Upacara Bekeu Malekbuk: Nilai-Nilai Budaya dalam Pengadilan Tradisional

0
2471
bunga Hibiscus

Penulis: Mardoni

Bunga ibiscus, begitulah masyarakat Mentawai menamakannya. Dari berbagai sumber bunga ini bernama Hibiscus (kembang sepatu). Bunga ini memiliki klasifikasi ilmiah Kingdom : Plantae (Tumbuhan), Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh), Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji), Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga), Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Magnoliopsida, Sub Kelas : Dilleniidae, Ordo : Malvales, Famili : Malvaceae (suku kapas-kapasan), Genus : Hibiscus
Spesies : Hibiscus rosa-sinensis.

Hebatnya, didaerah pedalaman Desa Madobag Pulau Siberut Selatan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, bunga ini dipakai untuk mencari pencuri. Di berbagai masyarakat lain di Sumatera Barat, bunga ini dijadikan sebagai pengobatan tradisional, baik daun atau bunganya. Dengan cara dihaluskan dan dioleskan pada dada atau punggung si sakit. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia bunga ini dijadikan teh, dengan cara dikeringkan. Di India, bunga ini digunakan untuk menyemir sepatu, sedangkan sebagian masyarakat di Tiongkok bunga hibiscus merah digunakan sebagai bahan pewarna makanan alami. Di pedalaman mentawai bunga ini digunakan untuk upacara bekeu malekbuk

Masyarakat pedalaman di daerah Desa Madobag pedalaman Pulau Siberut Selatan Kepulauan Mentawai Sumatera Barat mencari pencuri atau orang yang melakukan kejahatan (kecil) melalui upacara tradisinal bekeu malekbuk. Upacara bekeu malekbuk adalah pengadilan masyarakat adat terhadap kejahatan kecil. Pengadilan ini ada dan hanya digunakan untuk kejahatan kecil dan bukan merupakan kriminal berat..

Pengadilan ini merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat Mantawai dalam hal pelaksanaan hukum adat terhadap masyarakat yang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap norma di daerahnya. Pengadilan ini dipimpin oleh seorang Sikerei sebagai wali hakim. Sikerei merupakan pemimpin adat dalam masyarakat Mentawai. Kasus yang sering dipecahkan dalam pengadilan ini adalah pencurian, dan kasus-kasus lainnya yang bersifat kejahatan kecil. Kalau terjadi pencurian kecil, sebut saja mencuri makanan, maka kasusnya diselesaikan oleh Sikerei dengan melakukan upacara bekeu malekbuk. Upacara dilaksanakan dengan mengunakan bunga ibiscus. Bunga dipakai sebagai alat untuk mengarahkan siapa pencurinya. Pemilihan bunga ini untuk memudahkan dalam melakukan upacara, dan bunga ini tumbuh subur di perkampungannya.

Tata cara pelaksaan upacara bekeu malekbuk adalah dengan mengumpulkan orang-orang yang dicurigai sebagai pelaku. Mereka disuruh duduk berkeliling menghadapi sebuah wadah yang berisi air. Didalamnya diapungkan bunga ibiscus (warnanya tidak jadi ukuran) dengan tangkainya yang pendek. Bunga didorong oleh Sikerei dengan mencelupkan jari telunjuk ke cawan dan airnya diputar searah jarum Jam, sehingga bunga berputar mengitari orang-orang yang duduk berkeliling tadi.

Kemudian sekali lagi sambil menyuruh bunga untuk mencari siapa yang bersalah atau yang mencuri. Bila usaha yang dilakukan untuk memutarkan bunga sudah mencapai tiga kali dan bunga selalu berhenti pada orang yang sama, maka orang itulah yang dianggap sebagai pencurinya. Tetapi kalau bunga itu tidak berhenti pada orang yang sama, hal semacam ini disebut sengan Taiteukenia, artinya bunga enggan disuruh atau tidak mau menunjukkan pencurinya.

Sekarang sebutlah, bunga itu telah menunjukkan seseorang sebagai pelakunya. Maka semua orang akan arif dan diam-diam bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan tempat tersebut dengan aman dan tertib. Semua orang tidak boleh memberikan komentar apapun karena tidak sopan dan tidak mematuhi tata upacara. Orang yang tertuduh kalau benar-benar pencurinya, akan berusaha mengembalikan barang curian tersebut dengan diam-diam pada malam hari agar tidak diketahui orang lain. (Data ini diperoleh dari laporan pencatatan Warisan Budaya Tak Benda di Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2013 oleh BPNB Sumatera Barat).

Upacara adat ini masih bertahan dan dijalankan oleh masyarakat adat di Desa Madobag Mentawai sampai saat ini. Pengadilan tradisional ini sangat sederhana. Kesederhanaan ini masih dihormati oleh masyarakatnya sebagai milik dan kekayaan pengetahuan lokalnya. Terdapat banyak nilai-nilai budaya yang masih dipertahankan dalam upacara ini oleh Masyarakat Madobog.

Pertama, nilai menjaga alam. Tidak hanya menebang hutan, mengotori air juga merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dibenarkan, bahkan bisa mendatangkan hukuman berupa denda adat. Denda itu setara dengan seekor babi, yang termasuk harta berharga bagi masyarakat Mentawai. Di sungai, buang air kecil saja dilarang, apalagi buang air besar, sangat tidak diperbolehkan karena air adalah sumber kehidupan. Dengan demikian, kelestarian hutan dan air di Mentawai tetap terjaga. Begitu selektif mereka terhadap alam dan lingkungannya.

Kedua, nilai praduga tidak bersalah dalam hukum, dalam hukum formal dikenal dengan azas praduga tak bersalah. Hukum adat mentawai juga mengenal azas tersebut. Penerapan nilai ini dilakukan pada saat pemanggilan individu yang diduga bersalah. Mereka dikumpulkan dan dihadapkan dalam pengadilan adatnya.

Ketiga, nilai kesadaran hukum. Kesadaran akan hukum bagi mereka sangatlah mulia. Mereka menghormati dan menghargai orang yang ditetapkan sebagai bersalah. Semua orang yang hadir dalam pengadilan tersebut tidak memberikan komentar apa-apa ketika seseorang diberi sanksi hukum. Komentar terhadap orang yang bersalah dianggap sebagai perilaku yang tidak sopan dan tidak mematuhi tata upacara adat ini.

Keempat, nilai kepastian hukum. Kepastian terhadap hukum perlu dipertegas dalam kehidupan bermasyrakat. Nilai kepastian hukum ini diperoleh oleh masyarakat dengan pengadilan adat bekeu malekbuk. Orang yang sudah ditetapkan bersalah dalam pengadilan ini, dengan sadar akan melakukan sanksi adat yang ditetapkan. Jika dia mencuri, maka ia akan berusaha untuk mengembalikan barang yang diambilnya dengan cara diam-diam pada malam hari agar tidak diketahui oleh orang lain.

Nilai-nilai ini masih dijalankan dan dipelihara oleh masyarakat adat Mentawai dengan mengutamakan prinsip-prinsip nilai diatas [Penulis adalah Staf Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

bunga Hibiscus

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 21 April 2019