Pewarisan Keterampilan Tradisi*

0
2231
Rismadona

Penulis : Rismadona, peneliti pada BPNB Sumatera Barat

Merajut kenangan masa lalu, ajaran orang tua pada tahun 60-80 an terhadap anak-anaknya, masih terngiang dalam telinga si penulis sendiri, bahwa muara akhir dalam hidup manusia adalah perkawinan. Untuk menuju pada arah perkawinan tersebut, maka si anak dibekali dari sejak dini, yaitu bagi seorang perempuan ia akan menjadi ibu bagi anak-anaknya dan istri bagi suaminya serta menantu bagi mertuanya.

Ajaran tersebut diwarisi oleh orang tua kepada anaknya secara turun temurun. Orang tua selalu memberikan nasehat kepada anaknya  “ indak kabalaki kau, apo nan bisa kau banggakan,  nan laki-laki batanyo lai pandai  memasak calonnyo dan dari pado habih hari dek maota, ota lapeh juo karajo salasai juo, menyulam bisa manambah balanjo harian”. Pertanyaan  dan saran tersebut mungkin masih berkembang pada era 90-an ke bawah, bahwa pasangan hidup ideal tersebut bisa memasak. Namun sesuai dengan perkembangan saat ini, memasak bukan lagi pilihan nomor satu dalam menentukan jodohnya, karena inti dari pertanyaan, sampai di ma sekolah e, apo karajo e.  Pewarisan keterampilan tradisi sebagai modal dasar untuk mata pencaharian yang diturunkan oleh orang tua dalam menopang hidup di masa depan boleh dinyatakan diambang kepunahan, karena tradisi tersebut baik penanaman nilai dalam keterampilan tradisi tidak terdengar lagi untuk ditanamkan kepada generasinya akibat perubahan zaman. Realita ini tak bisa dipungkuri, perkembangan zaman tidak bisa terhindarkan akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi dalam atau mencakup sistem sosial. Perubahan sosial itu sendiri sebagai variasi atau modifikasi  dalam setiap aspek perubahan sosial dan bentuk-bentuk sosial serta setiap modifikasi pola antar hubungan  yang mapan dan standar perilaku.

Beranjak dari ajaran orang tua terdahulu, yang merupakan tradisi turun temurun mulai stagnan pada generasi 2000-an, akibat perkembangan ilmu pengetahuan dengan peningkatan tingkat pendidikan pada sekolah formal. Tradisi memasak atau menyulam atau menenun  kepada anak tidak bisa tersalurkan sepenuhnya akibat pendidikan formal dengan waktu belajar dari 07.15 wib sampai 14.00 sore, dan 14.00-18.00 sore melakukan  lest privat mata pelajaran di luar sekolahnya sehungga si anak tidak memiliki kesempatan untuk belajar pada orang tua dari pengalaman keterampilan yang dimiliki oleh orang tua tersebut.

Namun tanpa disadari oleh generasi yang berpendidikan tinggi, keterampilan orang tuanya sebagaian dari orang tua yang memliki keterampilan  tersebut mampu membiayai pendidikan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Berbanding terbalik dengan generasi berpendidikan tinggi yang mengandalkan kemampuan intelektual belum tentu mampu menyumbangkan atau membayar keringat orang tuanya dari pencapaian pendidikan tersebut karena tingkat persaingan kerja yang sangat tinggi dan kesempatan yang sangat minim sehingga begitu banyak pengangguran tingkat tinggi yang sedang terjadi saat ini.

Bisa kita saksikan dan kita amati seksama, orang tua kita belajar sebagai juru masak bukan pada pendidikan formal, tapi belajar dari orang tuanya dengan membantunya di dapur dan memperhatikan proses kerjanya, maka pada saat ini ia bisa mendirikan sebuah restoran masakan padang. Begitu juga orang tua memliki keterampilan menyulam, menjahit dan menenun yang diperoleh secara turun temurun tanpa pendidikan sekolah kejuruan, ia mampu menciptakan rasa seni keindahan sulaman, tenunan yang bernilai tinggi secara finansial, semua itu didapati melalui pewarisan yang dilakukan secara belajar dan aplikasi secara informal

Pada saat ini, menjawab pertanyaan siapa lagi pewaris keterampilan tradisi sebagai potensi dan kekayaan daerah ataukah dibiarkan hilang di telan zaman. Keterampilan tradisi akan mampu menciptakan lapangan kerja, tanpa harus melalui pendidikan formal yang tinggi dengan biaya yang besar. Semua itu terhalang oleh minat generasi terhadap keterampilan tradisi bukan lagi jargon atau  idola pada saat ini ditambah lagi waktu transformasi keterampilan tradisi tidak memberikan kesempatan bagi generasi untuk mengenal keterampilan leluhurnya yang masih dipegang oleh orang tua yang bersangkutan.

Bukan saatnya memanggakan egosentrisme tentang aktualitas dan intelektualitas secara akademik di tengah perkembangan zaman, karena kita butuh hidup, butuh uang, maka akhir dari pencapaian dari intelektualitas akademik adalah bermuara dengan pendapatan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Banyak orang yang tidak berpendidikan tinggi tapi ia mampu menjadi miliader dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya sehingga statusnya dalam masyarakat menjadi kelompok berkelas. Apalagi keterampilan tradisi tadi disokong oleh kemampuan pendidikan pada tingkat pengembangan, misalnya menjadi desainer tenunan berkelas, manejer pemasaran tenunan berkualitas. Keterampilan tradisi tersebut yang dimiliki dalam keluarga merupakan modal maha karya yang ternilai untuk ditranformasikan pada generasinya.

Lalu bagaimana dengan pemerintahan untuk menggalakkan kembali keterampilan tradisi tersebut menjadi jargon untuk generasi. Belajar tidak beranjak dari pengalaman. Pengalaman adalah guru yang maha besar dalam menentukan kehidupan kedepannya. Sementara potensi menggali pengalaman tersebut terhalang waktu dengan pendidikan formal tak mengenal batas waktu bagi anak-anak sehinga kesempatan membantu orang tua dalam mengolah keterampilan tradisi tidak ada lagi, sementara pendidikan akademik tidak begitu menjanjikan masa depan yang dapat menghasilkan pendapatan dalam peningkatan kualitas hidup.

Sunguh sangat beruntung anak-anak yang memiliki orang tuanya memiliki modal dasar berupa keterampilan tradisi dan lahan persawahan karena akan menjadi sumber matapencaharian yang bergengsi apabila dikelola dengan baik berupa pandai menjahit, pandai memasak, pandai menenun, pandai menyulam, memiliki lahan persawahan. Hal  itu modal dasar tersebut  untuk mereka bertahan hidup yang tak dimiliki oleh anak-anak lain sebagai lapangan kerja yang bisa menjanjikan sebagai wirausahawan-wirausahawati. Mereka tidak perlu membayar lest private, cukup memperhatikan dan membantu orang tuanya untuk pekerjaan tersebut. Hanya saja perlu perhatian pemerintah melalui kesempatan anak untuk kembali belajar pada orang tuanya untuk belajar pengalaman. Dengan demikian, si anak telah memiliki modal dasar untuk bertahan hidup, maka kesarjanaannya akan bisa menopang modal dasar keterampilan tersebut, jika ia memiliki lahan pertanian, maka ia menjadi sarjana pertanian, maka ia bukan saja sebagai petani biasa, tapi petani luar biasa, dengan aplikasi ilmu pengetahuan yang ia dapati diperguruan tinggi dapat ia kembangkan menjadi produksi pertanian yang berkualitas dan bernilai tinggi secara finansial, begitu juga seorang peternak, biasanya hidupnya sebagai pengembala sapi, dengan kesarjanaannya ia menjadi pengusaha sapi yang bisa diekspor ke luar negeri. Kemudian penenun yang biasanya jadi pekerjanya, maka si anak dengan kesarjanaannya ia mampu mejadi ahli pemasaran usaha ibu bapaknya yang telah ia tekuni selama ini.

Kita bisa melihat, tingkat pengangguran yang tinggi itu dimiliki oleh pemilik sertifikat atau piagam kesarjanaan dibandingkan mereka berpendidikan non perguruan tinggi. Mereka bekerja gesit dan tidak malu dengan pendidikan yang didapatinya, apa saja ia lakukan demi kebutuhan hidupnya sehinga dengan kegigihannya ia berhasil menjadi orang  yang dianggap sukses dalam masyarakat tersebut.

Nah, sekarang ini, keterampilan tradisi yang ada dalam keluarga tersebut sedang dilengahkan, karena dianggap bukan jargon, tak kenamaan. Apa yang salah dengan saat sekarang ini? apakah generasi muda yang cuek, atau orang tua yang kikir dengan  transpormasi keterampilannya, atau pemerintahan yang mengukung mereka untuk mendapatkan pendidikan akademik sehingga mengabaikan belajar pengalaman bersama orang tua dengan memburu kuantitas harga pendidikan itu sendiri tanpa memperhatikan kualitas dari pendidikan yang bermuara dapat meningkatan pendapatan masyarakat sehingga tingkat kesejahteraan dapat dicapai. Walau kita tahu perubahan sosial itu tidak bisa terhindarkan melalui peningkatan pendidikan secara akedemik namun perubahan tersebut mampulah untuk perbaikan ekonomi masyarakat melalui kualitas dari para pemburu gelar kesarjanaan sehingga tingkat pengangguran bisa ditekan.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, rubrik Bendang pada 4 Juni 2017