You are currently viewing Benteng Rotterdam dan Permasalahannya

Benteng Rotterdam dan Permasalahannya

A. Pengantar

Benteng Rotterdam atau yang dikenal juga dengan nama Benteng Ujungpandang, merupakan situs masa kolonial yang terdiri dari struktur dinding benteng dan bangunan bergaya Eropa. Oleh masyarakat Makassar, benteng ini dikenal sebagai “Benteng Pannyua” yang artinya benteng yang menyerupai kura-kura, karena bentuknya yang bila dilihat dari atas nampak seperti kura-kura yang sedang menghadap ke laut. Keberadaan benteng ini tidak dapat dilepaskan dari konteks kota lama Makassar, karena merupakan bagian penting dalam menggambarkan perkembangan Kota Makassar dari masa ke masa, dan juga menjadi bukti perjuangan anak bangsa yang diwakili oleh Kerajaan Gowa-Tallo dalam melawan kolonialisme Belanda.

Sebagai bagian dari upaya pelestarian, terutama dalam konteks perlindungan hukum, upaya pendaftaran sebagai bangunan yang dilindungi sebenarnya telah dilakukan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda masih berkuasa di Indonesia, yaitu pada tanggal 23 Mei 1940, dan pengelolaanya diserahkan kepada Yayasan Fort Rotterdam. Penetapan ini mengacu pada Monumenten Ordonnantie (MO) Stbl. No. 238 pada tahun 1931 (Supardi, 2013;113). Sementara Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata baru “memperbaharui” status penetapan ini dengan menetapkan Benteng Ujungpandang/Fort Rotterdam sebagai Situs Cagar Budaya dengan menggunakan dasar hukum Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, dengan nomor PM.59/PW/MKP/2010 pada tanggal 22 Juni 2010. Pada tahun 2014, Benteng Rotterdam ditetapkan kembali sebagai Situs Cagar Budaya Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 025/M/2014, tanggal 17 Januari 2014 yang ditandatangani Mohammad Nuh. Penetapan pada tahun 2014 ini telah menggunakan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya sebagai dasar penetapannya.

Rentang waktu penetapan yang cukup signifikan seperti yang terlihat di atas, yaitu 70 tahun sejak benteng ini pertama kali didaftarkan pada tahun 1940, 18 tahun sejak berlakunya Undang Undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, serta 4 tahun sejak berlakunya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, menjadi salah satu dari sekian masalah yang sebenarnya dihadapi sebuah situs atau benda cagar budaya dalam melewati waktunya. Persoalan-persoalan tersebut akan coba diangkat dalam tulisan ini, sebagai bahan rujukan dalam konteks perbaikan sistem pelestarian—terutama dalam aspek pelindungan hukum—situs atau benda cagar budaya ke depannya.

B. Deskripsi

Benteng Rotterdam terletak di Jalan Ujungpandang No.1, yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kelurahan Bulo Gading, Kecamatan Ujungpandang, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Benteng Rotterdam menghadap ke Selat Makassar (barat) dengan letak astronomisnya 05° 08’ 10” Lintang Selatan 119° 24’ 30” Bujur Timur. Adapun batas-batas wilayah Benteng Rotterdam adalah sebagai berikut :

  • Sebelah utara, terdapat jalan Riburane, Kantor Radio Republik Indonesia Nusantara IV Makassar, Auditorium RRI, dan Bank Danamon.
  • Sebelah timur, terdapat Jalan Slamet Riyadi, Kantor Pos dan Giro, Bank Mandiri, Bank Bukopin, Kantor Garuda Indonesia, Kantor Indosat dan pemukiman penduduk, pedagang kaki lima, penjual benda-benda pos dan pemukiman penduduk.
  • Sebelah selatan, terdapat Jalan WR. Supratman, Kantor Wilayah Departemen Perdagangan dan Perindustrian, dan Kantor Veteran Republik Indonesia Mesjid, Pedangang kaki lima, Ruko dan penjual makanan dan penjual burung.
  • Sebelah barat, terdapat Jalan Ujungpandang, tugu, pelabuhan penyeberangan ke pulau Kayangan, kantor Popsa, Ruko-ruko, Kantor Polairud, Restoran Fast Food dan penjual kelapa muda.

Benteng Rotterdam mempunyai lima bastion dan dua pintu keluar. Pintu gerbang utama terdapat di sebelah barat benteng yang terbuat dari kayu yang dilengkapi dengan penutup/daun pintu kembar dua, sedang pintu sebelah dalam berukuran lebih kecil dengan pasak-pasak dari besi (angkur). Adapun Pintu gerbang kedua merupakan pintu kecil terdapat di sebelah timur. Letak dan nama kelima bastion tersebut masing-masing adalah:

  • Bastion Bone, terletak di sebelah barat, tepatnya di bagian tengah benteng
  • Bastion Bacan, terletak di sudut barat daya.
  • Bastion Buton, terletak di sudut barat laut.
  • Bastion Mandarasyah, terletak di sudut timur laut.
  • Bastion Amboina, terletak di sudut tenggara.

Tiap bastion dihubungkan dengan dinding benteng kecuali bagian selatan yang tidak mempunyai dinding yaitu antara Bastion Bacan dan Bastion Amboina. Secara keseluruhan Benteng Rotterdam memiliki luas 2,5 ha dan di dalam benteng terdapat 16 buah bangunan dengan luas 11.605,85 m2 (Anonim, 2010:17-18).

Arsitektur bangunan-bangunan yang berada dalam Benteng Ujungpandang bergaya Eropa khususnya Belanda abad pertengahan (abad XVI dan abad XVII) (Tjandrasasmita, 1986:13), menampilkan ciri arsitektur Gotik (Asmunandar, 2008), dengan jumlah bangunan sebanyak 16 bangunan baik yang utuh maupun hanya menyisakan puing reruntuhan. Bangunan-bangunan tersebut seluruhnya dibangun oleh Belanda, kecuali salah satu bangunan di dekat Bastion Mandarsyah dibangun pada masa pendudukan Jepang karena kekurangan tempat untuk berkantor. Asmunandar (2008) secara eksplisit menyebutkan beberapa fungsi bangunan di dalam benteng antara lain, gereja, kantor kepala bagian perdagangan, kantor pusat perdagangan, barak militer, dan gudang. Semua unit bangunan dalam benteng menggunakan atap berbentuk pelana dengan kemiringan yang tajam, dengan jendela dan pintu yang sangat banyak, sebagai adaptasi lingkungan tropis di Makassar (Asmunandar, 2008). Menurut catatan sejarah, sebagian bahan bangunan yang digunakan didatangkan langsung dari Eropa khususnya Belanda, seperti genteng, batu bata, ubin, besi dan kayu (Sumalyo, 1999:303)

C. Sejarah

1. Penelitian

Kegiatan penelitian terhadap peninggalan benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa-Tallo—dimana Benteng Rotterdam/Ujungpandang sebagai objek ataupun pembanding—telah banyak dilakukan oleh para peneliti lokal, peneliti asing, instansi pemerintah terkait maupun oleh mahasiswa jurusan arkeologi dalam rangka penyelesaian tugas akhirnya. Tercatat beberapa penelitian yang pernah dilakukan diantaranya kegiatan-kegiatan ekskavasi penyelamatan yang dilakukan secara berkesinambungan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Ujung Pandang (saat ini Balai Pelestarian Cagar Budaya/BPCB Sulawesi Selatan) sejak tahun 1996, 2009 dan terakhir 2013. Lembaga ini pula telah melakukan pemugaran dan konservasi baik terhadap struktur dinding benteng maupun bangunan di dalamnya sejak dibentuk pertama kali di Makassar. Penelitian untuk kepentingan sejarah dan arkeologi murni dimulai oleh Lembaga Sejarah Antropologi pada tahun 1976. Penelitian yang dilakukan oleh Drs. Darwas Rasyid (1983) dengan judul Benteng-Benteng Pertahahan Kerajaan Gowa. Penelitian yang dilakukan Francois David Bulbeck (1991) dalam “South Sulawesi Prehistoric and Historical Archaeology Project (SSPHAP)” yang dituangkan dalam disertasi yang berjudul A Tale Of Two Kingdoms Of Gowa-Tallo. Penelitian yang dilakukan oleh Hasir Sonda (1999) dengan judul Benteng-Benteng Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi-Selatan Tinjauan Bentuk dan Fungsinya (Kajian Arkeologi Sejarah). Penelitian lain dilakukan oleh Padlan (1993) dengan judul Kontruksi Benteng Sanrobone Sebagai Salah Satu Pertahanan Kerajaan Gowa, Tinjauan berdasarkan Tata letak. Penelitian yang dilakukan Muhammad Ridha (1997) dengan judul Ukuran Batu Bata Benteng Sanrobone. Penelitian yang mengkaji determinasi lingkungan sebagai faktor penempatan benteng-benteng Kerajaan Gowa-Tallo dilakukan oleh Muhammad Iqbal pada tahun 2004 (Iqbal, 2004, dalam Iwan Sumantri (ed.), 2004: 282-283). Asmunandar pada tahun 2008 menulis Benteng Rotterdam sebagai bagian dari perkembangan Kota Makassar untuk penyelesaian studi pascasarjana di Jurusan Arkeologi UGM. Sementara itu, penelitian terapan dalam konteks pelestarian dan pengelolaan telah dimulai oleh Aldi Mulyadi pada tahun 2000. Akbar pada tahun 2008 menjadikan studi kasus Benteng Rotterdam sebagai objek penelitiannya tentang efek kapilarisasi air terhadap kelestarian bahan struktur dan bangunan di dalam Benteng Rotterdam. Kajian terhadap kebijakan Revitalisasi Benteng Rotterdam dibahas oleh Yusriana untuk penulisan thesisnya pada tahun 2011. Kemudian pada tahun 2010 hingga 2011 dilakukan pemugaran bangunan di dalam benteng dan konservasi struktur dinding benteng sebagai bagian dari upaya Revitalisasi Benteng Rotterdam oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

2. Benteng Rotterdam

Benteng Ujungpandang sebagai cikal bakal Benteng Rotterdam dibangun pertama kali oleh Raja Gowa VIII Tumapa’risi’ Kallonna (1512-1548) pada tahun 1545. Benteng Ujungpandang dibangun sebagai rangkaian pembangunan benteng pertahanan disepanjang pesisir pantai barat Kerajaan Gowa. Bersamaan dengan pembangunan Benteng Ujungpandang, dibangun pula Benteng Somba Opu, Kale Gowa, Tallo, Sanrobone, Barombong dan Ujung Tana. Pada saat itu, Benteng Somba Opu dijadikan pusat kerajaan. Konstruksi Benteng Ujungpandang ketika pertama kali dibangun hanya berupa gundukan tanah. Kemudian pada tahun 1550, Raja Gowa IX Tunipallangga Ulaweng (1547-1639), struktur benteng yang tadinya hanya berupa gundukan tanah diperkuat dengan dinding bata (Anonim, 2010:12-16). Pada masa Raja Gowa XIV Sultan Alauddin (1539-1639), Benteng Ujungpandang dipugar secara besar-besaran dan mengadopsi bentuk benteng pertahanan yang telah berkembang di Eropa pada masa itu. Perkuatan dinding dilakukan pada tanggal 9 Agustus 1639, dan setahun berikutnya, tepatnya tanggal 23 Juni 1639, rakyat Somba Opu dikerahkan untuk membuat dinding kedua benteng dekat pintu gerbang. Bersamaan dengan masa pemugaran benteng-benteng milik Kerajaan Gowa-Tallo pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, dibangun pula Benteng Panakkukang, Garassi, Galesong dan Ana Gowa (Anonim, 2000:277-279). Sehingga secara keseluruhan terdapat 14 benteng yan telah dibangun hingga masa pemerintahan Sultan Alauddin Raja Gowa XIV. Keempat benteng baru tersebut dibangun sebagai langkah antisipatif pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo atas meningkatnya skala ketegangan dengan VOC yang bermaksud menguasai perdagangan Makassar dan tidak menginginkan pedagang negara lain berada di Makassar (Anonim, 2010:14). Menurut Poelinggomang (2002), pada masa pemerintahan Sultan Alauddin tersebut, kemajuan Kerajaan Gowa-Tallo telah berkembang menjadi sebuah kota bandar niaga besar dan menjadi pelabuhan transito perdagangan rempah-rempah dengan pedagang-pedagang dari Eropa, terutama Portugis dan Inggris, serta pedagang-pedagang dari Cina (Poelinggomang, 2002).

Pada tanggal 21 Desember 1666 Cornelis Janszoon Speelman menyatakan perang terhadap Kerajaan Gowa-Tallo yang dikenal dengn nama Perang Makassar. Perang tersebut diakhiri dengan Perjanjian Bungaya antara pihak Kerajaan Gowa-Tallo yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dengan pihak Belanda yang diwakili oleh Speelman pada Hari Jumat 18 November 1667. Salah satu butir perjanjian adalah menghancurkan seluruh benteng pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo kecuali Benteng Ujungpandang dan menyerahkan benteng tersebut berikut perkampungan dan lingkungannya kepada VOC (Andaya, 2004:125 dan Mattulada, 1982:86). Speelman, sebagai penguasa Makassar yang baru, memilih wilayah Benteng Ujungpandang dan daerah sekitarnya sebagai pusat pemukiman baru. Pemilihan didasarkan pada keadaan alam, letak yang strategis, dan sangat cocok untuk dijadikan pelabuhan dibanding benteng-benteng lainnya. Benteng ini diubah namanya menjadi “Rotterdam”, yang mengacu pada tempat kelahiran Speelman (Poelinggomang, 2002).

Benteng Rotterdam kemudian digunakan sebagai markas tentara dan kantor perwakilan VOC di wilayah nusantara bagian timur. Speelman kemudian melakukan perubahan besar-besaran terhadap konstruksi struktur dinding benteng dan bangunan di dalamnya. Struktur benteng terdiri dari tembok-tembok batu yang besar, dengan pembagian ruang, blok-blok dan pintu gerbang. Disekeliling benteng kemudian dibuatkan parit yang fungsinya selain untuk pertimbangan keamanan (penghambat serangan yang ingin mendekat ke dinding benteng), juga berfungsi praktis sebagai jalur masuknya kapal untuk bersandar pada bagian selatan benteng.

Kemudian untuk menyesuaikan dengan iklim Makassar yang tropis, bangunan di dalam benteng dibangun dengan arsitektur abad pertengahan atau Medieval (IV-XVII) namun diubah pada beberapa bagian—terutama jendela dan ventilasi udara, diperbesar agar bisa mengalirkan banyak udara.

Inggris pada tahun 1811-1816 pernah menguasai benteng ini bersamaan dengan kemenangannya dalam menaklukkan Ambon dan Banda. Kemudian pada bulan September 1816, Inggris menyerahkan kembali Benteng Rotterdam ke Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur yang bertugas pada waktu itu kemudian menjadikan benteng sebagai pusat pemerintahan, keamanan dan barak tentara. Selain itu, Belanda juga mulai membangun rumah gubernur dan rumah sakit diluar lingkungan benteng. Pada masa inilah, kemudian Belanda memulai masa penghunian di luar dinding tembok benteng. Pangeran Diponegoro pernah dipenjara di benteng ini pada tahun 1833-1855, yang kemudian meninggal diusianya yang mencapai 70 tahun dan dimakamkan di Makassar (Anonim, 2012:192).

Selama lebih dari 200 tahun Belanda memfungsikan Benteng Rotterdam sebagai pusat pemerintahan dan pusat perekonomiannya. Hingga pada tahun 1908 Belanda tidak lagi memfungsikan Benteng Rotterdam sebagaimana fungsi awalnya yaitu benteng pertahanan. Hingga beberapa bagian struktur dinding benteng dihancurkan mulai pada tahun 1909, yang hanya berhasil meruntuhkan beberapa bagian kecil dan kemudian dihentikan tanpa sebab yang belum diketahui. Kemudian pada tahun 1937, Benteng Rotterdam diserahkan penanganannya oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Yayasan Fort Rotterdam. Pada tanggal 23 Mei 1940 benteng ini didaftarkan sebagai monumen sejarah yang dilindungi dengan Nomor Registrasi 1010 sesuai Monumenten Ordonantie Stbl. Tahun 1931 (Database BPCB Makassar, update 2013).

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Benten Rotterdam dijadikan kantor administrasi Angkatan Laut Jepang Wilayah Indonesia Timur. Selain itu, Jepang juga menjadikannya sebagai Pusat Studi Bahasa dan Penelitian Pertanian. Pada masa KNIL digunakan sebagai benteng pertahanan melawan Tentara Nasional Indonesia hingga tahun 1950, dan kemudian diserahkan ke Indonesia. Benteng Rotterdam kemudian kembali difungsikan sebagai fasilitas militer oleh TNI hingga awal abad XXI, kemudian direstorasi dan dialihfungsikan menjadi Pusat Studi Budaya Sulawesi (Anonim, 2012:192). Meskipun telah ditetapkan sebagai BCB dengan Nomor Urut 01/UP/Sulsel dan Nomor Registrasi 320 oleh BPCB Sulawesi Selatan, namun penetapannya oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata baru keluar pada tahun 2010 dengan nomor PM/59/PW.007/MKP/2010 (Database BPCB Sul-Sel, update 2016). Hingga saat ini Benteng Rotterdam menjadi kantor dan tempat penyimpanan koleksi oleh Museum Lagaligo sebagai UPTD Pemprov Sul-Sel dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.

D. Permasalahan

Secara umum permasalahan yang dimaksud disini adalah segala hal yang saat ini menjadi ancaman maupun segala sesuatu yang berpotensi mengancam kelestarian Benteng Rotterdam di masa yang akan datang, baik itu langsung maupun tidak langsung, berupa ancaman fisik maupun arahan kebijakan. Berikut dipaparkan segala permasalahan yang diidentifikasi sebagai faktor ancaman dan berpotensi mengancam kelestarian Benteng Rotterdam, yaitu:

  1. Peraturan Pemerintah Belum Diterbitkan

Peraturan Pemerintah sebagai penjelasan teknis pelaksanaan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya hingga saat ini belum diterbitkan. Padahal bila mengacu pada Ketentuan Penutup Pasal 117 secara jelas memerintahkan Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Dimana hal ini berarti Peraturan Pemerintah sebagai petunjuk teknis Undang-Undang seharusnya paling lambat sudah ditetapkan pada tanggal 24 November 2011. Implikasinya jelas berimbas pada segala mekanisme teknis pelestarian cagar budaya—termasuk didalamnya mekanisme penetapan cagar budaya, akan menjadi terhambat pula. Meskipun dalam Pasal 18 Ketentuan Penutup menjabarkan segala peraturan pelaksanaan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dinyatakan masih tetap berlaku, namun dengan menggarisbawahi sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Benteng Rotterdam telah ditetapkan “kembali” sebagai Situs Cagar Budaya Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Penetapan tersebut tertuang dalam Kepmendikbud Nomor 025/M/2014, tanggal 17 Januari 2014, yang ditandatangani oleh Mohammad Nuh. Penetapan Benteng Rotterdam sebagai Situs Cagar Budaya Nasional tersebut, meskipun bertujuan baik, namun dalam prosesnya sendiri memiliki potensi cacat secara hukum. Karena tidak melalui penetapan secara berjenjang yang dimulai dari tingkat kabupaten atau kota sebagaimana tertuang dalam pasal 35 UUCB No.11 Tahun 2010. Pasal 35 tersebut menyatakan pemerintah kabupaten/kota menyampaikan penetapan kepada pemerintah provinsi dan selanjutnya diteruskan kepada pemerintah (pusat). Secara jelas pasal 35 ini dapat dimaknai bahwa penetapan cagar budaya seharusnya melalui proses penetapan berjenjang, yang dimulai dari pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, hingga pemerintah pusat. Sementara Benteng Rotterdam hingga saat ini belum memiliki penetapan pada level Pemerintah Kota Makassar sebagai Cagar Budaya Kota Makassar. Termasuk juga belum ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.

  1. Pembangunan Sekitar Benteng

Gencarnya pembangunan di wilayah Kota Makassar, imbasnya juga terlihat disekitar Benteng Rotterdam. Bangunan bertingkat berupa ruko dan hotel perlahan dan pasti mulai bertumbuhan di sisi barat benteng dengan mengambil latar pantai sebagai nilai jual propertinya. Reklamasi pantai sepanjang Pantai Losari hingga depan benteng (sisi barat) juga intensif dilakukan. Pembagunan gedung yang begitu masif tersebut, terlihat mengerdilkan ikon benteng yang sejak lama telah dijadikan ikon kebanggan Kota Makassar. Sebagai sebuah ikon, terutama ikon sejarah budaya sebuah kota, sudah selayaknya Benteng Rotterdam dipertahankan keberadaannya termasuk lingkungan sekelilingnya yang mendukung atmosfer sebagai ikon sejarah budaya.

Bila beberapa tahun lalu, kita masih dapat menyaksikan kemegahan Benteng Rotterdam dari perjalanan laut menuju Pelabuhan Soekarno Hatta, kini semakin terhalang tingginya jejeran ruko yang dibangun berjejer ke utara dari Dermaga Popsa. Jejeran ruko tersebut rata-rata berlantai tiga hingga empat dengan ketinggian diatas 20 meter, sehingga menggangu jarak pandang yang diideal untuk menikmati benteng dari arah laut Selat Makassar. Sebaliknya, menyaksikan pemandangan laut Selat Makassar dari Benteng Rotterdam juga terhalang—terutama menikmati pemandangan sunset dari Bastion Bone (sudut barat) Benteng Rotterdam. Fenomena ini bisa dikategorikan sebagai “polusi” tata ruang dan mata dengan dalih pembangunan yang dilakukan oleh Pemkot Makassar.

Pembangunan Kafe Kampung Popsa dan ruko di depan (barat) Benteng Rotterdam juga dianggap tidak sesuai dengan arahan zonasi cagar budaya yang telah dibuat oleh BPCB Sulawesi Selatan. Bila melihat hasil kajian zonasi Benteng Rotterdam yang dilakukan pada tahun 2010, kawasan tersebut masuk dalam Zona Cagar Budaya III, yang diperuntukkan sebagai kawasan ruang terbuka khusus. Secara umum kawasan tersebut hanya untuk kegiatan pelestarian dan pengamanan dalam usaha mempertahankan lingkungan mikro Benteng Rotterdam. Penambahan fasilitas apalagi pembangunan bangunan baru sangat dibatasi, hanya dibolehkan fasilitas yang konstruksinya tidak permanen atau semi permanen dan tidak terlihat mencolok (Anonim, 2010:73).

  1. Kebijakan Pengelolaan

Bentuk pengelolaan saat ini masih didominasi sebagain besar oleh pemerintah melalui UPT BPCB Sulawesi Selatan dan Museum Lagaligo Pemda Provinsi Sulawesi Selatan. Masyarakat hampir tidak memiliki atau diberi ruang untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan Benteng Rotterdam. Sehingga yang terjadi adalah pemerintah sebagai penentu kebijakan pengelolaan dan masyarakat hanya diberi akses untuk mengapresiasinya dalam bentuk objek wisata. Kebijakan pengelolaan seperti ini terlihat sebagai pengelolaan sumberdaya budaya dari atas ke bawah (top down) dengan pemerintah sebagai bagian puncak dan masyarakat dibagian bawah. Sementara idealnya pengelolaan warisan budaya harus berakar dari masyarakat (down top) karena hasilnya akan kembali lagi ke masyarakat. Dalam konsep down top, pemerintah hanya sebagai fasilitator dan masyarakat dilibatkan mulai dari tahapan perencanaan, pengelolaan hingga monitoring dan evaluasi. Bahkan Yusriana (2011) menjabarkan dalam thesisnya menjelaskan bahwa hingga menjelang pelaksanaan Revitalisasi Benteng Rotterdam pada tahun 2010, masyarakat belum mendapat informasi ataupun instruksi secara resmi mengenai upaya revitalisasi yang akan dilakukan (Yusriana, 2011:9).

  1. Ancaman Lingkungan

Sifat benda, bangunan, dan struktur yang melekat dan menjadi bahan penyusun Benteng Rotterdam dan bangunan di dalamnya yang rapuh, tidak dapat diperbaharui dan jumlahnya terbatas, perlahan tapi pasti juga tidak bisa lepas dari degradasi kualitas ketahanannya. Ancaman lingkungan dimana lokasinya berada di pinggir pantai, menyebabkan tingginya kemungkinan kerusakan oleh angin laut yang membawa partikel-partikel garam. Tingginya kadar garam bisa terlihat pada beberapa bagian dinding bangunan lembab dan mengelupas serta batu penyusun struktur benteng yang mengalami pengeroposan. Penggaraman juga menyerap dari bawah bangunan atau struktur dinding benteng sebagai konsekuensi keletakannya yang berada di pinggir pantai. Dampak lainnya dimana bagian-bagian yang terbuat dari besi mengalami korosi dan menurunkan kualitas ketahanannya. Ancaman lingkungan lain yang saat ini juga mulai dikaji dampaknya adalah efek getaran kendaraan yang lalu lalang di sekeliling benteng. Dimana ada indikasi getaran kendaraan, terutama kendaraan berat sejenis tronton yang sering melintas di depan Jalan Ujungpandang karena memang dekat dengan Pelabuhan Peti Kemas Sukarno Hatta, dianggap berpengaruh pada kekompakan struktur batuan penyusun dinding benteng dan dinding bangunan di dalam benteng yang tak lagi sekuat pertama kali dibangun ratusan tahun lalu. Ancaman lain adalah pertumbuhan pemukiman di bagian timur benteng yang saat ini sudah semakin padat dan menempel hingga dinding benteng. Sebagian besar bangunan permukiman tersebut dibangun dengan konstruksi bangunan tembok permanen—bahkan beberapa rumah menjadikan dinding benteng sebagai dinding rumahnya.

E. Analisis Hukum

Analisis hukum yang dimaksud disini adalah bagaimana permasalahan yang telah dipaparkan diatas, ditempatkan dalam ranah kaidah hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut dipaparkan analisis hukum terkait dua poin permasalahan di atas:

  1. Status Cagar Budaya

Persoalan status cagar budaya dengan berlakunya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, dimana pada Pasal 1 Ayat 1 (satu) menyatakan bahwa cagar budaya perlu dilestarikan yang karena nilainya penting “harus” melalui “proses penetapan”. Implikasinya jelas karena terkait status hukum, maka warisan budaya bendawi yang belum ditetapkan belum dianggap “cagar budaya” secara hukum menurut undang-undang ini. Meskipun ada celah yang memungkinkan perlindungan warisan budaya bendawi untuk dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya pada Pasal 31 Ayat 5 (lima). Hal ini sedikit berbeda ketika Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya masih berlaku. Dimana dalam Pasal 1 dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan Benda Cagar Budaya adalah benda buatan manusia dengan usia atau gaya minimal 50 tahun, memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sementara situs didefenisikan sebagai lokasi yang mengandung benca cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Secara sederhana defenisi pada Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya terkait benda dan situs cagar budaya secara otomatis dilindungi apabila memiliki kriteria seperti yang disebutkan dalam pasal 1 tersebut, meskipun tidak melalui proses penetapan.

Persoalan status tentu saja tidak dapat dilepaskan dari serangkaian mekanisme atau proses yang harus dilalui sebuah warisan budaya untuk bisa memperoleh ketetapan secara hukum menurut Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Proses tersebut dimulai dari pendaftaran warisan budaya untuk diusulkan sebagai cagar budaya. Setelah didaftar usulan tersebut kemudian diverifikasi oleh tim register apakah memenuhi persyaratan untuk diusulkan. Kajian kemudian dilakukan oleh tim ahli yang dibentuk dan bekerja sesuai dengan kewenangannya untuk mengkaji layak tidak usulan warisan budaya bendawi tersebut untuk ditetapkan sebagai cagar budaya. Setelah dinilai layak untuk ditetapkan oleh tim ahli, kemudian dibuat rekomendasi untuk pejabat pemerintah atau pemerintah daerah untuk ditetapkan sebagai cagar budaya. Penetapan juga harus melalui penjenjangan yang dimulai dari penetapan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kemudian apabila cagar budaya tersebut berada di dua kabupaten/kota, maka dapat diusulkan untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya Provinsi oleh Pemerintah Provinsi. Cagar budaya baru ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional apabila berada di dua provinsi atau memiliki arti khusus bagi bangsa Indonesia (Pasal 36 UUCB No.11 Tahun 2010).

Persoalan ini kemudian menjadi semakin rumit melihat kesiapan sumberdaya manusia sebagian besar pemerintah daerah serta adanya kecenderungan bahwa warisan budaya belum dianggap sebagai sebuah aset daerah yang bernilai. Hal ini tercermin dalam rencana dan realisasi program yang dibuat oleh dinas-dinas di beberapa pemerintah daerah yang hanya melestarikan tarian, lagu dan atraksi tradisional sebagai aset daerahnya. Sementara dilain sisi, warisan budaya bendawi sebagai identitas daerah yang diwariskan dari generasi pendahulu belum maksimal diprogramkan. Sehingga banyak dijumpai situs-situs warisan budaya yang dibiarkan terlantar atau bahkan dihancurkan demi alasan pembangunan.

Melihat peliknya permasalahan diatas dan pentingnya status cagar budaya sebagai konsekuensi hukum berlakunya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, dipandang perlu untuk menggalakkan sosialisasi yang intensif serta bisa menjangkau aparat pemerintah daerah hingga level terbawah agar gaung pelestarian cagar budaya bisa lebih bergema. Sementara untuk mengantisipasi maraknya persoalan hukum terkait status cagar budaya, pemerintah—dalam hal ini pemerintah pusat—perlu mengambil alih untuk sementara proses penetapan cagar budaya melalui Unit Pelaksana Teknisnya di daerah, sambil dibarengi dengan pelatihan-pelatihan bagi aparat pemerintah daerah yang nantinya akan bertugas menangani cagar budaya di wilayahnya masing-masing.

Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran teknis pelaksanaan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, yang belum diterbitkan sampai saat ini menjadi permasalahan tersendiri dalam penerapan UUCB tersebut. Implikasinya adalah tidak ada panduan teknis dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam UUCB. Kondisi ini selain melemahkan UUCB itu sendiri, juga membuat pemerintah—dalam hal ini pemerintah pusat yang bergerak di bidang kebudayaan, tidak dapat maksimal melaksanakan upaya pelestarian cagar budaya.

  1. Pembangunan Sekitar Benteng Rotterdam

Masalah pembangunan disekitar Benteng Rotterdam merupakan sebuah persoalan yang cukup kompleks karena terkait dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik. Pada prinsipnya pembangunan yang begitu masif disekitar Benteng Rotterdam bisa dikendalikan ketika semua pihak sepakat dan sama-sama memahami arti penting Benteng Rotterdam bagi identitas dan jati diri Kota Makassar. Karena sejak berlakunya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi “kekuasaan” secara signifikan bagi pemerintahan daerah—dalam bentuk otonomi daerah—dalam mengelola organisasi kerja dan wilayahnya secara lebih mandiri, menjadikan banyaknya pemerintah daerah yang seakan berlomba-lomba membangun daerahnya. Gencarnya pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah sebagai imbas pemberian otonomi daerah, paling banyak terlihat dalam maraknya pembangunan fisik dan infrastruktur yang dilakukan dengan logika percepatan perekonomian. Pada prakteknya, seringkali pembangunan yang begitu gencar tersebut justru menghancurkan tatanan budaya materi yang telah ada dan menjadi ikon, jati diri atau ruh sehingga cenderung menghilangkan ikon, jati diri atau ruh daerah itu sendiri. Dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2015-2034 sebenarnya telah mengatur kawasan sekitar Benteng Rotterdam sebagai Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan (Pasal 49, Ayat 2, Poin a). Peruntukan kawasan ini bertujuan untuk melindungi budaya bangsa yang bernilai tinggi untuk kepentingan ilmu pengetahuan berupa bangunan dan lingkungan peninggalan sejarah, bangunan arkeologi, dan monumen (Pasal 49, Ayat 1).

Implikasinya jelas bahwa aktifitas pembangunan disekitar Benteng Rotterdam saat ini berupa jejeran ruko di bagian barat samping Sekretariat Popsa Makassar jelas-jelas telah menyalahi peruntukan kawasan. Sementara upaya reklamasi pantai di depan (barat) Benteng Rotterdam juga secara langsung bertentangan dengan konsep RTRW Kota Makassar. Karena telah menghilangkan lansekap budaya sebagai bagian integral dari Benteng Rotterdam.

F. Penutup

Tulisan ini meskipun belum secara tuntas membahas berbagai permasalahan ke’cagarbudaya’an Benteng Rotterdam, namun setidaknya bisa memberi gambaran betapa kompleksnya permasalahan yang dihadapi terkait aspek hukum dalam cagar budaya. Beberapa masalah yang penulis angkat disini, seperti belum adanya peraturan pemerintah sebagai peraturan penjelas UUCB No.11 Tahun 2010, proses penetapan Benteng Rotterdam sebagai Cagar Budaya yang lama, hingga konflik berbagai kepentingan di sekitar kawasan benteng, semoga dapat menjadi bahan evaluasi dan perbaikan pelestarian cagar budaya ke depan. Khususnya aspek hukum dalam pelestarian cagar budaya sebagai warisan budaya yang sifatnya rapuh, terbatas, dan tidak dapat diperbaharui.

Penulis: Mubarak Andi Pampang (Tulisan ini dimuat dalam Buletin Somba Opu Vol. 19 No.23)

 

 

Referensi

Andaya, Leonard Y., 2013. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17. Cetakan III. Ininnawa dan Media Kajian Sulawesi. Makassar.

Anonim, 1992. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Cagar Budaya.

…………., 2006. Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2015-2034. Pemerintah Kota Makassar.

………….., 2010. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar.

…………, 2010. Laporan Pemintakatan (Zoning) Benteng Ujungpandang Kota Makassar. Kelompok Kerja Perlindungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar.

…………, 2012. Forts in Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Jakarta.

…………, 2013. Database Alumni Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Makassar.

…………, 2013. Database Situs Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar.

Asmunandar, 2008. Membangunan Identitas Masyarakat Melalui Kota Kuna Makassar. Tesis. Program Studi Arkeologi Kelompok Ilmu Bidang Humaniora Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Tidak Terbit.

Mattulada, 1991. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah (1510-1700). Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.

Nayati, Widya. 2005. Social Dynamics and Local Trading Pattern in The Bantaeng Region, South Sulawesi (Indonesia) Circa 17th Century. A Thesis Submitted For The Degree of Doctor of Philosophy. National University of Singapore.

Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad XIX. Studi Tentang Kebijakan

Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450 -1680. Jilid I : Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

 ——————- 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara . Jakarta: LP3ES.

Slametmulyana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya . Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII – Medio Abad XX). Yogyakarta:YayasanBentang Budaya.

Sukatanya, Yudhistira (ed.), Goenawan Monoharto, 2000. Makassar Doeloe Makassar Kini Makassar Nanti. Yayasan Losari Makassar. Makassar.

Sumalyo, Yulianto. 1999. Ujung Pandang Perkembangan Kota dan Arsitektur Pada Akhir Abad 17 Hingga Awal Abad 20. Dalam Panggung sejarah. Jakarta. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Yayasan obor Indonesia.

Sumantri, Iwan (ed.). 2004. Kepingan Mozaik Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. Bagian Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan Bekerjsama dengan Penerbit Ininnawa. Makassar

Supardi, Nunus. 2013. Kebudayaan Dalam Lembaga Pemerintahan Dari Masa Ke Masa. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta

Tjandrasasmita, Drs. Uka. 1986. Petunjuk Teknis Perlindungan Dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Jakarta Pusat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Pemugaran Dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

Yusriana, 2011. Arahan Kebijakan Revitalisasi Benteng Ujungpandang. Thesis. Pascasarjana Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Tidak Terbit.