Sejarah

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX

Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIX merupakan unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di bidang Pelestarian Cagar Budaya dengan Wilayah Kerja Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang berada di bawah naungan Direktur Jenderal Kebudayaan.

Riwayat Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX

Sebagai Unit Pelaksana Teknis dari Direktorat Jenderal Kebudayaan maka kehadiran Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX tidak terlepas dari upaya  penanganan kepurbakalaan di Indonesia yang telah dimulai sejak masa Penjajahan Belanda dengan pembentukan suatu Komisi non pemerintah yang bernama “Commisie in Nederlanddsch Indie Voor Oedheikundig Onderzoek Op Java en Madura“ Komisi ini masih bersifat sementara yang dirintis pada tahun 1901 dipimpin oleh Dr. J.L.A Branders, berkedudukan di Jakarta dengan wilayah kerja Jawa dan Madura.

Pada tahun 1910 kedudukan J.L.A Branders digantikan oleh Dr. N.J.Krom, Melihat kompleksnya masalah kepurbakalaan di wilayah India Belanda N.J. Krom berusaha merintis pembentukan Lembaga Purbakala secara resmi. Komisi sementara yang telah ada dianggap tidak mampu lagi menangani masalah kepurbakalaan yang masih memerlukan penelitian, pemeliharaan dan perlindungan secara kontinyu dan berkesinambungan. Komisi itu menuntut penanganan kepurbakalaan yang didasari oleh ilmu tersendiri.

Usaha N.J. Krom yang telah di rintis sejak tahun 1910 itu, berhasil dengan di terbitkannya Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 62 tanggal 14 Juni 1913. Surat keputusan ini menyatakan bahwa telah resmi didirikan suatu lembaga khusus menangani masalah kepurbakalaan yang bernama “Oudheidkundige Dients in Nederlandsch Indie” yang biasa disingkat O.D. Berdasarkan surat keputusan tersebut hingga saat ini diperingati sebagai hari Purbakala di Indonesia.

Sejak berdirinya lembaga khusus kepurbakalaan tahun 1913, penyelidikan dan penelitian peninggalan purbakala di Nusantara (Wilayah Hindia Belanda waktu itu), mulai dilaksanakan secara menyeluruh. Sasaran para ahli-ahli purbakala masa itu, bukan saja di wilayah Jawa dan Madura, akan tetapi meliputi wilayah Sumatra, Kalimantan dan bagian Timur wilayah Hindia Belanda. Penyelidikan dan penelitian kepurbakalaan semakin ditingkatkan pada periode-periode selanjutnya seperti pada masa Dr. F.D.K. Bosch dan Dr. WT Stutterheim.

Melihat semakin kompleks dan banyaknya pelanggaran-pelanggaran terhadap upaya perlindungan dan pemeliharaan kepurbakalaan, berupa penggalian dan pengerusakan peninggalan-peninggalan purbakala maka perlu didukung oleh aturan sebagai payung hukum dalam penanganannya. Pada masa kepemimpinan Dr. F.D.K. Bosch, beliau mengusulkan kepada pemerintah Hindia Belanda agar dibentuk suatu Undang-Undang mengenai kepurbakalaan. Upaya yang di usulkan itu berhasil dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 13 Juni 1931 No.31 berupa Monumenten Ordonantie (Staatsblad 1931 No. 238). Peraturan mengenai peninggalan kepurbukalaan ini berlangsung sampai pada tahun 1934 dengan terbitnya Monumenten Ordonantie No.21 tahun 1934 (Staatsblad 1934 No. 515) sebagai perubahannya. Undang-undang kepurbakalaan itulah yang menjadi dasar penelitian, pemeliharaan. Perlindungan terhadap peninggalan-peninggalan kepurbakalaan di tanah air sampai pada tahun 1992.

Pada tahun 1992 Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan sebuah Undang-Undang yang mengatur tentang Benda Cagar Budaya, yang terdapat pada Undang-Undang No. 5 tahun 1992. Undang-Undang ini lahir karena Monumenten Ordonantie No.19 tahun 1931 (Staatsblad 1931 No. 238 ) dan perubahannya Monumenten Ordonantie No. 21 tahun 1934 (Staatsblad tahun 1934 No. 515) karena dianggap tidak sesuai lagi dengan upaya perlindungan, pemeliharaan, dan pelestarian benda cagar budaya. Undang-Undang No. 5 tahun 1992, tersebut merupakan produk hukum di bidang keperbukalan yang disusun oleh Bangsa Indonesia.

Sejak masa penyerahan kedaulatan pada tahun 1949/1950 dari pemerintah Belanda kepada Indonesia yang melahirkan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Jawatan Barang-barang purbakala di ubah menjadi Jawatan Purbakala Republik Indonesia, selanjutnya pada tahun 1951 Jawatan Purbakala kembali di ubah menjadi Dinas Purbakala yang secara administratif berada dibawah naungan jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K).

Pada tahun 1956, Dinas Purbakala kembali mengalami perubahan menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN), selanjutnya pada tahun 1973 LPPN yang berada dibawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen P dan K yang hanya terdiri dari Kantor Cabang Prambanan Jawa Tengah, Mojokerto Jawa Timur, Gianyar Bali dan Ujung Pandang Sulawesi.

Mengenai Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Sulawesi Selatan yang Pada awalnya disebut LPPN Cabang IV Ujung Pandang yang pada saat itu wilayah kerjanya meliputi seluruh Sulawesi. 

LPPN Cabang IV Ujung pandang dibentuk pada tanggal 20 Maret 1971. Awal pembentukan LPPN Cabang IV Ujung Pandang, berada dibawah pengawasan Asisten Kepala Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Dengan struktur yang seperti itu, penanganan pelestarian peninggalan purbakala belum dapat dilaksanakan dengan baik dan maksimal.

LPPN Cabang IV Sulawesi yang berkedudukan di Ujung Pandang Pertama kali dipimpin oleh Drs, Hadimulyono. Pengangkatan pimpinan ini berdasarkan Surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 335/C/2/1973 tanggal 23 Januari 1973. Bersamaan dengan pembentukan LPPN Cabang IV ujung pandang , Lalu dibentuk pula 3 (tiga) buah LPPN lainnya. Masing-masing LPPN Cabang I Prambanan Jogyakarta, LPPN Cabang II Gianyar Bali dan LPPN Cabang III Mojokerto Jawa Timur.

Berdasarkan Keputusan Presiden tentang perubahan struktur departemen-departemen, No. 44//45 tahun 1974, maka Menteri P dan K menindak lanjuti dengan Surat Keputusan No. 079/0/75 dan No.094/0/75 tentang pembagian Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional menjadi dua yakni; Pertama, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional yang sekarang bernama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Untuk cabang-cabang di daerah diberi nama Balai Arkeologi. Kedua, Direktorat Sejarah dan Purbakala, pada tingkat daerah sekarang disebut Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Kedua lembaga diatas berada dibawah naungan Direktorat Jederal Kebudayaan Departemen P dan K.

Perubahan bentuk organisasi LPPN menjadi Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, dilakukan dengan adanya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 079/0/I/1975 tanggal April 1975. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, LPPN Cabang IV Ujung Pandang dengan wilayah kerja Sulawesi, di ubah menjadi Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, sampai tahun 2002.

Pada tahun 2002 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di ubah menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar, dengan wilayah kerja Provinsi Sulawesi Selatan, Tenggara dan Sulawesi Tengah. Berjalan sampai pada tahun 2012 Lembaga Purbakala dipindahkan kedudukannya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwasata Republik Indonesia. Pada tahun 2008 wilayah kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar, yang tadinya meliputi wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, di ubah dengan dibentuknya Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Gorontalo, yang wilayah kerjanya meliputi Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Sejak itu juga wilayah kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar, meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat.

Pada tahun 2012 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar kembali berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan Surat Keputusan No. 1 Tahun 2012 sekaligus namanya di ubah menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar dengan wilayah kerja meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat. Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar memiliki kantor yang berada di kompleks Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) Makassar sejak awal pembentukannya 1973

Sejak tahun 2015 berdasarkan Permendikbud nomor 30 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya, maka Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar di ubah menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sulawesi Selatan.

Selanjutnya pada tahun 2022 melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia nomor 33 tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya bahwa untuk meningkatkan pelestarian perlu dibentuk Balai Pelestarian Kebudayaan. Berdasarkan nomenklatur, lokasi dan wilayah kerja, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX memiliki wilayah kerja Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.