You are currently viewing TRADISI PEMBUATAN TAU-TAU YANG TERLUPAKAN

TRADISI PEMBUATAN TAU-TAU YANG TERLUPAKAN

Di era globalisasi saat ini, perkembangan suatu wilayah telah mengalami kemajuan. Terlihat dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, transportasi, bahkan budaya. Akibat dari globalisasi tersebut menimbulkan dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya, yaitu teknologi yang semakin canggih,  kemajuan alat transportasi dan ilmu pengetahuan lebih luas. Adapun sisi negatifnya, banyak budaya baru yang mempengaruhi budaya lama. Rasa cinta terhadap budaya sendiri semakin berkurang, terlalu banyak kehidupan asing yang mempengaruhi. Nilai adat istiadat semakin ditinggalkan oleh masyarakat karena dianggap tidak sesuai perkembangan zaman dan digantikan dengan nilai kebudayaan modern.

Dampak perubahan budaya yang terjadi di sebuah masyarakat tertutup menjadikan masyarakatnya lebih terbuka, nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma sosial merupakan salah satu dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah pola pikir masyarakat secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi telah menghilangkan batas-batas budaya. Namun tak sedikit pula budaya yang masih mempertahankan budaya leluhurnya meskipun telah bercampur dengan budaya baru.

Mempertahankan budaya leluhur dengan mengadopsi pola perilaku jika dirasa lebih baik akan mengajarkan kita untuk mempertahankan jati diri, dengan tidak menutup diri untuk perubahan yang lebih baik. Salah satu daerah yang masih mempertahankan nilai leluhur mereka adalah Toraja. Nilai leluhurnya terangkum dalam ajaran atau kepercayaan Aluk Todolo. Dalam ajarannya hidup di dunia hanya sementara, kelak manusia akan mendapat kehidupan yang kekal setelah mati, biasa disebut puye (Tangdilintin dalam Syahril 2016 : 2).

Nilai leluhur yang dianut seperti pembuatan tau-tau bagi orang yang telah meninggal masih dilakukan hingga saat ini berdasarkan ajaran Aluk Todolo. Namun rangkaian kegiatan dalam pembuatannya tidak sama seperti yang dulu. Nilai sakralnya telah tergerus oleh budaya-budaya baru yang semakin berkembang.

Pembuatan tau-tau merupakan salah satu hasil budaya megalitik yang berkembang di Toraja dan menjadi salah satu rangkaian dalam acara Rambu Solo’. Rambu Solo’ merupakan upacara kematian dan pemakaman di Toraja dengan menggunakan hewan sebagai persembahan yang dilakukan berdasarkan kepercayaan yang mereka anut (Sitonda, 2005: 56). Sedangkan prosesi pembuatan tau-tau merupakan salah satu hal yang penting dilakukan ketika melakukan upacara kematian.

Tau-tau merupakan perwujudan dari orang yang meninggal dengan cara dibuatkan patung menyerupai orang tersebut. Pembuatan tau-tau melalui proses yang panjang sehingga membutuhkan waktu lama yang disertai ritual-ritual khusus sejak proses awal hingga peletakannya di makam. Kemudian dilantik sebagai personifikasi dari yang meninggal (menggambarkan diri dari si mati), dikenal dalam bahasa Toraja yaitu Massa’ bu tau-tau (Sitonda, 2005:49). Tradisi ini pun diatur dalam Aluk Todolo. Namun saat ini tau-tau sudah mengalami modernitas, baik dari segi wujudnya maupun tradisinya.

Penggunaan tau-tau dalam acara Rambu Solo’ tidak selamanya bisa dilakukan oleh pihak keluarga. Sebab ketika pelaksanaan proses pembuatan tau-tau membutuhkan pengorbanan yang besar, seperti membutuhkan tenaga yang banyak sehingga menggunakan dana yang besar pula. Selain itu, pembuatannya memakan waktu yang cukup lama karena banyak ritual-ritual yang harus dilakukan. Sehingga hanya orang tertentu yang dapat melakukan proses pembuatan tersebut.

Dalam adat Suku Toraja, dikenal empat macam tingkat status sosial (Tangdilintin, 2014: 14), yakni (1) Tana Bulaan atau golongan bangsawan, (2) Tana Bassi atau golongan bangsawan menengah, (3) Tana Karurung atau rakyat biasa dan (4) Tana Kua-Kua atau golongan hamba. Setelah meninggal maka pihak keluarga yang berasal dari kaum bangsawan, diwajibkan untuk membuatkan tau-tau sebagai simbol si mati. Pembuatan tau-tau merupakan simbol penyembahan atau pemujaan pada Aluk Todolo yang tidak dapat dipisahkan, meskipun sudah ada kepercayaan yang mutlak (Datuan dalam Syahril, 2016:).

Pembuatan tau-tau penting artinya bagi kaum bangsawan karena sebagai tolak ukur dari kebangsawanannya. Sebab kegiatan seperti pembuatan tau-tau membutuhkan modal yang besar dan kerja sama antar warganya. Ritual dalam pembuatan tau-tau merupakan bagian yang integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya yang berfungsi sebagai pengokoh norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku dalam masyarakat secara turun temurun. Kepatuhan terhadap aturan-aturan dalam bentuk ritual disertai dengan sanksi yang sifatnya magis (Manyambeang, 1984: 3). Dengan berlangsungnya ritual tersebut dengan norma-norma dan aturan tertentu, maka telah menjadi pranata sosial yang wajib diketahui oleh setiap warga masyarakatnya untuk mengatur sikap dan tingkah lakunya agar tidak melanggar atau menyimpang dari adat kebiasaan.

Sebelum adanya agama yang berkembang, di Toraja telah mengenal kepercayaan yang berasal dari leluhur mereka dengan sebutan Aluk Todolo. Sebagian besar Suku Toraja saat ini masih menganutnya, Aluk Todolo adalah kepercayaan animisme tua yang mendapat pengaruh dari Ajaran Konfusius dan Agama Hindu (Tangdilintin, 2014: 54). Aluk Todolo juga berarti sebagai agama/keyakinan, aturan-aturan atau upacara (Lullulangi dan Onesimus Sampebua, 2007: 17). Jadi, dalam kehidupan masyarakat Toraja jika berbicara mengenai aluk tidak selamanya berarti agama, namun ada kalanya berarti aturan ataupun upacara (Syahril, 2016: 16).

Kepercayaan Aluk Todolo berasal dari suatu kepercayaan yang bersumber dari Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu Pitungpulo pitu. Aturan tersebut telah dianggap mencakup keseluruhan aspek hidup manusia, termasuk dalam hubungannya dengan pemujaan kepada arwah leluhur. Para penganut Aluk Todolo juga percaya adanya kehidupan setelah kematian. Mereka percaya bahwa dunia merupakan tempat sementara bagi arwah orang-orang yang telah meninggal. Selanjutya, arwah dapat keluar dari puya menuju asal nenek moyang manusia, yaitu langit. Penganut Aluk Todolo meyakini bahwa langit merupakan tempat kediaman Puang Matua dan Deata.

Pandangan Suku Toraja mengenai kosmologi dalam Aluk Todolo yang mengatakan bahwa alam raya yang ditempati telah mengenal klasifikasi. Pertama, dikenal adanya Timur dan Barat, Timur adalah Matallo dan Barat adalah Matampu. Matallo adalah tempat terbitnya matahari yang dianggap mewakili kebahagiaan, terang, kesukaan dan sumber kehidupan. Sedangkan Matampu adalah tempatnya terbenam matahari yang dianggap sebagai unsur gelap, kedukaan dan segala sesuatu yang mendatangkan kesusahan.

Klasifikasi Timur-Barat ini membawa konsekuensi dalam kehidupan menyangkut pelaksanaan upacara sebagai perwujudan sistem kepercayaan. Dalam kehidupan Suku Toraja tidak terlepas dari ritual upacara, setiap fase kehidupan senantiasa diikuti dengan upacara. Sama halnya dengan kehidupan yang tidak luput dari suka dan duka, terang dan gelap, senang dan susah, kanan dan kiri, kebahagiaan dan kesusahan dan sebagainya yang diklasifikasikan dengan Timur-Barat.

Saat dewasa ini beberapa ajaran dari kepercayaan Aluk Todolo mengalami perubahan seiring dengan masuknya agama. Ada yang beranggapan bahwa ajaran Aluk Todolo sejalan dengan agama yang mereka yakini, namun tak sedikit pula yang menolak ajaran Aluk Todolo. Beberapa masyarakat masih menjalankan aluk todolonya tetapi mengurangi hal-hal yang tidak sesuai dengan agama yang diyakininya. Demikianlah maka saat ini, hampir semua tau-tau dibuat tidak berdasarkan Aluk dalam artian tidak lagi ada pemujaan dan ritual-ritual. Selain itu, tau-tau tidak lagi dianggap penjelmaan roh si wafat jadi tidak lagi diberi sesajen.

Berbagai perubahan yang terjadi pada tau-tau hingga saat ini, seperti yang telah diuraikan sebelumnya dilatari oleh faktor perubahan keyakinan dan penghayatan terhadap Aluk Todolo. Perubahan tersebut adalah bentuk sinkretisme yang merupakan penyesuaian, perpaduan antara paham ataupun nilai-nilai tradisi lama (Aluk Todolo) dengan tradisi baru agama Kristen, tidak terlepas dari penguatan status sosial yang ingin ditunjukkan oleh kaum bangsawan tinggi Toraja masa kini. Hal ini terutama dilakukan oleh kaum bangsawan tinggi yang tidak ingin “kehilangan” identitas stratifikasi sosial sebagai simbol paling terhormat atau bermartabat dalam masyarakat Toraja hingga saat ini. Karena itu simbol-simbol yang mengarah pada kebangsawanan seperti kepemilkikan harta benda, misalnya banua sura’ tongkonan berukir, alang sura’ lumbung berukir dan tau-tau tetap mereka pertahankan sebagai milik kelompoknya yang secara kasat mata membedakannya dengan kelompok masyarakat biasa lainnya (Syahril, 2016: 55).

Saat ini proses dari pembuatan tau-tau telah dipermudah oleh masyarakat Toraja, baik dari segi alat maupun ritualnya. Adanya pergeseran tersebut membuat tau-tau tidak bernilai tinggi lagi dalam Rambu Solo’. Dari segi tampilan fisik tau-tau yang lama memperlihatkan raut raut wajah yang abstrak, aksesoris emas asli dan cara pembuatannya masih menggunakan alat-alat sederhana. Sedangkan tau-tau yang baru telah megalami banyak perubahan, seperti raut wajah yang sama persis dengan si mati, aksesorisnya bukan lagi emas dan cara pembuatannya telah menggunakan peralatan yang canggih. Bahan utamanya pun telah berbeda, dulu tau-tau menggunakan kayu nangka asli dari Toraja, namun saat ini kayu nangka telah didatangkan dari luar Toraja.

Dalam pembuatan tau-tau terdapat ritual-ritual yang harus dijalani, namun ritual yang sekarang tidak lagi sama dengan ritual yang dulu. Ada beberapa ritual yang dihilangkan karena beberapa alasan, seperti penebangan pohon nangka, terlebih dahulu diadakan upacara ritual di bawah pohon dengan pemotongan seekor ayam jantan yang disebut manuk sella’ (ayam jantan yang berwarna merah sedangkan kakinya berwarna putih)”. Namun ritual tersebut sudah tidak dilakukan lagi pada pembuatan tau-tau baru yang disebabkan saat ini sumber kayu nangka tidak lagi diperoleh dari Toraja melainkan di datangkan (Syahril, 2016: 47).

Pengerjaan tau-tau yang lama dengan mengunakan alat berupa tanduk kerbau, yang berfungsi sebagai pahat. Sedangkan tau-tau yang baru, sudah tidak mengunakan tanduk kerbau, melainkan pahat yang terbuat dari besi. Hal tersebut berubah seiring perkembangan jaman dikarenakan pahat besi memudahkan seseorang dalam melakukan penghalusan kayu. Pembuatan anggota tubuh yang terpisah dari badan seperti, tangan, alat kelamin, kaki dibuatkan ritual dan pemotongan satu ekor babi setelah pembuatan anggota tubuh menjadi syarat dalam kelengkapan ritual pada proses pembuatan tau-tau yang lama. Sedangkan pada pembuatan tau-tau baru ritual tersebut sudah tidak dijumpai lagi.

Setelah tau-tau tua selesai dibuat, kemudian dilantik terlebih dulu dengan upacara yang disebut, “massa’bu tau-tau” yang dilengkapi sajian kurban babi, kemudian dikenakan pakaian adat dan dihiasi perhiasan pusaka seperti manusia semasa hidupnya, dengan maksud untuk memberikan simbol penggambaran diri bahwa yang meninggal berasal dari strata sosial tinggi (bangsawan). Sedangkan untuk tau-tau baru, ritual tersebut sudah tidak dilakukan lagi (Syahril, 2016: 48).

Berbagai perubahan yang terjadi pada tau-tau hingga saat ini dilatari oleh adanya kebudayaan baru. Perubahan tersebut penyesuaian antara paham ataupun nilai-nilai tradisi lama dengan tradisi baru. Hal itu bagian dari penguatan status sosial yang ingin ditunjukkan oleh kaum bangsawan tinggi Toraja masa kini. Namun ada beberapa masyarakat Toraja meskipun bukan bangsawan tetapi mampu secara materi untuk melakukan pembuatan tau-tau. Hal itu telah menggeser nilai budaya dalam kepercayaan Aluk Todolo, karena lebih mementingkan pandangan status sosial pada masyarakat dari pada menaati aturan dalam kepercayaan Aluk Todolo.

Perilaku tersebut mau tidak mau akan mempengaruhi kebudayaan Toraja, sehingga kesakralannya semakin luntur oleh modernitas. Nilai-nilai budaya perlahan-lahan bergeser menjadi tidak sakral yang tadinya sakral. Dengan datangnya perubahan sosial yang hadir sebagi akibat proses globalisasi, maka tradisi-tradisi yang bersifat ritual mulai tersingkir dan kehilangan fungsinya.

Perubahan sosial akan selalu terjadi dimanapun sebab setiap masyarakat tidak akan berhenti mengalami perubahan baik dengan lambat maupun cepat. Perubahan yang terjadi pada sebuah organisasi masyarakat tertentu akan secara otomatis diikuti oleh organisasi masyarakat sekitarnya. Perubahan sosial yang cepat, mengakibatkan disorganisasi yang sifatnya sementara sebagai proses penyesuaian diri. Tidak dibatasi oleh bidang kebendaan atau bidang spiritual karena kedua hal tersebut saling berinteraksi dengan kuat. Seperti halnya yang terjadi di Toraja, ketika perubahan budaya pembuatan tau-tau berubah dari segi alat maupun ritualnya maka kelompok organisasi yang lain akan meniru hal tersebut. Mereka mencari cara agar prosesi dalam pembuatan tau-tau tetap terlaksanakan dengan cara mudah.

Perubahan budaya yang terjadi di Toraja dalam pembuatan tau-tau merupakan perubahan suatu keseimbangan dalam masyarakat. Masyarakat Toraja hanya menerima perubahan yang menguntungkan/bermanfaat bagi mereka, sedangkan bagi perubahan yang tidak bermanfaat tidak akan digunakan. Hal-hal yang dianggap menyulitkan dalam proses pembuatan tau-tau, akan dipermudah oleh masyarakat Toraja dengan menyesuaikan keadaan sekarang.

Sebagai penikmat kebudayaan di masa sekarang, kita dituntut untuk lebih jeli dalam melihat sebuah kebudayaan. Budaya yang lama maupun budaya yang telah bercampur. Pengetahuan mengenai budaya haruslah disertai dengan informasi yang akurat tentang kepercayaan nenek moyang agar terhindar dari perselisihan dengan agama saat ini. Sangat diperlukan pengetahuan dalam pembuatan tau-tau yang sesungguhnya agar generasi selanjutnya tidak menghilangkan secara total pengetahuannya tentang tau-tau.

Melestarikan budaya berakar dari kita sendiri, tidak hanya yang tampak dari segi fisik tapi juga dalam bentuk filosofi hidup yang luhur. Kebanggan atas budaya sendiri harus dilestarikan melalui perkenalan jati diri bangsa dalam konteks pergulatan budaya. Jangan sampai kesadaran ada ketika budaya sendiri telah dipelajari oleh orang lain. Sungguh ironis, ketika anak cucu kita nanti ingin belajar pembuatan tau-tau di Toraja melalui orang lain. Mari menghargai sekecil apapun, setiap capaian dari leluhur kita. Bukan justru memusnahkannya dengan kebudayaan-kebudayaan yang baru.

Penulis: Fatriani Fara, SS (Tulisan ini dimuat dalam Buletin Somba Opu Vol. 19 No.23)

 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Datuan, Maike Yulita. 2011. “Makna Simbolik Tau-Tau Dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ Di Kelurahan Leatung Kec.Sangalla’ Utara Kab. Tana Toraja”. Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Lullulangi, Mitten dan Onesimus Sampebua. 2007. “Artisektur Tradiisional Toraja”. Makassar: Balai Penerbit UNM.

Manyambeang, Drs. Abd. Kadir. 1984. Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Propinsi Sulsel “Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1983/ 1984”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sitonda, Mohammad, Natsir. 2005. “Toraja Warisan Dunia”. Makassar: Pustaka Refleksi.

Syahril. 2016. Perbandingan Tau-tau Tua dan Tau-tau Baru di Situs Ke’te Kesu’. Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.