebudayaan sebagai objek yang harus dikendalikan dan selanjutnya digunakan sebagai alat untuk membentuk wacana dan kemudian melanggengkan kekuasaannya.

Prilaku yang disampaikan oleh  Tod Jones telah berlangsung dari zaman penjajahan sampai dengan orde baru. Setiap penguasa telah menjadikan kebudayaan sebagai bagian dari untuk mempertahankan kekuasaan.  Di  era reformasi terjadi perubahan hal itu tergambar dari kebijakan pemerintah memisahkan kebudayaan dengan pendidikan dan mengabungkan dengan departemen Pariwisata. Hal ini memperlihatkan bahwa perspektif penguasa hanya memahami kebudayaan sebagai objek yang bisa dijual.

Tahun 2012, pemerintah Soesilo Bambang Yudhyono (SBY) kembali mengabungkan pendidikan dan kebudayaan. Hal ini kembali mengambarkan bahwa kebudayaan merupakan bagian yang tidak terpisah dari dunia pendidikan yang mengharuskan terjadi proses pewarisan dan keberlanjutan dari satu generasi ke generasi.

Undang –undang pemajuan kebudayaan nomor 5 tahun 2017 yang mendorong lahirnya  strategi kebudayaan. Untuk menyusun itu diharuskan setiap daerah harus menyusun PPKD kabupaten / kota kemudian dilanjutkan dengan PPKD propinsi   yang diharapkan menjadi titik awal dari bagaiaman kekayaan budaya yang dimiliki oleh setiap etnis, suku bangsa, agama dan daerah mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.

Perhatian ini tentu saja bukan dalam aspek wacana, namun tertuang dalam praktek politik anggaran mulai dari tingkat pusat sampai ke kabupaten dan kota. Sebagai pemilik kebudayaan, masyarakat tentu berharap bahwa PPKD titik awal dari bangkitnya kecintaan dan kepedulian seluruh elemen bangsa terhadap kekayaan budaya dan kearifanlokal yang dimiliki sebagai aset yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber ekonomi.

Masyarakat tentu tidak mengingatkan PPKD adalah bagaian dari strategi penguasa sebagaimana yang diungkapkan oleh Tod Jones dalam tulisannya. Sebagai pemilik kebudaayan  semua elemen bangsa ini berharap bahwa PPKD adalah titik awal dari munculnya cara dan metode baru dalam mengelola, mengembangkan dan mempertahankan kekayaaan budaya dan kearifanlokal yang dimiliki.

Penulis: Efrianto A, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang pada 30 September 2018

Tungkek Mambaok Rabah

0
Undri

Bagaimana kalau tungkek-tongkat yang kita pakai membuat kita rebah ? Tidak membuat kita berdiri dan tegak. Tempat kita berpegang. Rasanya lunglai juga persendian kalau itu yang terjadi. Tongkat yang ditakdirkan dan diamanahkan untuk menopang dan membawa kita berdiri tegap, namun kini tongkat itu pula yang membawa kita terjatuh dan bahkan terjerembab. Tungkek mambaok rabah (tongkat membawa rebah) muncul ungkapan akhirnya.

Tungkek atau tongkat sesungguhnya ada pada diri kita atau dengan kata lain kitalah tungkek itu. Dalam tingkatan terkecil kita sebagai tungkek pada diri kita, sebagai tungkek dalam keluarga, dan dalam masyarakat. Orang yang diberi amanah tungkek tersebut disebut dengan pemimpin. Pemimpin buat diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat. Orang yang didahului salangkah dan ditinggikan seranting. Orang yang memiliki sikap arif dan bijaksana, tanggap, dan sabar.

Orang yang arif bijaksana adalah orang yang dapat memahami pandangan orang lain, dapat mengerti apa yang tersurat maupun tersirat. Tanggap artinya mampu menangkis setiap bahaya yang bakal datang. Sabar artinya mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan pikiran yang jernih. Dilirik lebih jauh sisi keimanan maka muncul sifat siddiq (benar dalam berbicara dan benar dalam bertindak), amanah (dapat dipercaya),  fatanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan).

Baca juga: Kearifan lokal ikan larangan

Ungkapan ini sangatlah cocok untuk mengambarkan hal diatas, tahu dikilek baliuang nan ka kaki, kilek camin nan kamuko, tahu jo gabak di ulu tando ka hujan, cawang di langik tando ka paneh, ingek di rantiang ka mancucuak, tahu di dahan ka maimpok, tahu di unak kamanyangkuik, pandai maminteh sabalun anyuik. (Tahu dengan kilat beliung ke kaki, kilat cermin yang ke muka, tahu dengan mendung dihulu tanda akan hujan, mega dilangit tanda akan panas, ingat ranting yang akan menusuk, tahu dahan yang akan menimpa, tahu duri yang akan mengait, pandai memintas sebelum hanyut). Begitulah adat Minangkabau menggambarkan orang-orang yang arif, bijaksana dan tanggap terhadap masalah yang akan dihadapi.

Seiring dengan itu, seorang pemimpin-sebagai tungkek– merupakan orang yang sangat dekat dan mengerti akan nasib orang yang dipimpinnya. Sosok pemimpin yang fondasi kepemimpinannya dibingkai oleh kekuatan kepercayaan dan kejujuran. Seorang yang muncul tidak begitu saja (instant), namun mengalami suatu proses yang panjang. Sehingga menjadi pemimpin bagi generasinya dan generasi berikutnya.

Seorang pemimpin mempunyai sikap-sikap seperti tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi sangat berguna baginya untuk menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang baik bagi generasi yang akan datang maupun generasi pada saat itu. Pola tingkah lakunya tersebut merupakan pola tingkah laku yang murni bukan terbias dengan berbagai-macam bias apalagi bias-bias politik yang menguntungkan pribadi atau kelompoknya. Namun harus memperlihatkan suatu sikap yang jelas-jelas memperjuangkan kehidupan masyarakatnya dan orang-orang yang dipimpinnya.

Kikinian, seorang pemimpin otoriter tidaklah masuk dalam kategori ini. Kalaupun ada tidaklah laku, bahkan dicampak orang nantinya. Keputusan misalnya tidak diambil sendiri. Oleh karena itu, sikap otoriter tidak pernah disukai orang-orang Minangkabau. Pepatah Minangkabau menyebutkan, walau inggok mancakam, kuku na tajam ta baguno, walau ma macik tampuak alam, kato mufakek nan kuaso, elok diambiak jo mufakekburuak dibuang jo hetongan (walau hinggap ingin mencekam, kuku yang tajam tak berguna, walau memegang tampuk alam, kata mufakat yang kuasa, yang baik diambil dengan mufakat, yang buruk dibuang dengan rundingan).

Melahirkan pemimpin yang baik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses panjang menuju arah itu. Pondasi kepercayaan, kejujuran dan dekat secara emosional bathiniah dengan rakyat atau orang yang dipimpinnya adalah kunci utama untuk membingkainya.

Pemimpin akan merasakan apa-apa yang dirasakan oleh pengikutnya, begitu juga sebaliknya. Mereka telah merasa satu jiwa, satu tekad dan satu tujuan. Ketika kesemuanya itu terpadu kedalam sebuah kebulatan maka nantinya akan terbentuk suatu kekuatan yang mendukung seorang pemimpin, seperti telah direntang pada bagian diatas.

Namun penting juga diingat ada ungkapan dalam masyarakat Minangkabau. Tungkek mambaok rabah, singgarik mambaok jatuah, piawai nan mamacah timbo. Artinya tongkat membawa rebah, singgarik membawa jatuh, piawai yang memecah timba. Berisi anjuran atau peringatan agar berhati-hati dalam kehidupan ini khususnya bagi seorang pemimpin, sebab tidak jarang apa yang diharapkan membantu malahan sebaliknya. Misalnya, seorang pemimpin yang salah memilih pegawai, orang kepercayaan kadang malah menimbulkan permasalahan fatal kelak kemudian hari, manuhuak kawan sairiang, mangguntiang dalam lipatan, musang babulu ayam, musuah dalam salimuik -namanya untuk menyebutkan perihal diatas.

Seorang pemimpin juga memiliki prinsip, tak ado karuah nan tak ka janiah, tak ado kusuik nan tak ka salasai. Setiap persoalan maka ada jalan keluarnya untuk menyelesaikannya. Demikian pula dalam mengambil suatu keputusan harus bijaksana, sehingga ibarat maambiak rambuik dalam tapuang, nan rambuik indak putuih, tapuang indak taserak.

Akhirnya, tungkek bana nan mambaok rabah– tongkat malah yang membawa jatuh-rebah tidaklah terjadi dalam kehidupan kita. Namun tungkek sebagai panutan, pemimpin yang membuat kita tegap berdiri dengan baik dan itulah sesungguhnya pemimpin yang sejati. Dikenang sampai akhir hayat nantinya.

Pembangunan Gedung Baru Pusat Data Matrilineal

0
Proses pembangunan gedung baru BPNB Sumbar. Rencananya gedung ini akan dijadikan sebagai Pusat Data Kebudayaan Matrilineal.

Padang – Pembangunan gedung baru Pusat Data Kebudayaan Matrilineal BPNB Sumatera Barat terus dikebut. Berbagai material bangunan seperti besi, pasir, batu, dan semen terlihat menumpuk di sekitar pembangunan. Para pekerja juga sedang sibuk melakukan pekerjaannya. Selain itu tulang-tulang besi sebagai rangka tonggak bangunan juga sudah berdiri. Jika tidak ada halangan, pembangunan ini ditargetkan rampung pada desember 2018.

Baca juga: Belajar sipak rago bersama maestro

Gedung baru ini berada di lingkungan kantor BPNB Sumatera Barat di Jl. Kuranji Padang, tepatnya di belakang kantor sekarang. Peletakan baru pertama sudah dimulai sejak 23 Agustus 2018. Sesuai dengan kontrak kerja, pembangunan akan memakan waktu 120 hari kerja. Bangunan ini nantinya terdiri dari dua lantai dengan panjang sekitar 40 meter. Nantinya gedung baru ini akan dibuat dua lantai dengan biaya pembangunan sekitar Rp. 2.3 Milyar.

Wacana pembangunan gedung baru ini telah dimulai sejak tiga tahun lalu. Kebutuhan akan adanya pusat data menjadi alasan utama munculnya ide pengadaan gedung baru. Gedung yang ada saat ini tidak cukup representatif lagi jika harus dijadikan sebagai pusat data. Nantinya gedung ini juga akan dijadikan sebagai Pusat Data Kebudayaan Matrilineal. Hal ini sesuai dengan spesifikasi tugas dan fungsi kantor yang konsen pada pelestarian budaya matrilineal.

Hingga kini proses pembangunan berjalan lancar, tapi kemungkinan kondisi cuaca yang memasuki musim hujan akan menghambat pembangunan bisa selesai tepat waktu. (FM)

Kearifan Lokal Ikan Larangan

0

Gemuruh tahlil menggema memenuhi ruang masjid di Jorong Patomuan nan tenang. Tahlilan ini dalam rangka memulai  kembali ikan larangan. Tahlilan kemudian disambung dengan doa agar Allah yang maha kuasa menurunkan berkah dan mengumpulkan ikan ke lubuk larangan. Salah-satu inti doa adalah memohon kepada Allah agar ikan yang dari mudiak (hulu) datang ke ilia (hilir) dan yang dari ilia  datang ke mudiak dan berkumpul di lubuk larangan.  Begitulah suasana yang terus berulang setiap tahunnya di jorong yang terdapat di tengah hutan kabupaten Pasaman itu.

Lubuk ikan larangan diberi  tanda pembatas arah ilir dan hulunya dengan kain putih yang digantungkan. Semenjak tahlil dan doa dilantunkan maka resmilah mulai  pelarangan menangkap ikan dilokasi tersebut. Pengumuman berkaitan dengan ikan larangan akan diulang beberapa kali jumat agar informasi tersebar keseluruh warga mayarakat.

Ikan larangan dibuat di aliran  sungai Hulu Kampar. Lokasi lubuk ikan larangan tidak selalu sama setiap tahunnya. Ada beberapa pertimbangan untuk menentukannya lokasi. Pertimbangan utamanya adalah lubuk yang dipilih merupakan lubuk yang airnya dalam dan banyak batu-batu besar tempat bersarangnya ikan. Pertimbangan lainnya tidak terlalu jauh dari perumahan untuk memudahkan penjagaan.

Baca juga: Belajar Sipak Rago Bersama Maestro

Sebagaimana diceritakan oleh Zainul, tokoh masyarakat Patomuan.  Tradisi ikan larangan di Patomuan sudah bermula semenjak tahun tujuh puluhan. Normalnya lama satu periode ikan Larangan adalah satu tahun. Waktu membuka ikan  larangan adalah setelah hari raya Idul Fitri.  Kondisi yang biasanya membuat periode menjadi lebih panjang adalah kondisi banjir dan tubo kayu yang terjadi saat air banjir besar yang menyebabkan beberapa jenis ikan jadi mati.

Penjagaan  ikan larangan adalah kewajiban bersama masyarakat.  Bila terjadi pencurian ikan di lubuk ikan lLarangan, dan sipencuri tertangkap, maka sipencuri akan di sidang. Persidangan biasanya dilaksanakan setelah sholat Jumat. Bila dalam persidangan terungkap  perbuatan pencurian dilakukan dengan sengaja,  sipencuri akan didenda sesuai dengan keputusan persidangan. Denda yang dijatuhkan biasanya berupa   bahan bangunan, seperti semen, kayu atau bahan lainnya yang bisa dipergunakan untuk kepentingan umum.

Membuka Ikan Larangan

Saat membuka ikan larangan adalah saat yang sangat ditunggu masyarakat Patomuan. Untuk kesuksesan kegiatan dilaksanakan musyawarah untuk membentuk kepanitiaan di mesjid. Kepanitiaan terdiri dari penghulu suku-suku yang ada, tokoh masyarakat dan pemuda. Panitia menyepakati hari pelaksanaan dan besaran iuran bagi setiap yang ingin terlibat dalam kegiatan. Peserta terbuka untuk warga patomuan dan masyarakat dari luar.  Semenjak penggumuman hari pembukaan ikan larangan disebarkan, panitia  secara bergantian menjaga lokasi terutama malam hari.

Keunikan pembukaan ikan larangan di Patomuan adalah pada sistim yang diterapkan dalam pembagian.  Masing-masing peserta, bagi masyarakat setempat disebut andel membayar dengan harga yang ditetapkan panitia, misalnya seratus ribu rupiah. andel boleh sekaligus menjadi penangkap (tukang jalo) atau hanya menjadi andel saja. Bagi andel yang juga menjadi tukang jalo akan mendapatkan upah tangkap sepertiga dari jumlah tangkapan yang diperoleh. Misalnya seorang tukang jalo mendapatkan 3 (tiga) ekor ikan,  2 (dua) ekor disetor ke panitia, 1 (satu) untuk tukang jalo. Bagi andel yang tidak ikut menangkap akan mendapat bagian dari dua pertiga yang disetor ke panitia.

Waktu Penangkap biasa dimulai sekitar jam 07.00 WIB berakhir sekitar jam 12.00 WIB. Setiap orang yang ikut menangkap (tukang jalo) menyerahkan dua pertiga hasil tangkapannya kepada panitia. Setelah semua terkumpul, maka panitia akan membagi ikan tersebut. Bila semua andel berjumlah 100 (seratus) orang, maka ikan akan dibagi menjadi 110 atau 115 bagian, dilebihkan 10 sampai 15 persen dari jumlah andel. Kelebihan tersebut diperuntukkan untuk panitia dan keluarga fakir dan miskin.

Dengan pola pembagian yang diterapkan itu setiap yang mendaftar menjadi andel akan mendapatkan bagian dari ikan yang berhasil ditangkap. Bagi andel yang ikut menangkap mendapat  bagian lebih karena ada upah tangkap. Dengan demikian ikan larangan di Patomuan dapat terus berlangsung karena setiap warga masyarakat merasakan manfaatnya untuk mereka. Disamping itu ikan larangan juga memberikan dampak positif bagi pembangunan sebab dana yang didapatkan dari iuran andel digunakan untuk keperluan pembangunan seperti  masjid dan sarana umum lainnya.

Ikan larangan merupakan salah-satu bentuk kearifan lokal, selain menjaga tradisi juga menjaga kelestarian lingkungan yang ada di daerah tersebut.

__

Penulis: Hariadi, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang pada 14 Oktober 2018

Belajar (Sipak Rago) Bersama Maestro

0
Pembukaan Belajar Bersama Maestro 2018 Kota Padang di Mtsn 5 Kuranji pada tanggal 10 Oktober 2018.

Padang – Sipak rago akan menjadi olahraga tradisional yang dikenalkan dalam Belajar Bersama Maestro 2018 Kota Padang. Kali ini, olahraga tersebut akan dikenalkan kepada peserta didik Sekolah Menengah Pertama atau sederajat yang ada di Kota Padang. Untuk pengenalan tersebut, Maestro yang didapuk sebagai pelatih adalah Nasrul, salah seorang altit sipak rago Pauh IX, Kota Padang.

Kegiatan pembukaan BBM ini telah dibuka sejak 10 Oktober 2018. Acara pembukaan diadakan di MTsn N 5 Kota Padang Kecamatan Kuranji. Dalam pembukaan tersebut hadir Kasubag Tata Usaha BPNB Sumatera Barat Titit Lestari dan Kabid Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Padang Rinaldi Kasim, SH, MH serta anggota DPRD Kota Padang Zulhardi Z Latif, SH, MM.

Baca juga: Silek, Indonesiana dan Ekosistem Kebudayaan

Sipak rago sendiri merupakan olahraga tradisional masyarakat Minangkabau yang menggunakan alat sebagai media permainan. Alat dimaksud yaitu anyaman rotan berbentuk bulat seperti bola. Jika dilihat sekilas, anyaman tersebut menyerupai bola takraw yang biasa dipertandingkan. Namun demikian, permainan sipak rago tidak sama dengan sepak takraw.

Menurut ketua panitia BBM Kota Padang hartati Safitri, alasan memilih olahraga tradisional ini sebagai pembelajaran lebih dikarenakan kondisinya yang semakin hilang. Maka perlu menumbuhkan kembali dengan mengenalkannya kepada generasi muda. Dari sini akan timbul rasa mencintai olahraga itu sendiri.

“kegiatan ini diadakan untuk memperkenalkan sipak rago ke generasi muda, karena memang sipak rago  ini sudah tidak lagi dikenali generasi muda khususnya siswa-siswa SMP di Kota Padang” jelas Hartati Safitri.

Belajar Bersama Maestro Kota Padang akan melibatkan dua Sekolah Mengengah Pertama di Kota Padang dan 20 peserta didik yang terlibat. Kedua sekolah tersebut adalah Madrasah Tsanawiyah Negeri 5 Kota Padang dan  Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 12 Kota Padang. Masing-masing sekolah akan mendapat 8 kali pertemuan. (FM)

Silek, Indonesiana dan Ekosistem Kebudayaan

0

Tahun ini Sumatera Barat mendapat kehormatan terpenting dalam perjalanan sejarah berkebudayaan. Kenapa tidak, Sumatera Barat merupakan salah-satu daerah yang tergabung dalam platform Indonesiana. Program Indonesiana sendiri merupakan sebuah platform yang menyinergikan pemerintah (pusat maupun daerah) dengan para pemangku kepentingan di bidang kebudayaan, agar adanya tata kelola yang baik dan akan memudahkan kebudayaan untuk bergerak sekaligus membangun kesadaran masyarakat. Muaranya adalah ruang-ruang terbuka bagi masyarakat tersebut dapat memastikan platform tersebut dapat terwujud. Tidak melalui panggung-panggung maupun pentas yang sifatnya berkala, namun dari ruang permanen yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat, tanpa terkendala waktu dan tempat, dan sifat gotong royong menjadi pengerak utamanya.

Melalui SAF (Silek Art Festival) platform Indonesiana di Sumatera Barat di bingkai. Pembingkaian silek memiliki makna yang sangat penting bila dikaitkan dengan proses berkebudayaan masyarakat di daerah ini. Sebagai sebuah warisan, silek di daerah kita telah berkembang, tumbuh dan telah menjadi jiwa serta telah berurat berakar dalam setiap lini kehidupan masyarakat.

Baca juga: Harapan memasyarakatkan Silek Minangkabau

Silek merupakan suatu keterampilan untuk membela diri dari serangan musuh tanpa mempergunakan alat dan senjata. Memang demikian pada awalnya, hal ini tentu dapat dipahami bahwa para pemuda (calon mamak) belajar silek bukan untuk mencari musuh, berkelahi melainkan untuk mencari teman. Dengan demikian silek bukanlah dipergunakan untuk menyerang atau berkelahi melainkan untuk mewujudkan keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia dan bahkan antara manusia dengan Maha Pencipta. Namun bila terjadi serangan yang tidak diingini maka bagi yang diserang berhak untuk membela diri. Hal ini sesuai dengan pepatah “musuah indak dicari basuo pantang dielakkan”.

Ditinjaua dari perspektif ajaran, ajaran silek meliputi silik dan suluk. Silek adalah ilmu mempelajari/ mengenal diri lahiriah, silik adalah Ilmu mempelajari/mengenal diri batiniah, dan suluk adalah Ilmu mempelajari/mengenal diri lahir batin. Bahkan beberapa pelaku dan intelek silek mencoba mengaitkan “silat” (silek) dengan “salat” (sholat) dan “silat-urrahim” (hubungan baik dengan sesama manusia). Ketiga kata tersebut memiliki akar yang sama, terdiri atas tiga huruf Arab, yakni: sim-lam-ta. Jadi, silek bukan seni atau permainan, yang dipermainkan sebagai seni adalah mancak.

Bukan itu saja silek Minangkabau tradisional adalah bagian dari tradisi lisan Minangkabau yang diajarkan secara lisan dan disertai peragaan laku dan peralatan. Sebagai tradisi lisan, sejarah kelahiran dan silsilah perkembangannya relatif sulit dilacak. Hal itu disebabkan karena penciptaannya bersifat anonymous dan kolektif. Itu sebabnya, penamaan aliran Silek Minangkabau didasarkan kepada sumber inspirasi dan pola gerakan serta nama nagari asal pengembang atau pengembangan awalnya. Berdasarkan ciri tersebut maka dalam tradisi silek Minangkabau dikenal adanya Silek Usali atau Silek Tuo (penamaan berdasarkan ketuaan/ keawalan), Silek Harimau, Silek Kuciang, Silek Buayo, Silek Alang Babega (penamaan berdasarkan sumber inspirasi dan pola gerakan), Silek Kumango, Silek Lintau, Silek Paninjauan, Silek Balubuih (penamaan berdasarkan nama nagari asal pengembang/ pengembangan), dan lain sebagainya

Gaung silek itulah yang akan dihelat dalam platform Indonesiana. Sebuah usaha untuk mengerakkan ekosistem kebudayaan dalam rangka pemajuan kebudayaan. Ekosistem kebudayaan itu sendiri merupakan roh pengerak lini-lini atau jejaring-jejaring dalam bidang kebudayaan tersebut- semuanya lini ikut aktif dalam proses berkebudayaan.  Namun jamak terjadi ketika melaksanakan kegiatan dalam bidang kebudayaan kita lebih suka bekerja sendiri-sendiri- tanpa melibatkan lembaga atau instansi lain. Kegiatan banyak namun tidak dalam sebuah sistem atau bingkai yang utuh. Terparah lagi dijumpai bahwa kegiatan untuk menggerakkan ekosistem kebudayaan terkendala adanya ego sektoral, antar lembaga atau instansi, antar komunitas dan lainnya. Persoalan seperti ini sudah menua dan merupakan beban penyakit yang harus disembuhkan bila kegiatan dalam bidang kebudayaan berjaya dikelak hari. Solusi kearah tersebut tidak lain menggerakkan ekosistem kebudayaan itu sendiri.

Pemahaman yang sangat keliru selama ini yang menyebabkan menggerakkan ekosistem kebudayaan menjadi terkendala. Pemahaman itu adalah menyempitnya pemahaman terhadap budaya itu sendiri. Tidakkah masalah budaya itu sangat luas ?.  Bukan saja persoalan cara berpakaian, pembagian harta warisan, pementasan teater, tari-tarian dan lainnya namun jauh dari itu, mulai dari lahir sampai meninggal dunia- persoalan budaya akan selalu menghiasinya. Ditimbal dengan persoalan bahwa berkebudayaan tidak dijadikan sebagai sebuah kebanggaan yang berurat dan berakar dalam hidup kita.

Dalam kerangka inilah kegiatan SAF dalam bingkai platform Indonesiana ingin memperlihatkan bagaimana ekosistem kebudayaan tersebut berproses. Semua lini ikut di dalamnya dalam kerangka platform Indonesiana tersebut. Sebagai sebuah perihal terpenting dalam pemajuan kebudayaan, ekosistem kebudayaan mestilah digerakkan dan ini tidak dapat tumbuh dengan sendirinya melainkan perlu adanya rangsangan untuk dapat tumbuh dan bergerak. Bisa kita lakukan dalam bentuk kerjasama kebijakan antar instansi atau lembaga, pemerintah, swasta, masyarakat pemilik kebudayaan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya.  Menghilangkan arogansi dan ego sektoral antar lembaga atau intansi, komunitas dan lainnya, serta perlu pemikiran yang jernih adalah sebuah keharusan yang harus dibingkai dalam menggerakkan ekosistem kebudayaan kedepannya.

Akhirnya, kita berharap kegiatan platform Indonesiana dengan SAF (Silek Art Festival) nya dapat berjalan dengan baik. Fondasi tersebut tidak lepas dari kerjasama kita semuanya. Mudah-mudahan. Wassalam.

Penulis: Undri, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah terbit di Harian Umum Padang Ekspres pada 5 September 2018

Harapan Memasyarakatkan Silek Minangkabau (13)

0

Begitu eloknya filosofi yang diajarkan dalam silek Minangkabau. Filosofi yang maha dahsyat bila dipraktikkan dalam kehidupan kita.  Silek, lahienyo mancari kawan batinnyo mancari tuhan , misalnya saja. Teramat dalam maknanya.

Keelokannya, apakah dibarengi dengan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Sebuah pertanyaan mengugah, bila dikaitkan dengan kondisi masyarakat kita yang cenderung belum bisa membedakan makna yang garak dan garik. Tidakkah garak (gerak) itu adalah kemampuan membaca, mencium bahaya (insting) sesuatu akan terjadi. Contohnya seorang pesilek bisa merasakan ada sesuatu yang akan membahayakan dirinya. Garik (gerik) adalah gerakan yang dihasilkan (tindakan) sebagai antisipasi dari serangan yang akan datang. Sehinga dua elemen tersebut, yakni garak dan garik harus dipahami dengan baik oleh seorang pasilek. Itu secuil dari sekian banyak filosofi yang fundamental dalam silek Minangkabau.

Pengetahuan diatas bisa terpatri bila ada proses dan wadah kearah tersebut. Dalam kerangka itulah peran pemerintah amatlah penting, disamping peran elemen lainnya. Muaranya adalah silek Minangkabau menjadi bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Ketika itu berbuah, petikan hasilnya dapat diraih kelak.

Baca juga: Mancak, bungo silek

Peran pemerintahpun beragam, mulai dari mengeluarkan kebijakan sampai melahirkan program yang bernas pelestarian silek Minangkabau. Dalam kerangka itulah peran pemimpin sangat dibutuhkan untuk mendorong dan mamfasilitasi sehinga silek Minangkabau menjadi mahakarya terbesar dalam khazanah budaya Minangkabau.

Saya amat yakin-bahkan aiqul yakin komitmen Gubernur Sumatera Barat dibawah kepemimpinan Irwan Prayitno sekarang ini sokongan untuk kegiatan pelestarian silek Minangkabau amatlah besar. Sepengetahuan penulis, mulai dari upaya pengusulan silek (pencak silat) sebagai warisan budaya dunia ke Unesco, pendokumentasian silek Minangkabau, sampai sekarang ini melaksanakan SAF (Silek Arts Festival), di beberapa kabupaten dan kota di Propinsi Sumatera Barat yakni Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kota Payakumbuh, Kota Sawahlunto, Kota Solok, dan Kabupaten Tanah Datar.

SAF dengan tema panjapuik piutang lamo merupakan rangkaian kegiatan platform Indonesiana. Indonesiana sendiri merupakan platform pendukung kegiatan seni budaya di Indonesia yang bertujuan untuk membantu tata kelola kegiatan seni budaya yang berkelanjutan, berjejaring, dan berkembang yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Bagaimana silek Minangkabau ini bisa berkelanjutan, berjejaring dan berkembang. Maka perlu ramuan-ramuan yang jitu. Langkahnya bisa diambil, yakni pertama kedepan menjadikan kegiatan sebagai bagian dari kegiatan alek nagari yang dilaksanakan setiap nagari. Perlu komitmen dari masyarakat dan pemerintah untuk hal ini. Kegiatan alek nagari. sebuah kegiatan yang telah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat kita. Hampir semua nagari melaksanakan kegiatan ini, dengan berbagai macam penyebutan nama dan bentuk kegiatan. Dilaksanakan mulai dari satu hari sampai satu minggu penuh.

Coba bayangkan setiap nagari melaksanakan alek nagari ini dengan menampilkan seni budaya yang ada di daerah tersebut seperti silek, serta bentuk kegiatan lainnya mulai dari pawai budaya, pergelaran seni tradisi, panggung seni, festival, lomba seni/budaya dan lainnya. Tidak hanya sebatas pelestarian kebudayaan imbas dari kegiatan ini, namun roda ekonomi masyarakat akan berputar kearah yang baik. Malam hari ditampilkan silek, randai, dan lainnya-orang banyak menonton-bajibun-orang berjualanpun akan berdatangan-jadilah pasar malam yang dapat menghidupi ekonomi masyarakat nagari.

Bagaimana dengan pembiayaan kegiatan ini. Pemerintah daerah hanya memberikan stimulus. Rasa kegotong-royongan dan partsisipatif masyarakat lebih dikuatkan untuk jalannya kegiatan ini-dan ini perlu didorong. Selama ini pengalaman dilapangan yang pernah penulis lihat dan rasakan bahwa masyarakat yang ada di nagari serta para pegiat budaya di kampung-kampung,  nagari-nagari yang terpenting itu adalah “perhatian”- ibarat bayi perlu dekapan dari sang ibunya. Tidak perlu biaya besar,  setiap kampung, nagari kebudayaan itu tumbuh dan masih menjadi bagian dari kehidupan mereka. Sekali lagi, pemerintah daerah hanya memberikan stimulus untuk kelangsungan kegiatan ini.

Kedua, silek Minangkabau dimasukkan kedalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah, baik tingat dasar, menengah dan atas. Sebab media yang paling baik sebagai pewarisan nilai di dalamnya berfungsilah sekolah dalam hal sekolah sebagai preserver dan transmitterdari culture hiratage sebagai instrument for trans­forming culture.  Memang banyak hambatan selama ini menuju arah tersebut, mulai dari persoalan guru/tuo silek yang mengajar sampai kepada payung hukum atau kebijakannya. Semua hal tersebut bisa diselesaikan dengan penguatan kebijakan seperti mengeluarkan peraturan daerah dan sebagainya.

Kurikulum muatan lokal dirancang bukan saja pendidikan tentang garik silek itu sendiri namun juga memuat filosofi yang amat kaya dalam silek Minangkabau.

Ketiga, SAF (Silek Arts Festival) yang telah dilakukan tahun ini, bisa kita jadikan kegiatan tahunan seperti pekan budaya tempo dulu. Ikon kearah tersebut sudah diletakkan, dengan  panjapuik piutang lamo nya. Mengerakkan sendi-sendi komunitas yang ada mulai dari sasaran, tuo silek, pandaka, anak sasian, masyarakat lainnya.

Harapan, nilai-nilai filosofi dalam silek Minangkabau dapat dijadikan fondasi utama dalam kehidupan kita kedepannya. Memang tidak mudah untuk melakukan hal tersebut, dengan usaha dan tekad yang kuat kita bisa wujudkan.

Sebagai bagian dari masyarakat Sumatera Barat, penulis merasa banga dengan silek Minangkabau, dan suatu saat silek menjadi bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dan mahakarya terbesar seperti yang pernah diajarkan oleh tuo silek. Dan, itu harapan yang teramat besar bagi penulis Pak Gubernur. Tamat.

Penulis: Undri, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 26 September 2018

Mancak, Bungo Silek (12)

0

Sebagai sisi lahiriyah silek Minangkabau, mancak mendapat posisi terpenting.  Sebagai bungo silek (bunga silek) atau representasi fisik dan estetik dari silek Minangkabau. Itupula sebabnya muncul ungkapan, basilek di rumah gadang, kok mancak yo di ilaman. Begitulah posisi penting kedua elemen, antara silek dengan mancak tersebut.

Di dalam kertas kerja Hasanuddin dan kawan-kawan (2015:7) mancak tanpa menyentuh sisi silek hanyalah pengajaran keterampilan fisik yang hampa nilai. Sebagai ranah prifat kaum atau keluarga komunal matrilineal, silek Minangkabau secara prinsip pembelajarannya dilakukan secara tersembunyi, ditengah hutan, di malam hari, atau setidaknya di bawah kolong rumah gadang. Setiap kaum mengembangkan gerakan-gerakan khusus dalam upaya menciptakan jurus rahasia yang dianggap lebih tangguh dari kaum yang lain.

Mancak sebagai bungo silek yang dilakukan, memiliki kekuatan utamanya secara sungguh-sungguh parintang jo pamenan. Dalam mancak para pasilek mempergunakan gerakan-gerakan yang dimungkinkan dalam silek tetapi tanpa tindakan yang akan mencederai pasangannya. Begitulah keelokan yang ada dalam mancak sebagai bungo silek tersebut.

Baca juga: Ulu ambek, suntiang dek niniak mamak pamenan dek rang mudo-mudo

Perihal ini tidak terlepas dari persoalan bahwa bila dikaitkan dengan ungkapan basilek di rumah gadang, kok mancak yo di ilaman tersebut, khususnya mancak di ilaman, silek secara fisik yakni mengasah kelincahan, keindahan gerak tentu melibatkan kepekaan emosi, semuanya tertuang dalam gerak.

Lebih lanjut menurut Hasanuddin dan kawan-kawan (2015 : 8), mancak adalah media atau jalan menuju silek, jadi fungsinya adalah jalan menuju pencapaian fungsi silek. Sehubungan dengan itu, mancak mengemban fungsi edukatif, ekspresif, sosial, dan kultural. Pertama, fungsi edukatif. Mancak adalah wadah pembentuk karakter dan jati diri. Sebagai pembentuk karakter, mancak mengemban fungsi menanamkan nilai-nilai religiusitas, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab kepada anak sasian. Kedua fungsi ekspresif –estetis, sebagai ekspresi diri, mancak merupakan wadah bagi ekspresi estetik atau kreatifitas seni, ekspresi kesehatan dan prestasi. Ekspresi diri juga berkait dengan prihal pengungkapan budi atau karakter dan eksistensi. Budi atau karakter adalah sikap atau pendirian yang menyebabkan suatu perilaku terekspresi secara mudah tanpa berpikir panjang. Fungsi eksistensi adalah bahwa seorang pemain mancak dapat menjadikan mancak sebagai basis eksistensi diri, sebagai profesi. Ketiga, fungsi sosial. Fungsi sosial mancak sesuai dengan fungsi silek sebagai pakaian diri, yakni sebagai karakter dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal memelihara harga atau martabat diri, silek menjadi basis keterampilan dan kekuatan pelindung dari berbagai ancaman fisik dan batin dari luar. Keempat, fungsi kultural, fungsi kultural mancak adalah menjaga keberlangsungan tradisi. Tradisi terdiri atas adat sebagai sumber inti sistem nilai etik, kesenian sebagai representasi nilai estetik, dan keterampilan fisik sebagai representasi ketangkasan, etos kerja, kesehatan dan kebugaran. Kunci kebertahanan tradisi adalah sistem nilai atau ideologi yang mendasari tradisi itu. Apabila fungsi mancak dan silek semakin surut maka sistem nilai atau ideologi utama yang mendasarinya juga kian hilang sehingga kearifan lokal yang dimilikinya juga lenyap.

Mancak  sebagai representasi fisik dan visual dari silek adalah berupa gerakan-gerakan badan, kepala, bahu, tangan (siku, lengan, telapak tangan, kepalan, jari), dan kaki (lutut, tungkai, tapak, ujung jari). Gerakan-gerakan mancak adalah berupa salam penghormatan, elakan, tangkapan, kuncian, dan serangan (pukulan, sepakan, hantaman). Gerakan-gerakan tersebut dilakukan secara perorangan, berpasangan atau berkelompok. Mancak dalam bentuk permainan adalah randai sedangkan beladiri adalah dasar silek.

Kekinin, mancak sebagai bungo silek haruslah mendapat perihal terpenting terutama fungsinya yakni  fungsi edukatif, ekspresif, sosial, dan kultural yang bisa menjadi ilham dalam hidup ini. Mudah-mudahan. Bersambung...

Penulis: Undri, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 25 September 2018

Ulu Ambek, Suntiang dek Niniak Mamak, Pamenan dek Rang Mudo-Mudo (11)

0

Pertunjukan ulu ambek dinyatakan sebagai, suntiang dek niniak mamak, pamenan dek rang mudo-mudo (sunting hiasan oleh ninik mamak dalam nagari, pakaian pamenan oleh anak muda-muda). Maksudnya seni pertunjukan ulu ambek merupakan kepunyaan secara adat oleh kelompok ninik mamak atau penghulu-penghulu dan hiasan sebagai permainan oleh kemenakan atau anak muda-muda.

Menurut Mohd Nefi Imran, Ulu Ambek : Silat dan Tradisi dalam Seni Persembahan Adat Minangkabau (2004) menjelaskan bahwa seni pertunjukan ulu ambek merupakan salah satu seni yang terbesar dalam masyarakat Minangkabau umumnya dan Padang Pariaman khususnya, banyak dijumpai perihal-perihal yang menarik dan unik  didalamnya.  Secara umum masyarakat Minangkabau menyebut pertunjukan berkenaan dengan sebutan luambek. Bahkan ada juga menyebutkannya dengan perkataan bauluambek. Setidaknya ada empat variasi sebutan untuk pertunjukan itu pada masyarakat pemiliknya, yakni alo ambek (berasal dari kata alau (halau) dan ambek (hambat), luambek (berasal dari kata lalu (lewat) dan ambek (hambat), ulue ambek (berasal dari kata ulue (julur) dan ambek (hambat), ulu ambek (berasal dari ulu (hulu) dan ambek (hambat).

Walaupun demikian, semuanya bermakna serangan dan tangkisan. Dengan kata lain, ulu ambek lebih mempertunjukkan keterampilan pertarungan dengan gerakan-gerakan menyerang dan menangkis, tanpa kontak fisik. Gerakan-gerakan dilakukan mengikuti irama musik vokal dampeang yang dilantunkan oleh dua orang tukang dampeang. Pertarungan tersebut dipimpin oleh dua orang  janang yang bertindak sebagai wasit dan diawasi oleh para ninik mamak atau penghulu nagari-nagari yang terlibat. Tempat pertunjukan adalah laga-laga yang berarti tempat berlaga, tempat bertarung, tempat menentukan kalah menang, tempat menyaksikan siapa pemenang dan siapa pecundang.

Baca juga: Silek, bagantuang ka Tali nan indak kaputuih

Dalam ulu ambek terdapat kata buluih, seseorang anak sasian dikatakan buluih atau kalah dalam permainan silek ulu ambek apabila ia tidak dapat menangkis gerakan serangan lawan dengan gerak garik tangkisan yang tepat. Orang-orang yang kalah di dalam pertunjukan ulu ambek dikatakan oleh masyarakat tempatan sudah buluih. Sedangkan yang menang dalam permainan silek ulu ambek hanya mendapat penghormatan dalam masyarakat. Bukan itu saja dimata mamak atau penghulu dipandang tinggi bagi orang yang menang dalam permainan ulu ambek tersebut. Kemenangan ini pula merupakan kebanggaan yang menggembirakan seseorang anak sasian termasuklah kebanggaan di antara rakan-rakan mereka sesama anggota-anggota pasilek. Begitulah uniknya permainan ulu ambek tersebut.

Lebih lanjut lagi Mohd Nefi Imran (2004) menempatkan ulu ambek sebagai seni yang berhubungan erat dengan ajaran sufi (tasawuf). Pertunjukan silek ulu ambek secara fisik merupakan aktivitas garak garik silek dan tarian penyerangan dan penangkisan. Namun, secara simbolis serangan dan tangkisan itu merupakan simbol pemberian dan penerimaan dari seorang guru atau syeikh atau kapalo mudo kepada muridnya. Substansi pemberian dan penerimaan itu adalah pembelajaran budi dan pengetahuan spiritual.

Pertujukan ulu ambek adalah pertunjukan beradat, pertunjukan kesenian sebagai suntiang (mahkota) ninik mamak atau penghulu, oleh karena itu selama pertunjukan berlangsung tidak boleh ada pertunjukan lain pada saat yang sama.

Secara prinsip dalam ulu ambek dimana hubungan peranan mamak dengan kemenakan sangat erat sekali, hal ini sesuai dengan adat Minangkabau itu sendiri. Seorang mamak bertanggungjawab terhadap kemenakannya. Ia lebih banyak bercorak pengawasan, arahan adat istiadat dan memberi panduan terhadap perkembangan budi pekerti kemenakan mereka dalam keluarga atau negeri. Perhubungan-perhubungan ini melibatkan kerjasama yang saling menguntungkan antara mamak dengan kemenakan dalam aktivitas kemasyarakatan harian, seperti mengerjakan rumah, sawah, tanah, berjualan, berdagang dan sebagainya. Sebagai contoh, seorang  mamak yang aktif dalam kelompok masyarakat ulu ambek, akan mengajak kemenakan lelaki mereka menyertai kelompok itu. Seorang mamak menyarankan pula kepada beberapa kemenakan mereka yang lain, untuk ikut berlatih dan aktif dalam kelompok silek tradisional di mana-mana gelanggang perhimpunan silat diadakan, di samping menganjurkan mengikuti aktivitas pertunjukan ulu ambek.

Dalam seni pertunjukan di Minangkabau, peranan seorang penghulu (kecuali tarian Alang Suntiang Panghulu) tidaklah berpengaruh secara adat dalam kelangsungan sebuah pertunjukan silek dan tarian lainnya. Hal ini berbeda dengan seni pertunjukan ulu ambek di Padang Pariaman. Fungsi penghulu dan ninik mamak berpengaruh sekali di dalam menentukan penyelenggaraan pertunjukan. Pengaruh itu, salah satunya dapat menentukan bahwa pertunjukan itu boleh atau tidak dipersembahkan di dalam nagari.

Ulu ambek  dipertunjukkan pada suatu alek nagari. Alek nagari adalah pesta atau semacam festival yang diadakan oleh sebuah nagari otonom yang melibatkan nagarinagari lain sebagai alek atau tamu. Alek nagari diadakan dalam rangka peresmian penobatan penghulu baru atau momentum adat yang penting lainnya.

Sebagai sebuah seni pertunjukan, filosofi yang ada dalam ulu ambek seperti suntiang dek niniak mamak, pamenan dek rang mudo-mudo dapat diperteguh kuatkan dan  dapat dilestarikan kedepannya. Salah-satu upaya kearah tersebut yakni dilaksanakannya alek nagari Kapalo Hilalang, Kabupaten Padang Pariaman mulai dari tanggal 22 September sampai 1 Oktober 2018, salah-satunya yakni akan menampilkan ulu ambek tersebut. Bersambung...

Penulis: Undri, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 24 September 2018

Silek, Bagantuang ka Tali nan Indak Kaputuih (10)

0

Kekinian, apakah nilai kebenaran, keadilan dan silaturahmi masih kita praktikkan dalam kehidupan ini?. Nilai yang diajarkan dalam prinsip silek Minangkabau. Sebuah nilai yang mumpuni tempat kita bergantung.

Bagantuang ka tali nan indak kaputuih, bapagang ka raso nan indak kahilang, jago tali jan putuih, awasi raso jan ilang, basiang sabalun tumbuah, malantai sabalun luluih, lahie silek mancari kawan, batin silek mancari Tuhan-bagantung tali ke tali yang tidak akan putus, berpegang kepada perasaan yang tidak akan hilang, jaga tali jangan putus, awasi rasa agar jangan hilang, menyiang sebelum tumbuh, melantai sebelum lulus/terjerumus, lahirnya silek mencari kawan, bathinnya silek mencari Tuhan.

Ungkapan tersebut bermakna bahwa silek berlandaskan kepada prinsip-prinsip asasi berupa kebenaran, keadilan dan silaturahmi. Prinsip-prinsip itu ibarat tali yang tidak akan putus atau rasa yang tidak akan hilang. Maka, seorang pandeka silek wajib menjaga agar tali itu tidak putus dan rasa tidak hilang. Kemudian pandeka silek  tidak boleh kecolongan, oleh karena itu harus melakukan antisipasi sebelum sesuatu petaka terjadi, sebuah sikap antisipatif terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan. Kemudian, secara lahiriah silek untuk menjalin silaturahmi atau mencari kawan dan secara bathiniah silek adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (Hasanuddin dan kawan-kawan, 2015 :11 ; Rusli, 2008 :22).

Itupula sebabnya secara prinsip awal bagi anak sasian yang dianggap telah memilih keterampilan silek senantiasa dinasehatkan supaya jangan sekali-kali mencari lawan. Apabila mencari lawan dengan mengatasnamakan kelompok sasaran tidaklah diperbolehkan. Hubungan antara satu sasaran dengan sasaran lainnya keharmonisannya harus dijaga.

Baca juga: Silek, mengutamakan elakan dari padaserangan

Kenyataan ditempat latihan membuktikan antara sasaran tidak terdapat suatu persaingan  yang tidak dan perihal ini selalu diajarkan dalam silek Minangkabau. Mereka senantiasa saling menunjang untuk tercapainya suatu persaudaraan dan silaturahmi. Seorang anak sasian yang berkunjung kepada sasaran lainnya tidak dibenarkan menyalahkan atau menganggap sasaran orang kurang. Kalau melihat ada kekurangan dari suatu sasaran, maka yang melihat kekurangan itu harus menambah. Demikian pula sebaliknya, kalau yang mengamati itu merasa ada kekurangan pada dirinya, dan pada sasaran yang diamati mempunyai kelebihan, maka ia berani secara terbuka untuk belajar. Hubungan kelompok sasaran dengan masyarakat luas juga harus menjaga keharmonisan. Sebab pandeka silek adalah pagar nagari atau masyarakat. Ia harus mampu melindungi, menjaga keamanan masyarakat (Purna dan kawan-kawan, 1996/1997 : 55-56).

Bukan itu saja, mereka selalu memperingatkan anak sasian agar tidak membuat sengketa dengan seorang  pandeka. Malahan, mereka akan menganjurkan anak didiknya agar pergi berguru kepada pandeka yang lain. Dengan cara demikian dapat dihindarkan persengketaannya. Perselisihan antara remaja lazimnya mereka selesaikan sendiri. Jika harus berkelahi, mereka akan pergi ke pemedanan (Navis, 1984 : 266).

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian diatas bahwa persoalan silek berlandaskan kepada prinsip-prinsip asasi berupa kebenaran, keadilan dan silaturahmi tidak terlepas dari bahwa silek sebagaimana diwariskan dan diajarkan pendahulu kita mengandung dua unsur, yaitu unsur kerohanian dan unsur fisik. Unsur kerohanian adalah unsur mental spiritual berupa falsafah yang beirisi ajaran moral yang tidak lain merupakan rohnya silek, disinilah letak prinsip kebenaran yang hakiki tersebut. Unsur fisik adalah unsur keterampilan jasmani yang diwujudkan dalam bentuk gerakan-gerakan serangan, pembelaan dan sebagainya, yang dapat kita umpamakan sebagai tubuh atau jasmani dari silek.

Dapatlah dikatakan bahwa silek sebagai unsur kebudayaan yang ditemukan pada suku bangsa Minangkabau senantiasa di jumpai juga adanya jalinan hubungan antara nilai moral yang hakiki yang mengikat serta ditaati oleh seorang pandeka silek. Mereka harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan dan silaturahmi tersebut.

Tali yang diikatkan pada nilai-nilai kebenaran, keadilan dan silaturahmi membuat seorang pandeka silek menjadi mumpuni dalam bidangnya, dan ini pula yang membuatnya semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti ungkapan lahienyo mancari kawan, batinnyo mancari tuhan -lahirnya mencari kawan batinnya mencari tuhan. Tali yang tidak akan putus-putus bila kita ikatkan diri kita pada-Nya.

Nilai-nilai kebenaran, keadilan dan silaturahmi dalam silek Minangkabau haruslah menjadi rujukan utama dalam kehidupan kita. Sebuah nilai yang maha besar dan bermakna bila dipraktikkan dalam kehidupan kita. Bersambung…

Penulis: Undri, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada Sabtu, 22 September 2018

Membangun Kerjasama Publikasi Kebudayaan

0

Padang – Pada Senin, 1 Oktober 2018  kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat kedatangan dua tamu dari media. Kedua tamu tersebut yaitu Hardiyansah, S.Si dari Wikipedia dan Dasrul,M.Si manager program produksi Padang TV. Mereka diterima kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman. Kedatangan kedua tamu media berbeda platform tersebut terkait kerja sama publikasi kebudayaan. Turut hadir dalam diskusi tersebut Pramono, P.Hd, akademisi Universitas Andalas.

Wikipedia adalah salah satu ensiklopedia online yang dikhususkan dapat menjadi rujukan pembaca untuk setiap informasi termasuk kebudayaan. Salah satu keunikan wikipedia ini adalah informasi yang disampaikan dapat diedit sewaktu-waktu sesuai perkembangan dan ketersediaan informasi. Sehingga, informasi yang ditawarkan wikipedia akan senantiasa baru dan dapat dipertanggungjawabkan.

BPNB Sumbar tertarik membangun kerjasama dengan wikipedia karena sebagai salah satu UPT yang sering mengadakan penelitian, jelas memiliki banyak data kebudayaan. Di sisi lain, juga mempunyai keterbatasan dalam hal publikasi. Sehingga melalui kerjasama dengan wikipedia, harapannya dapat menyebarkan hasil-hasil kajian tersebut kepada masyarakat

Sementara kedatangan Dasrul sebagai manager program produksi berkaitan dengan lanjutan program yang sedang dikerjakan bersama. Saat ini, BPNB Sumbar dan Padang TV kerjasama mengadakan program kebudayaan dalam bentuk talkshow atau dialog interaktif. Program ini mengangkat tema-tema kebudayaan dengan melibatkan narasumber dari peneliti BPNB Sumbar serta tokoh yang kompeten dalam tema yang diangkat. Acara dialog interaktif ini disiarkan oleh Padang TV setiap hari Jumat pukul 13.30 Wib. Dialog ini akan berlangsung hingga akhir desember 2018.

Sejak UU No.5/2017 tentang pemajuan kebudayaan dikeluarkan pemerintah, publikasi kebudayaan menjadi vital untuk mensosialisasikan kebudayaan. Sehingga melalui strategi yang tepat, kebudayaan kita dalam dikenali bahkan dipahami oleh generasi muda. Seiring dengan itu kerjasama dengan berbagai platform media mutlak diperlukan.

Hingga kini, BPNB Sumbar telah membangun kerja sama dengan berbagai media publikasi seperti media cetak dan elektronik dan online. Melalui kerjasama dengan wikipedia maka publikasi lewat media online juga akan lebih maksimal.

Silek, Mengutamakan Elakan dari pada Serangan (9)

0
Gerak buka langkah dalam aliran silek 'kumango'. Silek ini berkembang di Kabupaten Solok Selatan. Foto. Marbun

Diinap-inapkan-dipikir dalam-dalam, begitu dahsyatnya filosofi dalam silek Minangkabau. Silek bukan sekedar memperagakan olahan tubuh semata dalam bentuk tangkok (tangkap), kabek (kebat), kunci, elak, gelek dan kepoh namun juga untuk memujudkan keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan Maha Pencipta. Nilai-nilai humanis dibingkai, kenapa tidak ketika diserangpun tidak boleh menangkis apalagi balas menyerang, tetapi diwajibkan mengelak bahkan sampai empat kali.

Secara prinsip silek sebagai seni bela diri, yang sifat keampuhannya lebih mengutamakan pertahanan, elak dan tangkap. Elak  sebagai gerakan menghindar, dimana seorang pasilek berusaha menghindari serangan lawan. Untuk menghindari serangan, selain menggunakan langkah, juga menggunakan gerak gelek, yaitu memiringkan tubuh ke kiri atau ke kanan tanpa menggeser langkah. Adakalanya, ketika gerakan mengelak dengan menggunakan gelek, tangan diangkat hingga mencapai kepala, sehingga tangan seolah-olah berfungsi melindungi bagian pinggang ke atas.

Tangkap dengan mengunakan dua tangan. Jika seorang pasilek diserang, ia akan melakukan gerakan tangkap ini. Serangan itu ditangkap dengan tangan, sebagai kelanjutan gerakan ini adalah kabek, dengan menggunakan lengan dengan mengantukkan siku.  Selain menggunakan gelek, gerak dasar elak juga menggunakan kepoh.

Baca juga: Silek, rumah gadang indak bapintu mancik saikue bapantang lalu

Jika elak dengan menggunakan gelek tidak bersentuhan dengan lawan, maka kepoh menyentuh lawan. Kepoh adalah menepis serangan dengan menggunakan tangan atau kaki. Senjata yang digunakan untuk menyerang ialah tinju, telapak tangan, siku, bahu, lutut, dan kaki. Kaki melakukan sepakan, terjangan, dan hantaman. Kaki juga dapat melakukan sepai, yakni mengait kaki lawan. Mencakar, menjambak dapat melakukan sepai, yakni mengait kaki lawan. Mencakar, menjambak rambut, dan menggigit tidak termasuk perbendaharaan silek karena senjata itu dipandang sebagai senjata perempuan (Navis, 1984 : 266-267).

Itupula sebabnya seorang pasilek, selain mampu menguasai jurus ia harus mampu menguasai elakan (tangkisan) dari serangan lawan. Uniknya jurus-jurus serta elakan yang diajarkan dalam silek Minangkabau pada umumnya mengambil makna gerak mengikuti alam dan perilaku kehidupan manusia.

Bahkan para tokoh silek Minangkabau selain berguru kepada alam, mereka juga menjadikan hewan sebagai observasi pengamatannya untuk menciptakan jurus silek. Perilaku hewan seperti harimau, ular, burung dan satwa lainnya seringkali menjadi inspirasi jurus yang mereka ciptakan. Sehingga sering kita mendengar penamaan jurus harimau, jurus ular, jurus monyet dan jurus lainnya yang dianalogikan melalui prilaku satwa.

Tidak perihal itu saja, persoalan jurus yang diambil sebagai rujukan pun beragam. Misalnya saja pada aliran Silek Kumango tidak banyak mengambil jurus-jurusnya dengan analogi dari simbol-simbol alam dan lingkungan untuk menciptakan jurus secara utuh. Tetapi mengambilnya lebih banyak dari nilai-nilai kehidupan terhadap alam dengan berpegang pada nilai peradaban manusia secara positif (Mulyono dan kawan-kawan, 2012 :83).

Seperti yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya bahwa seorang pasilek bila diserang tidak boleh menangkis apalagi menyerang, akan tetapi diwajibkan mengelak sampai empat kali.  Sangat menarik analogi yang diterapkan di perguruan silek Kumango. Ada empat tahapan yang menjadi figur penghormatan nilai-nilai kehidupan dari analogi elakan yakni elakan mande, elakan bapak, elakan guru dan elakan sahabat karib.

Pertama, saat seorang musuh melakukan serangan pertama. Seorang pasilek harus menganggapnya serangan itu diibaratkan seorang ibu memarahi anaknya, ibu sedang menasehati kita dan kita wajib memahami dan bukan melawannya. Kedua, saat seorang musuh melakukan serangan kedua. Seorang pasilek harus menganggapnya serangan itu diibaratkan seorang ayah kita sedang menasehati. Ketiga, saat seorang musuh melakukan serangan ketiga. Seorang pasilek harus menganggapnya serangan itu diibaratkan seorang guru marah pada kita. Artinya ketulusan yang harus dimunculkan oleh seorang pasilek adalah mengumpamakannya guru kita sedang menasehati muridnya. Keempat, saat seorang musuh melakukan serangan keempat. Seorang pasilek harus menganggapnya serangan itu diibaratkan saudara, teman, sahabat marah pada kita. Artinya, ketulusan  yang harus dimunculkan oleh seorang pasilek adalah bahwa mereka sedang menasehati kita, maka kita wajib memahaminya bukan melawannya. Kelima, saat seorang musuh melakukan serangan kelima. Seorang pasilek wajib melawannya dengan mngunci lawan, dan itupun dilakukan untuk melumpuhkan bukan untuk mematikan lawan. Pada pukulan yang kelima baru boleh menangkis serangan musuh, Karena pukulan yang kelima itu musuh sudah kemasukan setan sehingga setan dalam tubuhnya harus ditundukkan. Tangkisan maupun pukulan yang kelima bukan berarti harus menyakiti pihak musuh, melainkan masih berupa nasehat. Karena secara kasar mata musuh itu adalah lawan, namun secara batin adalah kawan (saudara), sehingga ia harus diselamatkan (Purna dan kawan-kawan, 1996/1997 : 45, Mulyono dan kawan-kawan, 2012 : 83-84 dan Hasanuddin dan kawan-kawan, 2015 :11).

Silek didalamnya mempunyai daya untuk membentuk selain membuat fisik sehat, juga membentuk sikap memahami nilai budaya yang dapat diandalkan untuk pendewasaan mental misalnya nilai-nilai seperti kerja keras, kesetiakawanan, kemandirian, kesabaran, keimanan.

Sehubungan dengan itu, seorang pasilek diharapkan lebih banyak diam dan banyak mempersiapkan diri, sesuai dengan pepatah yang dianut waktu menuntut keterampilan silek, yaitu memakai ilmu padi, makin berisi makin tunduk, yang maksudnya semakin berilmu haruslah makin tunduk dan tidak boleh bersifat congkak dan sombong dalam masyarakat dengan kepandaian yang dimilikinya.

Kekinian dalam kehidupan, kita lebih cenderung  melakukan serangan baik serangan secara fisik maupun non fisik (kata-kata) kepada orang lain sehingga  membuat hati orang tergores. Mengelak untuk melangkah maju sering terabaikan karena keegoisan kita sendiri. Namun bila kita menginap-inapkan filosofi yang ada dalam silek Minangkabau tersebut, maka kita tahu bahwa kita lebih mengutamakan elakan daripada serangan. Bersambung…

Penulis: Undri, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 21 September 2018

Upacara Memperingati Hari Kesaktian Pancasila

0

Padang –  Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat menggelar upacara memperingati Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Oktober. Upacara dilaksanakan di halaman BPNB, Kuranji Padang dan dipimpin secara langsung oleh Kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman. Seluruh pegawai hadir dalam upacara tersebut.

Peringatan hari kesaktian Pancasila ini dimulai tepat pukul 08.00 wib. Diawali mengheningkan cipta kepada jasa pahlawan khususnya yang gugur dalam peristiwa G30S.  Peringatan ini sendiri dimaksudkan untuk mengenang kembali peristiwa kelam bangsa G30S tersebut. Peristiwa yang telah menewaskan perwira-perwira terbaik ABRI kala itu. Walau demikian, peristiwa tersebut berhasil ditumpas dan NUKRI tetap utuh dan ideologi kita tetap kuat.

Pelaksanaan upacara kali ini terasa lebih hikmat mengingat bangsa kita juga sedang dalam suasana berkabung berkaitan peristiwa gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Gempa dan tsunami tersebut telah menewaskan hingga ribuan warga.

Semoga semua peristiwa tersebut menjadi pelajaran berharga bagi bangsa untuk masa depan yang jaya. (FM)

Silek, Rumah Gadang Indak Bapintu Mancik Saikue Bapantang Lalu (8)

0
Gerak buka langkah dalam aliran silek 'kumango'. Silek ini berkembang di Kabupaten Solok Selatan. Foto. Marbun

Sekali-kali kami disuruh guru menendang atau menumbuk, dan beliau perlihatkan tjara mengelakkannja. Dan sudah itu beliau menendang, tetapi pura-pura dan tidak keras, (sebab djika sebenarnja tentulah mudah kena perut kami), dan kami mengelakkan. Djika kami kurang tahu mengelakkan, ditundjukkan betapa mestinja. Demikianlah berganti-ganti sampai lantjar, tepat, dan automatis tangkisan kami (Muhammad Radjab dalam Semasa Ketjil dikampung, 1913-1928 Autobiografi Seorang Anak Minangkabau, 1950 :66).

Begitulah nuansa seorang anak Minangkabau dikelampauan belajar silek. Seorang guru silek, mengajarkan kepada seorang anak sasian cara menendang dan mengelak yang baik dan benar dalam bersilek  begitu juga dengan antisipasi bila serangan akan tiba.

Dalam kaitan inilah muncul ungkapan-rumah gadang indak bapintu, mancik saikue bapantang lalu (rumah gadang tidak berpintu, tikus seekor berpantang lalu (tidak bisa masuk). Ini adalah prinsip dalam silek Minangkabau yang menegaskan bahwa dalam posisi terbuka sekalipun, seorang pasilek tidak mudah diserang, karena setiap serangan akan diantisipasi dengan baik. Penyerang diingatkan akan resiko tangkisan yang tidak kalah fatalnya dengan serangan balik bila dikenai.

Baca juga: Silek, garak-garik, pandang kutiko, dimintak baru dibari

Sebuah ungkapan yang harus dipahami dengan baik, sebab dengan pemahaman yang sempit akan membuat tafsiran yang berbeda pula, seperti rumah gadang indak bapintu, selama ini yang kita lihat rumah gadang tersebut ada pintunya,  namun kita harus memahaminya bahwa ada makna dibalik hal tersebut.

Bagi seorang yang belajar silek pun sikap kearifan juga diperlihatkan, hal ini sesuai prinsip silek Minangkabau, dimana bila terjadi perselisihan dengan sesamanya tidak akan berkelahi di hadapan orang ramai atau ditempat perselisihan itu terjadi. Mereka akan pergi ke tempat yang sepi berdua saja atau ditemani kawan-kawan masing-masing.  Kawan-kawan mereka hanya menyaksikan saja. Tidak boleh ikut campur selama tidak terjadi kecurangan dengan menggunakan alat atau bila melihat gelagat salah seorang akan terbunuh. Perkelahian yang dilakukan di tempat ramai dipandang sebagai perkelahian para pengecut yang mengharapkan bantuan teman-teman sendiri atau diminta dilerai segera. Jika terdapat perkelahian di tempat ramai, maka hal itu merupakan suatu pengeroyokan terhadap seseorang yang tertangkap basah karena mencuri atau menggoda perempuan. Lazimnya orang yang dikeroyok itu dibiarkan saja oleh teman-temannya sendiri (Navis, 1984 : 266).

Lazimnya di daerah Sumatera Barat silek merupakan suatu keterampilan untuk membela diri tanpa mempergunakan senjata atau alat lainnya. Dalam usaha bela diri dari serangan musuh, maka silek ini diajarkan tanpa mempergunakan alat, melainkan sepenuhnya berpegang kepada keterampilan untuk mempertahankan diri dari serangan. Belajar silek bukan untuk mencari musuh, melainkan untuk mencari teman. Hal ini sesuai dengan pepatah- musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan- musuh tidak dicari, kalau bertemu  pantang dielakkan. Membiasakan diri untuk membela diri dengan jiwa kesatria seperti itu sedini mungkin. Sebab kalau tidak diajarkan sedini mungkin, kemungkinan setiap hari, setiap malam akan terjadi perkelahian dan pertumbahan darah. Situasi seperti ini sangat memungkinkan, lebih-lebih pada zaman dahulu, dimana mobilitias kaum remaja dari rumah ke surau sangat tinggi.

Pendalaman atas ungkapan tersebut bisa kita pahami bahwa seorang pasilek bila diserang tidak boleh menangkis apalagi menyerang, akan tetapi diwajibkan mengelak sampai empat kali. Dalam silek Minangkabau aliran Kumango misalnya, terdapat empat gerakan berupa elakan, yakni elakan mande, elakan bapak, elakan guru dan elakan sahabat karib. Elakan dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada mande (ibu), bapak, guru dan sahabat karib yang sedang memarahi atau menasehati kita, dan yang harus dilakukan adalah memahami bukan melawan. Pada serangan kelima baru boleh menangkis serangan musuh, Karena serangan atau pukulan yang kelima itu musuh sudah kemasukan setan sehingga setan dalam tubuhnya harus ditundukkan. Tangkisan maupun pukulan yang kelima bukan berarti harus menyakiti pihak musuh, melainkan masih berupa nasehat. Karena secara kasar mata musuh itu adalah lawan, namun secara batin adalah kawan (saudara), sehingga ia harus diselamatkan (Purna dan kawan-kawan, 1996/1997 : 45, Mulyono dan kawan-kawan, 2012 : 83-84 dan Hasanuddin dan kawan-kawan, 2015 :11).

Serangan di dalam silek diartikan sebagai usaha mempertahankan diri dengan cara melancarkan pukulan, tendangan dan lainnya pada suatu sasaran di bagian tubuh lawan. Dikatakan sebagai usaha mempertahankan diri karena pada dasarnya semua teknik di dalam silek (apakah serangan maupun pertahanan) semata-mata hanya untuk mempertahankan diri atau membela diri. Sehingga seorang pasilek mengutamakan praktik pertahanan diri terlebih dahulu dari praktik menyerang. Teknik serangan harus dikuasai secara baik dan benar, karena hal ini akan sangat berpengaruh pada penguasan teknik-teknik serangan di tingkat lanjutan.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari prinsip rumah gadang indak bapintu, mancik saikue bapantang lalu (rumah gadang tidak berpintu, tikus seekor berpantang lalu (tidak bisa masuk) bahwa sikap kehati-hatian dan sikap kearifan dalam kehidupan ini mestilah kita tumbuh kembangkan, dan janganlah sekali-kali menyerang orang karena serangan yang kita buat akan membuat serangan tersebut balik kepada kita juga. Bersambung…

Penulis: Undri, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 20 September 2018.

Silek, Garak Garik Pandang Kutiko, Dimintak Baru Dibari, Sia Mulai Sia Kanai (7)

0
Gerak buka langkah dalam aliran silek 'kumango'. Silek ini berkembang di Kabupaten Solok Selatan. Foto. Marbun

Garak garik pandang kutiko, dimintak baru dibari, sia mulai sia kanai- gerak (bathin) gerik (gerak fisik), pandang sakutiko (segera), diminta baru diberi, siapa memulai dialah yang dikenai. Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa jika tidak ada garak (aksi) maka tidak ada pula garik (reaksi), seorang haruslah arif dengan situasi dan kondisi, serta sabar sehingga tidak memulai konflik dengan mendahului menyerang karena dalam silek Minangkabau berlaku bahwa orang yang menyerang lebih dahulu justru akan mendapat cidera lebih dahulu atau mengalami kekalahan.

Disigi dalam bahasa Minangkabau, garak (gerak) itu adalah kemampuan membaca, mencium bahaya (insting) sesuatu akan terjadi. Contohnya seorang pesilek bisa merasakan ada sesuatu yang akan membahayakan dirinya. Garik (gerik) adalah gerakan yang dihasilkan (tindakan) sebagai antisipasi dari serangan yang akan datang. Sehinga dua elemen tersebut, yakni garak dan garik harus dipahami dengan baik oleh seorang pasilek.

Garak garik pandang kutiko, teliti mengamati gerak lawan, termasuk gerak pandang sudut mata, meneliti dengan mata lahir, memastikan ketelitian dengan mata batin.

Baca juga: Silek, basilek di rumah gadang kok mancak di ilaman

Menurut Agoes Tri Mulyono dan kawan-kawan (2012 : 80 dan 84) seorang pasilek selain mampu menguasai jurus ia juga harus mampu menguasai elakan (tangkisan) dari serangan lawan. Jurus-jurus serta elakan yang diajarkan pada perguruan silek pada umumnya mengambil makna gerak mengikuti alam dan perilaku kehidupan manusia. Penciptaan jurus untuk menyerang lawan dan elakan di perguruan silek tradisional banyak mempergunakan makna filosofi gerak melalui membaca alam lingkungan dan kehidupan sekitarnya. Misalnya makna elakan yang diajarkan perguruan silek Kumango mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat bijaksana. Seorang pasilek tidak hanya diajarkan dan dilatih jasmaninya untuk menjadi sehat dan kuat, tetapi secara bathin juga diberi sentuhan pemaknaan kecerdasan emosi dan spiritual yang baik.

Kalau kita pahami dengan baik, bahwa basilek menampilkan garak garik anggota tubuh atau jasmani, dan ini merefleksikan  bagaimana kemampuan kematangan dalam membaca tanda dan isyarat yang dimunculkan oleh lawan basilek. Kematangan membaca garak garik  – gerak lebih jelas dan kentara dan gerik lebih halus- lawan di lahirkan juga dalam bentuk garak dan garik silek yang bersifat antisipatif. Meskipun kita tidak dapat menafikan dalam aliran silek yang sama, garak  relatif sama dan garik yang mungkin berbeda, tergantung kedalaman ilmu silek yang dimiliki oleh seseorang.  Bukan berhenti disitu saja, garak garik antisipatif bisa dimaksudkan sebagai upaya merapikan pertahanan, mencari peluang, serta menemukan titik lemah dari lawan.

Menurut Hasanadi- peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat bahwa seseorang pandeka dalam silek (orang yang berilmu sangat mumpuni dalam silek) relatif tidak memilih bagian mendahului menyerang, karena menyerang berarti membuka peluang bagi lawan untuk menjatuhkan dan akhirnya bisa meraih sebuah kemenangan. Namun seorang pandeka memilih bersabar menunggu, bersiap atas segala kemungkinan serangan, lahir dan bathin. Serangan lawan merupakan bentuk permintaan yang menghendaki pemberian, bisa baik dan mungkin juga bisa bersifat buruk bagi pihak lawan.

Kita sering mendengar ungkapan, sia mulai sia kanai, sia malalah sia patah– dalam persoalan ini perlu kesabaran. Ungkapan ini juga mengisyaratkan kepada kita perlu kesabaran untuk istiqomah dalam kesabaran. Tidak sabar, dikendalikan kesombongan serta nafsu untuk mengalah justru akan menjadi bumerang.

Bahkan dalam prinsip silek, bersabar menunggu dalam basilek  bukan refeksi kefasifan, apalagi ketakutan. Bersabar dalam basilek lebih merupakan bukti kematangan sekaligus kekuatan seseorang pandeka dalam mengendalikan emosi, kemudian menampilkan garak serta garik yang baik.

Kesabaran sangat dituntut dalam prinsip silek apalagi perkelahian, perkelahian sangat dihindari baik perkelahian antara satu sasaran-seperguruan maupun diluar sasaran-perguruan. Mereka yang tergabung dalam satu sasaran-perguruan diharuskan membina suatu ikatan solidaritas. Sebuah ikatan yang dibingkai oleh nilai-nilai persaudaraan secara lahir dan bathin.

Di kekinian prinsip garak garik pandang kutiko, dimintak baru dibari, sia mulai sia kanai semestinya penting kita terapkan terutama dalam kehidupan kita. Kita perlu  arif dengan situasi dan kondisi serta sabar sehingga tidak memulai konflik dengan mendahului menyerang, orang yang menyerang lebih dahulu justru akan mendapat cidera lebih dahulu. Ada makna dan nilai yang perlu direnungkan kembali bahwa untuk menghindar dari serangan musuh kita perlu dan bijaksana dan menghindari untuk menyerang. Bersambung…

Penulis: Undri, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Buaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 19 September 2018.

Silek, Basilek di Rumah Gadang, Kok Mancak yo di Ilaman (6)

0

Basilek di rumah gadang, kok mancak yo di ilaman, sebuah ungkapan yang maha dahsyat bila kita pahami dengan bijak. Basilek di rumah gadang merupakan silek kato, berundiang (berunding), bermusyawarah, kehalusan budi bahasa dan kemampuan berdiplomasi. Mancak di ilaman, silek secara fisik yakni mengasah kelincahan, keindahan gerak tentu melibatkan kepekaan emosi, semuanya tertuang dalam gerak.

Bagi orang Minangkabau rumah gadang selain sebagai tempat kediaman keluarga, rumah gadang juga berfungsi sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit. Bukan itu saja dalam rumah gadang ada rangkiang. Rangkiang ialah bangunan tempat menyimpan padi milik kaum. Rangkiang tersebut memberikan tanda keadaan penghidupan kaumnya (Navis, 1984 :187). Itu pula sebabnya rumah gadang menjadi episentrum bagi kehidupan masyarakat Minangkabau. Pepatah dan petitihnya yakni rumah gadang sembilan ruang, serentak kuda berlari, sederum gajah mengeram, timah memutih di puncaknya, berderet lumbung di halamannya.

Basilek di rumah gadang juga telah menorehkan pemikiran-pemikiran kritis. Bahkan, pemikiran-pemikiran kritis tersebut lazimnya disampaikan secara terbuka dan terus terang diberbagai kesempatan, baik secara lisan pada saat dilangsungkan rapat, kongres dan seminar maupun secara tertulis di surat kabar dan majalah. Memperdebatkan ide, dan tidak menelan mentah-mentah segala sesuatu yang berhubung dengan perihal kehidupan yang ada dilingkungannya. Perdebatan intelektual ini dan telah membudaya dalam masyarakat Minangkabau serta telah mengakar.

Baca juga: Silek, manatiang syaraik

Mancak disebut juga dengan bungo silek (bunga silek) atau representasi fisik dan estetik dari silek itu sendiri. Mancak tanpa menyentuh sisi silek hanyalah pengajaran keterampilan fisik yang hampa nilai. Sebagai ranah prifat kaum atau keluarga komunal matrilineal, silek Minangkabau secara prinsip pembelajarannya dilakukan secara tersembunyi, ditengah hutan, di malam hari, atau setidaknya di bawah kolong rumah gadang. Setiap kaum mengembangkan gerakan-gerakan khusus dalam upaya menciptakan jurus rahasia yang dianggap lebih tangguh dari kaum yang lain.

Menurut Hasanuddin dan kawan-kawan (2010 :1) yang diajarkan di tempat terbuka bukanlah silek tetapi adalah mancak. Mancak atau pencak (mappenca’-Bugis) adalah sisi lahiriah dari silek (silat tradisi) Minangkabau. Mancak disebut juga bungo silek  (bunga silat) atau representasi fisik dan estetik yang visual dari silek. Silek sendiri adalah sisi etik atau sisi batiniyah yang terdiri atas tiga dimensi struktural hirarkhis yakni: silek, silik dan suluk. Pembelajaran mancak tanpa menyentuh sisi silek hanyalah pengajaran keterampilan fisik.

Lebih lanjut Dt. Rajo Mudo dalam Mukhtar (2009 :26 dan 45) menjelaskan bahwa fungsi mancak dan silek adalah penguatan budi, karakter atau etik. Seperti dalam ungkapan basilek baarti baadat, baadat baarti mangaji diri, mangaji diri mangaji bana, tahu diri baarti tahu di nan bana, bana badiri sandirinyo. Penguatan budi dalam silek terefleksi dalam berbagai ungkapan, di antaranya: dzahir silek mancari dunsanak, bathin silek mancari raso, raso dabao naiek, pareso dibao turun, antakan kato ka nan bana (zahir silat mencari persaudaraan, bathin silat mencari rasa, rasa dibawa naik, periksa dibawa turun, antarkan kata kepada kebenaran).

Dalam bentuk yang lain dikatakan dzahir silek mancari kawan, bathin silek mancari tuhan (zahir silat mencari kawan, batin silat mencari tuhan) artinya silek mengelola hubungan sosial horizontal dan hubungan spiritual vertikal (Mulyono dan kawan-kawan, 2012 : 3).

Mancak  sebagai representasi fisik dan visual dari silek adalah berupa gerakan-gerakan badan, kepala, bahu, tangan (siku, lengan, telapak tangan, kepalan, jari), dan kaki (lutut, tungkai, tapak, ujung jari). Gerakan-gerakan mancak adalah berupa salam penghormatan, elakan, tangkapan, kuncian, dan serangan (pukulan, sepakan, hantaman). Gerakan-gerakan tersebut dilakukan secara perorangan, berpasangan atau berkelompok. Mancak dalam bentuk permainan adalah randai sedangkan beladiri adalah dasar silek.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari ungkapan basilek di rumah gadang, kok mancak yo di ilaman yakni pertama silek mengajarkan kepekaan emosi dan pemikiran sekaligus keindahan, kelincahan, kekuatan gerak. Kedua, letakkan sesuatu di posisinya yang tepat, silek kato di rumah gadang, silek fisik di bawa ke halaman, dan ketiga dalam berunding atau bersilang pendapat jangan sampai mengakibatkan kekerasan fisik, untuk basilek fisik sudah ada wadah yang disiapkan oleh masyarakat Minangkabau. Terakhir, kenapa kita harus mencari pelajaran yang lain, di silek kita bisa banyak belajar darinya. Bersambung..

Penulis: Undri, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspress pada 18 September 2018

Silek, Manatiang Syaraik (5)

0

Pada waktu itu kami harus bersumpah, tidak akan mempergunakan kepandaian silat [silek] dan pentjak itu kepada maksud jang djahat dan menjerang orang dengan tak semena-mena. Kepandaian ini boleh dipergunakan untuk pendjaga diri semata-mata (Muhammad Radjab dalam Semasa Ketjil dikampung, 1913-1928 Autobiografi Seorang Anak Minangkabau, 1950 :65).

Sebuah untaian narasi yang baik dan indah dalam memahami bagaimana manatiang syaraik (mengangkat sumpah) dalam silek Minangkabau. Persoalan ini sesungguhnya tidak terlepas pada prinsip silek Minangkabau itu sendiri. Secara prinsip silek Minangkabau merupakan bentuk pendidikan tradisional, seni pertunjukan bagian dari ritual, bentuk praktis bela diri, pencerahan spiritual, dan sifat keampuhannya lebih mengutamakan pertahanan. Kondisi yang demikian membuat seseorang yang ingin belajar silek tidaklah serta merta langsung diterima, namun harus melalui proses dan memenuhi syarat hingga diterima menjadi murid-anak sasian. Salah-satunya dikenal dengan istilah manatiang syaraik.

Menurut Agoes Tri Mulyono dan kawan-kawan dalam Silat Tradisional Minangkabau (2012 :12) menjelaskan seorang anak sasian (murid) di antar dan diserahkan oleh mamak atau bapaknya menghadap guru dengan membawa persyaratan yang disebut manatiang syaraik (mengangkat sumpah).

Baca juga: Silek, parik paga dalam nagari

Kita tidak dapat menafikan bahwa setiap nagari dan sasaran silek Minangkabau memberlakukan hal yang sama sebagai adat silek yang mutlak dilaksanakan oleh setiap anak sasian sebelum diakui sebagai murid. Walaupun tata cara dan bahasa yang beragam sesuai adat salingka nagari yang ada di ranah Minangkabau namun intinya tetap sama sebagai bentuk pembelajaran mental spiritual bagi sang calon murid dan ini merupakan sebuah keunikan bila kita memahami tentang persoalan silek Minangkabau itu sendiri.

Lebih lanjut Agoes Tri Mulyono dan kawan-kawan (2012: 13) menjelaskan ketika anak sasian telah melakukan manatiang syaraik maka akan mengucapkan sumpah setia untuk mematuhi segala perintah dan larangan dari guru dengan mengucapkan sumpah lawan idak dikandak, tasarobok  tajua  tamakan bali, tabujua lalu tabalintang patah, adaik silek tagak di nan bana, adaik iduik ganti baganti. Nyampang barih tamakan paek, nyampang tunjuak  kesong ka kida, ka ateh idak bapucuak, ka baruah idak baurek, ditongah digiriak kumbang, karakok tumbuah di batu, iduik tempang matinyo anggan.

Mengenai manatiang syaraik, seperti yang dijelaskan pada bagian diatas sesuai dengan adat salingka nagari, misalnya di perguruan Silek Kumango  menurut Agoes Tri Mulyono dan kawan-kawan (2012: 74-75) bahwa syarat yang dibawa dalam manatiang syaraik beragam, seperti antara lain kumayan langkok (kemenyan putih, hitam dan merah atau coklat), sirie langkok jo isok (daun sirih, gambir, sada, tembakau), sirawik (pisau atau senjata tajam), marawa (kain kebesaran adat berwarna kuning, merah dan hijau atau hitam), langkok gulai (cabe, garam, bawang, lada hitam), langkok dapua (ayam, telur, beras, pulut, pisang, panyaram, kopi), langkok bilek (ending, cermin, sisir, jarum, benang, tikar). langkok suaian (minyak urut, baju bahasan, suluah atau lampu), langkok bakarilahan (kain putiah, kapuk, kain panjang), dan sebagainya. Kitapun menyadari setiap daerah dan sasaran sekarang ini mengenai manatiang syaraik ini berbeda sesuai dengan kondisi daerah, dan waktunya.

Setelah itu anak sasian dimandikan dengan istilah balimau, makan bajamba (makan bersama) dan anak sasian diharuskan memakan isi perut ayam manatiang syaraik yang disembelih guru disasaran sehingga berlakulah peraturan dan hukum sasaran silek bagi anak sasian yang telah diakui sebagai murid, dan barulahlah setelah itu anak sasian mendapat pelajaran basilek.

Semua syarat yang dibawa dalam manatiang syaraik tidaklah semata kebendaan semata, namun memiliki makna tersendiri-dan pemaknaannya akan selalu menjadi bagian hidup dari seorang anak sasian. Misalnya lado jo garam  melambangkan sebagai upaya dan kemauan seorang murid untuk belajar silek dengan tekat dan semangat yang kuat. Pisau dimaknai sebagai proses memahami kehidupan, disini seorang murid ditempa untuk belajar. Kain putih dimaknai sebagai sakabuang kain kafan yang nantinya apabila disaat dipanggil sang khalik tidak membuat susah orang lain. Jarum panjaik jo banang dimaknai adanya pembelajaran bahwa di perguruan silek mengajarkan murid supaya murid tidak berperilaku boros, memanfaatkan apa yang ada menjadi berguna. Bareh sacupak dimaknai adanya suatu proses dimana mereka diajarkan untuk mandiri tidak boleh tergantung kepada orang tua, apalagi meminta kepada gurunya. Ayam batino, ayam dipelihara untuk diambil telurnya dimanfaatkan sebagai obat apabila mengalami sakit, dan juga sebagai penambah tenaga untuk penambahan gizi, dan sebagainya.

Kekinian, begitulah manatiang syaraik dalam silek Minangkabau, sebuah perihal terpenting bila kita maknai. Disengaja ataupun tidak, kita sering tidak mengindahkan lagi apa yang telah diperjanjikan-dipersumpahkan, baik pada tingkatan paling rendah pada diri sendiri maupun pada tingkat yang lebih tinggi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seyogjanya apa yang telah kita perjanjikan-dipersumpahkan kita laksana dengan baik, karena perihal tersebut akan diminta pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat kelak nantinya. Sebuah pelajaran berharga bila kita memaknai dengan baik dalam manatiang syaraik dalam silek Minangkabau. Bersambung…

Penulis: Undri, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 17 September 2018

Surau, Silek dan Pemuda Kekinian

0

Dulunya, surau selain sebagai tempat mengaji guna meningkatkan peningkatan pengetahuan agama Islam juga sebagai tempat berlatih ilmu bela diri yang dikenal dengan silek. Surau sangat penting sebagai pembentukan karakter masyarakat itu sendiri, khususnya kaum pria, mulai dari anak-anak mereka tinggal di Surau.

Pemuda Minangkabau disebut juga dengan anak mudo yang dibentuk sejak kecil untuk dididik dan dibina dalam kehidupan basurau, mulai dari anak-anak sampai dewasa. Sosok pemuda di Minangkabau menjadi pelindung, pengaman dan tulang punggung dalam memajukan kehidupan nagari, bukan itu saja pemuda Minangkabau merupakan parit paga nagari.

Baca juga: Silek, parik paga dalam nagari

Pemuda Minangkabau tidak tinggal di kampung di masa lalunya, mereka banyak pergi merantau sehingga kebutuhan ilmu bela diri sangatlah tinggi. Ini terlihat dari petatah petitih orang Minang karakau madang kahulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, dikampung paguno balun. Artinya pemuda harus keluar dari daerah kampungnya maka dibekali dengan ilmu bela diri yang dikenal dengan silek.

Silek pada dasarnya di Minangkabau bukan mencari musuh. Ini terlihat dari petatah petitih Minangkabau itu sendiri lawan tak dicari, jika ada pantang diilakkan.  Artinya silek itu dimanfaatkan untuk bela diri tanpa menggunakan alat dan senjata. Belajar silek saat ini di sasaran-saran, sanggar-sanggar seni tradisi dan organisasi silek di bawah naungan IPSI (Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia). Beda misi dari organisasi IPSI tersebut, ilmu bela diri lebih bersifat pertandingan dan silek yang dilakukan pada sanggar-sanggar seni lebih bersifat  pada seni gerak gerik keindahan dalam gerakan bela diri.. Pendidikan silek di masa lalu seiring sejalan dengan silek bathin, artinya silek secara lahir dilihat melalui gerak fisik sementara silat bathin berhubungan pesilat dengan Tuhan-Nya.

Dalam belajar untuk berguru silek zaman dulunya, ada bersyarat berguru, seperti membawa beras, pisau, cermin, kain kafan, limau, ayam jago tergantung permintaan guru di mana belajar ber silek. Syarat berguru masing-masing daerah itu berbeda. Beda dengan belajar bersilat secara organisasi dibawah naungan IPSI, seperti membayar uang masuk belajar, uang bulanan belajar.

Namun pada sanggar, belajar bersilat tergantung bagaimana sanggar itu sendiri, karana diantara sanggar ada sanggar ekonomi, artinya membayar saat masuk untuk belajar, ada pula siapa yang mau, boleh bergabung pada silek di sanggar tersebut. Silek  tersebut cuma belajar untuk gerakan saja yang bersifat lahiriah, dan silek bathin itu belajar khusus dan memenuhi syarat untuk berguru. Dengan demikian silek pada zaman dulu dengan zaman sekarang terjadi pemisahan atau pengotak-kotakkan sehingga bukan lagi satu kesatuan yang utuh untuk dijadikan pegangan bagi pemuda tadi.

Kita bisa lihat pemuda tadi ahli agama, belum tentu pandai bersilat, begitu juga sebaliknya. Dalam untuk mendapatkan kedudukan bagi pemuda tadi dalam kehidupan bermasyarakat, di masa lalu seorang penghulu harus pandai bersilat, berpetatah petitih dan paham dengan agama. Namun kita lihat situasi sekarang, penghulu tidak harus menguasai tiga ilmu pengetahuan tadi, cukup kuat secara ekonomi.

Dari uraian di atas surau dan silek pada kondisi terkini terjadi spesialisasi bidang yang terpisah dan perubahan tradisi dalam berguru dan tempat untuk berguru. Pemuda Minagkabau bisa dinyatakan bukan pemuda yang sempurna di zaman lalu, dengan alasan pemuda hanya menguasai satu bidang ilmu saja atau tidak sama sekali. Pemuda yang dianggap sempurna bagi konteks Minangkabau adalah pemuda yang mampu menguasai ilmu bela diri, ilmu adat, dan ilmu agama sehingga dalam diri seorang pemimpin ia mampu memahami masyarakat itu sendiri dari berbagai aspek.

Pemuda yang dibekali dengan ilmu agama, maka ia akan belajar bersikap dan bertutur bicara yang sopan sesuai aqidah Islam itu sendiri. Pemuda yang tahu dengan adat maka ia tahu dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat untuk dapat mengarahkan dirinya sendiri dan orang lain dalam tatanan adat berlaku sehingga tidak terjadi konteks penyimpangan dalam bergaul dan berkomunikasi dalam masyarakat itu sendiri. Begitu juga pemuda yang menguasai ilmu bela diri, maka ia mampu menjaga sanak saudara, karib kerabatnya dari tangan-tangan jahil yang merusak anak nagari itu sendiri, sehingga surau lebih mengutamakan pengelolaan tentang menciptakan orang-orang tahu dengan agamanya sendiri.

Penulis: Risma Dona, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat.

Artikel ini telah dimuat di Harian umum Singgalang pada 16 September 2018

Juknis Lomba Menulis Naskah Dongeng dan Mendongeng 2018

0

Padang – Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat mengadakan lomba menulis naskah dongeng dan mendongeng 2018. Sasaran lomba ini adalah guru-guru Taman Kanak-kanak yang ada di Sumatera Barat. Pemilihan guru-guru TK ini dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi mendongeng guru sebagai tulang punggung pendidikan anak usia dini. Harapannya, melalui kegiatan ini guru-guru TK mampu berperan aktif membangun karakter generasi muda melalui media mendongeng.

Bagi siapa saja yang berprofesi sebagai guru TK, berdomisili di Sumatera Barat dan tertarik untuk mengikuti lomba ini, silahkan mendownload petunjuk teknis berikut: Juknis Lomba Menulis Naskah Dongeng

Silek, Parik Paga dalam Nagari (4)

0

Cara pembelaan diri, keluarga dan masyarakat yang ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan sebetulnya ada pada prinsip dalam silek Minangkabau yang dinyatakan dalam ungkapan filosofis, yakni parik paga dalam nagari. Parik paga dalam nagari ‘parit pagar dalam nagarimaksudnya adalah bahwa silek merupakan benteng bagi sebuah nagari untuk melindungi masyarakat dan kepentingan nagari itu dari berbagai ancaman dan serangan dari luar.

Itu pula sebabnya silek dipelajari anak nagari di Minangkabau untuk mempertahankan serangan musuh, misalnya perampok dan sejenisnya. Anak laki-laki Minangkabau sejak kecil sudah dilatih untuk bersilek di surau. Mereka dilatih oleh guru mengaji yang menguasai ilmu silek tersebut. Latihan silek biasanya usai belajar mengaji pada malam hari. Belajar silek  secara prinsip bagi anak laki-laki Minangkabau tidak terlepas dari kewajiban terhadap bersama yaitu masyarakat, orang kampung yang harus dipertenggangkan dan kewajiban terhadap nagari sebagai sebuah organisasi yang harus dijaga agar jangan binasa.

Kita tidak dapat memungkirinya bahwa silek Minangkabau, pada mulanya merupakan basis penguatan identitas diri, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat Minangkabau yang bersuku-suku dan egalitarian. Harga diri mengharuskan setiap orang bersaing satu sama lain. Oleh sebab itu, konflik menjadi lumrah bahkan niscaya. Tetapi, silek Minangkabau mengajarkan nilai-nilai etik interaksi yang fundamental, karena filosofi yang diajarkan adalah lahienyo mancari kawan, batinnyo mancari tuhan ‘lahirnya mencari kawan batinnya mencari tuhan’.

Navis (1984 :267) menjelaskan bahwa pada masa lalu semua anak laki-laki harus belajar silek  di sasaran kampungnya, yang tujuannya untuk menjaga diri tersebut. Terutama bagi orang-orang yang akan pergi merantau atau akan melakukan perdagangan keliling. Oleh karena itulah, banyak di antara para ulama ternyata seorang pendekar yang tanguh pula. Kemahiran memainkan silek itu terutama sangat dipentingkan para pedagang keliling, yang membawa dagangannya dari pekan ke pekan yang lain, yang sewaktu-waktu akan mungkin dihadang penyamun.

Baca juga: Silek, lawan tajilapak indak dihadoki jo balabek

Berkenaan dengan hal tersebut maka silek sebetulnya bekal bagi orang Minangkabau terutama kaum laki-laki dikampung halaman dan juga diperantauan. Kepopuleran orang Minangkabau dalam segi ini telah banyak diulas oleh para ahli, misalnya Kato (1982 :82) menjelaskan bahwa ketika gerakan merantau semakin popular, maka para perantau yang kembali biasanya membawa kekayaan, kekuasaan, serta prestise baru, selain gagasan-gagasan dan praktik-praktik baru dari dunia luar ke daerah asal usul mereka. Kato juga menemukan adanya suatu perubahan besar dalam tradisi merantau suku Minangkabau setelah PD II. Setelah perang, merantau secara eksklusif terkait dengan keluarga inti. Orang Minangkabau meninggalkan daerah asalnya dengan keluarga, atau seorang suami pergi merantau lebih dahulu, baru kemudian mendatangkan istri dan anak-anaknya. Silek sebagai bekal mereka dirantau menjadi peganggan yang abadi.

Uniknya, bagi kaum laki-laki Minangkabau selain belajar bersilek di surau-surau juga belajar bagaimana mempertahankan diri berupa argumentasi, tempatnya yakni di lapau. Surau-surau dan lapau merupakan arena untuk “pendewasaan” serta “periode turun tanah” anak-anak muda, yaitu transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Menurut Naim (1978)  anak-anak (laki-laki) antara usia 7 sampai 10 tahun didorong keluar dari rumah ibunya untuk berdiam di surau-surau. Mereka tidur dan bermain di sekitar surau, atau tidur bersama teman-teman mereka di lapau-lapau. Dalam surau diajarkan membaca Al-Quran dan bersilek. Mereka kembali ke rumah hanya waktu makan dan mencuci pakaian untuk kemudian kembali lagi ke surau atau lapau. Begitulah siklus anak Minangkabau dalam memahami kehidupan, khususnya mempertahankan diri, keluarga dan masyarakatnya.

Disigi dari perspektif sejarah,  zaman dahulu  pada kerajaan-kerajaan mempunyai guru yang melatih prajurit untuk bersilek baik perorangan maupun berkelompok. Tidak berhenti disitu saja pada zaman pemerintah Belanda silek juga digunakan dalam mempertahankan nagari, namun ruang gerak silek ini tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Sebab dipandang berbahaya terhadap kelangsungan kedudukan pemerintahannya. Ada larangan berlatih bela diri seperti silek bahkan ada larangan untuk berkumpul dan berkelompok.  Kemudian, pada zaman penjajahan Jepang,  perkembangan silek tidak terlepas dari politik Jepang terhadap bangsa yang diduduki berlainan dengan politik penjajahan Belanda. Silek sebagai ilmu beladiri didorong dan dikembangkan untuk kepentingan Jepang sendiri, dengan mengobarkan semangat pertahanan bersama dan menghargai sama sama bangsa asia.

Jadi, jelaslah bahwa cara pembelaan diri, keluarga dan masyarakat yang ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan sebuah prinsip yang esensial dalam silek. Tak perlu jauh-jauh untuk belajar, semuanya ada dalam silek- parik paga dalam nagari. Bersambung...

Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 15 September 2018

Silek, Lawan Tajilapak Indak Dihadoki Jo Balabek (3)

0

Keseharian kita dalam pergaulan dan persahabatan selalu dibingkai lawan dan kawan, kawan yang baik dan buruk. Pembingkaian tersebut didasari pada perihal nilai yang yang kita hadapi. Jika nilai yang dihadapi baik maka muaranya menjadi kawan dan begitu juga sebaliknya. Sebab prinsip hidup kita salah -satunya memilih dan merespon pergaulan dan persahabatan, bahkan kadang-kala pertarungan, permusuhan pun tak terelakkan.

Ketika pertarungan dan permusuhan tersebut muncul perlulah kiranya kita belajar dari prinsip yang ada dalam silek. Ungkapan lawan tajilapak, indak dihadoki jo balabek, tapi dijambauan tangan mambao tagak -ketika  lawan terjerembab, jangan dihadapi dengan kuda-kuda serangan susulan, tapi ulurkan tangan membawa tegak.  Begitu ungkapan tersebut sarat dengan nilai, ungkapan yang mengandung pesan bahwa  dalam pertarungan sekalipun, sikap permusuhan tidak boleh ditunjukkan, jika lawan terjerembab atau jatuh maka jangankan menambah kuantitas dan kualitas serangan, menunjukkan sikap siap menyerang pun dilarang. Justru yang diperintahkan yakni menggapainya untuk dibawa berdiri, walaupun kewaspadaan harus tetap dijaga.

Karena sifatnya untuk membela diri, maka ada aturan dalam silek untuk tidak menyerang bagian berbahaya dari tubuh lawan. Silek juga mengandung hikmah, kalau mereka yang menguasai silek dengan baik, mestinya memiliki kesabaran yang tinggi.

Baca juga: Silek, musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan

Disini letaknya silek sebagai media pendidikan yang efektif dalam masyarakat Minangkabau dalam menghadapi lawan untuk bertarung. Bukan itu saja silek Minangkabau menjadi dasar pembelajaran adat, budi pekerti bahkan agama; memiliki prinsip etik bahwa silek bukan untuk menciderai; bahkan silek juga bukan untuk dipertontonkan apalagi digunakan sebagai ekspose kekuatan (Mulyono, 2012: 10-11).

Dengan demikian, silek Minangkabau berbeda dari silat-silat lain yang saat ini cenderung diekspose sebagai simbol kekuatan yang siap anarkhis sebagai lasykar pada kelompok komunitas tertentu. Di samping itu, dalam pewarisan  silek Minangkabau tidak saja diajarkan etika dan keterampilan bela diri (ketangkasan) melainkan juga keterampilan silek lidah (diplomasi) dan mancak yang menjadi dasar kreatifitas dan representasi seni gerak (seperti tarian, teater, dan permainan rakyat).

Ketika kita –lawan tajilapak, indak dihadoki jo balabek, tapi dijambauan tangan mambao tagak– maka kita telah menjunjung aspek yang paling maha dalam adat Minangkabau yakni budi. Menurut Nasroen (1957:173) budi ini mendapat tempat utama dalam adat Minangkabau. Malahan sifat-sifat yang baik lainnya yang dikehendaki  adat itu bagi orang Minangkabau adalah pecahan dari budi itu sendiri. Adat Minangkabau berdasarkan prinsip hidup seseorang dengan bersama, yaitu perseimbangan seseorang dengan masyarakat dan sebuah dasar ikatan yang penting dalam melaksanakan prinsip itu adalah budi.

Sebab dengan adanya budi ada kesanggupan merasakan perasaan orang lain, merasakan orang lain itu adalah sesamanya, juga saudara, senang dan sakit orang lain itu adalah senang dan sakit  dia juga. Adat itu mengatur tata kehidupan masyarakat, baik secara perseorangan maupun secara bersama dalam setiap tingkah laku dan perbuatan dalam pergaulan, yang berdasarkan budi pekerti yang baik dan mulia, sehingga pribadi mampu merasakan ke dalam dirinya apa yang dirasakan oleh orang lain.

Bukan itu saja ungkapan tersebut juga mengandung makna bahwa lawan jatuh tidak dihadapi dengan gerak kaki atau gerak tangan, atau variasi kedua gerak tersebut yang bersifat menyerang. Kita sering mendengar dan mengungkapkan membunuh mahidui maampang malapehan, kutiko lawan tajatuah tajilapak, dijapuik jo bayang tangan. Maksudnya adalah dalam proses ini lawan jatuhpun kita bantu untuk berdiri sempurna, dan kemudian baru cakak dilanjutkan. Semuanya bertujuan untuk menghargai dan menjaga harga diri lawan, sehingga tidak dipermalukan, baik dari kita maupun dari orang lain yang menyaksikan.

Ditinjau dari makna yang terkandung didalamnya tidak terlepas dari persoalan sportifitas, kearifan dalam menjaga kehormatan lawan, tidak justru memanfaatkan kondisi lawan yang sedang terjatuh dalam rangka memenangkan cakak.  Sehingga, sebelum  cakak dimulai, cakak yang tidak terelakkan, muncul ajakan bijak sebagaimana terefleksi melalui ungkapan  bukaklah langkah dari sinan,  nak ambo iriangkan dari siko.

Perisai ini tercermain dalam langkah yang dimiliki pesilat, yaitu 3 langkah mundur, dan hanya 1 langkah maju. Maksudnya bahwa seorang pesilat mesti banyak mengalah, bersabar, dan tidak melayani serangan lawan dalam tahap awal. Tiga langkah mundur memberi kesempatan kepada lawan untuk mengurungkan niatnya melanjutkan serangan, begitulah nuansa keelokan yang terkandung dalam silek.

Jadi dikehidupan kita, bila ada kawan yang terjatuh-terjerembab– jangan ikut memberi beban pula namun kita membantunya untuk bangkit dan berdiri, dan itulah salah-satu esensi yang terpatri dalam silek Minangkabau. Bersambung...

Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 14 September 2018

Silek, Musuah Indak Dicari Jikok Basuo Pantang Diilakkan (2)

0

“Betul engkau tidak akan mentjari sengketa,”kata ajah, tetapi seandainja ada orang gila-gilaan memukulmu dulu dan menantangmu berkelahi, engkau harus pandai mengelakkan dan membalas. Betapa djuga engkau ingin damai, sebagai persediaan perlu kepandaian ini (Muhammad Radjab dalam Semasa Ketjil dikampung, 1913-1928 Autobiografi Seorang Anak Minangkabau, 1950 :65).

Begitulah nukilan kehidupan seorang anak Minangkabau dalam memahami prinsip silek itu sendiri. Namun, hari ini adakah kita punya prinsip tersebut-musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan- musuh tidak dicari, kalau bertemu  pantang dielakkan-seperti yang diajarkan dalam prinsip silek. Pertanyaan mendasar jika dikaitkan dengan melihat kondisi masyarakat saat ini yang cenderung lebih banyak mencari lawan daripada kawan. Prinsip yang sangat bertentangan sekali dengan prinsip dalam silek itu sendiri.

Dalam tataran prakteknya, silek diwariskan melalui proses belajar. Ada adat silek yang dilakukan oleh setiap calon murid sehingga diakui dan sah menjadi anak sasian. Berlaku untuk siapa saja yang akan belajar silek termasuk anak dan keluarga guru sendiri. Mereka dituntut untuk bersunguh-sungguh, dengan keterampilan fisik dan lidah serta kematangan secara psikologis. Sebab dalam prakteknya seorang yang bermain silek dapat mencederai dan dapat mematikan, Itupula sebabnya, silek hanya dipergunakan dalam keadaan terdesar membela diri.

Baca juga: silek lahienyo mancari kawan batinnyo mancari tuhan

Oleh karena itupula dalam silek menghendaki pelakunya orang yang telah dewasa dan matang secara pemikiran, siap mempertanggungjawabkan efek penggunaan silek baik dunia dan akhirat.

Perspektif sejarah menurut Mulyono dan kawan-kawan (2010:10-11), silek sebelum agama Islam masuk ke ranah Minangkabau merupakan bela diri yang tidak hanya sekedar melumpuhkan lawan tetapi lebih mematikan. Maka, jarang diperlihatkan secara umum. Setiap guru silek yang mengajar di tempat umum selalu mendapat kawan dan terjadi pertarungan sampai mati, sehingga tempat latihan silek dinamakan sasaran dikarenakan latihan silek ditempat yang semestinya atau tempat yang tepat. Tempat tersebut antara lain di rumah gadang, kandang peliharaan hewan, parak ladang atau di hutan yang jauh dari pemukiman penduduk.  Namun, setelah Islam masuk ke Minangkabau silek menjadi media untuk belajar agama Islam dan silek mulai dikembangkan di surau-surau.

Pada dasarnya silek merupakan seni bela diri. Artinya, sifat keampuhannya lebih mengutamakan pertahanan. Pertahanannya ialah tangkap dan elek. Jenis tangkap ialah tangkok (tangkap) dengan menggunakan kedua tangan, kabek (kebat) dengan menggunakan siku, dan kunci dengan menggunakan seluruh anggota tangan.

Keterampilan bersilek bukan untuk dibanggakan atau disombongkan, sehingga mengundang atau “mencari” musuh. Namun, ketika musuh ternyata datang juga, maka seorang pesilat tidak boleh mengelak. Bahkan, dalam aliran tertentu, khususnya aliran Staralak dan aliran keras lainnya yang diciptakan memang untuk perang atau jihad (misalnya mengusir penjajah), maka dinyatakan kafir bila mundur. Sebaliknya, dalam masa damai, musuh tidak saja tidak boleh dicari tetapi ketika bertemu pun harus dielakkan.

Persoalan ini tidak terlepas dari hal bahwa setiap makhluk hidup dibekali naluri mempertahankan diri dari berbagai ancaman untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Ayam diberi taji, harimau diberi taring dan cakar yang tajam, ular diberi bisa yang mematikan dan sebagainya.

Menurut Navis (1984:266) seorang tuo silek, ketika terjadi keenoran ia tidak tampil ke depan untuk menyelesaikan. Ia membiarkan anak didiknya menyelesaikan walaupun ia tahu keadaan itu tidak akan mudah mereka atasi. Hal itu merupakan salah-satu metode pendidikan pendekar. Bila keadaan telah kritis, yang akan dapat menimbulkan bencana, barulah pendekar tampil ke depan. Namun, pada umumnya para pendekar jarang sekali terlibat dalam persengketaan karena mereka saling menyegani. Mereka selalu memperingatkan anak didiknya agar tidak membuat sengketa dengan seorang pendekar. Malahan, mereka akan menganjurkan anak didiknya agar pergi berguru kepada pendekar yang lain. Dengan cara demikian dapat dihidarkan persengketaan antara remaja yang akan dapat melibatkan seluruh anggota sasaran sependidikannya. Perselisihan antara remaja lazimnya mereka selesaikan sendiri. Jika harus berkelahi, mereka akan pergi ke pemedanan.

Lebih lanjut Navis (1984:266) menjelaskan bahwa orang Minangkabau yang berselisih dengan sesamanya tidak akan berkelahi di hadapan orang ramah atau tempat perselisihan itu terjadi. Mereka akan pergi ke tempat yang sepi berdua saja atau ditemani kawan masing-masing. Kawan-kawan mereka hanya menyaksikan saja. Tidak boleh ikut campur selama tidak terjadi kecurangan dengan mengunakan alat atau bila melihat gelagat salah seorang akan terbunuh. Perkelahian yang dilakukan di tempat ramai dipandang sebagai perkelahian para pengecut yang mengaharapkan bantuan teman-teman sendiri atau dilerai segera.

Jadi begitulah bernilainya prinsip dalam silek- musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan– bila kita praktekkan dalam kehidupan sehari hari dalam bermasyarakat akan menciptakan keharmonisan. Mudah-mudahan. Bersambung...

Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 13 September 2018

Silek, Lahienyo Mancari Kawan Batinnyo Mancari Tuhan (1)

0

Bagi kita kata silek tidaklah asing, apalagi bagi orang Minangkabau. Sebab sejak dahulu  adat Minangkabau menjadikan silek  sebagai warisan dari ninik mamak kepada anak kemenakan dalam kaumnya-berfungsi sebagai membela diri-parik paga nagari.  Silek  Minangkabau mengajarkan nilai-nilai etik interaksi yang fundamental, sebab filosofi yang diajarkan adalah lahienyo mancari kawan, batinnyo mancari tuhan -lahirnya mencari kawan batinnya mencari tuhan. Begitulah esensi sarat dengan nilai yang terkandung dalam silek Minangkabau tersebut.

Disigi dari ajarannya, ajaran silek meliputi silik dan suluk. Silek adalah ilmu mempelajari atau mengenal diri lahiriah, silik adalah ilmu mempelajari atau mengenal diri batiniah, dan suluk adalah ilmu mempelajari atau mengenal diri lahir batin. Bahkan lebih jauh, beberapa pelaku- tuo silek mencoba mengaitkan “silat” (silek) dengan “salat” (sholat) dan “silat-urrahim” (hubungan baik dengan sesama manusia). Ketiga kata tersebut memiliki akar yang sama, terdiri atas tiga huruf Arab, yakni: sim-lam-ta.

Dalam tataran prakteknya, silek diwariskan melalui proses belajar, menuntut kesungguhan, keterampilan fisik dan lidah serta kematangan psikologis. Silek dalam pengunaannya memiliki konsekuensi yang besar, yakni menciderai dan dapat mematikan. Oleh sebab itu, silek hanya dipergunakan dalam keadaan terdesak membela diri. Namun bila terdesak gerakan silek bisa digunakan pula- munculah ungkapan musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan- musuh tidak dicari, kalau bertemu  pantang dielakkan.

Sebagai sebuah keterampilan, silek melahirkan kreatifitas seni gerak yang disebut pancak. Pancak terekspresi pada berbagai aktifitas gerak seperti langkah balega, silek atau tari galombang, sipak rago, randai, tari manari, dan keterampilan berburu. Jadi, yang dipertunjukkan sebagai permainan atau kreatifitas seni adalah pancak.

Baca juga: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/mahakarya-silek-minangkabau/

Perihal ini sesuai dengan ungkapan basilek di rumah gadang, kok mancak yo di ilaman bersilat di rumah gadang, kok mancak yo di halaman’. Pancak merupakan salah satu bungo silek, yaitu representasi silek dalam bentuk gerak fisik. Oleh karena silek meliputi silik dan suluk, maka bungo silik adalah gayuang atau parmayo (gerak tubuh atau batiniah) dan bungo suluk adalah magrifatullah yakni suatu gerak spiritual berupa makrifat Allah SWT.

Silek Minangkabau tradisional adalah bagian dari tradisi lisan Minangkabau yang diajarkan secara lisan dan disertai peragaan laku dan peralatan. Sebagai tradisi lisan, sejarah kelahiran dan silsilah perkembangannya relatif sulit dilacak. Hal itu disebabkan karena penciptaannya bersifat anonymous dan kolektif. Itu sebabnya, penamaan aliran Silek Minangkabau didasarkan kepada sumber inspirasi dan pola gerakan serta nama nagari asal pengembang atau pengembangan awalnya. Sebut saja misalnya, Silek Usali atau Silek Tuo (penamaan berdasarkan ketuaan atau keawalan), Silek Harimau, Silek Kuciang, Silek Buayo, Silek Alang Babega (penamaan berdasarkan sumber inspirasi dan pola gerakan), Silek Kumango, Silek Lintau, Silek Paninjauan, Silek Balubuih (penamaan berdasarkan nama nagari asal pengembang atau pengembangannya), dan lain sebagainya.

Perspektif wujud, silek Minangkabau terepresentasi dalam dua wujud yakni silek duduak  (silat duduk) dan silek tagak (silat berdiri). Silek duduak disebut juga silek kato atau silat lidah. Keterampilan silat lidah menjadikan seseorang memiliki kepercayaan diri untuk tampil di depan umum mengutarakan pendapat, mengeluarkan ide-ide kreatif, mempertahankan argumentasi, dan kemampuan diplomasi. Dalam silek kato, sebagaimana dalam tradisi pasambahan, seseorang dituntut untuk arif dan bijaksana- tahu di ereang dengan gendeang, tahu di angin nan bakisa, tahu di bayang kato sampai ‘tahu dengan ungkapan berkias, tahu dengan angin yang beralih, tahu dengan tujuan kiasan’.

Kemudian Silek tagak atau disebut juga silek fisik, yakni keterampilan membela diri (harga diri, kehormatan, kebenaran dan keadilan) atau menjalankan amanah untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (amar makruf nahi mungkar). Silek tagak menjadikan seseorang memiliki kepercayaan diri untuk berdiri di hadapan khalayak untuk menyatakan kebenaran dan keadilan.

Baik silek duduak  (silat duduk) dan silek tagak (silat berdiri) pada prinsipnya mengutamakan atau mengandalkan kecerdasan intelektual (ajaran falsafah alam terkembang jadi guru), kecerdasan emosional (ajaran budi), dan kecerdasan spiritual ajaran tauhid.

Itupula sebabnya silek pada dasarnya seni bela diri dengan sifat keampuhannya lebih mengutamakan pertahanan. Prinsip demikian bermakna bahwa silek adalah keterampilan yang mampu menciderai bahkan mematikan lawan, karena itu silek mengehendaki pelakunya adalah orang yang telah dewasa dan matang, yang siap mempertanggungjawabkan efek penggunaan silek itu, baik di dunia dan akhirat.

Keterampilan bersilek dalam silek bukan untuk dibanggakan atau disombongkan, sehingga mengundang atau mencari musuh namun memperbanyak kawan. Sifat perkawanan dan silaturahmi yang hakiki dibingkai oleh silek itu sendiri.

Memperbanyak teman dan mengurangi lawan dalam kehidupan bermasyarakat bisa menjadi hal ikhwal yang bisa diambil dalam prinsip silek itu sendiri. Kemudian secara bathiniah diri kita dekatkan pada yang maha kuasa- lahienyo mancari kawan, batinnyo mancari tuhan. Bersambung.

Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Padang Ekspres pada 12 September 2018

Mahakarya Silek Minangkabau

0

Sejak dahulu, adat Minangkabau menjadikan silek merupakan warisan dari ninik mamak kepada anak kemenakan dalam kaumnya. Hal ini berkaitan dengan persoalan bahwa di dalam tatanan adat Minangkabau sangat rentan terjadi perkelahian baik dalam soal perebutan waris pusaka, maupun tapal batas antar nagari, sehingga penghulu  pucuk pimpinan adat, para datuk  dan ninik mamak  Minangkabau pada umumnya menguasai silek  sebagai tradisi yang senantiasa dilestarikan untuk keberlangsungan kehidupan mereka.

Silek juga merupakan pengetahuan dan keterampilan yang menjadi kekayaan lahir dan batin dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan. Ajaran silek meliputi silik dan suluk. Silek adalah ilmu mempelajari/ mengenal diri lahiriah, silik adalah Ilmu mempelajari/mengenal diri batiniah, dan suluk adalah Ilmu mempelajari/mengenal diri lahir batin.

Baca: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/menggairahkan-kembali-silek-tradisi-solok-selatan/

Silek Minangkabau terepresentasi dalam dua wujud, yang merupakan dua sisi mata uang, yaitu silek duduak ‘silat duduk’ dan silek tagak ‘silat berdiri’. Silek duduak disebut juga silek kato atau silat lidah.  Dalam silek kato, sebagaimana dalam tradisi pasambahan, seseorang dituntut untuk arif dan bijaksana. Silek tagak disebut juga silek fisik, yakni keterampilan membela diri (harga diri, kehormatan, kebenaran dan keadilan) atau menjalankan amanah untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan.

Beberapa prinsip dalam Silek Minangkabau dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan filosofis sebagai seperti musuah indak dicari, batamu pantang diilakkan  (musuh tidak dicari, bertemu pantang dielakkan), rumah gadang indak bapintu, mancik saikue bapantang lalu (rumah gadang tidak berpintu, tikus seekor berpantang lalu-tidak bisa masuk), garak garik pandang kutiko, dimintak baru dibari, sia mulai sia kanai (gerak (batin) gerik (gerak fisik), pandang ketika, siapa memulai dialah yang dikenai), mengutamakan elakan dari pada serangan, bagantuang ka tali nan indak kaputuih, bapagang ka raso nan indak kahilang, jago tali jan putuih, awasi raso jan ilang, basiang sabalun tumbuah, malantai sabalun luluih, lahie silek mancari kawan, batin silek mancari Tuhan, (bergantuk ke tali yang tidak akan putus, berpegang kepada perasaan yang tidak akan hilang, jaga tali jangan putus, awasi rasa agar jangan hilang, menyiang sebelum tumbuh, melantai sebelum lulus/ terjerumus, lahirnya silat mencari kawan, batinnya silat mencari Tuhan), digantuang tinggi dibuang jauh, mambunuah maiduik i, mahampang malapehkan (digantung tinggi dibuang jauh, membunuh menghidupi, menghambat melepaskan),  lawan tajilapak, indak dihadoki jo balabek, tapi dijambauan tangan mambao tagak (lawan terjerembab, jangan dihadapi dengan kuda-kuda serangan susulan, tapi ulurkan tangan membawa tegak), dan dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang, dima rantiang dipatah disitu sumua digali (dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimana ranting dipatah disitu sumur digali).

Berkenaan dengan fungsi silek yakni sebagai pakaian diri bagi pelakunya, parik paga dalam nagari, jihad (bela Negara dan agama), amar makruf nahi mungkar, dan resolusi konflik. Oleh sebab itu semuanya menjadi silek sebagai mahakarya dalam khasanah adat dan budaya Minangkabau. Sehingga, kedepannya silek tersebut dapat kita lestarikan dan merupakan bagian yang berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. [Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah terbit di Harian Umum Singgalang pada 9 September 2018

Belajar Memilah dan Memperluas Wawasan dari Indang

0
Anak-anak TK Bundo Kanduang

Pelajaran untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk sesungguhnya telah ada dalam kebudayaan kita. Hal itu bisa kita lihat dalam berbagai ungkapan serta kesenian yang sering ditampilkan dalam berbagai perayaan. Namun, menjadi ironi kemudian ketika kita menghadapkan nilai filosofis tersebut dengan merebaknya berita bohong atau hoaks. Pertanyaannya adalah apa yang salah dengan tampilan ungkapan dan kesenian yang mempunyai nilai filosofis tersebut?. Untuk itu, kita bisa belajar dari indang.

Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan indang ditampilkan dalam berbagai perhelatan seperti baralek/pesta perkawinan, batagak penghulu dan berbagai acara seremonial seperti penyambutan tamu-tamu besar atau pejabat. Kepopuleran kesenian ini juga telah mendorong semua kalangan untuk tidak hanya menyaksikan tapi juga memainkan. Bahkan, indang sudah dimainkan oleh kalangan anak-anak hingga orang tua. Kita yang menyaksikan juga sering tertarik dan mengagumi keindahan kesenian tersebut.

Bagi masyarakat awam, menyaksikan indang mungkin hanya dimaknai sebagai hiburan semata. Tentu tidak sepenuhnya salah, mengingat indang yang berkembang sekarang lebih ditampilkan sebagai hiburan dan disajikan dengan iringan instrumen yang menarik. Tapi, acapkali kondisi ini mengakibatkan kaburnya nilai yang terkandung dalam indang atau bahkan tidak tersampaikan sama sekali. Padahal jika kita mempelajari lebih mendalam, indang merupakan kesenian tradisional yang sarat pengetahuan dan masih relevan untuk dijadikan dalam ragam pembelajaran masa kini.

Baca juga: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/belajar-gotong-royong-dari-tradisi-batobo/

Indang bagi masyarakat Minangkabau merupakan permainan anak nagari. Maryetti (2010) dalam bukunya menjelaskan bahwa indang adalah pertunjukan sastra lisan Minangkabau dalam bentuk dendangan dengan instrumen pengiring rapa’i. Secara asal bahasa indang berasal dari kata ‘ma-indang’ (maindang beras dengan nyiru untuk menyisihkan beras dengan atah). Seperti diungkapkan dalam mamangan, ‘diindang ditampi tareh, dipiliah atah ciek-ciek” (ditampi beras, untuk memilih atah satu demi satu). Secara filosofis, arti dari indang itu adalah memisahkan hal-hal yang sah dengan yang batal, yang halal dengan yang haram, yang benar dan yang salah.

Sementara menurut Suryadi (dalam Amir 2006:100), Indang adalah bersilat lidah: tanya jawab, saling menjelekkan, menyindir, mencemooh, mengukur kemampuan lawan mengenai suatu bidang pengetahuan yang disampaikan dalam teks lirik yang didendangkan dengan bahasa yang sangat konotatif, penuh kiasan dan ibarat khas Minangkabau. Kedua definisi ini menjelaskan kepada kita bahwa untuk memisahkan hal-hal yang sah dengan yang batal dilakukan dengan silat lidah, menjelekkan, menyindir dan mengukur kemampuan lawan.

Pada masa lampau, indang hanya digunakan sebagai media dakwah atau media penyampaian syiar Islam. Sekarang indang mulai dikembangkan tidak saja sebagai media dakwah tapi juga hiburan bagi masyarakat luas (Maryetti 2010:4). Kesenian inipun dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampilannya lebih menarik. Tempat pelaksanaannya juga berubah, yang awalnya ditampilkan di surau-surau, tapi sekrang sudah di laga-laga. Ini juga ditampilkan dalam berbagai perayaan alek nagari seperti penyambutan tamu, batagak pangulu, dan acara-acara hiburan lainnya.

Dalam pelaksanaannya, indang melibatkan beberapa unsur yakni tukang dikia, anak indang dan tuo indang. Masing-masing memiliki peran dan tugas yang berbeda. Tukang dikia misalnya bertugas menyampaikan dendang atau syair-syair. Anak indang mempunyai tugas-tugas memimpin dan memberi komando tentang gerak dan penutup gerak (tukang aliah), menyusun bait dan meningkah permainan rapai (tukang apik), mengulangi baris tertentu dalam pantun (tukang pangga), meramaikan bunyi baik vokal maupun instrumen (bungo salapan) serta pengikut (tukang kalang). Tuo indang bertugas menjaga keselamatan seluruh personil lahir maupun batin.

Umumnya jumlah pemain indang terdiri dari 9 hingga 15 orang. Jumlah tersebut di bagi dalam pembagian tugas sesuai dengan keahlian masing-masing. Satu orang diantaranya bertugas sebagai pendendang, satu orang yang mengatur gerak, dua orang sebagai penulis teks dan bait-bait pantun, dua orang memperindah vokal dan instrumen serta sisanya bertugas meramaikan. Sementara itu ada satu tuo indang yang bertanggung jawab pada keselamatan seluruh tim.

Poin penting yang hendak disampaikan dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan cara dan tujuannya. Disini kita telah diajarkan untuk dapat memilah antara yang benar dan salah. Jika merunut pada definisi Maryetti dan Suryadi maka cara yang digunakan adalah melalui silat lidah, menjelekkan, menyindir, mencemooh, dan mengukur kemampuan lawan. Silat lidah tidak selalu dipandang negatif mengingat dapat menjadi cara efektif mengklarifikasi kesahihan dan kebenaran informasi. Tentu dilakukan dengan bahasa konotasi yang tidak menyinggung secara langsung lawan main.

Pelajaran penting lainnya adalah bahwa menyajikan sejumlah fakta dan data menjadi keharusan untuk memastikan kemenangan argumen. Mengungkap kebenaran tidak bisa dilakukan hanya dengan cuap-cuap atau omong kosong belaka. Seseorang yang terlibat di dalamnya terlebih dahulu harus mempersiapkan diri dengan segala informasi, fakta dan data yang akan memperkuat argumennya. Sehingga seseorang tidak lagi berkelit atas pendapatnya. Pada intinya, seseorang harus berwawasan luas, punya referensi dan sarat pengalaman.

Selanjutnya bagaimana kita menghubungkannya dengan kondisi masa kini? Kondisi saat ini menunjukkan perkembangan teknologi informasi yang pesat. Perkembangan tersebut telah mendorong akses informasi yang semakin mudah bagi semua orang. Hal ini seharusnya dapat bernilai positif karena mudahnya seseorang mencari referensi dalam belajar dan menambah wawasan. Namun disaat yang sama keterbukaan informasi yang tidak terbatas menjadi tantangan sendiri bagi masyarakat kita. Keterbukaan informasi malah telah mendorong masyarakat lebih mudah menyebar informasi bohong (hoaks), fitnah tanpa memilah mana yang baik dan buruk atau benar dan salah.

Memahami fungsi filosofis indang tentu dapat dipahami sebagai penyaringan informasi. Penyaringan informasi dengan mengklarifikasi satu informasi dengan informasi lain. Menghadapkan antara argumen dengan argumen yang lain. Selain itu, kecakapan dalam meyampaikan buah pikiran secara cepat dan tepat sangat dituntut di dalam keterbukaan sekarang. Seseorang dituntut harus membekali dirinya dengan berbagai macam ilmu, juga dengan pengalaman yang luas. Jika seseorang tidak memiliki dua kecakapan ini, bisa dipastikan akan menjadi korban dan pelaku berita bohong. Bisa dipastikan, ketika hal ini tidak dilakukan maka akibatnya akan semakin buruk.

Pelajaran ini sesungguhnya sangat relevan ketika dihadapkan pada kondisi persebaran berita hoaks belakangan ini. Tentu saja, tidak harus mengembalikan kesenian indang pada bentuk lamanya agar dapat mempelajari nilai-nilainya. Mungkin melalui setiap pertunjukan indang, para pelaku bisa menjelaskan makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Setidaknya itu dapat mengingatkan masyarakat untuk senantiasa menyaring informasi dan memperluas wawasan.

Artikel ini telah tebit di Harian Singgalang.

Menggairahkan Kembali Silek di Solok Selatan

0

Kondisi silek tradisi akhir-akhir ini sudah semakin memprihatinkan. Untuk itu perlu digairahkan kembali, tidak saja untuk lebih dikenal tapi juga diajarkan kepada generasi muda. Hal ini penting mengingat silek tradisi sarat nilai yang masih relevan dalam pembangunan karakter. Seperti silek tradisi di Kabupaten Solok Selatan.

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat baru-baru ini mengadakan pendataan silek tradisi di Kabupaten Solok Selatan. Dari hasil pendataan tersebut terdapat sekitar 12 aliran silek tradisi yang masih eksis dan puluhan sasaran sebagai wadah pengembangan silek. Kedua belas aliran tersebut yakni silek pedang abai, silek pangian, silek taralak, silek colau, silek katiani, silek luncu, silek koto anau, silek kumango, silek tuo lubuk gadang yang juga dikenal silek langkah ampek, silek paninjauan atau junjung sirih, silek harimau (termasuk silek kucing putiah), silek tuo sungai pagu.

Silek tradisi tersebut mempunyai pertemuan rutin dan melibatkan semua aliran. Pada tiap pertemuan, para anak sasian menampilkan silek yang diperolehnya dari sasaran dimana mereka belajar. Uniknya, pertemuan rutin tersebut setiap aliran menampilkan masing-masing gerakan tanpa ada rasa bersaing antar aliran atau antar sasaran. Semua menampilkan geraknya hanya untuk menunjukkan sekaligus belajar menghargai perbedaan masing-masing. Tidak ada persaingan maupun konflik antar aliran, juga tidak ada adu kekuatan diantara mereka.

Hal ini bisa dikatakan sebagai praktek yang jauh lebih maju karena pada masa lampau silek tradisi identik dengan persaingan dan saling unjuk kekuatan. Pada masa lalu, silek memang tidak lepas dari upaya membela diri dari berbagai macam ancaman seperti perang suku, kehidupan alam liar dan berbagai hal lain. Sehingga penguasaan silek pada masa lalu tidak lebih sebagai pertahanan diri maupun sebagai paga parik nagari Lama kelamaan gengsi antar aliran juga timbul seiring berkembangnya aliran silek. Sehingga sering timbul persaingan antar aliran untuk memastikan siapa yang lebih kuat.

Baca juga: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/silek-pusako-nagari-abai/

Munculnya pahimpunan tuo silek tradisi Minangkabau ditengarai sebagai tunas awal munculnya pemikiran baru mengenai silek tradisi. Memang, melalui aktivitas yang ditunjukkan pahimpunan, aliran-aliran silek tidak lagi unjuk kekuatan ketika bertemu satu sama lain. Pahimpunan malah mencoba menyatukan sileksilek tradisi dalam satu wadah silaturahmi yang satu sama lain dapat saling melengkapi. Selain itu, pahimpunan juga bermaksud untuk menggaungkan silek tradisi sebagai warisan budaya yang dikenal hingga ke manca negara.

Pahimpunan lalu mengubah mindset bersaing menjadi bersilaturahmi. Ajang silaturahmi ini diimplementasikan dengan mengadakan pertemuan secara berkala. Kadang kala mereka memanfaatkan pertemuan tersebut hanya sebagai pertemuan membahas perkembangan silek tradisi. Mereka juga  mengadakan festival silek yang menampilkan seluruh anak sasian yang ada pada sasaran yang tergabung dalam pahimpunan. Hingga akhir-akhir ini, setiap festival bisa melibatkan 400 orang anak sasian.

Ide dan inisiatif melahirkan perhimpunan secara langsung maupun tidak telah mendorong gairah silek di Kabupaten Solok Selatan. Sebagaimana pengakuan pak Sakirman, seorang tuo silek di Solok Selatan menyatakan bahwa adanya perhimpunan telah mendorong semakin banyaknya anak-anak yang ingin belajar silek. Rata-rata sasaran-sasaran silek yang sebelumnya telah lama vakum kemudian diaktifkan kembali. Adanya pahimpunan setidaknya telah membuka wadah untuk menampilkan silek tersebut. Beberapa dari aliran tersebut juga sudah merasakan tampil di berbagai perhelatan baik di dalam maupun di luar daerah.

Pentingnya belajar silek tidak melulu berkaitan dengan gerak atau bela diri. Hal yang paling penting dalam silek adalah kontrol perilaku dalam masyarakat. Dalam adab silek dikenal balahia babatin. Secara luas istilah tersebut mencoba membina hubungan baik antar sesama manusia dan Tuhannya. Sehingga dalam silek dikenal norma-norma dan aturan yang tidak saja diterapkan di lingkungan sasaran tapi terutama di lingkungan masyarakat. Aturan silek yang paling utama adalah menambah teman dan tidak mencari lawan. Intinya, menguasai ilmu silek juga harus menjaga diri untuk tidak pongah, sabar dan  harus menahan diri. Menguasai ilmu silek harus tetap menjaga silaturahmi antar sesama.

Kembali mekarnya berbagai aliran dan sasaran silek tradisi di Solok Selatan menjadi kabar baik dalam pembangunan karakter generasi muda kini. Melalui belajar setidaknya telah dapat menyerap ilmu kemasyarakatan yang diajarkan di sasaran-sasaran. Hal ini juga kemudian diterapkan bagaimana bersosialisasi dan berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Lebih dari itu, ajaran silek telah menerapkan bagaimana seharusnya bersikap kepada guru dan menghormati gurunya. Nilai-nilai ini menjadi sangat relevan dan urgen dalam kondisi masyarakat kini yang telah banyak dipengaruhi budaya luar.

Namun demikian, tantangan untuk menjaga eksistensi silek tradisi tersebut tidaklah mudah. Berbagai kendala dihadapi seperti: pertama,  kurangnya dana operasional. Dana operasional memang sangat dibutuhkan oleh sasaran. Contoh kecil penggunaan dana ini adalah untuk memenuhi minum para anak sasian ketika latihan. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk menghadiri undangan-undangan tampil ke luar daerah. Persoalan ini semakin sulit karena para tuo silek maupun tuo laman hanya berprofesi sebagai petani yang tidak cukup kuat membiayai operasional tersebut.

Kedua,  kurangnya minat anak muda. Munculnya beragam seni beladiri dari luar telah negeri sedikit banyak telah mengubah persepsi anak muda terhadap silek tradisi. Anak muda sekrang lebih memilih karate, kungfu dan seni beladiri lain untuk dipelajari dari pada silek tradisi. Menurut masyarakat Solok Selatan, salah satu kelemahan silek tradisi dalam menghadapi kehadiran seni beladiri tersebut adalah bahwa silek tradisi tidak bisa dipertandingkan. Silek tradisi dengan berbagai isi di dalamnya tidak relevan untuk dipertandingkan.

Ketiga, kurangnya wadah sebagai penyaluran bakat hasil belajar. Pahimpunan tuo silek memang telah memulai langkah baru dalam menjaga keberadaan silek tradisi. Berbagai pertemuan dan perhelatan acara juga telah dibuat untuk menyalurkan ketrampilan para anak sasian. Namun, acara yang dihelat oleh perhimpunan saja tidaklah cukup. Perlu banyak festival dan even-even seperti even pariwisata dan budaya untuk mewadahi keterampilan para anak sasian. Sehingga melalui even-even tersebut, anak muda lebih tertarik untuk mempelajari kembali silek tradisi.

Keempat,  eksistensi tuo silek yang semakin hari semakin berkurang, masih tertutupnya para tuo silek dalam mengajarkan ilmu silek serta penerusnya yang semakin berkurang menambah daftar tantangan pelestarian silek di masa mendatang.

Beberapa tantangan di atas tentu saja hanyalah sebagian dari banyak kendala yang dihadapi silek tradisi dalam menjaga eksistensinya. Namun, beberapa tantangan tersebut dapat menjadi celah kecil untuk menawarkan peluang dan dukungan sehingga dapat lebih menggairahkan kembali silek tradisi. Langkah awal yang telah dibangun oleh pahimpunan perlu disokong lebih aktif untuk mendorong silek tradisi Minangkabau menjadi lebih dikenal.

Oleh: Firdaus Marbun

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Umum Singgalang pada 19 Agustus 2018

Belajar Gotong Royong dari Tradisi Batobo

0

Oleh: Firdaus Marbun

Menggali nilai gotong-royong dalam kebudayaan kita tentu bukanlah hal sulit. Walau perilaku gotong-royong sesungguhnya semakin hari semakin terkikis karena gempuran globalisasi, tapi hal itu masih bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Batobo dalam masyarakat Sijunjung bisa menjadi salah satu contoh implementasi nilai kegotong-royongan dalam kehidupan sehari-hari.

Di masyarakat Sijunjung dikenal dengan istilah Batobo. Berkumpul bersama, mencari solusi atas masalah secara bersama, mengeksekusi pekerjaan secara bersama serta menikmati hasil secara bersama-sama. Begitulah hakekat yang diimplementasikan dalam batobo. Sebagai daerah yang sumber penghasilan mereka sebagai petani, tradisi ini digunakan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan pertanian seperti manaruko, bersawah, berladang, mendirikan rumah, bahkan simpan pinjam.

Uniknya, walau tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu bahkan mungkin sejak masyarakat mereka mengenal pekerjaan berladang tapi hingga kini masih tetap dijalankan. Malah, laporan penelitian Silvia Devi (2014) masih terdapat 18 tobo Konsi yang beranggotakan dari 30 orang sampai 86 orang. Jumlah yang cukup signifikan untuk ukuran desa/nagari.

Batobo Konsi sesungguhnya adalah wadah berkumpulnya masyarakat Sijunjung khususnya nagari Koto Padang Ranah dan Tanah Bato untuk meringankan berbagai pekerjaan dan membahas aspek-aspek sosial kemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya batobo mempunyai struktur kepengurusan yang terdiri dari penasehat, ninik mamak, ketua, tuo tobo, juru tulih, bendahara, anggota dan pembuat jadwal atau giliran. Anggota dibagi berdasarkan usia dan keterampilan serta anggota pemula dan penghubung.

Untuk pengambilan-pengambilan keputusan penting semua peserta mengadakan rapat yang dilaksanakan secara rutin. Materi rapat biasanya membahas segala hal yang berkaitan dengan tobo. Mulai dari aturan yang berlaku, keanggotaan, hak dan kewajiban anggota, larangan serta sanksi-sanksi. Selain itu rapat juga menentukan jenis pekerjaan, pembagian pekerjaan dan menentukan jadwal pekerjaan. Lebih jauh rapat batobo membahas terkait batas-batas wilayah dalam pertanian serta mengajarkan sopan santun kepada anggotanya atau cara-cara bergaul. Artinya batobo oleh masyarakat Sijunjung difungsikan tidak hanya sebagai ikatan tolong menolong tapi juga sebagai tempat bersosialisasi.

Beberapa praktek tobo konsi pada masyarakat Sijunjung dilakukan dalam berbagai pekerjaan. Misalnya dalam mengerjakan lahan pertanian. Umumnya pekerjaan di ladang dilakukan secara bergilir ke ladang semua anggota tergantung urgensinya. Giliran ini diatur oleh tukang panyilih, apa bentuk pekerjaannya,  kapan harus mengerjakan dan siapa saja yang harus mengerjakannya. Setelah disepakati lalu secara bersama-sama akan mengerjakannya. Ada kalanya seseorang tidak bisa terlibat karena ada urusan mendesak. Jika terjadi demikian, biasanya dia akan menggantinya dengan uang. Besaran uang yang dibayarkan ditentukan sesuai kesepakatan tobo, namun umumnya yang berlaku adalah upah sehari tenaga kerja di ladang. Aturan yang sama juga dilakukan dengan jenis pekerjaan yang berbeda seperti meramu pekayuan, manaruko, bersawah dan lain-lain. Malah, kadang kala ketika tidak ada pekerjaan yang mendesak di anggota tobo, maka tobo sering mengambil borongan pekerjaan. Hasil dari pekerjaan ini nantinya akan dinikmati bersama.

Baca juga: Strategi Pemajuan Kebudayaan

Tidak hanya saling membantu dalam hal tenaga, tapi juga modal usaha dan kebutuhan lain yang mendesak tentang uang. Batobo mempunyai konsep koperasi untuk membantu anggota ketika menghadapi kondisi-kondisi genting dan membutuhkan uang. Misalnya ketika mengalami sakit tapi sedang tidak punya cukup uang untuk berobat. Batobo mempunyai kas yang mana dikelola seperti halnya koperasi. Ya, anggota batobo berkewajiban menyerahkan iuran pokok dan iuran sukarela atau iuran rapek. Iuran pokok mereka hitung berdasarkan harga daging. Memang iuran ini dimaksudkan sebagai tabungan untuk memenuhi kebutuhan daging pada hari lebaran. Sehingga ini juga yang mendorong para anggota tobo untuk melunasi iuran dan utang (kalau ada) sebelum lebaran tiba. Iuran inilah yang dikelola untuk keperluan-keperluan mendesak anggota sebelum lebaran tiba.

Untuk memastikan setiap aturan ditaati oleh anggota, maka tobo mempunyai sanksi untuk setiap pelanggaran yang terjadi. Sanksi ini diberlakukan sesuai dengan berat kecilnya pelanggaran. Mulai dari meminta maaf, denda, hingga mengeluarkan dari keanggotaan. Aturan ini berlaku kepada semua yang terlibat dalam tobo. Sanksi inilah yang kemudian bisa mengikat keanggotaan dan menciptakan disiplin dalam berbagai kewajiban yang harus dipenuhi. Seseorang yang tidak taat aturan tentu saja akan merasa malu jika tidak mentaatinya. Ada budaya malu yang diciptakan ketika aturan tidak ditaati, hal ini karena rasa memiliki akan tobo tersebut sangat tinggi di kalangan anggota.

Batobo konsi semakin penting ketika fungsinya juga diperluas ke dalam pendidikan. Batobo konsi acapkali dimanfaatkan untuk menambah wawasan dalam bidang pertanian. Melalui pertemuan-pertemuan, seringkali disandingkan dengan penyuluhan-penyuluhan. Selain itu juga dimanfaatkan untuk melestarikan adat dengan memanfaatkan pertemuan untuk mendiskusikan dan menanamkan serta mengenal adat. Batobo juga dimanfaatkan untuk mengajarkan bagaimana cara berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat di lingkungan sekitar. Serta bagaimana bersosialisasi sebagai manusia yang beradab.

Artikel ini telah dimuat di harian Singgalang pada Minggu, 29 Juli 2018.

Peringati HUT Kemerdekaan, Pegawai Mengenakan Busana Daerah

0

Padang – BPNB Sumbar turut memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 dengan menggelar upacara. Kegiatan ini digelar pada 17 Agustus 2018 di halaman kantor BPNB di Jl. Raya Belimbing, Padang. Seluruh pegawai hadir dalam upacara tersebut dengan mengenakan ragam busana daerah.

Peserta upacara memperingati HUT RI ke-73 di BPNB Sumbar pada 17 Agustus 2018 di halaman kantor BPNB kompak mengenakan pakaian daerah.

Pemilihan busana daerah pada kesempatan itu dimaksudkan untuk menunjukkan kekayaan budaya bangsa sekaligus menunjukkan betapa beragamnya kita. Keberagaman yang rukun, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Beragam tapi bersatu.

Upacara yang dipimpin langsung oleh kepala BPNB Sumbar, Suarman, berlangsung dengan tertib dan khidmat.  Diawali pengibaran bendera sekaligus menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya hingga pembacaan doa di akhir acara. Pada kesempatan tersebut, Suarman juga membacakan pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Penyematan penghargaan satyalencana kepada pegawai yang telah mengabdi selama 10 tahun dan 20 tahun oleh Kepala BPNB Sumbar, Suarman.

Upacara kali ini terasa istimewa bagi BPNB Sumbar. Hal ini karena sebagian pegawainya mendapat penghargaan berupa satyalencana atas pengabdiannya sebagai pegawai. Tercatat ada sembilan pegawai yang menerima penghargaan karena mengabdi selama 10 tahun dan 20 tahun.

Dirgahayu Republik Indonesia ke-73! Jayalah Bangsaku!

Strategi Pemajuan Kebudayaan jadi Modal Pembangunan Nasional

0

Pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan membawa semangat baru dalam upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan nasional. Setelah puluhan tahun merdeka, akhirnya Republik Indonesia memiliki sebuah panduan dalam upaya menjalankan amanat Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 untuk memajukan kebudayaan. Hal ini sejalan pula dengan amanat Presiden Republik Indonesia agar memberikan peran strategis bagi kebudayaan nasional dalam pembangunan.

Presiden Jokowi menginginkan adanya keseimbangan antara infrastruktur keras yang saat ini gencar dibangun di berbagai wilayah di tanah air, dengan infrastruktur lunak dalam wujud karakter dan jatidiri bangsa yang dikembangkan lewat jalan kebudayaan. Untuk itulah diperlukan kebijakan makro kebudayaan dalam rangka proses pembudayaan manusia. “Kita ‘kan terlalu sering berbicara masalah infrastruktur yang keras. Mengenai jalan, mengenai jembatan, mengenai pelabuhan. Tidak pernah kita berbicara mengenai infrastruktur lunak, yaitu kebudayaan,” diungkapkan Presiden Jokowi usai bertemu dengan para budayawan beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan lain, Presiden juga berpesan agar generasi muda tidak melupakan akar budaya bangsa. Generasi penerus bangsa tidak boleh kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia.

“Kita ingin agar kebudayaan menjadi nafas dari kelangsungan hidup bangsa, menjadi darah kepribadian, menjadi mentalitas dan nilai-nilai kebangsaan anak didik kita,” tuturnya di pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2018 yang lalu.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengungkapkan bahwa pengesahan UU Pemajuan Kebudayaan merupakan wujud konkret perhatian pemerintah terhadap kebudayaan nasional.

”Adanya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan memberikan arah dan platform ke mana budaya daerah dan nasional mau dibawa. Selama ini, belum ada landasan strategis soal kebudayaan,” jelas Muhadjir.

Sebagai negara adidaya di bidang kebudayaan, Indonesia berpotensi besar dalam mempengaruhi peradaban dunia. Mendikbud berharap pemerintah daerah menaruh perhatian dalam memajukan kebudayaan di daerah. Tahun depan, pemerintah pusat akan menggulirkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang kebudayaan. Untuk itulah strategi pemajuan kebudayaan yang disusun dari akar rumput, dimulai dari tingkat kabupaten/kota, kemudian provinsi, dalam bentuk PPKD sampai tingkat nasional dalam bentuk Strategi Kebudayaan akan memainkan peranan penting dalam implementasi pemajuan kebudayaan di lapangan.

Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjenbud) Hilmar Farid menjelaskan bahwa pemajuan kebudayaan yang dimaksud dalam undang-undang bertujuan meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia. Proses pemajuan kebudayaan dilakukan melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan nasional Indonesia. Sesuai undang-undang, terdapat 10 obyek pemajuan kebudayaan, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

“Pemajuan kebudayaan dilaksanakan dengan berpedoman pada Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah kabupaten/kota, Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah provinsi, Strategi Kebudayaan yang disusun berdasarkan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Kongres Kebudayaan yang akan digelar tahun depan, serta Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan,” dijelaskan Dirjenbud.

Strategi pemajuan kebudayaan akan menjadi dasar perumusan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan yang menjadi acuan utama dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Pendek, Menengah, dan Panjang di bidang kebudayaan. Pengarusutamaan kebudayaan dalam pembangunan nasional dipandang sangat strategis dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan akan dijadikan dasar bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Dalam waktu bersamaan, pemerintah juga akan membentuk sistem pendataan kebudayaan terpadu yang mengintegrasikan seluruh data kebudayaan dari berbagai sumber. “Rencana Induk itu akan menjadi dokumen pedoman bagi pemerintah pusat dalam melaksanakan pemajuan kebudayaan. Ini merupakan penerjemahan Strategi Kebudayaan dalam bentuk rencana program kerja pemerintah. Kebudayaan akan terlihat sebagai sektor yang dijalankan oleh berbagai Kementerian dan Lembaga. Bukan hanya Direktorat Jenderal Kebudayaan saja,” kata Hilmar.

Penyusunan strategi pemajuan kebudayaan dilaksanakan secara bertahap, dimulai dengan masa persiapan mulai Februari hingga Maret 2018. Masa persiapan ini diisi dengan lokakarya penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) di 20 klaster kerja. Pada bulan Mei dan Juni 2018 tahapan penyusunan memasuki masa pra kongres 1, yaitu penyusunan PPKD kabupaten/kota untuk kemudian ditetapkan oleh bupati/walikota.

Selanjutnya, pada bulan Juli sampai dengan September 2018 masuk tahapan pra-kongres 2, yaitu penyusunan PPKD provinsi yang kemudian ditetapkan oleh gubernur. Tahap terakhir, pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2018, penyusunan Strategi Kebudayaan dilakukan pada 16-18 November 2018. Diharapkan, nantinya strategi kebudayaan nasional akan ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada momen Kongres Kebudayaan (KKI) 2018.

Bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mendorong penyelesaian target penyusunan PPKD tingkat pemerintah provinsi.

PPKD sangat penting dalam merumuskan strategi pemajuan kebudayaan yang berasal dari masing-masing wilayah di tanah air. Penyusunan PPKD tingkat provinsi ini harus berdasarkan PPKD tingkat kabupaten/kota yang dijadwalkan berakhir sampai dengan 31 Agustus 2018. Diharapkan melalui pendampingan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, pemerintah daerah dapat segera menyelesaikan PPKD yang berisi data kondisi faktual obyek pemajuan kebudayaan, permasalahan yang dihadapi daerah dalam upaya pemajuan kebudayaan, dan rekomendasi penyelesaiannya.(*)

**disiapkan oleh Tim Komunikasi Pemerintah Kemenkominfo dan Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud

Elly Rudy, Sang Maestro Tari Gending Sriwijaya

0

Belajar Bersama Maestro yang digelar Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat beberapa waktu lalu di Kota Palembang mengangkat Tari Gending Sriwijaya sebagai kesenian yang diajarkan. Seiring dengan itu, maestro yang dilibatkan untuk mengajar tari ini adalah Elly Rudy. Dia ini adalah maestro yang mengabdikan diri dalam tari tradisi di Sumatera Selatan, khususnya tari gending sriwijaya.

Nama kecil Elly Rudy adalah Elly Anggraini Soewondo, lahir di Tanjung Enim hampir 70 tahun yang lalu. Rudy disematkan ke namanya karena suaminya yang bernama Rudy Syafruddin. Selama membina keluarga dengan Rudy Syafruddin, mereka dikaruniai empat anak yaitu: Swarna Maha Reza, S.Sos., Swarga Arya Eza, S.Pd., Permata Safira, S.E., dan Puspa Dita, S.Si.

Sejak kecil Elly Rudy telah mulai menggeluti dunia tari. Bahkan pada tahun 1962, dia telah masuk anggota grup tari Gending Sriwijaya yang tergabung dalam dalam Grup Tari pimpinan Suka Enah Rozak. Sejak saat itu, Elly kemudian sering tampil dengan tari yang sama dalam berbagai perhelatan.

Sejak terlibat dalam berbagai even, pada tahun 1965 dia mulai merambah pada penciptaan tari. Bahkan, Ibu lulusan FKIP Bahasa dan Seni Universitas Sriwijaya Palembang ini pada tahun yang sama menciptakan ‘tari tanggai’. Sejak itu, dia juga sekaligus menjadi pelatih tari di berbagai instansi maupun lembaga. Mulai dari sekolah, yayasan hingga instansi pemerintahan, dia pernah menjadi pelatih tari. Dia juga pernah menjadi juri, koreografi, narasumber dan juga menulis beberapa buku.

Dengan pengalaman dan prestasi yang dia miliki tentu saja layak disebut sebagai seorang maestro. Seluruh hidupnya didedikasikan di dunia seni khususnya tari gending sriwijaya serta menggantungkan hidupnya dari seni. Berikut perjalanan hidup Elly Rudi dalam berkesenian:

1962: Sebagai penari Gending Sriwijaya bergabung dalam Grup Tari pimpinan Suka Enah Rozak.

1965:  Menciptakan Tari Tanggai.

1965: Menjadi duta Indonesia ke New York World Fair Amerika sebagai Penari.

1981 – sekarang: Aktif sebagai Pelatih Tari. Mengikuti Misi Kesenian sebagai Duta Seni ke berbagai Event Nasional maupun Internasional.

1986: Karya Tari Erai-Erai Serumpun mewakili Propinsi Sumatera Selatan pada Pembukaan Pekan Raya Jakarta (PRJ).

1987: Karya Tari Cek Molek Juara I dalam Pekan Tari Kreasi di Bengkulu, mewakili Propinsi Sumatera Selatan.

1988: Tim Tari Universitas Sriwijaya (UNSRI) Palembang pada Pekan Tari Mahasiswa (PEKSIMINAS), Karya Tari Egal-Egol (eksebisi).

1989: Tim Tari Universitas Sriwijaya (UNSRI) Juara I Tari Tradisi dengan Karya Tari Tari Tanggai pada Pekan Seni Mahasiswa di Universitas Syahkuala Aceh.

1990: Juara I Lomba Cipta Tari Tingkat Propinsi, Karya Tari Bungo Inten.

1991: Juara III Tingkat Nasional dalam Gatra Kencana TVRI Palembang, Karya Pijar Budaya Sumatera Selatan.

1992:   Mewakili Propinsi Sumatera Selatan pada Pekan Seni Budaya Melayu di Tanjung Pinang, Riau.

1993: Penampilan Terbaik Lomba Cipta Tari Tingkat Nasional di Jakarta, Karya Tari Tari Nindai.

1994:   Mewakili Propinsi Sumatera Selatan ke Laos, Thailand dan Singapura atas undangan pemerintah setempat.

1995: Mewakili Propinsi Sumatera Selatan pada Festival Keraton Surakarta.

1995: Kerjasama TVRI Pusat Jakarta dan TVRI Palembang dalam Paket Khusus Indonesia Emas, Karya Sendratari “Sultan Mahmud Badaruddin II”.

1997: Utusan Propinsi Sumatera Selatan pada Festival Keraton Cirebon.

1998: Utusan Propinsi Sumatera Selatan pada Pekan Raya Budaya Melayu Riau.

1998: Sebagai Tutor/ Narasumber Tari Tanggai dan Tari Gending Sriwijaya di STSI Padang Panjang (sekarang ISI Padang Panjang).

1999: Utusan Propinsi Sumatera Selatan ke Johor Baru Malaysia sebagai narasumber Bedah Tari Zapin.

2001: Utusan Propinsi Sumatera Selatan pada Festival Gendang Nusantara di Melaka Bandar Raya, Malaysia.

2001: Menerima Penghargaan Seni ASEAN Social and Economic Corporation Golden Award 2001 Jakarta.

2002: Mewakili Propinsi Sumatera Selatan di Istana Negara. 1. Tari Gending Sriwijaya; 2. Tari Lenggok Musi.

2002: Pelatih Tim Kesenian Daerah Musi Banyuasin (MUBA) dibawah pimpinan Bupati MUBA Bpk. Ir, Alex Noerdin. – Mengikuti Festival Floriade Hearlemmeer, Belanda.- Misi Indonesia ke Perancis.

2003: Utusan Propinsi Sumatera Selatan ke Kerajaan Negara Selangor, Malaysia.

2003: Utusan Propinsi Sumatera Selatan pada Festival Rampai Melayu – Budaya Melayu Sedunia, Riau.

2003:   Utusan Tim Kesenian sebagai Pelatih Tari ke Italia dan Jerman.

2003:   Menerima Penghargaan Seni sebagai Seniman Tari dari Pemerintah Daerah (PEMDA) Sumatera Selatan.

2007: Dosen Luar Biasa Fakultas Seni Prodi Sendratasik Universitas PGRI Palembang.

2007: Sebagai Tutor/ Narasumber “Workshop Penata Tari dan Musik se-Sumatera Selatan”.

2009:   Sebagai Juri/ Pengamat pada Festival Seni Tari Melayu.

2010: Narasumber Workshop Pengembangan – Pelestarian Seni Budaya Palembang yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) Propinsi Sumatera Selatan.

2013:   Narasumber Focus Group Discussion Pakaian Adat dan Tari Sambut Sumatera Selatan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Nasional (DIKNAS) Propinsi Sumatera Selatan.

2013: Juri/ Pengamat Lomba Tari Kreasi Sumatera Selatan.

2013: Menerima Penghargaan Sebagai Tokoh Seni Budaya Sumatera Selatan dari Universitas PGRI Palembang.

2016: Koreografer World Dance Day di Surakarta diselenggarakan oleh ISI Surakarta. Karya Tari Tari Lilin Siwa.

2017: Sebagai Narasumber/ Pamong Seni Pelatihan Kesenian Tradisional Sumatera Selatan Materi: Tari Tanggai. Diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata  (DISBUDPAR) Propinsi Sumatera Selatan.

2017: Koreografer World Dance Day Surakarta yang diselenggarakan oleh ISI Surakarta. Karya Tari Tari Pagar Pengantin.

2017: Menciptakan Tari Sambut Kabupaten Musi Rawas Utara (MURATARA), Karya: Tari Sambut “Ilim”.

2018:   Koreografer pada Festival Triangle Culture Festival yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Kota Palembang.

2018: Pelatih Tari di Dinas Kebudayaan Kota Palembang.

Bersama Inspektorat Jenderal Diskusi Pengelolaan Ketatausahaan

0
Suasana diskusi

Padang – Kedatangan tim Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan dalam rangka audit ke Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat dimanfaatkan untuk Peningkatan Sumber Daya Manusia di Bidang Ketatausahaan. Melalui kedatangan tersebut, diadakan sebuah diskusi dengan melibatkan  seluruh pegawai. Diskusi dilaksanakan pada Senin, 30 Juli 2018 di ruang rapat BPNB Sumbar.

Acara yang dimulai pada pukul 13.00 wib tersebut dibuka secara langsung oleh Kepala BPNB Sumatera Barat Drs. Suarman. Tim dari Itjen dihadiri Pung S.P. Ngusadhani, Maretono, Bandut Satrio Utomo dan Novandi Carlos. Pada kesempatan itu Bapak Maretono menyampaikan materi tentang pengelolaan ketatausahaan. Diskusi berlangsung menarik dan sangat dinamis. Beberapa pertanyaan lebih banyak terkait dalam penyelesaian administrasi pada kegiatan lapangan.

Tujuan pertemuan tersebut dimaksudkan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada seluruh pegawai. Sehingga dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kantor dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan aturan yang ada. Disamping itu kegiatan tersebut juga bermaksud untuk menampung seluruh aspirasi pegawai terkait beberapa kendala yang seringkali terjadi dalam berbagai pelaksanaan tugas.

Harapannya, melalui diskusi ini pelaksanaan tugas dan fungsi kantor akan tertib baik secara administrasi maupun dalam pencapaian output yang ditetapkan sebelumnya. (FM)

Silek ‘Kumango’ yang bukan ‘Kumango’

0
Gerak buka langkah dalam aliran silek 'kumango'. Silek ini berkembang di Kabupaten Solok Selatan. Foto. Marbun

Silek kumango di Solok Selatan tidak sama dengan kumango di Tanah Datar. Hasil pencatatan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, setidaknya terdapat 12 aliran silat tradisi di Kabupaten Solok Selatan. Dari aliran sebanyak itu, tidak ada aliran yang benar-benar lahir dan berkembang di daerah tersebut. Hampir semua silek yang ada datang dari daerah lain khususnya dari darek yaitu daerah Tanah Datar.

Walau demikian, dari jumlah tersebut diakui ada beberapa aliran silek khas Solok Selatan. Dikatakan khas karena sekalipun aliran tersebut ada di darek tapi memiliki perbedaan yang mencolok dari segi gerak atau jurus. Mungkin karena telah mengalami modifikasi dari aslinya atau karena penggabungan beberapa aliran. Beberapa aliran silek yang dirasa khas tersebut adalah luncu, colau, padang abai dan kumango.

Dari ke empat aliran yang khas, silek kumango menjadi salah satu aliran khas dan unik. Masyarakat percaya bahwa silek ini berasal dari daerah darek yang selanjutnya menyebar ke Solok Selatan. Namun, ada perbedaan mencolok dengan daerah darek. Silek kumango yang ada di solok selatan bukanlah sebagaimana anggapan orang banyak tentang silek kumango yang ada di daerah darek.

Silek Kumango di Solok Selatan merupakan gabungan dari beberapa aliran silek, sehingga dinamakan dengan ‘kumango’. Menurut masyarakat ‘kumango’ dalam bahasa setempat adalah campur-campur atau gabungan. Jadi ‘kumango’ secara etimologi adalah ‘gado-gado’ atau ‘campuran’. Nama ini merujuk dari aliran silek yang memang menggabungkan beberapa gerak dari beberapa aliran silek yang ada di Solok Selatan. Beberapa aliran dan gerak silat yang tergabung dalam silek kumango solok selatan adalah Colau, Pangian, Luncu dan Taralak.

Penggabungan beberapa aliran silat dalam ‘silek kumango’, tidak sepenuhnya mengubah tradisi pada silek kumango yang asli. Gerak-gerak utama masih tetap dipertahankan. Selain itu, tradisi buka laman dengan ritual khusus juga tetap dilakukan. Kini silek kumango berkembang baik di Kabupaten Solok Selatan dengan cirinya yang khas. (FM)

Silek Pusako Nagari Abai di tepi Kepunahan

0
'Kabau Lago di Bawah', salah satu gerak Silek Padang Abai yang ada di Kabupaten Solok Selatan. Foto. Marbun

Salah satu aliran silat khas Solok Selatan adalah Silek Padang Abai yang juga dikenal dengan Silek Pusako Nagari Abai. Keberadaan silat ini telah lama ada dan menurut pengakuan tuo sileknya Sutan Pangeran, berasal dari Mekkah yang dibawa oleh Syaik Kudung. Ironisnya, silek ini kini sudah diambang kepunahan. Selain tidak ada lagi sasaran, guru silatnya juga sudah dimakan usia. Sementara anak sasiannya juga hanya sedikit yang menguasai geraknya.

Di kabupaten Solok Selatan berkembang banyak aliran silat tradisi. Hasil pendataan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat baru-baru ini, terdapat sekitar 12 aliran silat tradisi yang masih eksis. Dari jumlah tersebut ada 4 aliran yang bisa dikatakan khas yaitu Silek Luncu, Padang Abai, Colau dan Kumango. Selain itu, terdapat banyak sasaran sebagai media pembelajaran dan pewarisan silat tradisi tersebut.

Perkembangan silat tradisi ini tidak lepas dari lahirnya Pahimpunan Tuo Silek Tradisional Minangkabau. Tujuan perhimpunan selain untuk membangun silaturahmi antar aliran, juga untuk menggaungkan Silek Minangkabau sebagai warisan budaya. Dalam pelaksanaannya, secara berkala mereka mengadakan festival silat tradisi. Festival tersebut mempertemukan semua aliran yang tergabung dalam perhimpulan dan secara bergilir didapuk menjadi tuan rumah.

Hal yang berbeda ditampilkan silek padang Abai. Di tengah aliran lain yang semakin tumbuh, aliran ini malah menunjukkan tanda-tanda kepunahan. Kegiatan perhimpunan sepertinya tidak cukup membantu menjaga tetap eksisnya aliran ini. Hal ini tampak dari tidak ada lagi sasaran yang mewadahi tetap tumbuhnya. Selain itu minimnya pengajar dan terbatasnya waktu luang yang mereka punya menjadi salah satu alasan tidak aktif lagi. Selain itu biaya operasional juga sangat minim sehingga silek ini juga semakin sulit untuk berkembang.

Hingga saat ini, tinggal tiga orang yang menguasai aliran silat ini dengan baik. Ketiganya juga sudah berusia di atas 60 tahun. Selain itu, ada dua orang siswa yang pernah belajar dan mengetahui sedikit banyak tentang Silek Padang Abai. Kedua orang ini memang sudah sering tampil dalam berbagai festival-festival silat baik di Solok Selatan maupun di luar daerah. Namun, belum menguasai keseluruhan gerak yang ada. Akanlah Silek Pusako Nagari Abai ini dapat bertahan atau akan mati? (FM)

Sejarah Tari ‘Gending Sriwijaya’

0
Anak-anak sedang mengikuti latihan tari gending sriwijaya pada kegiatan Belajar Bersama Maestro (BBM) 2018

Tari Gending Sriwijaya merupakan tarian khas sumatera selatan. Secara harafiah Gending Sriwijaya berarti “Irama Kerajaan Sriwijaya”. Tari ini melukiskan kegembiraan gadis-gadis Palembang saat menerima kunjungan tamu yang diagungkan.

Munculnya tari ini berawal dari permintaan pemerintahan Jepang yang ada di Karesidenan Palembang kepada Hodohan (Jawatan Penerangan Jepang) untuk menciptakan sebuah lagu dan tari untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Sumatera Selatan dalam acara resmi. Permintaan ini mulai digagas sejak akhir 1942 hingga tahun 1943. Sempat tertunda beberapa waktu karena berbagai persoalan politik baik di Jepang maupun di tanah air.

Setelah tertunda beberapa waktu, pada bulan Oktober 1943 gagasan mencari lagu ditindaklanjuti kembali. Letkol O.M. Shida memerintahkan Nuntjik A.R. (Wakil Kepala Hodohan pengganti M.J. Su’ud) yang pada saat itu sudah dikenal sebagai seorang sastrawan dan wartawan. Kemudian mengajak Achmad Dahlan Mahibat, seorang komponis putra Palembang asli yang pandai bermain biola dari kelompok seni (toneel) Bangsawan Bintang Berlian dibawah pimpinan pasangan suami isteri Haji Gung dan Miss Tina, untuk bersama-sama menggarap lagu tersebut.

Setelah penggarapan lagu selesai, maka dilanjutkan dengan penulisan syair lagu Gending Sriwijaya oleh A. Dahlan Mahibat yang kemudian syair tersebut disempurnakan oleh Nungtjik A.R., setelah lagu dan syair Gending Sriwijaya selesai diciptakan, maka tari penyambutan harus segera dibuat. Berbagai konsepsi telah dicari dan dikumpulkan dengan mengambil bahan-bahan dari tari-tari adat Palembang yang sudah ada.

Seorang penari profesional yang dianggap ahli dalam hal adat budaya Palembang, Miss Tina haji Gung mengurusi properti dan busana yang akan dipakai dalam pementasan Tari Gending Sriwijaya yang dibantu oleh Sukaenah A. Rozak seorang ahli tari sebagai model, dan pengarah gerak oleh budayawan RM Akib dan R Husin Natodoradjo. Latihan diadakan di gedung Bioskop Saga. Kemudian pada bulan Mei 1945 tari ini dipertunjukkan di hadapan Kolonel Matsubara, Kepala Pemerintahan Umum Jepang, sebagai uji coba. Para penari uji coba ini merupakan para nyonya pejabat dibantu oleh anggota grup Bangsawan Bintang Berlian.

Tepat pada hari Kamis, tanggal 2 Agustus 1945, dalam rangka menyambut pejabat-pejabat Jepang dari Bukit Tinggi yang bernama Moh. Syafei dan Djamaludin Adi Negoro, Tari Gending Sriwijaya secara resmi ditampilkan. Inilah kali pertama tari Gending Sriwijaya pertama kali ditampilkan. Adapun tempat penampilan diadakan di halaman Masjid Agung Palembang. “Tepak” yang berisi kapur, sirih, pinang dan ramuan lainnnya dipersembahkan sebagai ungkapan rasa bahagia.

Pada saat itu, tarian dipimpin oleh Sukainah A. Rozak yang membawa Tepak Sirih, Gustinah A. Rachman dan Siti Nurani As’ari selaku pengalung bunga (pengganti pridonan), dengan penari-penari antara lain: Delima A. Rozak, Tuhfah, Busroh Yakib, R. A. Tuty Zahara Akib dan beberapa yang lainnya. Di masa Kemerdekaan RI, secara mantap menjadikan Gending Sriwijaya sebagai tarian untuk menyambut tamu-tamu resmi pemerintahan yang berkunjung ke Sumatera Selatan.

Sumber: Elly Anggraini Soewondo (Maestro tari Gending Sriwijaya)

Menulis Kreatif Mengisi Bulan Ramadhan

0
peserta diskusi menulis kreatif (23/5)

Padang – Mengisi waktu di bulan puasa, Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat menggelar Diskusi Menulis Kreatif. Kegiatan ini diadakan sebanyak 4 kali pertemuan selama ramadhan dan melibatkan 4 narasumber baik akademisi maupun media cetak lokal. Rencana diskusi menulis ini dilaksanakan tiap hari rabu, dimulai dari 23 Mei 2018.

Menurut Kepala BPNB Sumatera Barat kegiatan menulis kreatif sangat penting bukan hanya menambah wawasan dalam berbahasa, tapi lebih penyiaran ilmu pengetahuan. Hal ini juga berkaitan dengan penyebarluasan informasi mengenai kebudayaan sebagaimana tuga kantor sebagai pelestari budaya.

“pelestarian nilai budaya perlu didukung tulisan, karena tulisan merupakan sumber pengetahuan abadi” jelasnya.

Pada diskusi kali ini, didapuk sebagai narasumber adalah Sudarmoko, dosen Universitas Andalas sekaligus kandidat doktor di Leiden University.

Menulis kreatif ini merupakan wadah untuk meningkatkan keterampilan pegawai untuk menyajikan dan menginformasikan kebudayaan kepada masyarakat. Melalui diskusi ini ditemukan bahwa persoalan sesungguhnya adalah bagaimana menyajikan data-data yang ada menjadi tulisan populer dan ringan yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat awam sekalipun.

Kegiatan ini diikuti oleh sebagian besar pegawai baik peneliti maupun bagian publikasi dan dokumentasi.

Bujang Kurab: Pengembara Sakti yang Budiman

0

Selain cerita Silampari yang cukup fenomenal, masih ada cerita Bujang Kurap atau Embun Semibar yang cukup terkenal di Kota Lubuklinggau. Cerita ini berkisah tentang tokoh legendaris Lubuklinggau.

Bujang Kurap, biasa juga dikenal dengan nama Embun Semibar, tokoh legendaris Lubuklinggau. Bujang Kurap terkenal sakti diseantero negeri, khususnya pada beberapa negeri di sekitar Bukit Sulap Lubuklinggau. Meskipun memiliki tubuh yang penuh dengan kurap dia tidak pernah putus asa dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Pengembaraannya di banyak negeri selalu meninggalkan cerita tentang kepahlawanan serta keramahannya dalam bergaul. Dia senang menolong orang yang berada dalam kesusahan serta senantiasa menjauhkan diri dari sifat sombong. Kesaktian yang dimiliki Bujang Kurap mendatangkan manfaat bagi banyak orang.

Bujang Kurap dilahirkan di daerah melayu Bangko, Sarolangun Jambi. Bujang Kurap berasal dari keluarga elit tradisional menurut garis keturunan Datuk Saribijaya yang mempersunting Putri sari Banilai. Dt. Saribijaya berasal dari Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Oleh karena itu, tidaklah heran bila Bujang Kurap terus tumbuh menjadi remaja yang berkepribadian luhur. Bujang Kurap sangat suka menuntut ilmu, baik ilmu kemasyarakatan dan terlebih lagi ilmu kesaktian.

Sedari kecil penyakit kurap telah diderita Bujang Kurap. Meskipun tidak berada di sekujur tubuhnya, namun penyakit tersebut seakan telah menjadi bagian dari takdir hidup Bujang Kurap. Pada mulanya penyakit kulit tersebut sangat mengganggu pergaulan Bujang Kurap. Dia merasa enggan untuk bergaul dengan masyarakat. Dia takut kehadirannya di tengah masyarakat hanya akan membuat resah dan ketakutan.

Nama Embun Semibar lekat di diri Bujang Kurap setelah menyelesaikan pertapaan panjang guna memeperdalam ilmu kesaktian. Nama tersebut merupakan pemberian gaib yang diterima Bujang Kurap setelah berhasil dengan tapanya. Bujang Kurap telah memiliki kesaktian yang tinggi dan semenjak itu penyakit Kurap betul-betul memenuhi sekujur tubuhnya.

Salah satu kesaktian Bujang Kurap adalah kemampuannya berubah rupa. Bujang Kurap bisa berubah menjadi apapun yang dia inginkan. Meskipun demikian, ilmu berubah rupa tidak pernah digunakannya untuk kejahatan. Di samping mampu berubah rupa, kurap di tubuh Bujang Kurap adalah senjata ampuh yang pada saat-saat tertentu digunakannya untuk mengalahkan musuh. Kelupas kurap Bujang Kurap akan berubah menjadi besi baja yang tajam serta sangat mumpuni untuk membunuh-lawan-lawannya. Tidak jarang Bujang Kurap terpaksa menggunakan lempeng-lempeng baja yang berasal dari kurap yang dia derita. Lawan sakti yang mesti dia hadapi pada satu waktu memaksa Bujang Kurab menggunakan lempeng baja yang berasal dari kelupas kulitnya karena penyakit kurab yang diderita.

Bujang Kurap mengembara dari satu negeri ke negeri lain, dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Buruk rupa, senantiasa dibrnci dan dicaci, namun tidak pernah berhenti menebar kebikan. Setiap singgah di suatu negeri Bujang Kurap selalu meninggakan cerita baik. Orang-orang yang ditinggalkan akan selalu mengenang pertolongan Bujang Kurap. Mereka berhutang budi karena biasanya tidak akan sempat membalas jasa. Berterima kasih pun kadang tidak sempat. Setelah memberikan pertolongan Bujang Kurap lebih memilih untuk pergi secara gaib sehingga tidak diketahui oleh orang. Itulah Bujang Kurap, penebar kebaikan ampa berharap adanya balasan dari orang-orang yang ditolong.

Dalam pengembaraan panjangnya Bujang Kurap menimba banyak pengalaman dan ilmu yang bermanfaat. Ilmu kesaktiannya semakin mumpuni dan tidak terklahkan. Bujang Kurap pun bertemu dengan banyak pendekar sakti dalam perjalanannya menumpas kejahatan.Diusia tuanya kelak, segala ilmu dan pengalaman yang dimiliki dipraktikkan dalam pengabdiannya kepada masyarakat. Di Ulak Lebar, sebuah negeri yang terletak di lembah Bukit Sulap Lubuklinggau, di daerah inilah Bujang Kurap menghabiskan masa tunya. Masyarakat Ulak Lebar menerima Bujang Kurap apa adanya. Buruk Rupa yang dimiliki Bujang Kurap tidaklah penting bagi penduduk Ulak Lebar karena yang mereka butuhkan adalah pengalaman dan ilmu Bujang Kurap. Bujang Kurap adalah tokoh pengembara rendah hati. Meskipun berilmu tinggi Bujang Kurap tetaplah rendah hati.

Di kawasan Negeri Ulak Lebar, sebuah kawasan yang subur di kaki Bukit Sulap, Bujang Kurap menyudahi pengembaraannya. Lingkungan alam ulak Lebar sangatlah strategis. Kawasan ini dibentuk oleh tiga aliran sungai, yaitu Sungai Kesia, sungai Katie dan sungai Kelingi. Di kawasan inilah sekarang terdapat menhir-menhir yang berjajar sebagai buah peradaban megelitikum. Menhir-menhir itu adalah adalah bukti pekuburan para kaum elit tradisional masyarakat Negeri Ulak Lebar pada zaman dahulu.

Di antara makam para pemimpin Negeri Ulak Lebar, tepatnya di tepi Sungi Kelingi dan sebelah Selatan Benteng Kuto Ulak Lebar, terdapat sebuah kuburan  yang dibri tanda berupa sepasang megalitik. Masyarakat Lubuklinggau sekarang percaya bahwa ituah tempat persemayaman jasad Bujang Kurap atau Embun Semibar. Hingga sekarang kuburan Bujang Kurap masih dianggap keramat, terutama oleh keturunan penduduk asli ulak Lebar. Masih dapat ditemukan peninggalan para peziarah setelah melakukan ritual di sekitar makam Bujang Kurap, seperti sisa sabut kelapa, piring kaleng dan lain sebagainya. Mereka percaya bahwa lokasi makam Bujang Kurap adalah tempat keramat yang tepat untuk dijadikan lokasi pelaksanaan ritual magis untuk tujuan kebaikan kehidupan di masa sekarang.

Penulis: Hasanadi (Peneliti budaya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat)

Silampari: Mitos Kerajaan Ulak Lebar

0

Selain cerita Linggau dan Dayang Torek, masih ada cerita Silampari yang cukup terkenal di Kota Lubuklinggau. Cerita ini berkisah tentang mitos kerajaan Ulak Lebar.

Cerita berasal dari sebuah negeri di kaki Bukit Sulap, kebanggaan masyarakat Lubuklinggau sampai zaman sekarang. Di kaki Bukit Sulap, dari arah Barat Laut ke Selatan mengalir Sungai Kasie dan Sungai Ketue. Kedua sungai tersebut bermuara di Sungai Kelingi. Negeri tersebut kemudian menjadi Kerajaan Ulak Lebar serta diperintah oleh Raja Biku. Memiliki kebiasaan sebagai pengembara sakti, Raja Biku bergelar “Delapan Dewa. Raja Biku menguasai ilmu kesaktian yang dimiliki oleh delapan orang dewa. Isteri Raja Biku bernama Putri ayu Selendang Kuning, seorang peri jelita dari alam dewata. Berstatus sebagai permaisuri Raja Biku, Putri Ayu Selendang Kuning adalah adik Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh. Dewa mantra dipercaya sebagai utusan kayangan—penjaga Ulak Lebar serta negeri-negeri di sekitarnya.

Raja Biku tidak memiliki keturunan meskipun telah sepuluh tahun berkeluarga dan memerintah di Kerajaan Ulak Lebar. Rakyat Ulak Lebar hidup damai dan sejahtera. Mereka memiliki raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Sebaliknya, kegelisahan istana beserta seluruh rakyat Ulak Lebar terus menguat, siapa kiranya yang akan mewarisi tahta Raja Biku kelak. Waktu terus berjalan dan Raja Biku kemudian mengadukan kegelisahannya kepada Dewa Mantra Guru Tujuh. Raja Biku dan Putri Ayu Selendang Kuning, setelah menjalankan pertapaan di Bukit Alas Rimba, pada gilirannya beroleh kabar gembira tentang kelahiran anak-anak mereka. Raja Biku akhirnya memiliki keturunan setelah menuruti arahan Dewa Mantra Guru Tujuh.  Enam anak Raja Biku, mereka adalah mu’jizat dari alam dewata, terlahir karena keramat kembang tujuh dari kayangan. Mereka adalah, sang putra mahkota yang diberi nama Sebubur, Dayang Torek, Dayang Jeruju, Dayang Teriji, Dayang Ayu dan Dayang Iring Manis.

Di antara kelima putri Raja Biku, Dayang Torek dikenal sebagai putri raja yang paling cantik. Kecantikan Dayang Torek terkenal ke seantero negeri sehingga kepadanya dilekatkan sebutan “bak peri dari kayangan”. Banyak raja dan pangeran yang berhasrat untuk mempersunting Dayang Torek. Di lain pihak, Sebubur sebagai satu-satunya saudara laki-laki dalam keluarganya terus bertumbuh menjadi seorang pengembara sakti. Dia menimba banyak ilmu kesaktian sebagai persiapan sebelum mewarisi tahta Kerajaan Ulak Lebar. Karenanya Sebubur acap kali meninggalkan keraajaan. Dia mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Menjalani pertapaan secara berulang, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, sekaligus menjadi ritual Sebubur dalam memperdalam ilmu kesaktian yang dimiliki.

Sultan Palembang adalah seorang raja yang sangat menginginkan untuk mempersunting Dayang Torek. Sang sultan kemudian mengirim utusan ke Ulak Lebar dengan maksud meminang Dayang Torek. Prosesi pinangan tersebut bertepatan dengan kepergian Raja Biku ke Negeri Cina sekaligus perjalanan Sebubur untuk menyusul ayahanda tercinta. Keluarga istana mengalami kepanikan atas pinangan Sultan Palembang. Dayang Torek menolak pinangan tersebut dan penolakan itulah yang kemudian menjadi pangkal permasalahan yang dihadapi Kerajaan Ulak Lebar. Sultan Palembang merasa tersinggung atas penolakan Dayang Torek serta memutuskan untuk menculiknya dengan menggunakan tangan Raden Bintang. Kerajaan Ulak Lebar merasa terhina dan berduka secara mendalam atas kejadian tersebut.

Lama berlalu, Sebubur pun kembali dari perjalanan panjangnya menyusul keberangkatan Raja Biku. Dia kembali ke Ulak Lebar dengan tangan hampa karena tidak mampu membawa serta Raja Biku. Sang Raja Ulak Lebar telah silam ke dasar Laut Cina Selatan, memenuhi takdirnya sebagaimana disampaikan dulu oleh Dewa Mantra Raja Tujuh. Sebudur memutuskan untuk menjemput Dayang Torek ke Kesultanan Palembang. Bermodalkan ilmu kesaktian yang tinggi Sebubur akhirnya mampu membawa pulang Dayang Torek yang ternyata telah memiliki seorang bayi, keturunan Raja Pelambang.

Perjalanan pulang Sebubur beserta Dayang Torek ditandai oleh peristiwa tragis meninggalnya bayi Dayang torek di Tangah Sebubur. Bayi tersebut dibunuh karena dianggap akan membawa aib terhadap Kerajaan Ulak Lebar. Dayang Torek tidak menerima kenyataan pahit tersebut. Dayang Torek kemudian memutuskan untuk silam ke alam dewata serta membawa serta bayinya yang telah meninggal dunia. Peristiwa magis silamnya Dayang Torek terjadi di puncak Bukit Sulap. Sebubur tidak berdaya untuk mencegah takdir Dayang Torek. Saudara perempuan yang sangat disayanginya itu memenuhi takdir sebagaimana telah digariskan oleh Dewa Mantra guru Tujuh sejak dahulu kala.

Sebubur, pengembara sakti sekaligus putra mahkota Kerajaan Ulak Lebar, adalah tokoh penting dalam legenda silampari. Perannya dalam cerita menandai silamnya seluruh anggota keluarga istana. Raja Biku yang memenuhi takdir dan silam ke dasar laut Cina selatan, Putri Ayu Selendang Kuning beserta kelima saudara perempuan Sebubur—salah seorangnya adalah Dayang torek, silam kembali ke alam dewata. Bahkan Sebubur kemudian juga tidak bisa menolak takdir. Dia juga ikut silam, meninggalkan Kerajaan Ulak Lebar dan kembali ke alam dewata.

Silampari, begitulah lidah orang Lubuklinggau yang hidup setelah masa Sebubur dan Kerajaan Ulak Lebar. Sebubur beserta seluruh anggota keluarganya meninggalkan alam dunia dan kembali ke alam dewata. Secara terminologi kata silampari bermakna “peri” yang “silam”  dan memang demikian makna yang disematkan oleh orang lubuklinggau hingga masa sekarang.

Penulis: Hasanadi (Peneliti budaya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat)

Kisah Linggau dan Dayang Torek

0

Kisah Linggau dan Dayang Torek merupakan cerita rakyat yang berasal dari Kota Lubuklinggau. Linggau dan Dayang Torek bercerita tentang asal usul Kota Lubuklinggau.

Alkisah pada zaman kerajaan, Lubuklinggau banyak melahirkan para pendekar yang memiliki ilmu kesaktian tinggi. Pada masa itu, siapa yang paling tinggi ilmu kesaktiannya maka dialah yang berkuasa. Kemampuan ilmu beladiri yang mumpuni serta keterampilan dalam memperbuat hal-hal yang berada di luar akal sehat manusia merupakan ukuran penting sehingga seseorang dihargai di tengah masyarakat. Karenanya, salah satu tujuan hidup di masa itu adalah, menguasai berbagai ilmu kesaktian, meskipun untuk mendapatkannya seeorang harus melalui berbagai rintangan serta marabahaya yang mengancam nyawa. Seseorang dikala itu tidak akan berhenti mencari ilmu kesaktian sebelum dia tersohor keberbagai pelosok karena kesaktian yang dimiliki.

Tersebutlah Linggau, putra mahkota kerajaan, sekaligus tokoh penting legenda lokal Lubuklinggau ini. Linggau adalah putra kesayangan baginda, seorang raja yang dikenal arif serta bijaksana di seantero negeri. Linggau adalah tumpuan harapan istana, penerus serta pewaris kejayaan kerajaan di masa depan. Di luar istana, rakyat kerajaan di lembah Bukit Sulap tersebut hidup damai dan sejahtera. Mereka mencukupi seluruh kebutuhan hidup dengan mengolah serta memanfaatkan berbagai hasil yang telah disediakan oleh alam. Rakyat menjalani kehidupan dengan penuh suka cita serta senantiasa merasa dinaungi oleh keluarga istana. Apalagi, raja mereka terkenal sakti mandraguna. Kesaktian baginda raja tidak hanya dikenal di dalam lingkungan kerajaan. Baginda raja ditakuti oleh para pendekar sakti yang hidup di masa itu, terutama oleh para penjahat dan perampok.

Linggau dikenal mempunyai berbagai ilmu ketangkasan dan kesaktian. Sedari kecil dia telah mewarisi kesaktian sang raja serta menimba ilmu ke berbagai guru yang mumpuni.  Linggau terus bertumbuh menjadi remaja yang memiliki kepribadian muliya. Wajah rupawan menjadikan Linggau sagat disayangi oleh seluruh anggota kerajaan serta senantiasa menjadi buah bibir masyarakat. Banyak para gadis di kerajaan yang mendambakan menjadi pendamping hidupnya. Sayang seribu kali sayang, Linggau belum bermaksud menjatuhkan pilihannya pada seorang gadis. Sebagai pewaris tahta Linggau menyadari tugas serta tanggung jawabnya kelak. Karena itu, yang terpenting bukanlah segera menikah serta menjalani kehidupan berumah tangga. Tugasnya sekarang mengumpulkan banyak bekal pengetahuan sebagai calon pewaris tahta kerajaan. Berilmu tinggi, baik ilmu kesaktian, maupun ilmu tentang pemerintahan.

Pilihan hidup tidak segera mempersunting seorang gadis menjadikan Linggau dijuluki ”bujang tua”. Namun demikian, julukan tersebut tidaklah menjadikan Linggau surut dari keputusan yang diambil. Dia tetap dengan sikapnya, menimba banyak pengalaman serta memilih untuk tidak segera menikah. Apalagi, dia memiliki Dayang Torek, adik perempuannya yang cantik jelita. Kecantikan Dayang Torek tersebar sampai ke kerajaan tetangga. Linggau sangat menyayangi Dayang Torek. Dia sadar bahwa Dayang Torek adalah incaran setiap pemuda di kerajaan bahkan oleh mereka yang berasal dari kerajaan tetangga tersebut. Karena itu, tanggung jawabnya adalah melindungi Dayang Torek. Linggau tidak mencemaskan setiap pemuda yang ada di kerajaan. Sebaliknya, gelagat kurang baik justru muncul dari para raja dan pengeran sakti yang berasal dari kerajaan tetangga. Mereka mengincar Dayang Torek dan tentunya akan menempuh segala cara untuk dapat mempersuntingnya.

Kecantikan Dayang Torek terdengar oleh seorang pendekar sakti yang bernama Si Pahit Lidah. Sesuai dengan namanya, Si Pahit Lidah memiliki sumpah yang sakti. Perkataan Si Pahit Lidah adalah kenyataan pahit bagi setiap yang mendengarnya. Siapa yang tidak suka akan merasakan akibat dari sumpah sakti Si Pahit Lidah. Linggau makin mengkhawatirkan keselamatan Dayang Torek yang ternyata tidak menyenangi Si Pahit Lidah. Si Pahit Lidah berkeinginan mempersuntingnya dan seluruh anggota kelurga kerajaan tidak merestui. Untuk menghindari Si Pahit Lidah, Linggau pun menyembunyikan Dayang Torek di dasar sungai. Linggau sengaja membuat sebuah lubuk yang dalam dengan menancapkan taring giginya ke dasar sungai. Disitulah Dayang Torek bersembunyi. Dayang Torek selamat dari incaran Si Pahit Lidah. Bukan hanya itu, tidak seorang pun mengetahui keberadaan lubuk persembunyian Dayang Torek.

Masyarakat Lubuklinggau percaya bahwa dari banyaknya lubuk yang terdapat di sungai Lubuklinggau, lubuk yang konon menjadi tempat persembunyian Dayang Torek pada zaman dahulu adalah keramat serta memiliki keanehan. Lubuk itu kecil namun sangat dalam. Sampai sekarang lubuk itu dianggap sakti serta kemudian ditakuti. Masyarakat percaya bahwa dalam setiap tahun lubuk tersebut  akan memakan korban. Mereka adalah para gadis berwajah cantik yang akan menemani Dayang Torek dalam persembunyiannya.

Karena yang membuat lubuk tersebut adalah Linggau maka lubuk tersebut dinamakan “Lubuklinggau”. Lubuk itu berada tepat di bawah jembatan yang terletak di Dusun Linggau Kelurahan Linggau Kecamatan Lubuklinggau Barat I. Lubuk tersebut kecil dan dalam serta air di atasnya sangat tenang. Tidak pernah ada batu yang menutupi lubuk tersebut. Pada zaman dahulu daerah di sekitar Lubuk tersebut dikenal dengan nama Dusun Linggau. Sekarang, menjadi nama sebuah kota, Kota Lubuklinggau.

Oleh: Hasanadi (Peneliti budaya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat)

Dialog Sejarah dan Budaya Maritim di Kabupaten Pasaman Barat

0

Pasaman – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat mengadakan Dialog Sejarah dan Budaya Maritim. Kegiatan dilaksanakan pada Senin, 7 Mei 2018 di Ruang Auditorium Kantor Bupati Pasaman Barat. Pembukaan secara resmi dilakukan oleh Bupati Pasaman Barat Sahiran, MM.

Dalam sambutannya, Suarman melaporkan bahwa kegiatan diikuti oleh 50 orang peserta yang berasal dari Pemda/instansi terkait sebanyak 16 orang, guru SLTA se-Kabupaten Pasaman Barat sebanyak 14 orang dan guru SLTP se-Kabupaten Pasaman Barat sebanyak 20 orang.  Kebudayaan itu meliputi semua aspek kehidupan. Kebudayaan juga menjadi magnet pembangunan pariwisata. Pasaman Barat adalah salah satu basis kebudayaan di Sumatera Barat.

Suarman juga berharap Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman Barat bisa segera menyusun pokok-pokok pikiran kebudayaan daerahnya sesuai dengan petunjuk dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kalau pokok pikiran kebudayaan ini sudah selesai, nantinya akan ada Dana Alokasi Kebudayaan untuk pemerintah daerah.

Sementara itu Bupati Pasaman Barat, Sahiran, MM dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada BPNB Sumatera Barat yang bersedia melaksanakan kegiatan ini di Pasaman Barat. Dia mendukung kegiatan ini dan berharap melalui para peserta bisa mendapatkan ilmu yang banyak tentang sejarah dan budaya maritim sehingga ilmu tersebut bisa diterapkan kepada anak didik. Kebudayaan penting untuk pembentukan karakter bangsa, terutama generasi muda . Beliau juga berharap bahwa Pasaman Barat bisa menggali potensi sejarah dan budayanya sendiri sehingga mempunyai identitas diri.

Kegiatan ini adalah sebuah program yang bertujuan untuk menggali persoalan – persoalan sejarah dan budaya maritim yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Selain itu, kegiatan ini juga mempunyai misi untuk mensosialisasikan beberapa hasil penelitian BPNB Sumatera Barat yang pernah dilaksanakan di Kabupaten Pasaman Barat. Dia menyampaikan bahwa Indonesia diakui sebagai super power kebudayaan di dunia.

Selama kegiatan, ada 5 orang narasumber yang akan membahas sejarah dan budaya kemaritiman di Pesisir Barat Sumatera khususnya Kabupaten Pasaman Barat yakni:

  1. Suarman tentang Pelestarian Kebudayaan Daerah
  2. Dr. Phil Gusti Asnan tentang Pantai Barat Sumatera Dalam Perspektif Sejarah
  3. Jonnedi, M. Si tentang Pandangan Akademisi Terhadap Potensi Kemaritiman Pasaman Barat
  4. Abdullah Munzir tentang Pemberdayaan Masyarakat Maritim
  5. Drs. Refisrul tentang Potensi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir di Kabupaten Pasaman Barat

Tari Pemulia Jame dan Tari Piasan Raya

0
Salah satu gerak tari Piasan Raya yang dibawakan oleh Sanggar Meurunoe Art pada gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari Pemulia Jame yang dibawakan oleh Sanggar Meurunoe Art pada gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Pada tari tradisional, tim Aceh yang diwakili sanggar Meurunoe Art menampilkan tari pemulia Jame (memuliakan tamu). Tarian ini merupakan pengembangan dari tari tradisional Ranup Lampuan. Tari Pemulia Jame berarti memuliakan tamu dengan di sambut dan di sajikan ranup (sirih) dan makanan-makanan khas Aceh.

Salah satu gerak tari Piasan Raya yang dibawakan oleh Sanggar Meurunoe Art pada gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Selanjutnya untuk tari kreasi mereka menampilkan Tari Piasan Raya (pesta panen) yaitu tari yang diangkat dari kebiasaan masyarakat Aceh yang selalu merayakan pesta panen dengan menampilkan tarian dari wujud kebahagiaan dan rasa syukur atau hasil panen yang di capai.

Salah satu gerak tari Piasan Raya yang dibawakan oleh Sanggar Meurunoe Art pada gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Salah satu gerak tari Piasan Raya yang dibawakan oleh Sanggar Meurunoe Art pada gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Tari Lenggeran dan Tari Keprak Kanak

0
Salah satu gerak tari Keprak Kanak yang dibawakan Bale Seni Wasana Nugraha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari lenggeran yang dibawakan Bale Seni Wasana Nugraha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Penampilan BPNB Yogyakarta diwakili Bale Seni Wasana Nugraha dengan tari Lenggeran, yaitu salah satu kesenian khas Banyumas Jawa Tengah. Secara utuh, kesenian ini tampil dalam beberapa babak, yakni gambyongan, badoran, hingga baladewan. Supriyadi menyusun koreografi Lenggeran pada tahun 1985, berpijak dari ragam gerak gambyongan lantas distilir dan dibakukan dalam struktur gerak.

Salah satu gerak tari lenggeran yang dibawakan Bale Seni Wasana Nugraha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Dalam penampilan tari kreasi, Bale Seni Wasana Nugraha menampilkan tari Keprak Kanak, Tari ini menggambarkan  gadis – gadis yang bersuka ria di bawah sinar purnama. Keberagaman bukan menjadi penghalang bersuka cita saling membantu dan gotong royong.

Salah satu gerak tari Keprak Kanak yang dibawakan Bale Seni Wasana Nugraha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Salah satu gerak tari Keprak Kanak yang dibawakan Bale Seni Wasana Nugraha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Tari Balalek dan Tari Masang Pantak

0
Salah satu gerak tari Masang Pantak yang dibawakan sanggar seni Simpor dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari balalek yang dibawakan sanggar seni Simpor dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Kalimantan Barat yang diwakili Sanggar Seni Simpor pada pertunjukan kesenian tradisionalnya menampilkan Balalek, Balalek dalam bahasa Dayak artinya gotong royong atau bekerja bersama-sama yang dilakukan oleh suku Dayak dari membuka lahan hingga panen. Ada beberapa tahapan seperti membuka lahan, menanam benih padi, panen padi dan menjadikan padi menjadi beras. Tari ini digarap sesuai dengan kaedah-kaedah tari Dayak khususnya tari pertunjukan.

Salah satu gerak tari balalek yang dibawakan sanggar seni Simpor dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Pada penampilan seni kreasi, mereka menampilkan tari Masang Pantak. Tari ini menceritakan Alam  dan manusia dijadikan objek kepentingan merusak kehidupan alam dan lingkungan menjadi kebutuhan, sementara masyarakat pedalaman hidup di alam tradisional.  merusak, memusnahkan adalah perbuatan keji hingga masyarakat mendapat malapetaka, ingkar kesepakatan berarti berhadapan dengan alam. Mampukah objek penyesalan diakhiri oleh pasang pantak ? Dengan pasang pantak manusia merasa bersalah dan meminta pengampunan kepada roh-roh halus yang telah terganggu dengan kerusakan alam sebagai tempat tinggalnya.

Salah satu gerak tari Masang Pantak yang dibawakan sanggar seni Simpor dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Roh-roh halus pun dipindahkan ke media patung atau pantak melalui sebuah upacara, khususnya membaca mantra, menabur beras kuning,memepas pantak dengan daun juang, membunyikan besi ke tempat yang akan  dipasang pantak . Semua yang dilakukan semata untuk memanggil roh-roh para leluhur yang dianggap mampu menjaga pelestarian alam, dan rasa penghormatan kepada roh-roh halus yang  telah menjaga alam. Tarian ini digarap sesuai dengan tari pertunjukan, namun tidak meninggalkan kaidah-kaidah tari tradisional.

Salah satu gerak tari Masang Pantak yang dibawakan sanggar seni Simpor dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Tari Telek dan Tari Ala Ayuning Gringsing

0
Salah satu gerak tari Ala Ayuning Gringsing yang dibawakan sanggar seni Eka Dutha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari Telek yang dibawakan sanggar seni Eka Dutha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Pada penampilan tari tradisi, BPNB Bali diwakili Sanggar Supraba Eka Dutha menampilkan tari Telek, yaitu tarian sakral (Tari Wali) warisan leluhur yang pantang tidak dipentaskan. Sangat diyakini pementasan tari ini adalah sarana untuk “meminang” keselamatan dunia, khususnya bagi banjar atau desa adat masyarakat pendukungnya.

Salah satu gerak tari Telek yang dibawakan sanggar seni Eka Dutha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Diyakini juga oleh mereka apabila tidak mementaskan Telek sama halnya dengan mengundang beragam jenis marabahaya. Keyakinan tersebut yang turut menjadikan Tari Kelek tetap lestari hingga saat ini. Bahkan demi menjaga tetamian (warisan) leluhur ini, seluruh pakem pada pementasan Tari Tteelek tetap dipertahankan sebagaimana adanya.

Salah satu gerak tari Ala Ayuning Gringsing yang dibawakan sanggar seni Eka Dutha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Sementara untuk tari kreasi, tim ini menampilkan tari Ala Ayuning Gringsing  berarti hari yang baik dan indah untuk menenun kain Gringsing. Alkisah Dewa Indra telah memberikan suatu anugerah keahlian seni tenun kepada seluruh masyarakat Desa Tenganan, Pegringsingan kabupaten Karangasem Bali. warga masyarakat begitu kompak, penuh semangat menenun sehingga hasil tenun yang dihasilkan motif – motifnya sangat indah.

Salah satu gerak tari Ala Ayuning Gringsing yang dibawakan sanggar seni Eka Dutha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah keterampilan menenun kain yang terkenal dengan kain Gringsing tersebut. Masyarakat mencari hari baik dan setiap hari baik tersebut karya tenun tersebut selalu dipersembahkan untuk dihaturkan kepada Dewa Indra agar selalu diberkati dan diberikan berkah kesuksesan dan kelancaran rejeki bagi seluruh  penenun yang ada di desa Tengana Pegringsingan, Kabupaten Karangasem Bali.

Tari Aira dan Tari Atoaiyu

0
Salah satu gerak tari Atoaiyu yang dibawakan Sanggar Ostari dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas daerah masing-masing. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari Aira yang dibawakan Sanggar Ostari dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Papua diwakili Sanggar Ostari pada penampilan tari tradisi menampilkan Aira, Tari ini diangkat dari tradisi orang-orang Suku Yawah-Onate di Kabupaten Kepulauan Yapen. Tari ini diadakan sebagai suatu tari penyambutan bagi seseorang yang baru saja pulang dari negeri yang jauh (negeri yang baru di kunjunginya). Orang tersebut disambut dengan sebuah tari penyambutan yang dinamai dengan Tari Aira.

Salah satu gerak tari Aira yang dibawakan Sanggar Ostari dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Pada penampilan tari kreasi, Sanggar Ostari menampilkan tari Atoaiyu (sang penguasa hutan). Tari ini menggambarkan bahwa konon ada legenda di Kabupaten Mimika (Pantai Selatan Pulau Papua) ada sesosok penguasa hutan yang bernama Atoaiyu. Hutan itu sangat dijaganya dengan baik, tidak ada seorang pun boleh masuk ke sana, mengambil hasilnya dan merusaknya. Atoaiyu sangat marah apabila ada yang melanggarnya.

Salah satu gerak tari Atoaiyu yang dibawakan Sanggar Ostari dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Suatu ketika ada sekelompok orang kampung laki-laki dan perempuan, mereka secara diam-diam berdayung dengan perahu lalu masuk ke hutan dan merusak hutannya. Sang Atoaiyu dengan kekuatan gaibnya mengetahui rencana mereka. Atoaiyu sangat marah murka, dengan kekuatan gaibnya dia menahan perempuan-perempuan itu. Dia mengutuk mereka menjadi ubur-ubur secara turun temurun. Orang-orang suku Kamoro di pesisir daerah itu percaya bahwa adanya ubur-ubur karena kutukan si Atoaiyu.

Salah satu gerak tari Atoaiyu yang dibawakan Sanggar Ostari dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Tari Saputangan dan Tari Rantak Tungga

0
Salah satu gerak tari Rantak Tungga yang dibawakan oleh Sanggar San Alida dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari Saputangan yang dibawakan oleh Sanggar San Alida dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumatera Barat diwakili Sanggar Seni San Alida menampilkan tari Saputangan, salah satu tradisi yang hidup dan berkembang di Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan. Tari ini bersifat hiburan sebagai penggambaran hasil panen masyarakat. Dahulu tari ini hanya ditarikan oleh laki – laki berpasangan.

Salah satu gerak tari Saputangan yang dibawakan oleh Sanggar San Alida dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Dalam perkembangannya tari ini boleh ditarikan baik laki – laki dan perempuan atau perempuan dan perempuan dengan menggunakan properti saputangan. Walaupun demikian gerak – gerak tari saputangan bersumber dari gerak – gerak tari tradisi yang ada di Kecamatan Bayang. Ciri – cirinya posisi badan selalu condong ke depan. Musik pengiring tari adalah talempong, gandang dan pupuik katopong dengan irama ritmis.

Salah satu gerak tari Rantak Tungga yang dibawakan oleh Sanggar San Alida dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Kemudian pada penampilan tari kreasi, sanggar San Alida menampilkan tari Rantak Tungga terinspirasi dari salah satu nama gerak tari tradisional Pesisir Selatan, yakni Tari Benten. Tungga yang berarti tunggal atau satu. Pada garapan ini rantak tungga yaitu prinsip teguh untuk mencapai satu tujuan.

Salah satu gerak tari Rantak Tungga yang dibawakan oleh Sanggar San Alida dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Rantak tungga menginspirasi generasi muda untuk menjadi generasi pantang mundur dalam mencapai tujuan untuk satu keinginan dalam melangkah menuju masa depan. Namun terkadang dalam hidup ini kita tidak bisa sendirian, pastinya membutuhkan orang lain juga untuk memujudkan impian yang satu “basamo mako manjadi”. Gerakan yang dipakai merupakan adopsi dari gerak – gerak dalam tari benten dan rantak kudo, serta perpaduan unsur – unsur yang terdapat pada randai.

Tari Ketuk Tilu Keser Bojong dan Tari Gandrung Bandung

0
Salah satu gerak tari Gandrung Bandung yang dibawakan Sanggar Seni Dwi Arta dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari Ketuk Tilu Keser Bojong yang dibawakan Sanggar Seni Dwi Arta dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Jawa Barat diwakili Sanggar Dwi Arta menampilkan Ketuk Tilu Keser Bojong adalah tarian tradisional Jawa Barat, sebagai tarian hiburan atau tarian pergaulan. Tari Ketuk Tilu ini sering ditampilkan pada acara seperti pesta perkawinan, hiburan, penutup acara dan lain-lain. Tarian ini juga merupakan cikal bakal dari tari Jaipong yang sangat terkenal di Jawa Barat.

Salah satu gerak tari Ketuk Tilu Keser Bojong yang dibawakan Sanggar Seni Dwi Arta dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Keser Bojong. Keser berarti bergerak dari tempat asal ke tempat lain atau perubahan dari suatu posisi ke posisi yang lebih tepat. Bojong adalah nama tempat diciptakannya tarian ini, yakni di Bojongloa. Isi tarian ini berkaitan dengan kehidupan kita, dan intisari gambarannya mengungkapkan tentang pergeseran nilai‑nilai kehidupan dalam upaya mencapai suatu tujuan.

Tarian ini merupakan tarian jenis putri tunggal, namun bisa juga digarap khusus pola lantainya untuk keperluan pertunjukan dalam bentuk tari kelompok. Adapun karawitan ditata dengan lagu khusus yang dinyanyikan juru sinden dan diberi judul Daun Pulus Keser Bojong.

Salah satu gerak tari Gandrung Bandung yang dibawakan Sanggar Seni Dwi Arta dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Sementara untuk tari kreasi, sanggar Dwi Arta menampilkan Tari Kreasi Gandrung Bandung. Tari ini melambangkan identitas kota tari yang dimiliki Jawa Barat, yang penuh dengan kearifan budaya. Tari ini disuguhkan dalam bentuk tarian modern, yang berlandaskan pada keceriaan dan keramahan penduduk Jawa Barat. Selain itu Tari Kreasi Gandrung Bandung pun  menggambarkan keindahan dan keelokan (bahari) Kota Bandung.

Salah satu gerak tari Gandrung Bandung yang dibawakan Sanggar Seni Dwi Arta dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Tari Mogama dan Tari Motobatu Molintak Kon Tobabuan

0
Salah satu gerak tari Motobatu Molintak Kon Tobabuan yang dibawakan Sanggar Seni Tiara Fitrah dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultural (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari Mogama yang dibawakan Sanggar Seni Tiara Fitrah dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultural (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sulawesi Utara diwakili Sanggar Tiara Fitrah menampilkan tari mogama untuk tari tradisional. Tari mogama adalah tari yang menggambarkan upacara adat perkawinan Bolaang Mongondow yang disebut adat Mogama. Mogama itu sendiri memilik arti menjemput pengantin wanita oleh pengantin pria untuk diakui sebagai bagian dari keluarga pengantin pria. Adat Mogama ini dilakukan setelah selesai akad nikah dan pesta perkawinan oleh keluarga mempelai wanita.

Salah satu gerak tari Mogama yang dibawakan Sanggar Seni Tiara Fitrah dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultural (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Adat Mogama menjadi perlambang atas cara masyarakat Bolaang Mongondow memberikan pengahrgaan yang tinggi terhadap derajat wanita. Dalam prosesi adat Mogama ini terdiri atas 13 tahapan yang harus dilalui dan salah satunya tahapan dimana pengantin wanita dijemput dengan payung yang bearti perlindungan terhadap wanita. Mogama bermakna penghormatan atas harkat martabat wanita Bolaang Mongondow.

Salah satu gerak tari Motobatu Molintak Kon Tobabuan yang dibawakan Sanggar Seni Tiara Fitrah dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultural (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Kemudian untuk tari kreasi, mereka menampilkan Tari Motobatu Molintak Kon Tobabuan artinya bersatu, berjuang membangun daerah Totabuan. Tarian ini menggambarkan keperkasaan dan kesatriaan para pemimpin Bogani dalam membela, melindungi dan memperjuangkan hak–hak masyarakat.

Salah satu gerak tari Motobatu Molintak Kon Tobabuan yang dibawakan Sanggar Seni Tiara Fitrah dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultural (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Kemampuan fisik yang kuat bersifat pemberani, bijaksana, berpikiran cerdas dan disegani oleh masyarakat serta mempunyai tanggung jawab terhadap kecerdasan dan keselamatan seluruh masyarakat dari gangguan musuh yang datang menyerang di tanah Totabuan. Kriteria itulah yang dimiliki oleh para pemimpin Bolaang Mongondow saat itu. Dengan demikian masyarakat mengabadikannya berupa patung Bogani dan Tugu sebagai simbol para leluhur oleh masyarakat Bolaang Mongondow.

Tari Pattenung dan Tari I Mangkawani Ana’Arung

0

Pessel – BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

BPNB Sulawesi Selatan dalam kesempatan tersebut diwakili Sanggar Bolong Ringgi menampilkan tari tradisional yaitu Tari Pattennung, tari daerah Sulawesi Selatan yang menggambarkan kesabaran, ketekunan, serta kegigihan perempuan bugis dalam menenun benang helai demi helai hingga menjadi selembar kain.

Sementara untuk tari kreasi, mereka menampilkan tari I Mangkawani Ana’ Arung. I Mangkawani Ana’ Arung merupakan turunan para datu dari Tana Ogi. Sejak kecil dia telah dijodohkan dengan putra mahkota Datu Luwu Mappajungnge. Namun apa daya hati I Mangkawani telah tertambat pada kawan sejak kecil putra Karaeng Tana Batu La Domai.

Nasib I Mangkawani dan La Domai bagaikan kumbang di tangkai rapuh, tersentuh angin pun tangkainya akan patah. Betapa tidak, bila perjanjian kedua Datu yang dimahkotai adat ini diingkari itu berarti Siri’. Sementara kesetiaan pada kekasih merupakan kewajiban mutlak yang tak dapat dicedarai.  I Mangkawani dan La Domai pasrah pada takdir demi bakti dan kesetiaan, ketika adat menetapkan aturan yang menjadi milik semua orang di Tana Ogi.

La Domai tertikam oleh badik Tonrawali saudara I Mangkawani dalam satu lingkaran sarung. Dalam kepedihan itu, roh suci We Sangiang I Mangkawani merontak merobek dan mencabik-cabik tumpangan raganya, awan pun berarak di atas titian takdir mengantar I Mangkawani menyeberang roh jiwanya menemui sang kekasih di Bottinglangi, “Uleng Lolo Labuede” Bulan Muda Terbenam.

Lokakarya Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Klaster 3 Resmi Dibuka

0

Padang – Lokakarya Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah  Klaster 3 wilayah Sumatera Barat dan Bengkulu secara resmi dibuka. Kegiatan dilaksanakan di Ruang Ombilin Hotel Grand Inna Padang pada 26 April 2018. Pembukaan dilakukan oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat H. Nasrul Abit. Turut hadir dalam pembukaan tersebut staf ahli menteri pendidikan dan kebudayaan bidang regulasi Katarina Mulyana, Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Sri Hartini, Kepala-kepala UPT Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bupati/Walikota se-Sumatera Barat dan Bengkulu atau perwakilan serta perwakilan komunitas-komunitas budaya.

Menurut laporan panitia yang disampaikan Kepala BPNB Sumatera Barat Drs. Suarman, peserta dalam lokakarya ini berasal dari 19 kabupaten/kota se-Sumatera Barat, 10 Kabupaten/Kota de Provinsi Bengkulu serta 27 stakeholder yang terdiri dari komunitas-komunitas budaya di dua provinsi. Dari rincian undangan tersebut 80 orang telah mengonfirmasi kehadiran. Suarman dalam kesempatan ini menambahkan bahwa maksud kegiatan ini adalah untuk menciptakan grand design pemajuan kebudayaan. Kegiatan ini juga diharapkan dapat mengubah mindset yang menganggap bahwa kebudayaan bukan hanya sebatas seni.

Sementara itu staf ahli bidang regulasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Katarina Mulyana menyampaikan apresiasinya kepada seluruh undangan yang hadir dalam kegiatan ini. Dia menambahkan bahwa kegiatan ini tidak lepas dari lahirnya undang-undang pemajuan kebudayaan yang sudah ditunggu-tunggu selama 35 tahun. Selanjutnya dia menyampaikan bahwa Undang-undang ini akan mengubah perspektif baru yaitu bagaimana negara dan pemerintah memandang urusan kebudayaan dalam kerangka kerja program pemerintah dari pusat ke daerah.

Selain itu undang-undang ini juga memberi arahan dasar bagaimana pemerintah pusat dan daerah memfasilitasi pemajuan kebudayaan bagi masyarakat yang menjalankan kebudayaannya sehari-hari. Katarina menambahkan bahwa undang-undang ini menunjukkan komitmen pemerintah pusat sebagai pelaksana tata kelola bukan sebagai penentu pemajuan kebudayaan. Dalam hal ini peran masyarakat harus dikuatkan sebagai pemilik kebudayaan. Dia juga berharap penyusunan pokok pikiran ini dapat menghasilkan pemahaman yang sama, dan dengan melibatkan tim ahli yang kompeten dan kredibel, lokakarya dapat menghasilkan pokok pikiran sebagai dasar strategi kebudayaan. Nantinya strategi tersebut menjadi landasan pembuatan kebijakan kebudayaan yakni rencana induk pemajuan kebudayaan.

Wakil gubernur Nasrul Abit dalam kesempatan mengapresiasi kegiatan lokakarya penyusunan pokok pikiran tersebut. Penyusunan ini bertujuan menyusun pokok pikiran yang bisa dipedomani. Hal ini penting untuk pelestarian kebudayaan kita yang memang kaya. Dia juga menambahkan perlunya fanatisme kedaerahan dalam upaya melestarikan budaya. Namun demikian dalam skala nasional harus dapat menyesuaikan diri. Dia juga menekankan bahwa hal paling penting dalam penyusunan pokok pikiran adalah bagaimana merajut kebudayaan menjadi satu kesatuan.

Acara pembukaan dimulai dengan pembacaan doa oleh Hariadi, menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza, laporan panitia, sambutan staf ahli menteri dan pembukaan oleh wakil gubernur Sumatera Barat. Diantara rangkaian kegiatan tersebut ditampilkan tari persembahan dari sanggar seni Rangkiang Minang serta tari payung bagurau.

Setelah pembukaan selesai, selanjutnya pemaparan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Sri Hartini tentang penjelasan mengenai Undang-undang Pemajuan Kebudayaan serta penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah.

Kegiatan lokakarya penyusunan pokok pikiran kebudayan daerah ini akan berlangsung pada 26-28 April 2018.

Tari Timba Laor dan Moluku Osa Lala

0

Pessel – BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

BPNB Maluku yang diwakili Sanggar Serafim menampilkan Tari Timba Laor dalam penampilan tari tradisi mereka. Laor adalah sebutan untuk hewan laut mirip cacing yang hidup dikarang. Dalam kehidupan masyarakat Maluku Laor merupakan salah satu tradisi. Menurut kepercayaan leluhur Laor hanya ada dan muncul setahun sekali dan itu terjadi berdasarkan perhitungan setelah bulan gelap 3 hari biasanya di akhir bulan maret atau awal bulan april.

Biasanya diawali dengan ritual yang dilakukan di baileo oleh tua-tua adat yang berfungsi sebagai kewang (orang yang melihat tanda-tanda alam di laut) marinyo (memberitahukan warga untuk mengambil Laor). Setelah itu ritual atau doa dilakukan untuk menandai proses timba laor. Setiap gerakan dalam  tarian ini  dilakukan dengan sangat energik oleh para penari mulai dari melihat bulan, membuat ritual sampai menimba laor dengan menggunakan property (alat) seperti obor, siru-siru dan nyiru tempat menampung laor untuk dibawa pulang dan diolah menjadi makanan.

Sementara dalam pertunjukan tari kreasi, mereka menampilkan tari dengan judul Moluku Osa Lala (maluku satu darah). Tari ini berkisah keterikatan masyarakat dengan Pela Gandong. Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku ini terjalin karena adanya ikatan janji para leluhur di masa lampau antara satu desa dengan desa yang lain dan antar desa yang Beragama muslim dengan Nasrani atau Kristen.

Tarian Moluku Osa Lala merupakan tarian kreasi yang menggambarkan kehidupan orang Maluku yang selalu ramah menjaga hubungan persaudaraan lewat adat dan budaya yang ada walaupun berbeda keyakinan. Gerakan dari setiap penari yang berdinamika membuat tarian ini semakin menarik untuk dipertunjukan.

Tari Zapin dan Nyemah Laut

0
Salah satu gerak tari Nyemah Laut yang dibawakan Sanggar Seni Megat pada Gebyar Seni Budaya Multikultural (16/4) di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Pessel – Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Tari Zapin, Foto. Firdaus

Secara berturut-turut penampilan tersebut adalah penampilan BPNB Kepulauan Riau diwakili Sanggar Seni Megat menampilkan Zapin Pulau Penyengat, yaitu tarian yang mengutamakan gerak dan langkah kaki, karena sudah diikat oleh kata zapin itu sendiri yang bermakna gerak kaki. Awalnya tari zapin penyengat berfungsi sebagai pentabalan sultan penyengat dan hari-hari besar islam.Pentabalan yang dimaksud disini adalah pemilihan SULTAN penyengat yang baru. Dengan adanya perkembangan zaman dan pola fikir masyarakat yang makin maju maka saat ini tari zapin penyengat berfungsi juga untuk acara-acara pesta pernikahan, dan tampilan dalam acara hiburan seni budaya.

Tari Zapin, Foto. Firdaus

BPNB Kepri dengan tampilan Nyemah Laut, yang sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh lautan yang terbentang luas dari pulau satu ke pulau yang lain. Kebiasaan masyarakat Kepri setiap akan melakukan kegiatan melaut atau melaksanakan kegiatan di laut, maka akan di lakukan ritual menyemah laut. Tujuan dari ritual ini adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama kegiatan melaut atau kegiatan yang di lakukan diberi restu agar berjalan lancar, aman tidak ada kendala atau gangguan yang tdk diinginkan.

Salah satu gerak tari Nyemah Laut yang dibawakan Sanggar Seni Megat pada Gebyar Seni Budaya Multikultural (16/4) di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

 

Jetrada 2018 Resmi Ditutup

0

PrabumulihJetrada 2018 Kota Prabumulih resmi ditutup. Acara penutupan dilaksanakan pada Minggu, 22 April 2018 di Gedung Serbaguna Kelurahan Gunung Kemala, Prabumulih Barat. Penutupan secara resmi dilakukan oleh Ibu Mardiana mewakili Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Prabumulih. Hadir dalam kegiatan penutupan tersebut lurah gunung kemala, tokoh masyarakat, RT/RW dan warga sekitar.

Sebelum acara penutupan, terlebih dahulu para peserta mempresentasikan laporan observasi sedekah dusun mereka. Masing-masing kelompok begitu antusias baik dalam menyajikan hasil karya mereka, maupun memberi pertanyaan atas hasil karya kelompok lain. Enam kelompok secara bergantian mendapat giliran dan durasi waktu yang sama yakni 15 menit. 15 menit tersebut sudah termasuk presentasi dan tanya jawab.

Selain presentasi, pada acara hari terakhir ini juga diumumkan seluruh peserta terbaik dari kategori yang dilombakan selama pelaksanaan Jetrada. Kategori-kategori tersebut antara lain penampilan kesenian terbaik diberikan kepada SMA Prabumulih, Lomba Karya Tulis Terbaik diberikan kepada Annisa Firnanda dari SMA Negeri 1 Bengkulu Selatan, Orasi Budaya terbaik diberikan kepada Wita Hariyani dari SMA Negeri Palembang serta Presentasi Kelompok terbaik diberikan kepada Kelompok V yang mengobservasi tentang Sistem Kekerabatan di Dusun Gunung Kemala. Para peserta terbaik tersebut diberi hadiah dan apresiasi berupa uang tunai dan piagam peghargaan.

Tidak itu saja, pelaksanaan Jetrada 2018 juga menghasilkan 8 orang peserta terbaik yang akan diikutkan dalam Jejak Tradisi Nasional 2018 di Pontianak. Ke-8 peserta terbaik tersebut yaitu Jennie Laksmi Syahirah dari SMA Negeri 1 Prabumulih, Annisa Firnanda dari SMA 1 Bengkulu Selatan, Tyas Cahyani dari SMA Negeri 2 Palembang, Anastasia Intan Prameswari dari SMA Xaverius Rejang Lebong, Fajar Bima Pratama dari SMA Negeri 16 Padang, Elya Lucita dari SMA Negeri 1 Rejang Lebong, Junita Citra Ayu Chania dari SMA Negeri 15 Padang dan M Rafli Dzaky dari SMA Negeri 18 Palembang.

Acara penutupan dimulai dengan menyanyikan lagu Padamu Negeri yang dipimpin oleh Anastasia Intan Prameswari, kesan dan pesan dari peserta siswa yang diwakili oleh Junita Citra Ayu Chania, kesan dan pesan dari peserta guru yang diwakili oleh ibu Linda, laporan ketua panitia Kadril, SH, sambutan lurah Gunung Kemala dan Penutupan oleh Ibu Mardiana.

Dalam penutupan oleh Mardiana, dia menyampaikan rasa terima kasihnya atas kepercayaan menjadikan Kota Prabumilih sebagai lokasi pelaksanaan Jetrada 2018. Dia juga berharap kegiatan Jetrada tetap diadakan di tahun-tahun mendatang.

Pelaksanaan Jetrada 2018 di Kota Prabumulih tidak saja mendapat apresiasi dari pemerintah daerah dan warga setempat. Seluruh peserta juga sangat mengapresiasi dan sangat antusias mengikuti setiap tahapan  kegiatan yang ada.

Peserta Jetrada 2018 Mengikuti Upacara Sedekah Dusun

0

Prabumulih – Seluruh peserta Jetrada 2018 mengikuti kegiatan upacara sedekah dusun. Sedekah dusun merupakan bentuk ucapan syukur atas hasil panen yang mereka peroleh. Pada masa lalu, acara ini selalu diadakan setiap selesai panen. Upacara ini dilaksanakan oleh masyarakat dusun Gunung Kemala pada Sabtu, 21 April 2018 atau hari ketiga pelaksanaan Jetrada.

Pada kesempatan ini para siswa dibagi dalam enam kelompok kategori objek observasi. Mereka diminta melakukan observasi untuk memahami lebih dalam mengenai pelaksanaan dan tujuan sedekah dusun. Masing-masing kelompok memdapatkan materi observasi yang berbeda. Materi tersebut yakni peralatan/perlengkapan upacara, teknis pelaksanaan/prosesi, pelaksana upacara/orang-orang yang terlibat dalam upacara, asal-usul, mantra-mantra dan sistem kekerabatan.

Selama pelaksanaan upacara tersebut, seluruh peserta diminta mengikuti seluruh rangkaian kegiatan, mulai tahap persiapan hingga pelaksanaan. Pelaksanaannya sendiri dimulai dengan acara bersih pusaka yang dilaksanakan sehari sebelum puncak acara. Pada puncak acara, tua menyan mulai membaca mantra dalam sebuah ruang khusus di balai adat dengan berbagai sesajen pendukungnya. Selanjutnya setelah dimantrai, sesajen dimasukkan ke dalam jung/perahu terbuat dari pelepah pisang. Bentuk jung adalah persegi empat dengan atap dari daun pisang.

Sesajen yang telah diberi mantra oleh tua menyan, selanjutnya dihanyutkan ke sungai sebagai simbol penyerahan kepada penguasa air, darat, dan udara. Dari sungai, seluruh peserta kembali lagi ke balai adat untuk mengikuti belangir.  Acara belangir merupakan acara penyucian. Proses belangir dilakukan dengan mengumpulkan seluruh warga masyarakat di halaman balai adat. Warga tersebut kemudian diminta duduk, lalu tua menyan memberi garis batas antara yang ikut belangir dengan yang tidak.

Tahap selanjutnya, tua menyan mengambil posisi di luar garis, lalu mengambil seikat daun dalam air belangir yang telah disediakan sebelumnya. dengan mencelupkan daun tersebut ke dalam air, selanjutnya tua menyan menyirami warga sambil mengelilingi sebanyak tiga kali. Masyarakat percaya bahwa proses belangir tersebut akan menambah keberuntungan bagi masyarakatnya.

Setelah seluruh rangkaian acara selesai, selanjutnya warga makan bersama di balai adat.

Selain melakukan observasi, para peserta juga bebas melakukan wawancara dengan nara sumber atau warga setempat untuk mendapatkan data yang benar. Beberapa narasumber yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah ketua menyan, yakni orang yang mempunyai hak dan wewenang selain kemampuan batiniah. Ketua menyan ini bertugas mendoakan serta menyerahkan kepada arwah nenek moyang.

Hasil observasi dan wawancara, oleh peserta lalu dituliskan dalam bentuk laporan. Laporan ini kemudian dipresentasikan secara berkelompok di depan juri pada hari berikutnya. (FM)

Orasi dan Presentasi Warnai Hari ke-2 Jetrada 2018

0
Orasi Budaya oleh Wita Hariani, Foto. Firdaus

Prabumulih – Hari ke-2 pelaksanaan Jejak Tradisi Daerah (Jetrada) 2018 ditandai dengan orasi budaya dan presentasi karya tulis. Sebanyak 14 guru pendamping menyampaikan orasi budaya dan 10 siswa terbaik hasil seleksi karya tulis ilmiah mempresentasikan karya tulis mereka. Tema dalam orasi budaya tersebut adalah ‘peran guru dalam pelestarian budaya di Sekolah’. Sementara tema untuk karya tulis merupakan tema besar Jetrada 2018 yakni ‘Menggali Kearifan Lokal untuk mewujudkan toleransi dalam keberagaman’.

Penjelasan oleh Juri, Foto. Firdaus

Acara orasi dan presentasi yang dimulai pukul 09.00 Wib tersebut merupakan dua kategori yang turut dinilai dalam Jetrada 2018. Dua kategori lainnya adalah pertunjukan kesenian dan observasi lapangan. Selain itu, juri penilai orasi dan presentasi ini ditetapkan dua orang yakni Rois Leonard Arios, salah seorang peneliti madya dari BPNB Sumatera Barat. Kedua, Dr. Dadang Hikmah Purnama, seorang akademisi, dosen di Universitas Sriwijaya.

Sebelum orasi dimulai, terlebih dahulu dilaksanakan pengambilan nomor untuk menentukan nomor urut tampil. Dari hasil pengambilan nomor urut tersebut, Ibu Dwi Ningsih dari SMA Negeri 1 Rejang Lebong menjadi guru yang pertama tampil. Secara berturut-turut, guru yang tampil tersebut yakni Dwi Ningsih, Meri Susanti, Wita Haryani, Mugiyono, Linda, Marwan Effendi, Firdaus Sastrawijaya, Ratih Miranti, Nurmutmainah, Mirnawati, Siti Masiah, Widyawati, Hilya Bayti serta Eko Rahmad Kurniawan. Masing-masing guru diberi alokasi waktu 10 menit.

Secara umum, para peserta orasi menyadari bahwa ada tantangan besar dalam hal pelestarian nilai budaya kepada generasi muda khususnya peserta didik pada saat sekarang. Globalisasi dan modernitas menjadi beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Selain itu mereka juga menawarkan solusi bahwa sesungguhnya pengaruh tersebut bisa dibendung jika setiap orang mau memulai hal-hal yang positif  dari diri sendiri.

Sementara presentasi individu diikuti 10 orang siswa terbaik dari hasil seleksi awal karya tulis yang masuk ke panitia. Ke 10 orang tersebut terlebih dahulu mencabut nomor lot untuk menentukan nomor urut tampil. Dari pencabutan nomor tersebut, urutan presentasi adalah Jennie Laksmi Syahirah, M. Faturrahman, Annisa Firnanda, Diva Putri Ananti, Sonya Ainurrohmah, Putra Wahyu Pratama, Tias Cahyani, Reizi Fiqriansyah, Muhammad Rafli Dzaky, Fajar Bima Pratama. Masing-masing peserta diberi waktu 5 menit presentasi, 5 menit tanya jawab dan 5 menit tanggapan dari juri.

Presentasi oleh Annisa Firnanda, Foto. Firdaus

Pada kesempatan ini, juri menyampaikan beberapa kelemahan anak-anak dalam membuat tulisan seperti plagiat, rujukan, sistematika. Dari sekian banyak masalah, salah satu adalah banyaknya kutipan dan sumber yang tidak jelas. Menjadi menarik kemudian karena Jetrada 2018 dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang bagaimana menulis dengan baik.

Jejak Tradisi Daerah 2018 Resmi Dibuka

0
Pemukulan Doll, sebagai pembukaan resmi Jejak Tradisi Daerah 2018 di Kota Prabumulih, Foto. Firdaus

Prabumulih – Jejak Tradisi Daerah 2018 secara resmi dibuka. Acara pembukaan dilaksanakan di Gedung Serbaguna Kelurangan Gunung Kemala, Kabupaten Prabumulih Barat pada Kamis, 19 April 2018 Pukul 20.00 Wib. Pembukaan secara resmi dilaksanakan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan M. Rasyid, S.Ag, MM. Hadir dalam kegiatan pembukaan yakni perwakilan Direktur Kepercayaan dan Tradisi Ibu Sri Lestariyati, KasubBag TU BPNB Sumbar Ibu Titit Lestari, S.Si, MP, lurah, tokoh adat dan tokoh masyarakat.

Warga menghadiri acara pembukaan Jetrada 2018, Foto. Firdaus

Acara pembukaan dimulai dengan tari sambut dari sanggar seni setempat, menyanyikan lagu Indonesia Raya, laporan panitia, sambutan dari Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa serta sambutan dan pembukaan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Prabumulih. Sebelum pembukaan secara resmi oleh kepala dinas, terlebih dahulu perwakilan SMA negeri 4 Palembang menampilkan tari kreasi Asmara Dana.

Penampilan kesenian Tari Asmara Dana dari SMA N.4 Palembang pada pembukaan Jetrada 2018 di Kota Prabumulih, Foto. Firdaus

Menurut laporan panitia yang disampaikan Titit Lestari, S.Si,. MP kegiatan Jetrada 2018 merupakan kegiatan mengenalkan nilai-nilai tradisi dan budaya kepada generasi muda khususnya peserta didik. Sehingga peserta dalam kegiatan ini merupakan siswa/siswi SMA/sederajat. Dia menambahkan bahwa peserta Jetrada 2018 merupakan siswa-siswi SMA dari tiga wilayah kerja BPNB Sumbar yaitu Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Total peserta dalam kegiatan ini adalah 45 orang terdiri dari 36 siswa dan 9 orang guru pemdamping. Seluruh peserta tersebut berasal dari 15 sekolah di tiga provinsi.

Sementara itu dalam sambutan Direktur Kepercayaan dan Tradisi yang disampaikan Sri Lestariyati menyampaikan apresiasinya atas pelaksanaan Jetrada tersebut. Dia juga menyampaikan bahwa peserta terbaik dalam Jetrada 2018 akan diikutsertakan dalam Jejak Tradisi Nasional 2018 yang akan diadakan  di Pontianak pada 8-12 Mei 2018 mendatang. Peserta terbaik tersebut akan mewakili BPNB dan sekolahnya masing-masing.

Dalam kesempatan pembukaan, kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Prabumulih M. Rasyid, S.Ag,.MM sangat mengapresiasi Jejak Tradisi Daerah 2018 dilaksanakan di Kota Prabumulih. Dia juga menambahla bahwa nilai-nilai budaya perlu dilestarikan sebagai identitas suatu bangsa. Dia berharap bahwa kegiatan-kegiatan serupa bisa dilanjutkan di masa mendatang.

Selesai acara pembukaan, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi budaya dengan melibatkan tiga narasumber utama yakni Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Ibu Sri Lestariyati serta Ibu Titit Lestari. Ketiga narasumber tersebut membahas tentang perlunya melestarikan nilai-nilai budaya di tengah perubahan dan modernisasi.

Diskusi budaya oleh narasumber M. Rasyid, Sri Lestariyati, dan Titit Lestari, Foto. Firdaus

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan atraksi kesenian. Pada atraksi kesenian ini, masing-masing sekolah menunjukkan bakatnya lewat kesenian. Para peserta menampilkan kesenian daerah yang telah dikreasikan seperti tari, drama dan wayang serta menyanyi. Hal yang unik dari pertunjukan kesenian ini adalah bahwa kesenian tersebut menampilkan kekhasan budaya masing-masing daerah.

Penampilan kesenian SMA N.1 Bengkulu Selatan turut mengajak penonton, Foto. Firdaus

Sebagai informasi, Jejak Tradisi Daerah 2018 berlangsung selama empat hari berturut-turut dari 19-22 April 2018. Selama kegiatan tersebut, para peserta akan melakukan beberapa kegiatan yaitu Lomba Karya Tulis Ilmiah, Pertunjukan kesenian, Orasi Budaya, Observasi Budaya dan Diskusi. Setiap kegiatan dinilai oleh juri yang telah ditentukan untuk mendapatkan peserta terbaik dalam tiap kategori.

Gebyar Seni Budaya Multikultural Se-Indonesia Berlangsung Meriah

0

Pessel – Gebyar Seni Budaya Multikultural pada 15 April 2018 berlangsung meriah. Ribuan warga memadati panggung utama Pantai Carocok, sebagai lokasi pelaksanaan kegiatan. Hal ini tidak lepas karena malam ini, tim BPNB akan melakukan pertunjukan kesenian dari masing-masing daerah.

Sambutan Kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman

Acara pembukaan dimulai pukul 19.00 Wib. Hadir dalam pembukaan tersebut Bupati Pesisir Selatan, Sekda Kabupaten Pesisir Selatan, Ketua DPRD, OPD, Kepala BPNB Seluruh Indonesia. Acara dimulai dengan laporan panitia dari  Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pesisir Selatan, selanjutnya sambutan Kepala BPNB Sumatera Barat Drs. Suarman dan pembukaan secara resmi oleh Bupati Pesisir Selatan H. Hendrajoni, S.H., M.H.

Bupati dalam kesempatan tersebut menyampaikan apresiasi dan terima kasihnya kepada BPNB Sumbar atas pemilihan Pesisir Selatan sebagai  lokasi pelaksanaan Gebyar Seni Budaya Multikultural. Menurut dia, bahwa kegiatan skala nasional umumnya diadakan di tingkat provinsi. Dia juga menekankan bahwa Pesisir Selatan ke depan akan selalu ambil bagian dalam kegiatan yang sama di tahun-tahun mendatang, dimanapun diadakan.

Setelah pembacaan laporan oleh ketua panitia, satu per satu tim kesenian menampilkan keseniannya. Dimulai dengan tim Aceh diwakili Sanggar Meurunoe Art menampilkan Pemulia Jame (Memuliakan Tamu) yaitu pengembangan dari tari tradisional Ranup Lampuan. Tari Pemulia Jame berarti memuliakan tamu dengan di sambut dan di sajikan ranup (sirih) dan makanan-makanan khas Aceh.

Setelah pembukaan, selanjutnya penyerahan plakat untuk Bupati oleh Bapak Kosasih, Kabag Hukum, Tata Laksana dan Kepegawaian Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala BPNB se Indonesia. Selanjutnya satu per satu tim kesenian tampil tanpa dijeda kegiatan lainnya

Pawai Pakaian Daerah Meriahkan Gebyar Seni Budaya Multikultural (2)

0
Pakaian daerah Sulsel, Foto. Firdaus

Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta menampilkan pakaian pria yaitu Surjan motif kembang. Biasanya digunakan pada acara adat: Surjan motif kembang secara adat merupakan pakaian khusus untuk raja. Surjan motif yang digunakan oleh selain raja adalah surjan motif lurik. Selain itu, ada juga pakaian wanita yang disebut dengan kebaya. Kebaya umumnya digunakan sebagai pakaian harian wanita Jawa.

Pakaian daerah Jogya, Foto. Firdaus

Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat juga tidak ketinggalan, mereka mengenalkan pakaian Dayak Kanayant, yaitu pakaian yang biasa digunakan pada acara Acara adat dan pesta menyambut tamu.

Pakaian daerah Kalbar, Foto. Firdaus

Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali mempergunakan pakaian adat modifikasi daerah kabupaten karangasem Bali yang sering digunakan untuk acara pernikahan. Ciri khasnya terletak pada hiasan kepala wanita menggunakan mahkota hiasan bunga Bali dan pria menggunakan destar atau udeng.

Pakaian daerah Bali, Foto. Firdaus

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara mengenakan pakaian adat  Suku mongondon yang berada di Kabupaten Balang Mangondon Raya Provinsi Sulawesi Utara. Pakaian suku Mongondon biasa digunakan untuk menjemput tamu kebesaran. Pakaian Mongondon pria disebut baniang, terdiri dari kain momerus, topi mogilenso, dan salimpalan. Sementara pakaian wanita disebut salu,  terdiri dari hanse, sunting kepala, bunga kepala.

Pakaian daerah Maluku, Foto. Firdaus

Balai Pelestarian Nilai Budaya Maluku mengenalkan pakaian adat khas Maluku yang disebut dengan baju cele, yaitu pakain sehari-hari masyarakat Maluku Tengah, baju tutup rumah dari Maluku Tenggara, kebaya dansa untuk pria dan nona rok untuk wanita. Pakaian ini digunakan pada acara pesta orang Maluku Tengah dan biasa dipakai masyarakat kasta atau golongan atas. Sedangkan kain kebaya untuk wanita maluku tengah untuk semua kalangan sebagai pakaian pesta adat.

Pakaian daerah Papua, Foto. Firdaus

Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua memperkenalkan kostum balada cenderawasih. Konstum ini biasa digunakan pada acara-acara adat. Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan mengenalkan pakaian adat Sulawesi Selatan yang disebut dengan “Ma’bulo Sibatang”. Mereka menghadirkan sekaligus busana empat suku bangsa yang ada di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Ke-empat etnis tersebut yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Keempat etnis ini memberi sumbangsih pada keberagaman budaya yg ada. Keempat etnis ini memiliki ciri khas yang unik dan berbeda, termasuk busana, musik dan gerak tari yg pada kesempatan ini dihadirkan dalam pawai.

Pakaian daerah Sulsel

Sebelumnya ….

Pawai Pakaian Daerah Meriahkan Gebyar Seni Budaya Multikultural

0
Pakaian daerah Aceh, Foto. Firdaus

Pessel – Pawai pakaian daerah menampilkan beragam pakaian dari berbagai daerah di Indonesia. Pawai pakaian ini merupakan rangkaian kegiatan Gebyar Seni Budaya Multikultural. Kegiatan ini diadakan pada Minggu, 15 April 2018. BPNB mencoba mengenalkan kekayaan Indonesia lewat penampilan pakaian daerah. Tidak tanggung-tanggung, pakaian daerah tersebut dihadirkan 11 daerah yang ada Balai Pelestarian Nilai Budayanya.

Gebyar Seni Budaya Multikultural digelar sebagai bagian dari rangkaian kegiatan HUT ke-70 tahun Kabupaten Pesisir. Kegiatan dilangsungkan di Panggung Utama pantai Carocok dengan beberapa bentuk kegiatan seperti pawai, pertunjukan seni dan maelo pukek. Rute pawai yang dilalui yakni dari Pantai Carocok hingga Kantor Bupati Pesisir Selatan. Acara pelepasan dilakukan oleh Wakil Gubernur Nasrul Abit. Turut hadir dalam kegiatan tersebut Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit, Ketua DPRD, OPD dan undangan.

Pawai budaya ini sesungguhnya diikuti oleh berbagai kelompok seperti marching band, BPNB dan Seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan. BPNB turut terlibat dalam kegiatan tersebut karena melihat pawai tersebut strategis untuk mengenalkan ragam budaya kepada masyarakat. Terbukti, masyarakat begitu antusias menyaksikan pawai tersebut. Lokasi acara penuh, apalagi sebagian peserta BPNB menyertai pawai tersebut dengan tarian. Hampir semua orang yang hadir tidak mau ketinggalan untuk tidak mengabadikan pawai tersebut.

Sesaat setelah pelepasan pawai oleh Wakil Gubernur Nasrul Abit, para peserta pawai mulai bergerak maju. Diawali dengan marching band anak Sekolah Dasar, lalu diikuti langsung dengan pawai tim BPNB. Setidaknya terdapat 11 pakaian daerah ditampilkan dalam pawai pakaian daerah. Semua dihadirkan dari seluruh wilayah kerja Balai Pelestarian Nilai Budaya. Umumnya pakaian yang ditampilkan tersebut adalah pakaian mempelai. Warga yang menyaksikan kegiatan tersebut sangat antusias dengan memenuhi lokasi acara.

Balai Pelestarian Nilai Budaya ACEH menmpilkan Busana adat pengantin Aceh yang biasa digunakan pada acara perkawinan dan penyambutan tamu-tamu.

Pakaian daerah Aceh, Foto. Firdaus

Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau menampilkan busana adat pengantin kreasi Kepulauan Riau yang diberi nama bujang dan dara. Pakaian ini biasanya digunakan pada acara perkawinan dan penyambutan tamu-tamu.

Pakaian daerah Kepri, Foto. Firdaus

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat memakai baju anak daro jo marapulai. Pakaian ini biasanya digunakan untuk pesta penikahan (baralek). Dipakai saat basandiang dan arak-arakan babako.

Pakaian daerah Sumbar, Foto. Firdaus

Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat juga menampilkan pakaian pria dengan nama Pangsi hitam, dengan iket kepala. Biasanya digunakan pada Acara adat Sunda Nama-nama Pakaian wanita, kebaya Sunda dengan kain sinjang. Biasanya digunakan pada acara acara adat atau acara resmi, misalnya hajatan pernikahan, khitanan, dll.

Pakaian daerah Jabar, Foto. Firdaus

selanjutnya…

Gebyar Seni dan Budaya Multikultural se-Indonesia Siap Digelar

0

Pessel – Gebyar Seni dan Budaya Multikultural se-Indonesia siap digelar. Segala persiapan sudah dimatangkan, mulai dari tata panggung, lighting,  tenda-tenda serta stand-stand pameran. Para pekerja tinggal mengerjakan finalisasi untuk segala sesuatunya siap digunakan pada saat pagelaran. Tim kesenian dari BPNB-BPNB se-Indonesia juga sudah berdatangan. Hanya beberapa yang belum tiba di Kabupaten Pesisir Selatan.

Menurut pengamatan kami, berbagai persiapan memang sedang dikerjakan. Para pekerja di berbagai tempat sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya masing-masing. Gerimis yang sedang melanda pantai carocok tidak menyurutkan semangat para pekerja untuk menyelesaikan dan memastikan bahwa segala sesuatunya siap digunakan besok saat pembukaan.

Di tempat lain panitia gebyar seni dan budaya juga sedang sibuk menyelesaikan berbagai pekerjaan yang harus diselesaikan. Mulai dari menyambut tamu yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, mengurusi penginapan peserta, konsumsi peserta serta pematangan teknis pelaksanaan kegiatan, dan berbagai pekerjaan yang dirasa penting. Hingga berita ini ditulis, tinggal satu tim BPNB yang belum tiba di Padang.

Sebagaimana direncanakan, Gebyar Seni Dan Budaya Multikultural akan dilaksanakan pada Minggu-Sabtu, 15-21 April 2018. Rencananya kegiatan ini akan dibuka secara langsung oleh Bupati Pesisir Selatan H. Hendrajoni, SH, MH. Selama sepekan penuh, berbagai acara akan digelar seperti pawai budaya multikultural, pagelaran kesenian baik yang tradisioanal maupun yang kreasi, pertunjukan maelo pukek, serta pameran.

Sebanyak 11 Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) se-Indonesia akan terlibat dalam kegiatan tersebut. Mereka terlibat dalam pawai budaya serta pertunjukan kesenian. Masing-masing BPNB akan menampilkan pakaian tradisional daerah masing-masing dalam pawai. Selain itu, mereka juga membawa sanggar-sanggar seni yang akan membawakan kesenian khas daerah masing-masing.

Selain 11 BPNB, beberapa Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayan juga turut terlibat dalam pameran. Beberapa UPT tersebut adalah BPNB Sumatera Barat, BPCB Sumatera Barat, Museum Sumpah Pemuda, Balai Arkeologi Medan, Balai Bahasa Sumatera Barat dan Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Kegiatan ini terlaksana atas kerja sama Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Selatan.(FM)

Daftar Peserta Jetrada 2018 yang Lolos Seleksi

0

Padang – Setelah melalui seleksi yang ketat oleh juri, maka ditetapkan 36 siswa/siswi lolos jadi peserta Jetrada 2018. Ke-36 siswa ini selanjutnya akan diundang untuk mengikuti kegiatan Jetrada di Prabumulih, 19-22 April 2018. Sementara untuk hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk mengikuti kegiatan akan diinformasikan kemudian.

Adapun kriteria penilaian terdiri dari tiga kategori utama yakni struktur tulisan, struktur kebahasaan dan keaslian tulisan. Secara terperinci untuk kategori struktur tulisan dinilai mulai dari pendahuluan, pembahasan dan penutup. Kategori struktur kebahasaan terdiri dari kepaduan, sistematika dan efektifitas bahasa. Sementara kategori keaslian tulisan dicek melalui Plagiarism SE Tools.

Penilaian dilakukan oleh juri dari peneliti BPNB Sumatera Barat dan akademisi dari Universitas Sriwijaya. Berikut peserta yang dinyatakan lolos seleksi:

DAFTAR NAMA PESERTA JEJAK TRADISI DAERAH 2018

No. Urut Nama Siswa Asal Sekolah Judul Makalah
1 Ainur Rahma Hidayati SMA N.4 Palembang Gambaran Kehidupan Masyarakat Pasemah Berdasarkan Arca-Arca Megalit Koleksi Museum Balaputra Dewa Palembang
2 Anastasia Intan Prameswari SMA Xaverius Curup Gotong Royong Sebagai Warisan Budaya
3 Angelisa Putri SMA N.16 PADANG Beberapa Aspek Kehidupan Adat Minangkabau dalam Pembentukan Karakter
4 Annisa Firnanda SMA N.1 Bengkulu Selatan Tradisi Pantauan sebagai Bentuk Pluralisme antar Dua Suku di Desa Lawang Agung Kecamatan Kedurang Bengkulu Selatan
5 Athara Muhammadi Akbar SMA N.18 Palembang Melestarikan Pantun Lama Yang Hampir Punah di Indonesia
6 Dafid Alfareski SMA N.15 Padang Beragam tapi Bersatu
7 Dera Mayang Tifany SMA N.5 Palembang Bahasa Isyarat sebagai Media Interaksi Abadi
8 Dhiyarunnisa Shabrina SMA N.15 Padang Kearifan Masyarakat dalam Pendidikan Karakter
9 Difaf Athiyah Zhabiyan SMA N.2 Palembang Gotong Royong sebagai Wujud Toleransi
10 Diva Putri Ananti SMA N.1 Bengkulu Selatan Preservasi Tradisi Nujuhlikur yang Mendorong Masyarakat Bengkulu untuk Saling Bergotong royong dan Hubungannya dengan Sosial Budaya
11 Elya Lucita SMA N.1 Rejang Lebong Kearifan dalam Tradisi Lisan
12 Fajar Bina Pratama SMA N.16 Padang Keberagaman dan Persatuan dalam Masyarakat Minangkabau
13 Insani Amir Gatmir SMA N.18 Palembang Tawuran Antar Pelajar
14 Jennie Laksmi Syahirah SMA N.1 Prabumulih Tradisi Kebudayaan Nugal dan Ngetam Padi di Daerah Prabumulih
15 Jesica Salsabila SMA N.1 Rejang Lebong Media Komunikasi Tradisional
16 Junita Citra Ayu Chania SMA N.15 Padang Kearifan dalam Tradisi Lisan
17 M. Faturrohman SMA N.7 Prabumulih Mengembangkan Gotong – royong untuk Mewujudkan Toleransi
18 Marisa Tjikasari SMA Xaverius Curup Keterkaitan Antara Kearifan Lokal Pada Setiap Individu Dalam Perkembangan Tradisi Lisan
19 Miftahul Khoiri Islami SMA N.5 Prabumulih Media Komunikasi Tradisional Dengan Adat Rukok Panjang Dari Tanah Rambang
20 Monica Kostaria Cahyani SMA Xaverius Curup Kebudayaan Gotong-Royong Dilestarikan Guna Mewujudkan Sebuah Karakteristik Siswa-Siswi Menjadi Lebih Baik
21 Muhammad Rafli Dzaky SMA N.18 Palembang Implementasi Nilai Gotong Royong untuk Menumbuhkan Sikap Toleransi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
22 Nadia Putri Salsabila SMA N.5 Palembang Dampak Perkembangan Modernisasi Dalam Aspek Bahasa Asing Terhadap Bahasa Daerah
23 Nelvin Alca Pratama SMA N.6 Prabumulih Kearifan Lokal Dalam Tradisi Lisan
24 Pelia Ataza SMA N.4 Palembang Nilai Kearifan Lokal Dalam Songket Tradisional Nago Besaung
25 Putra Wahyu Pratama SMA N.2 Prabumulih kearifan lisan dalam tradisi adat pernikahan di kota Prabumulih
26 Rebi Ramadana Putra SMA N.15 Padang Gotong Royong sebagai Wujud Toleransi
27 Reizi Fiqriansyah SMA N.1 Bengkulu Selatan Upaya Meningkatkan Karakter Bangsa Melalui Tradisi Adat Beijau Adiak Sanak Di Kabupaten Bengkulu Selatan
28 Silfani Putri SMA N.16 Padang Media Komunikasi Tradisional
29 Sonya Ainurrohmah SMA N.1 Bengkulu Selatan Eksistensi Budaya Gegerit sebagai Kearifan Lokal Suku Serawai Di Kabupaten Bengkulu Selatan dan Hubungannya Dengan Nilai Sosial Kemasyarakatan
30 Syafira Tri Melinda Sari SMA N.1 Rejang Lebong Beragam tapi Satu
31 Syazwina Amanda Firzani SMA Xaverius Curup Gotong Royong yang Baik Mampu Menciptakan Persatuan Dan Kesatuan Sebagai Modal Utama untuk Meningkatan Kedamaian
32 Tias Cahyani SMA N.2 Palembang Kearifan Tradisi Lisan dalam Perkembangan Arus Globalisasi
33 Topan Rivaldo SMA N.16 Padang Gotong Royong sebagai Wujud Toleransi
34 Tri Okta Lia SMA N.4 Prabumulih Bersatunya Keanekaragaman Bangsa Indonesia
35 Tubagus Rizky Sunandar SMA N.2 Palembang Keberagaman yang Ada Di Indonesia
36 Vaniza Diniarti SMA N.2 Prabumulih Pentingnya Karakter dan Kepribadian Yang Baik bagi Generasi Muda Kota Prabumulih

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi panitia melalui WA. 081272189539.

BPNB Sumbar dan Pemda Pessel Gelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se Indonesia

0

Padang – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat yang merupakan unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayan Kabupaten Pesisir selatan akan mengelar kegiatan yang bertajuk Gebyar Seni Budaya Multikultural se Indonesia dalam rangka Sumarak Pesisir Selatan Tahun 2018. Kegiatan ini akan dilaksanakan pada 14-21 April 2018 di Pantai Carocok, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat.

Kepala BPNB Suamatera Barat Drs. Suarman didampingi Ketua Panitia Pelaksana kegiatan, Hariadi, SS, MA. Menjelaskan bahwa kegiatan ini sebagai upaya menegaskan kebhinekaan untuk memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. melalui kegiatan ini diharapkan terbangun saling pengertian dan harga menghargai antara suku bangsa yang ada di Indonesia.  Rangkaian kegiatan Gebyar Seni Budaya Multikultural se Indonesia ini terdiri dari pameran, pertunjukan kesenian, pawai budaya,  maelo pukek, dan tradisi malamang.

Kegiatan pameran multikultural akan berlangsung dari tanggal 15 s/d 21 April 2018. Kegiatan dimulai pada pukul 08.00 s/d 21.00 WIB di Pantai Carocok. Lembaga yang akan ambil bagian dalam kegiatan ini adalah BPNB Sumatera Barat, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, Museum Sumpah Pemuda dari Jakarta, Balai Arkeologi Sumatera Utara, Balai Bahasa Sumatera Barat, dan Museum Perumusan Naskah Proklamasi dari Jakarta. Setiap peserta pameran akan menampilkan display yang menonjolkan sisi multikultural Indonesia.

Pawai budaya dilaksanakan pada tanggal 15 April 2018 mulai pukul 11.00 Wib yang akan  diikuti seluruh perwakilan kecamatan di Kabupaten  Pesisir Selatan dan perwakilan BPNB dari seluruh Indonesia.

Para peserta kegiatan Gebyar Seni Budaya Multikultural se Indonesia yang datang dari berbagai penjuru tanah air akan disuguhi  pertunjukan dan terlibat langsung  pada acara Maelo Pukek  dan tradisi malamang. Kegiatan ini akan dilaksanakan  tanggal 16 April 2018 dimulai pukul 07.00 s/d 12.00 WIB di Pantai Sago Pesisir Selatan.

Kegiatan yang akan menampilkan atraksi kesenian dari berbagai daerah  di Indonesia diyakini akan menarik minat banyak penonton. Pertujunkan kesenian akan dilaksanakan pada tanggal 15 April 2018 yang akan menampilkan kesenian tari tradisi dan 16 April 2018 akan menampilkan kesenian tari kreasi. Kegiatan ini dimulai pukul 19.00 WIB bertempat di Panggung Utama Pantai Carocok.

Sebanyak 11 Tim kesenian yang akan tampil merupakan utusan dari kantor BPNB di Indonesia yaitu  Sanggar Seni San Alida utusan BPNB Sumatera Barat, Sanggar Meurunoe utusan BPNB Aceh, Sanggar Seni Megat utusan BPNB Kepulauan Riau, Sanggar Dwi Arta utusan BPNB Jawa Barat, Bale Seni Wasana Nugraha utusan BPNB D.I Yogyakarta, Sanggar Simpor utusan BPNB Kalimantan Barat, Sanggar Supraba Eka Duta utusan BPNB Bali, Sanggar Bolong Ringgi utusan BPNB Sulawesi Selatan, Sanggar Tiara Fitrah utusan BPNB Sulawesi Utara, Sanggar Serafim utusan BPNB Maluku, dan Sanggar Ostari BPNB Papua.

Kontributor: Hariadi

Lawatan Sejarah Daerah 2018

0

Padang – Lawatan Sejarah Daerah (LASEDA) 2018 di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat telah selesai dilaksanakan. Acara berlangsung selama tiga hari yakni pada 2 – 5 April 2018 di Kabupaten Pesisir Selatan. 45 orang peserta laseda dari berbagai sekolah di tiga wilayah kerja ikut serta dalam kegiatan tersebut. Kegiatan tersebut juga telah meghasilkan tiga orang peserta terbaik.

Bentuk kegiatan laseda 2018 diantaranya melakukan kunjungan ke obyek-obyek sejarah. Beberapa obyek yang dikunjungi antara lain rumah gadang Mande Rubiah, yang berada di kecamatan Lunang kabupaten pesisir Selatan. Objek-objek bersejarah lain yang turut dikunjungi antara lain makam Cinduo Mato yang berjarak kurang lebih 200 meter dari rumah gadang Mande Rubiah. Selain itu peserta juga diajak berkunjung ke komplek makam Bundo kandung serta kunjungan ke Indra pura.

Dalam setiap kunjungan ke objek-objek bersejarah, peserta laseda selalu disambut dengan tari galombang, tarian dan silat tradisional. Peserta juga senantiasa diajak untuk berdiskusi menambah wawasan peserta tentang sejarah lokal. Selain itu para peserta juga dikenalkan peralatan-peralatan pakaian, senjata tradisional yang masih dipelihara.

Kunjungan ke rumah gadang mande Rubiah misalnya, para peserta diajak beramah tamah bersama keluarga besar Mande Rubiah yang merupakan keturunan ke tujuh mande Rubiah. Ramah tamah juga disertai dengan kegiatan diskusi mengenai asal usul Mande Rubiah. Dari diskusi tersebut para peserta akhirnya mengetahui bahwa Mande Rubiah tersebut memiliki kaitan erat dengan kerajaan Pagaruyung.

Di indrapura para peserta diajak untuk melihat salah satu bukti kejayaan maritim di pessel yaitu peninggalan bandar X. Bandar ini merupakan bekas dermaga dan gudang penyimpanan garam yang sebagian bangunannya saat ini menjadi tempat bermain bola bagi pemuda sekitar. Sementara di Kambang, peserta dibawa mengunjungi mesjid Al imam, salah satu bukti masuknya pengaruh Islam di Kabupaten Pesisir Selatan.

Selain kunjungan ke obyek bersejarah, kegiatan lawatan sejarah juga melaksanakan pentas seni. Pentas seni merupakan wadah para peserta laseda menampilkan kemampuan seninya. Kegiatan ini dilaksanakan seluruh peserta pada malam hari. Masyarakat setempat sangat antusias menyaksikan pentas seni tersebut dengan tumpah ruahnya membanjiri pelataran rumah gadang Mande Rubiah.

Bentuk kegiatan lain adalah observasi di rumah gadang Mande Rubiah. Para peserta dalam observasi ini diminta untuk melihat benda-benda pusaka yang masih tersimpan dalam rumah tersebut. Beberapa benda-benda pusaka peninggalan keluarga yang masih tersimpah seperti senjata dan alat-alat rumah tangga. Dalam observasi ini, para peserta didampingi pemandu, salah seorang keturunan Mande Rubiah yang memberikan informasi tentang sejarah Mande Rubiah dan rumah gadangnya.

Selesai rangkaian kegiatan, para peserta diajak mendiskusikan kondisi objek sejarah  setempat untuk menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah terkait pelestariannya. Selanjutnya peserta diajak berkunjung ke Painan, dan Pulau Cingkuk di Pantai Carocok. Kegiatan di pulau diawali dengan pengenalan situs cagar budaya yang ada, presentasi dan diskusi makalah finalis terpilih.

Acara berakhir dengan penutupan acara laseda yang dihadiri oleh sekretaris dinas pendidikan dan kebudayaan Pessel, Kabid kebudayaan dan pemerhati sejarah pessel. Pada acara penutupan ini para peserta terbaik juga turut diumumkan. Tiga orang peserta berhasil menjadi yang terbaik yakni Fathur Rahman, M. Zaky Nugraha dan Ketut Agil PS. (FM)

Kontributor: Rahma Dona

Jejak Tradisi Daerah Digelar 19–22 April 2018

0

Padang  – Jejak Tradisi Daerah/ Jetrada 2018 akan digelar pada Kamis-Minggu, 19 – 22 April 2018. Kegiatan ini akan dilaksanakan di Balai Adat Dusun Gunung Kemala, Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Pemilihan waktu ini berbarengan dengan pelaksanaan sedekah dusun masyarakat setempat yang akan dilaksanakan pada 21 April 2018. Sebanyak 45 orang peserta dari tiga wilayah kerja BPNB Sumatera Barat yakni Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan akan hadir dalam kegiatan tersebut.

Jetrada merupakan sebuah kegiatan internalisasi nilai budaya yang menyasar generasi muda khususnya peserta didik. Tujuan kegiatan ini penting tidak hanya sebagai pengenalan tapi utamanya pembentukan karakter dan identitas bangsa.

Jetrada 2018 akan diikuti 45 siswa dan guru SMA/Sederajat. Keseluruhan peserta berasal dari 15 SMA di tiga wilayah kerja. Secara rinci peserta tersebut terdiri dari 10 orang dari Sumatera Barat, 10 Orang dari Bengkulu dan 25 orang dari Sumatera Selatan.

Untuk menjadi peserta Jetrada 2018, terlebih dahulu siswa-siswi diundang mengikuti seleksi karya tulis ilmiah. Dari keseluruhan yang mengirim karya ilmiah, 45 peserta terbaik diikutkan dalam pelaksanaan Jetrada. 10 peserta terbaik  dari total 45 peserta tersebut juga diminta mempresentasikan karya tulisnya di depan juri. Dari 10 siswa yang presentasi, juri akan memutuskan peserta terbaik dan selanjutnya diberi apresiasi. Selain presentasi, keseluruhan siswa juga diminta untuk menampilkan kesenian tradisional khas daerah masing-masing.

Sementara itu, dari 45 peserta tersebut terdapat sembilan orang guru pendamping. Guru-guru pendamping ini diberikan kesempatan untuk menyampaikan orasi budaya yang bertemakan ‘peran guru dalam pelestarian budaya di sekolah’. Orasi budaya ini akan disampaikan selama 10 menit di depan siswa dan juga juri. Orasi terbaik juga diberikan apresiasi oleh panitia.

Salah satu yang menarik dari kegiatan ini adalah bahwa seluruh peserta akan diinapkan di rumah-rumah penduduk. Tujuan diinapkan tersebut untuk mengenalkan kehidupan sosial budaya masyarakat kepada anak-anak. Di rumah penginapan, mereka akan merasakan bagaimana masyarakat setempat tinggal dan menjalani keseharian  dalam tradisi mereka. Peserta juga akan makan sesuai dengan apa yang dimakan oleh penduduk setempat.

Selain itu, pada kesempatan Jetrada kali ini, para peserta akan menyaksikan secara langsung ritual masyarakat Prabumulih khususnya Dusun Gunung Kemala yang masih dipertahankan hingga kini. Ritual tersebut disebut dengan sedekah dusun yakni ritual ucapan syukur kepada sang pencipta atas panen yang mereka peroleh pada musim yang baru selesai.(FM)

Lawatan Sejarah Daerah 2018 Resmi Dibuka

0

Padang – Lawatan Sejarah Daerah 2018 BPNB Sumbar resmi dibuka pada Senin, 2 April 2018. Acara pembukaan dilaksanakan di Gedung Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Barat. Kegiatan ini secara resmi dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat Drs. Burhasman. Turut hadir dalam acara pembukaan yakni KasubBag Tata Usaha BPNB Sumatera Barat Titit Lestari, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, perwakilan BPKP, BP PAUDNI Padang Pariaman serta peserta Laseda 2018.

Acara pembukaan diawali dengan lantunan ayat suci Alquran yang dibawakan oleh M. Fathur Rahman dari SMA 6 Kota Palembang. Selanjutnya menyanyikan lagu Indonesia Raya, kata sambutan dan pembukaan oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat.

Selesai acara pembukaan, selanjutnya pembekalan oleh narasumber. Ada tiga narasumber yang diundang dalam kegiatan ini yakni Titit lestari (BPNB Sumatera Barat), Zusneli Zubir (Peneliti Madya Sejarah), dan Bachtiar (pemerhati sejarah pesisir selatan). Acara pembekalan ini dimoderatori oleh ibu Rita yenis (LPMP). Pemaparan materi diiringi dengan diskusi yang hangat terutama berkaitan dengan tema menggali potensi kemaritiman melalui perspektif sejarah.

Lawatan sejarah merupakan media mengenalkan sejarah masa lalu kepada generasi muda. Melalui kegiatan ini, para peserta akan dibawa berkunjung ke berbagai tempat-tempat bersejarah. Hasil kunjungan akan disajikan dalam karya tulis sejarah. Harapannya, kunjungan tersebut dapat membantu para peserta memperoleh pelajaran sekaligus pengalaman berharga tentang peristiwa masa lalu. Hal ini akan memunculkan memori kolektif generasi muda untuk cinta akan sejarah bangsanya.

Sebagaimana diinformasikan sebelumnya bahwa Laseda 2018 dilaksanakan dari tgl 2 hingga 5 April 2018 di Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan ini diikuti oleh 45 peserta yang terdiri dari siswa dan guru. Peserta siswa dipilih melalui 2 jalur yaitu melalui Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) dan melalui sekolah pilihan. Adapun rincian peserta berdasarkan provinsi yakni 19 peserta dari Sumatera Barat, 12 peserta dari Sumatera Selatan dan 14 peserta dari Bengkulu. Selama perhelatan, para peserta akan dibawa melawat ke berbagai objek-objek sejarah yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan.

Dari kunjungan ke berbagai objek sejarah di Pesisir Selatan, peserta diminta untuk menyajikan hasil kunjungan tersebut dalam bentuk karya tulis. Karya tulis ini akan dinilai menjadi yang terbaik dari seluruh peserta yang ada. Peserta terbaik akan diberi apresiasi dan selanjutnya diikutsertakan dalam Lawatan Sejarah Nasional yang akan diadakan di Provinsi Aceh.(FM)

Kontributor: Rahma Dona

Sumarak Pesisir Selatan 2018

0

Padang – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat akan melaksanakan Sumarak Pesisir Selatan 2018. Kegiatan ini diadakan dalam rangka Gebyar Seni Multikultural se-Indonesia. Rencananya Sumarak Pesisir Selatan 2018 akan digelar pada 14-21 April di Pantai Carocok, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Kegiatan ini terlaksana atas kerjasama antara BPNB Sumatera Barat dengan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan.

Selain memperkenalkan berbagai kekayaan budaya dari beragam suku bangsa di Indonesia, kegaitan ini juga menjadi ajang menyebarkan pengetahuan tentang nilai-nilai tradisi masyarakat lokal. Dalam pelaksanaan Sumarak Pesisir Selatan 2018, rangkaian kegiatan diramu dalam Festival Seni Multikultur, Pawai Multikultur, Pameran multikultur, Maelo Pukek, serta permainan tradisional.

Festival seni multikultur akan melibatkan 11 BPNB yang ada di seluruh Indonesia. Masing-masing BPNB akan menampilkan tarian khas dari wilayah kerjanya. Pertunjukan tari ini dibagi dua yakni tari tradisional dan tari kreasi. Selain itu peserta juga akan melakukan pawai kebudayaan masing-masing daerah yang menunjukkan kekhasan suku bangsa tersebut. Hal ini akan menunjukkan betapa kaya kebudayaan kita.

Selain festival seni dan pawai, kegiatan ini juga mengadakan Pameran Multikultural. Pameran ini akan diikuti oleh satuan kerja-satuan kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seperti BPNB Sumatera Barat, BPCB Sumatera Barat, Balai Arkeologi Medan, Museum Sumpah Pemuda Jakarta, dan Balai Bahasa Sumatera Barat dan Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Tujuannya tetap sama yakni mengenalkan ragam dan kekayaan budaya melalui benda, visual dan hasil-hasil penelitian.

Salah satu hal menarik dalam kegiatan ini adalah dikenalkannya salah satu tradisi ekonomi masyarakat nelayan yakni maelo pukek. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan melihat pukat. Tradisi ini berkaitan dengan aktivitas utama masyarakat nelayan yaitu menangkap ikan. Nantinya, pengunjung akan dilibatkan dalam kegiatan ini untuk turut merasakan bagaimana nelayan memenuhi kebutuhan dan menghadapi segala tantangan dalam aktivitas sehari-hari.

Menambah semaraknya kegiatan Sumarak Pesisir Selatan 2018, acara juga dilengkapi dengan lomba permainan tradisional. Lomba dimaksudkan untuk mengenalkan nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tradisional yang memang sudah semakin hilang. Harapannya, melalui lomba ini masyarakat khususnya generasi muda dapat menggali nilai-nilai yang ada dalam permainan serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.(FM)

Belajar Bersama Maestro Kenalkan Tari Gending Sriwijaya

0

Palembang – Tari Gending Sriwijaya adalah kesenian tradisional Sumatera Selatan. Melalui kegiatan Belajar Bersama Maestro (BBM), tari ini akan dikenalkan kepada generasi muda sebagai upaya pelestarian kesenian tersebut. Kegiatan ini menyusul sukses BBM tahun lalu di Kota Prabumulih. Peserta didik setingkat SMP ditetapkan sebagai sasaran utama untuk dilatih agar dapat menguasai tari ini.

Berbagai upaya memang bisa dilakukan untuk melestarikan kebudayaan. Salah satunya adalah pewarisan  dengan mengenalkan dan mengajarkannya kepada generasi muda khususnya peserta didik. Upaya ini jugalah yang dilakukan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat (BPNB Sumbar) dalam kegiatan Belajar Bersama Maestro (BBM). Khusus Kota Pelembang, Tari Gending Sriwijaya dipilih menjadi materi utama BBM.

BBM termasuk salah satu kegiatan unggulan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Melalui kegiatan ini, diharapkan dapat mengakomodasi amanah UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Kegiatan ini sebagai upaya memajukan kebudayaan dengan mengupayakan internalisasi nilai budaya kepada generasi muda. Nilai budaya yang diinternalisasi mengacu pada sepuluh (10) objek pemajuan kebudayaan. Objeknya yaitu, tradisi, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

Melalui internalisasi kegiatan BBM, para peserta akan dikenalkan pada kebudayaan tradisional oleh maestro atau calon maestro pelaku kebudayaan tersebut. Maestro secara langsung akan berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam aktivitasnya berkebudayaan. Para peserta didik diharapkan dapat mengenal, mempelajari serta memahami kebudayaan khas daerahnya. Pemahaman tersebut akan berpengaruh pada menguatnya identitas mereka dengan didorong oleh sikap yang diasaskan dalam UU No. 5, yaitu toleransi, keberagaman, kelokalan, lintas wilayah, partisipatif, manfaat, keberlanjutan, kebebasan berkreasi, keterpaduan, kesederajatan, dan gotong royong.

Undang-undang Pemajuan Kebudayaan meski baru terbit tahun 2017, namun BPNB Sumbar telah menggelar kegiatan BBM sejak tahun 2016 di ketiga wilayah kerjanya, yaitu Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan dengan objek berbeda-beda. Tahun 2018 ini juga telah dirancang BBM di tiga wilayah ini. Khusus kegiatan BBM di Propinsi Sumatera Selatan dipusatkan di Kota Palembang, tepatnya di SMP Negeri 1 Palembang.

Peserta terdiri dari anak-anak didik dan guru-guru kesenian, laki-laki dan perempuan. Tujuan menyertakan dua generasi ini tidak lain untuk lebih memudahkan sistim regenerasi kesenian tradisional yang diajarkan oleh maestro atau calon maestro/pelestari kebudayaan. Guru-guru akan mewariskan kepada anak didik periode berikutnya sedangkan siswa-siswi yang beruntung pada periode ini diharapkan dapat menginisiasi keluarga, teman-teman, dan masyarakat sekitar setelah mereka menamatkan SMP kelak. Peserta yang dianggarkan dan dipertanggungjawabkan hanya 22 orang. Namun antusiasme mereka tidak dibatasi, sehingga jumlah partisipan mencapai sekitar 42 orang. Hal ini menjadi persoalan sekaligus keberuntungan atas animo peminat tari tradisi di kota ini.

Perlu strategi matang untuk memenuhi animo mereka dengan tetap mampu mempertanggungjawabkan secara bijak kegiatan yang didanai oleh DIPA/RKAKL BPNB Sumbar ini. Panitia dari BPNB yang diketuai oleh Ferawati,S.S., bersama panitia lokal yang ditunjuk dari SMPN 1 Palembang, Kepala Sekolah, dan pelatih atau calon maestro/pelestari kebudayaan akan menyeleksi separoh peserta yang berbakat.

Hal ini disampaikan dalam acara pembukaan kegiatan BBM pada Sabtu, 24 Maret 2018 pukul 10.00-12.00 wib di aula SMPN 1 Palembang. Mereka diseleksi langsung oleh Elly Rudy, yaitu calon maestro/pelestari kebudayaan yang memimpin sanggar tari “Group Elly Rudy”, sekaligus dosen terbang di salah satu perguruan tinggi di kota Palembang. Dua puluh (20) peserta yang berbakat dan berlatih maksimal akan diberi reward berupa workshop KIT, seperti tas, baju kaos, alat tulis, bahkan yang berprestasi akan mendapat hadiah berupa uang tunai yang telah dianggarkan. Kegiatan ini akan berlangsung sejak pembukaan hingga penutupannya nanti dengan total 20 kali pertemuan dengan durasi 2 jam setiap latihan.

Tidak hanya itu, Kabid SD-SMP Kota Palembang dalam acara pembukaan yang juga dihadiri oleh Kabid Kebudayaan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sumsel beserta jajarannya, peneliti BPNB Sumbar, dan pihak sekolah juga mengapresiasi animo mereka dengan memberikan kesempatan atau panggung untuk menampilkan kesenian tradisional pada 2 Mei 2018, tepat pada  peringatan Hari Pendidikan Nasional yang akan diadakan oleh Dinas Pendidikan Kota Palembang. Namun tidak tertutup kemungkinan mereka untuk diundang oleh pihak lain, seperti untuk penyambutan tamu agung kegiatan Festival Sriwijaya atau bahkan Asian Games pada 18 Agustus 2018 mendatang. Pembukaan ini juga diliput oleh media massa cetak dan elektronik lokal.

Kegiatan BBM kali ini menetapkan tari tradisi Gending Sriwijaya, mengalahkan rencana jenis kesenian lain yang telah disurvey pada awal Maret 2018. Menurut Elly Rudy, tari ini sempat fakum sepuluh tahun. Nung Cik Ar sebagai tokoh seni tari ini pernah dicekal pada tahun 1965 karena terlibat atau terjebak dalam kelompok kesenian Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Elly Rudy yang sudah aktif menari kemudian menciptakan sendiri seni tari yang mirip dengan Gending Sriwijaya namun lebih fleksibel, yang dia namai tari Sambut atau Tanggai.

Dalam kegiatan BBM ini, Elly Rudy akan mengembalikan marwah tari Gending Sriwijaya kepada asal jadinya, termasuk jumlah penari, momentum, dan bentuk serta warna pakaiannya. Tari Gending Sriwijaya sejatinya termasuk tari Sambut yang sakral, yaitu untuk menyambu tamu-tamu agung, dalam konteks kekinian minimal untuk tamu eselon IV ke atas. Melalui kegiatan BBM ini, para peserta tidak hanya akan dilatih menari, tapi juga diajarkan tentang sejarah tari serta makna filosofinya untuk menemukan-kembangkan jati diri mereka.

Kontributor: Marbun dan Ferawati

Hasil Seleksi Peserta Laseda 2018

0

Padang – Setelah melalui seleksi ketat, akhirnya hari ini, Senin (26/3) dapat diumumkan peserta terbaik lomba karya tulis ilmiah dalam rangka Laseda 2018. Dari 45 karya tulis yang masuk ke panitia, 11 karya tulis diputuskan layak menjadi yang terbaik. Hasil tersebut sekaligus menjadi tiket peserta untuk ikut dalam pelaksanaan Laseda 2018 pada 2-5 April 2018 di Kabupaten Pesisir Selatan.

Peserta Laseda terdiri dari 45 siswa dan guru pendamping. Peserta ini direkrut dengan dua metode yakni melalui lomba karya tulis dan undangan langsung ke sekolah. Peserta lomba melalui karya tulis diseleksi dengan karya terbaik yang dikirim ke panitia. Karya tulis ini dinilai oleh juri yang telah ditentukan oleh panitian. Dari seluruh siswa dan guru yang mengirim karya tulis panitia, sebanyak 11 siswa dan 4 guru terbaik akan diikutkan menjadi peserta Laseda 2018.

Peserta yang lolos seleksi Lomba karya tulis tersebut yakni:
1 Cipto Waluyo, SS SMA Negeri 1 Bengkulu Selatan Guru
2 Eva Yena SMA Negeri 6 Palembang Guru
3 Zainab Z, S.Pd, M.Si SMA Negeri Jejawi OKI Guru
4 Setya Ningsih, SS SMA Negeri 1 Timpeh Guru
5 Sigit Nur Prastowo SMA Negeri 6 Palembang Siswa
6 Tiara Nanda Fransiska SMA Negeri 1 Jejawi OKI Siswa
7 Mohammad Zaky SMA Negeri1 Bengkulu Selatan Siswa
8 Abdurrahman Ali SMA IQRA Kota Bengkuli Siswa
9 B. Christanda MA SMAIT Xaverius Curup Siswa
10 Iqbal Rezky Pranata SMA Negeri 1 Bengkulu Selatan Siswa
11 Septi Herliza Nofianti SMA Negeri 1 Bengkulu Selatan Siswa
12 Rully Swenrin VP SMA Negeri 1 Sitiung Siswa
13 Habib Ilyas SMA Negeri 12 Padang Siswa
14 Rivaldo Asnandar SMA Negeri Sitiung Siswa
15 Mita Febrianti SMA Negeri Timpeh Siswa

Sementara itu, sebanyak 30 peserta lain merupakan undangan panitia ke sekolah. Dalam hal ini panitia menentukan sendiri sekolah-sekolah yang akan diundang. Biasanya dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan tertentu seperti jumlah keterlibatan dalam even-even serupa, keaktifan dan lain-lain. Setiap sekolah yang mendapat undangan, diminta untuk mengirim peserta dengan menyiapkan karya tulis.

Sebagai informasi tambahan bahwa Laseda 2018 akan dipusatkan di Kabupaten Pesisir Selatan. Para peserta lomba yang lolos seleksi akan mempresentasikan karya tulisnya untuk diseleksi kembali sebagai peserta terbaik. Para peserta terbaik akan diberi apresiasi dan hadiah menarik. Selain itu, peserta terbaik dari kegiatan ini nantinya akan diikut sertakan dalam lawatan sejarah nasional 2018 di Provinsi Aceh. (FM)

Kepala BPNB Sumbar Narasumber BIMTEK Kesejarahan dan Kepurbakalaan

0
Kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman (Kiri) dan Undri menjadi narasumber

Sijunjung – Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat Drs. Suarman didapuk menjadi narasumber Bimtek Kesejaran dan Kepurbakalaan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat pada Rabu, 13 Maret 2018 di Wisma Keluarga, Muaro Sijunjung. Dalam kegiatan tersebut Drs. Suarman didampingi oleh Fungsional Peneliti yakni Undri, SS.M.Si dan Efrianto, SS.

Bimtek
Suarman menjadi narasumber dalam Bimtek Kesejarahan dan Kepurbakalaan

Bimtek Kesejarahan dan Kepurbakalaan merupakan bentuk komitmen Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sijunjung untuk pemajuan kebudayaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Kegiatan yang diikuti oleh 41 orang, berasal dari guru SMA, SMP dan SD, pemerhati sejarah, dan pemerhati adat dan budaya. Tujuan pelaksanaan kegiatan ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi dan meningkatkan kompetensi masyarakat terutama generasi muda, diharapkan dapat menjadi tenaga sejarah dan kepurbakalaan yang akan dapat menggali, mendokumentasikan potensi sejarah dan kepurbakalaan di Kabupaten Sijunjung demi Pemajuan Kebudayaan.

Kepala BPNB Sumatera Barat memaparkan makalah tentang Pelestarian Kesejarahan dan Kepurbakalaan. Pelestarian kesejarahan penting dilakukan melalui yakni pertama  pendataan tempat-tempat dan peninggalan bersejarah, kedua peminatan sejarah melalui pelajar dimotivasi. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran sejarah. Disamping itu juga bisa dilakukan menulis toponomi, pendokumentasian, melawat tempat-tempat bersejarah, menemukali sejarah daerah, menemukali tokoh serta melakukan kajian atau penelitian sejarah. Dalam melakukan kajian atau penelitian ini harus diarahkan kepada persoalan objek kebudayaan yang diamanahkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan tersebut.

Objek kebudayaan tersebut yakni (1) Tradisi Lisan, (2). Manuskrip, (3). Adat Istiadat, (4). Ritus, (5).Pengetahuan Tradisional, (6). Teknologi Tradisional, (7). Seni, (8). Bahasa, (9). Permainan Tradisional, dan (10). Olahraga Tradisional. Terakhi,r Drs. Suarman, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat juga menekankan untuk melestarikan nilai-nilai kesejarahan dan kepurbakalaan itu sendiri bagi generasi muda sebagai roh  Pemajuan Kebudayan itu sendiri.

Kemudian paparan dari Efrianto, SS, peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat tentang sejarah lokal, yang merupakan sejarah dari suatu kelompok sosial yang berada pada suatu wilayah tertentu. Pada awalnya sejarah lokal tersebut dikaitkan dengan babad, tambo, riwayat, hikayat, dan sebagainya.

Terakhir, paparan oleh Undri, SS.M.Si, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat tentang teknik penulisan kesejarahan dan kepurbakaan. Menurut Undri, sebagai sebuah kegiatan keterampilan menulis  diperlukan pengembangan gagasan. Pengembangan gagasan inilah yang dapat menuangkan ide secara utuh dan padu untuk disampaikan secara tertulis. Gagasan yang disampaikan secara tertulis sebaiknya menggunakan bahasa yang baik dan benar agar terjalin hubungan yang baik antara penulis dan pembaca. Ide adalah sesuatu yang melintas dalam pikiran kita yang sifatnya masih sangat umum. Kemudian kegiatan menulis dapat memperluas wawasan penulisan secara teoritis mengenai fakta-fakta yang berhubungan; penulis dapat terlatih dalam mengorganisasikan gagasan secara sistematis serta mengungkapkannya secara tertulis. Geliat dari menulis ini bisa melalui media massa, jurnal dan sebagainya.

Disela kegiatan tersebut, juga telah dibentuk Komisariat Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kabupaten Sijunjung, yang merupakan profesi yang menghimpun para sejarawan, pemerhati sejarah dan sebagainya. Ide pembentukan MSI Komisariat Sijunjung atas ide BPNB Sumatera Barat. Pembentukan ini dikoordinir langsung oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sijunjung dan BPNB Sumatera Barat dan Sekretaris MSI Sumatera Barat yakni Undri, SS.M.Si.

Harapan, dengan kegiatan ini seluruh peserta dapat memahami tetang sejarah dan kepurbakalaan itu sendiri, dapat menulis dan mensosialisasikan daerahnya kepada masyarakat umum. Hingga akhirnya potensi sejarah dan kepurbakalaan di Kabupaten Sijunjung bisa tergali dan terdokumentasikan kedepannya.

Kontributor: Undri

Supersemar dan Otonomi Sejarawan

0

 

Sampai saat sekarang ini hampir lima puluh dua tahun lamanya setelah  Soeharto menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 dari Soekarno, keberadaan disekitar Supersemar tersebut masih tetap “gelap”.

Berbagai macam argumentasi muncul, apakah benar adanya Supersemar tersebut ?. Bahkan lebih jauh lagi ada yang berargumentasi bahwa surat tersebut tidak pernah ada. Pertanyaan seperti itu merupakan pertanyaan yang lumrah terutama dalam kehidupan masyarakat kita yang semakin hari semakin kritis terhadap sesuatu hal yang masa lalu dianggap tabu untuk dibuka ataupun dipertanyakan sebelumnya. Persoalan Supersemar tersebut, sesungguhnya ibarat benang yang kusut dari kumparannya yang semestinya diselesaikan yang akhirnya bisa untuk merajut  sejarah bangsa ini. Namun kusutnya masih bergumpal dan tak tentu mana ujung dan pangkalnya. Pertanyaan kita sekarang ini adalah dimulai dari mana benang yang kusut ini diselesaikan ?.

Berbicara masalah proses penyerahan Supersemar dari Soekarno kepada Soeharto merupakan  sebagai sebuah pristiwa sejarah. Maka upaya untuk memperoleh informasi disekitar pristiwa tersebut, orang mau tak mau harus ”mengolahnya” dengan cara atau metode yang sesuai dengan hal tersebut. Sebagai sebuah pristiwa sejarah, yang terjadi pada masa lalu maka metode atau cara yang tepat adalah dengan mengunakan metode sejarah itu sendiri. Berbicara masalah metode sejarah, salah satu hal yang terpenting dimana orang mau tak mau harus berhadapan yakni dengan  jenis sumber yakni sumber sejarah. Sebagai peninggalan masa lampau, sumber sejarah adakalanya juga dipalsukan. Bagi sepeniliti yang tidak hati-hati dalam mengunakan metode kritik sumber seringkali terjadi bahwa apa yang dianggap selaku fakta tidaklah diterima dengan sendirinya dan bahkan dapat menimbulkan perdebatan.

Pengetahuan tentang sumber sejarah dan kritik sumber merupakan bagian yang esensial dalam  metode sejarah. Sebagai kesaksian dari gejala sejarah, sumber sejarah sesungguhnya mengandung beberapa jenis fakta diantaranya adalah : pertama, fakta keras (hardfact) yaitu fakta-fakta yang biasanya sudah diterima selaku benar sebagai suatu kenyataan (realitas) benar pada dirinya (self-evident) dan karenanya tidak diperdebatkan lagi. Kebanyakan fakta adalah bebas dari kemauan kita. Itulah sebabnya mengapa fakta jenis ini sering disebut fakta keras atau sudah mapan (established) dan tak mungkin dipalsukan lagi. Sebagai contohnya adalah suatu fakta bahwa Soekarno lah yang membacakan teks proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kedua, fakta mentah (cold-fact) atau secara harfiah diterjemahkan dengan fakta dingin. Ia dikatakan demikian karena masih perlu dibuktikan dengan dukungan fakta-fakta yang lain. Oleh karena fakta tidak dengan sendirinya tersedia begitu saja, maka sejarawan melalui penelitian sumber-sumber sejarah mencoba mengolah dan membuatnya bicara, sehingga bisa diketahui dan dimengerti. Tetapi sungguhpun demikian masih terdapat kemungkinan timbulnya perdebatan tentang kebenarannya.

Permasalahan tentang Surat Perintah Sebelas Maret atau lebih dikenalnya dengan Supersemar tersebut termasuk kedalam kategori fakta mentah ini. Sebab  perdebatan mengenai keaslian surat tersebut masih bermunculan serta masih diragukan baik dari segi isi maupun bentuknya.  Fakta ini ternyata menimbulkan berbagai tanggapan yang kontroversial. Kusutnya tidak berkesudahan diselesaikan atau memang diperbiarkan kusut terus baik kusutnya dalam persoalan keaslian dan bentuk (materinya).

Sesungguhnya kalau kita mencermati dengan seksama begitu kompleknya permasalahan yang akan muncul bila mengungkapkan suatu pristiwa seperti pristiwa Supersemar.  Menurut penulis ada  implikasi apabila keberadaan surat tersebut dibongkar. Sesungguhnya merupakan suatu hal yang tidak dapat kita sangsikan lagi bahwa keberadaan dari surat tersebut akan sangat besar muatan politiknya. Dengan mengungkapkan keberadaannya mungkin akan ada pihak yang dirugikan, namun demi keselamatan serta sejarah masa depan negara kita sepatutnya harus dituntaskan.

Melihat persoalan Supersemar sebagai pristiwa masa lalu, maka seharusnya masalah tersebut diserahkan kepada ahlinya untuk meneliti tentang keberadaan surat tersebut. Peristiwa tersebut perlu diungkap kepermukaan agar masyarakat tahu yang sesungguhnya yang terjadi. Dengan kata lain dengan pengungkapan tersebut semua wacana yang menyangsikan keberadaan surat tersebut dapat terungkap apakah benar ada atau tidak.

Dalam pengungkapan tabir Supersemar tersebut para sejarawan haruslah punya “otonomi”, terutama para sejarawan yang akan menelitinya. Tidak ada hal namanya intervensi terutama dari pemerintah untuk membenarkan atau sebaliknya dari pristiwa sejarah tersebut. Semuanya haruslah sesuai dengan bukti dilapangan, tidak dikurangi atau dilebihkan. Walaupun dalam sejarah perlu adanya interpretasi sejarawan, namun hal tersebut tidak terlepas dari bukti atau sumber yang ada. Suatu tantangan nampaknya untuk mengungkapkan hal tersebut, kemungkinan besar berbagai macam intervensi akan datang namun kalau mau menegakkan serta membuat pristiwa sejarah tersebut sebagai sebuah pristiwa yang benar maka seharusnya intervensi tersebut harus diabaikan. Sehingga akan menghasilkan karya sejarah yang mengungkapkan pristiwa sejarah seperti pristiwa Supersemar yang benar-benar sesuai dengan kejadian tanpa ada tendensi lainnya.

Akhirnya untuk menyelesaikan benang yang kusut yakni masalah Supersemar para sejarawan dituntut untuk kerja yang ekstra keras untuk mengungkapkan semuanya itu. Siapa lagi kalau bukan sejarawan yang akan melaksanakannya. Karena  para sejarawan yang memang ahlinya yang akan meneliti dan mengungkapkan kembali  sejarah lahirnya Supersemar yang sebenar-benarnya. Mudah-mudahan menjadi suatu kenyataan.

Penulis. Undri (Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat dan Sekretaris Masyarakat Sejarawa Indonesia (MSI) Cabang Sumatera Barat)

Tulisan di terbitkan di Harian Umum Padang Ekspres (Jawa Pos Group), Senin 12 Maret 2018.