Pemugaran di Indonesia

Pemugaran kepurbakalaan di Indonesia memiliki sejarah panjang sejak berdirinya Oudheidkundige Dienst in Nederlandschs – Indie (Lembaga Purbakala di Indonesia yang berdiri pada 14 Juni 1913). Pada masa itu, rekonstruksi hanya dilakukan di atas kertas, tidak sampai rekonstruksi bangunannya.

Pada tahun 1916, Bosch (pemimpin lembaga purbakala pada tahun 1916) berpendapat bahwa bangunan kepurbakalaan yang telah runtuh dapat dikembalikan kemegahan dan keindahannya dengan cara dibina kembali setelah rekonstruksi di atas kertas bisa dipertanggungjawabkan.

Setelah masa kemerdekaan, tahun 1950, lembaga purbakala yang dipimpin oleh Soekmono, pandangan mengenai tinggalan purbakala jauh lebih berkembang. Pemugaran menagrah kepada konservasi atau pelestarian sehingga bangunan purbakala dapat bertaan lebih lama. Konsep ini diesebut dengan pemugaran berwawasan pelestarian. Selanjutnya, tahun 1977, IGN Anom mencetuskan pemugaran berwawasan penelitian arkeologi untuk kepentingan perekaman seluruh data.

Pelaksanaan pemugaran memiliki 4 acuan baku dan prinsip, yaitu keaslian bentuk, keaslian bahan, keaslian tata letak, dan keaslian pengerjaan. Tiga dari 4 prinsip dapat dilakukan dengan baik, namun keaslian pengerjaan atau keaslian teknologi pengerjaan terkadang mendapatkan hambatan. Penggunaan teknologi tradisional dianggap menghambat suatu pekerjaan pemugaran dengan pemberian jangka waktu tertentu.

Undang-Undang No. 11 tahun 2010 menyatakan bahwa pelaksanaan pemugaran harus memperhatikan aspek pengembangan dan pemanfaatan, terutama dalam hubungannya dengan masyrakat sekitar yang semakin dinamis. Namun, aspek pengembangan dan pemanfaatan harus tetap berada pada koridor pelestarian.

 

 

*Tulisan dikutip dari Sejarah dan Paradigma Pemugaran Cagar Budaya di Indonesia dalam buku Refleksi 100 Tahun Lembaga Purbakala Makassar