PPKD, “Titik Awal atau Pengulangan Sejarah”?

0
1261

Pasca lahirnya undang – undang pemajuan kebudayaan No 5 tahun 2017, Kebudayaan mulai mendapatkan prosi lebih dalam kerangka berbangsa dan negara. Pasca lahirnya undang – undang tersebut pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan merencanakan pada pertengahan tahun 2019 Indonesia sudah punya Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan, yang akan digunakan untuk menyusun RPJMN kebudayaan tahun 2020-2024.

Kehadiran undang – undang pemajuan kebudayaan seharusnya mendorong Pemerintah daerah untuk memanfaatkan kehadiran undang – undang tersebut demi memajukan budaya daerah mereka. Kebudayaan dan kearifan lokal setiap daerah didorong untuk dapat dikembangkan sehingga menjadi haluan pembangunan nasional. Sebagai bangsa kita menyadari untuk menyaingi negara-negara lain dalam hal teknologi sangatlah sulit bahkan kita harus akui sebagai bangsa kita sudah sangat jauh tertinggal. Solusinya yang mungkin ditonjolkan adalah kekayaan budaya dan  kearifan lokal sehingga bisa menjadikan bangsa ini diperhatikan oleh dunia.

Besarnya tanggungjawab yang diamanatkan dalam undang – undang menyebabkan Direktorat Jenderal Kebudayaan sebagai ledding sektor utama dalam melaksanakan undang – undang pemajuan kebudayaan melakukan peran aktif untuk mengwujudkan itu.  secara masif  Direktorat Jenderal kebudayaan  dari satu propinsi ke propinsi  mensosialisasikan tentang undang – undang pemajuan kebudayaan dan mendorong setiap kabupaten dan kota agar segara menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).

Baca juga: PPKD dan komitmen Pemerintah Daerah

Dalam konteks Sumatera Barat, kegiatan sosialisi tentang PPKD dilaksanakan pada bulan mei 2018. Kegiatan ini mengundang seluruh Bupati/walikota, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Kepala Bidang Kebudayaan dari kabupaten dan kota agar menghadiri kegiatan tersebut. Inti kegiatan ini adalah mensosialisasikan bahwa saat ini telah ada kebijakan baru tentang pengelolaan kebudayaan di Indonesia.

Pasca sosialisasi dan pertemuan tersebut ada beberapa kabupaten dan kota terlibat aktif dalam penyusunan PPKD tersebut, bahkan beberapa kabupaten kota secara aktif  melibatkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat sebagai unit pelaksana teknis direktorat Jenderal Kebudayaan dalam menyusun PPKD daerah mereka.  Setelah mengalami penundaan beberapa kali akhirnya awal september 2018,  seluruh kabupaten dan kota harus menyerahkan PPKD ke tingkat propinsi.

Tahapan selanjutnya adalah propinsi mengkompilasi seluruh PPKD dari kabupaten dan kota untuk dijadikan PPKD propinsi. Menurut rencana hasil PPKD dari 34 propinsi di Indonesia akan dibahas dalam acara kongres kebudayaan tahun 2018. Hasil kongres kebudayaan ini yang harapkan akan menjadi strategi kebudayaan untuk pemajuan kebudayaan indonesia.

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah PPKD efektif untuk menjadikan kebudayaan sebagai media bangsa Indonesia untuk bersaingan dan menunjukan eksitensi di tengah percaturan dunia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh wakil ketua komisi X Ferdiansyah, dalam focus group discussion Menuju Simposium Kebudayaan. Beliau berharap kekayaan budaya dan kearifan lokal yang kita miliki bisa membuat bangsa ini sejajar dengan bangsa asing sebab dari aspek teknologi indonesia telah jauh tertinggal.

Namun kehadiran PPKD yang bermuara pada lahirnya strategi kebudayaan yang akhirnya akan menghasilkan  RPJMN untuk tahun 2020 – 2024 diharapkan akan mengatarkan bangsa ini pada cita – cita luhur yaitu seluruh kekayaan budaya bisa dikembangkan dan dipertahankan.

Di sisi lain penelitian yang dilakukan Tod Jones yang dituangkan dalam tulisannya yang berjudul Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia “ kebijakan budaya selama abad ke 20 hingga era reformasi yang terbit pada tahun 2015. Tulisan ini dengan jelas memberikan gambaran bagaimana  Kebudayaan dan kekuasaan selalu mempunyai hubungan yang khas. Kebudayaan yang lahir dari rahim masyarakat selalu mempunyai peluang untuk digunakan sebagai alat legitimasi oleh pemegang kekuasaan. Rezim penguasa selalu menjadikan kebudayaan sebagai objek yang harus dikendalikan dan selanjutnya digunakan sebagai alat untuk membentuk wacana dan kemudian melanggengkan kekuasaannya.

Prilaku yang disampaikan oleh  Tod Jones telah berlangsung dari zaman penjajahan sampai dengan orde baru. Setiap penguasa telah menjadikan kebudayaan sebagai bagian dari untuk mempertahankan kekuasaan.  Di  era reformasi terjadi perubahan hal itu tergambar dari kebijakan pemerintah memisahkan kebudayaan dengan pendidikan dan mengabungkan dengan departemen Pariwisata. Hal ini memperlihatkan bahwa perspektif penguasa hanya memahami kebudayaan sebagai objek yang bisa dijual.

Tahun 2012, pemerintah Soesilo Bambang Yudhyono (SBY) kembali mengabungkan pendidikan dan kebudayaan. Hal ini kembali mengambarkan bahwa kebudayaan merupakan bagian yang tidak terpisah dari dunia pendidikan yang mengharuskan terjadi proses pewarisan dan keberlanjutan dari satu generasi ke generasi.

Undang –undang pemajuan kebudayaan nomor 5 tahun 2017 yang mendorong lahirnya  strategi kebudayaan. Untuk menyusun itu diharuskan setiap daerah harus menyusun PPKD kabupaten / kota kemudian dilanjutkan dengan PPKD propinsi   yang diharapkan menjadi titik awal dari bagaiaman kekayaan budaya yang dimiliki oleh setiap etnis, suku bangsa, agama dan daerah mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.

Perhatian ini tentu saja bukan dalam aspek wacana, namun tertuang dalam praktek politik anggaran mulai dari tingkat pusat sampai ke kabupaten dan kota. Sebagai pemilik kebudayaan, masyarakat tentu berharap bahwa PPKD titik awal dari bangkitnya kecintaan dan kepedulian seluruh elemen bangsa terhadap kekayaan budaya dan kearifanlokal yang dimiliki sebagai aset yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber ekonomi.

Masyarakat tentu tidak mengingatkan PPKD adalah bagaian dari strategi penguasa sebagaimana yang diungkapkan oleh Tod Jones dalam tulisannya. Sebagai pemilik kebudaayan  semua elemen bangsa ini berharap bahwa PPKD adalah titik awal dari munculnya cara dan metode baru dalam mengelola, mengembangkan dan mempertahankan kekayaaan budaya dan kearifanlokal yang dimiliki.

Penulis: Efrianto A, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang pada 30 September 2018