Memaknai Perhelatan*

0
782
Rismadona

Penulis : Rismadona, Peneliti pada BPNB Sumatera Barat

Jamak kita jumpai terutama di perkotaan, melaksanakan perhelatan bukan lagi di rumah para mempelai tapi dilakukan mulai dari gedung biasa, gedung mewah dan supermewah. Berbagai fenomena unik dan menarik sering kita jumpai dalam perihal perhelatan itu sendiri, seperti perihal tamu. Tamu merupakan raja bagi tuan rumah yang pernah didengungkan oleh tetua-tetua terdahulu dan menjadi tradisi bagi masyarakat untuk memuliakan tamu saat datang kerumah kita. Kadang kala, si punya perhelatan tidak lagi merajakan tamu sehingga interaksi yang dilakukan setoran dan salaman. Bahkan lebih sedihnya lagi, undangan memberikan selamat  kepada sang pengantin, orang tua pengantin sibuk bukan lagi meladani tamu tapi ikut duduk bersanding dan berfoto narsis. Apa kata dunia, orang tua dianggap tak pernah merasa bahagia semasa mudanya atau istilah orang minang kebudan-budanan. Perilaku pengantin saat bersanding masih juga  sibuk chating untuk WA, Facebook tanpa menghiraukan para tamu yang memberikan selamat atas pernikahannya. Kita tidak bisa marah, bagaimana menyalahkan anak, orang tuanya juga demikian tidak mengenal sopan santun dan tata krama dalam berhubungan dengan masyarakat, anak kencing berdiri, guru kencing berlari-lari. Sebuah petatah petitih yang menjelaskan fenomena lingkungan yang telah membentuk perilaku anak tersebut, terutama adopsi tata krama dilakukan oleh orang tua dalam keluarganya.

Hal tersebut tidak terlepas bahwa persoalan wujud kebudayaan itu sendiri. Wujud kebudayaan berupa nilai-nilai yang dianggap sakral dalam kehidupan masyarakat memiliki pergeseran akibat perkembangan ilmu pengetahuan. Biasanya baralek dilakukan di rumah para mempelai dengan jamuan hidangan dan tata sapaan yang hangat terjalin antar individu itu sendiri dalam berinteraksi satu sama lain.

Berbeda dengan perhelatan yang dilakukan pada masyarakat kampung dengan rumahnya yang sederhana. Masyarakat kampung walau telah mengenal  teknologi, namun belum begitu terjamah oleh perilaku hidup perkotaan. Budaya solidaritas masih bertahan, hubungan interaksi masih berlangsung, tamu menjadi raja bagi tuan rumahnya sendiri, begitu tamu datang disambut dengan hangat, dipersilahkan masuk, dipersilahkan makan, dicarikan tempat duduk, jika sudah penuh maka tuan rumah tadi menyampaikan pesan, maaf bapak, ibuk, kursi sudah penuh, bersabar sebentar. Ucapan tersebut memberikan perhatian kepada para undangan bahwa mereka datang dihargai oleh tuan rumah itu sendiri, sehingga ada kesimbangan perilaku yang diharapkan berupa setoran atau kado dengan pelayanan terhadap tamu tersebut. Masyarakat kampung merasa malu apabila tamu-tamunya tidak bisa dilayani sepenuhnya oleh tuan rumah itu sendiri.

Walaupun hal yang demikian, sebuah fenomena terbaru saat perhelatan dilakukan dikampung-kampung, pola individualistis sedang berkembang pada saat ini. Kadangkala kita bertanya mana tuan rumahnya, si pangka, dimana tempat duduk para undangan dan sampah yang berserakan serta sisa hidangan yang masih terdapat di meja makan, sehingga merusak pemandangan mata. Kontrol dalam pelaku-pelaku pemilik perhelatan itu sendiri tidak lagi berfungsi karena semuanya dipercayai kepada pemilik catering. Prinsip interaksi  tersebut siapa lu siapa gua – istilah orang sekarang sehingga tamu bukan lagi raja dalam kehidupan masyarakat, tapi sebagai orang-orang pemberi setoran tanpa dipedulikan apakah sudah makan atau belum, apa kenyang atau tidak.

Tradisi kapitalis telah menggerogoti budaya masyarakat yang kian lama dipertahankan, karena orang melihat interaksi tersebut bersifat finansial  dan materi saja sehingga melalaikan budaya leluhur yang pernah bertahan dengan sopan santun dan tata krama. Perihal ini haruslah kita buang jauh-jauh dan jadikanlah budaya luhur kita sebagai peganggan hidup dalam kehidupan ini.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, Rubrik Bendang pada 9 April 2017