Meneroka dan Konflik: Orang Jawa di Tanjung Pati (1)

0
1708

Penulis: Zusneli Zubir

Menelusuri daerah Tanjung Pati Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat yang kini kian padat, akan berbeda situasinya pada lima puluh enam tahun silam. Kondisi dulu dan kini jelas berbeda. Dulu, Tanjung Pati hanyalah hutan belantara dengan jalan yang bisa dilalui kendaraan kecil saja. Kini, tentu kawasan padat penduduk itu selalu ramai dilalui kendaraan yang menuju dan keluar Payakumbuh.

Peristiwa pergolakan, atau yang dikenal dalam ingatan orang Minangkabau sebagai Peri-peri (PRRI-Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) merupakan awal dari migrasi lokal orang Jawa dari Halaban dan sekitarnya membuka lahan baru. Pada tahun 1958, seiring memuncaknya konflik antara pemerintah pusat dengan Dewan Banteng, telah berdampak luas terhadap orang Jawa di Sumatera Barat. Sebagaimana di Halaban, para buruh pemetik teh asal Jawa, mulai merasakan intimidasi dan ancaman pembunuhan dari orang-orang pro PRRI.

Pada tahun 1960, sembilan kepala keluarga eks buruh Halaban yang merasa terancam jiwanya, memutuskan untuk eksodus ke daerah yang lebih aman dan belum dikuasai tentara APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Mereka kemudian meneroka lahan yang masih berupa hutan rawa, terutama di Anak Kubang dan Sarilamak.

Di pengujung 1960, Bupati Kepala Daerah 50 Kota Inspektur Polisi S.M. Djoko–yang menggantikan posisi Bupati Darwis–berupaya untuk memindahkan orang Jawa ke permukiman yang masih kosong. S.M Djoko kemudian memilih Nagari Sarilamak sebagai tujuan transmigrasi lokal 40 KK orang Jawa.

Berdirinya Jorong Purwajaya mengisahkan, awal peruntukkan tanah untuk transmigran asal Halaban bermula dari pertemuan Amat Salem yang bermukim di Parak Getah Payakumbuh dengan S.M Djoko. Ia menawarkan untuk eks buruh Halaban yang menganggur dua lokasi tanah, yakni di Padang Semut dan Anak Kubang Sarilamak. Dan, Amat pun memilih lokasi di Anak Kubang.

Tanah yang diperuntukkan untuk transmigran itu, bermula dari putusan Kerapatan Nagari Sarilamak dalam Surat No.8/SLM/1961, yang menyerahkan tanah nagari seluas 400 Ha. Tidak ada keterangan khusus, sebab-sebab mudahnya petinggi Nagari Sarilamak menyerahkan tanahnya secara sukarela kepada S.M Djoko, apakah karena terkait motif politik, atau keamanan. Dalam versi Berdirinya Jorong Purwajaya, dikisahkan sebagai berikut.

…, setelah menunggu beberapa bulan dapat persetujuan dari KAN Sarilamak dan KAN Tigo Batur Padang Barangan, bahwa kedua KAN mengadakan rapat di nagari masing-masing terdapat kesepa-katan tentang Nagari Sarilamak dan Tigo Batur Padang Barangan sepakat ditunjuk sebagai lokasi transmigrasi lokal. Maka beberapa bulan berselang, pengurus KAN dan ninik mamak Sarilamak de-ngan sukarela menghibahkan tanahnya kepada Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, kemudian diikuti KAN dan ninik mamak nagari Tigo Batur Padang Barangan (Tim Penulis Buku Sejarah Berdirinya Jorong Purwajaya, 2017: 4).

Gambar 1 Surat Bupati Kepala Daerah 50 Kota  No.HB/520/2/61 tanggal 3 Agustus 1961, untuk Kepala Jawatan Agraria Daerah 50 Kota.

Sumber:     Koleksi Kantor Jorong Purwajaya Nagari Sarilamak Kabupaten Limapuluh Kota.

Untuk menindaklanjuti pemindahan eks buruh kebun teh Halaban, SM. Djoko segera segera menyurati Kepala Jawatan Agraria Daerah 50 Kota. Dalam suratnya S.M Djoko menulis, bahwa pemerintah memperoleh tanah seluas 400 Ha atas kebulatan Kerapatan Adat Nagari tanggal 12 Juni 1961 (Surat No.8/SLM/1961 tentang kebulatan Kerapatan Adat Nagari Sarilamak menyerahkan tanah seluas 400 Ha.)

Adapun lahan yang diserahkan terdiri dari tanah kering dan basah yang dimanfaatkan transmigran lokal. Untuk menempati areal seluas 400 Ha, S.M Djoko menulis dibutuhkan sekitar 200 keluarga, atau setara dengan 1050 jiwa. Selain itu, SM. Djoko juga memberi penekanan dalam suratnya: (1). Para transmigran tersebut terdiri dari bekas pekerja kebun teh Halaban yang sedang menganggur.  (2). Bersama ini dikirim kepada saudara 1 helai salinan dari Kebulatan Kerapatan Negeri Sarilamak tersebut di atas, serta 1 helai peta ringkas dari tanah yang diserahkan itu, dan (3). Sekarang para transmigran itu telah merambah/membersihkan tanah tersebut, dan dimaksudkan dalam waktu yang singkat dapat didirikan perumahan (pondok2) bagi mereka (Surat Bupati Kepala Daerah 50 Kota  No.HB/520/2/61 tanggal 3 Agustus 1961, untuk Kepala Jawatan Agraria Daerah 50 Kota).

Transmigran lokal yang dimaksud S.M Djoko, dijelaskan lebih lanjut dalam suratnya, bahwa mereka terdiri dari eks buruh kebun teh Halaban yang sedang menganggur. Mereka yang akan dipindahkan, nantinya meneroka daerah yang masih berbentuk hutan, untuk dibersihkan dan dijadikan areal permukiman dan pertanian. Di samping itu, untuk menyokong produktivitas peneroka selama mem-bersihkan lahan, S.M Djoko meminta bawahannya untuk membantu kebutuhan pangan. Bersambung. [Penulis adalah Peneliti Madya di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 3 Maret 2019