Beranda blog Halaman 91

Museum Situs Goa Harimau Segera Dibangun

0

IMG_9046-Goa HarimauGoa Harimau terletak di lereng Bukit Karang Sialang, Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Sebenarnya untuk mencapi tempat ini hanya sekitar 1,5 kilometer atau tidak sampai 1 jam dengan berjalan kaki dari desa terdekat. Tetapi memerlukan waktu tempuh 7 jam dari Palembang. Lama perjalanan juga disebabkan kondisi jalan yang sangat rusak.

Di bawah kawasan kars yang terdapat sungai kecil bernama Ayakamanbasah, terdapat banyak gua, di antaranya Goa Karang Pelaluan, dan Goa Karang Beringin. Yang paling dekat dengan Goa Harimau adalah Goa Selabe dan Goa Putri.IMG_9039-Lukisan Goa Harimau

Di situs ini terdapat gambar atau seni cadas (rock art) dan komplek pemakaman purba terbanyak dan terlangka di Asia Tenggara. Oleh karena jumlah kerangka yang ditemukan dalam satu gua sangat banyak. Kerangka hewan seperti awam, anjing, dan babi juga ditemukan dalam dua ini. Fosil manusia tersebut berumur sekitar 3.500 dan 2.000 tahun.

Menurut Dr. Harry Widianto—ahli Paleoantropologi yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman—seluruh rangka manusia dari Goa Harimau yang umumnya dikubur dengan orientasi timur (kepala) dan barat (kaki), merupakan ras Mongoloid. Salah satu kerangka yang masih utuh memiliki panjang (tinggi badan) sekitar 2 meter.

Ciri-ciri morfologis yang mengarah pada Ras Mongoloid adalah dari bentuk Tengkorak yang meninggi dan membundar (brachycephal), tulang tengkorak bagian belakang (occiptal) yang datar, morfologi gigi seri, bentuk orbit mata, kedalaman tulang hidung (nasal), serta dari postur tulang dan tubuh mereka yang khas Mongoloid.

Diduga gua ini  merupakan pemukiman petani pada masa prasejarah di Nusantara. Jadi artinya gua ini tidak hanya sekadar tempat untuk tinggal, tetapi untuk aktifitas lain, di antaranya untuk perkuburan. Di bagian dalam gua masih ada jejak okupasi yang belum diekskavasi.

Gambar cadas di Goa yang salah satunya merupakan bagian dari kepercayaan masyarakat purba ternyata telah ‘’menyentuh” Sumatera. Cara melukisnya, menurut Pindi Setiawan, ahli lukisan gua dari Fakultas Seni Rupa ITB, dengan menggunakan jari yang seolah-olah sebagai “kuas”. sebagian besar lukisan itu didominasi warna merah dengan motif duri ikan, lingkaran, kotak-kotak dan zig zag, serta guratan-guratan tak beraturan yang sudah mulai pudar warnanya.

Penemuan ini menjadi bahan untuk dapat mengkritisiteori “Out of Taiwan”, yang menjelaskan bahwa penduduk Sumatera awal adalah ras Mongoloid yang berasal dari daratan Asia melalui Taiwan-Filipina-Sulawesi. Selanjutnya ke Madagaskar melalui Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Maka dari itu dapat diciptakan teori baru tentang alur migrasi manusia prasejarah pendukung budaya Austronesia ke Nusantara.

Temuan di situs ini menunjukkan usia yang sama dengan temuan di Ulu Tijanko, Jambi, yaitu sekitar 3.500 tahun. Begitu juga dengan budaya Austronesia di Sulawesi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sejak awal persebaran ras Mongoloid tidak hanya terjadi di bagian tengah Nusantara (jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi), tetapi juga di bagian barat melalui daratan Asia Tenggara ke Sumatera-Jawa. Menurut Dr. Harry Widianto “Sisa-sisa kerangka manusia di Goa Harimau, juga di Pondok Selabe dan Goa Putri yang masih dalam satu kawasan, adalah bukti dari pergerakan ’jalur baru’ tersebut”.

IMG_8880-Museum Si Pahit Lidan dan Goa PutriPada 2015 ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direkorat  Jenderal Kebudayaan akan membangun satu museum yang dinamakan Museum Situs Goa Harimau. Masterplan dan DED Museun Situs Goa Harimau ini telah dibuat pada 2014. Museum Situs ini rencananya akan didirikan di dekat Museum Si Pahit Lidah dan Goa Putri. (Ivan Efendi)

Rengasdengklok akan Lestari

0

20150326_130649Rumah tinggal yang tampak sederhana ini dahulu adalah milik Djiau Kie Song. Ia adalah seorang petani biasa yang tinggal di Kampung Bojong Tugu, Kelurahan Rengasdengklok, Kecamatan Rengasdengklok. Rumah yang menghadap ke arah selatan dan berada di kawasan dataran rendah pantai utara Jawa Barat ini dikelilingi pemukiman yang diselingi kebun dan sawah. Sebenarnya dahulu rumah yang berukuran 10 x 6 m ini berada di tepi Citarum, 500 m sebelah baratdaya lokasi sekarang.  Pada 1958 Citarum  mengalami pelebaran untuk mengatasi banjir dan rumah ini harus dipindahkan ke lokasi sekarang.

Rumah yang berdenah memanjang kesamping (barat-timur) ini memiliki atap limasan berbahan genting. Dindingnya bercat putih, dan tiang yang terbuat dari kayu bercat hijau muda. Lantainya adalah ubin terakota. Bagian depan rumah merupakan serambi terbuka, dengan pintu di tengah dan diapit dua jendela, yang juga bercat warna hijau muda.

Ruang dalam terbagi tiga, yaitu bagian tengah, kamar samping kanan (barat), dan kamar samping kiri (timur). Ruang dalam bagian tengah adalah ruang keluarga atau ruang tamu. Di bagian utara ruangan ini terdapat altar persembahyangan, yang di atasnya terpajang foto Bung Karno dan foto Djiau Kie Song.

Rumah ini adalah tempat yang sangat bersejarah, dan sarat dengan nilai-nilai luhur perjuangan pemuda ketika itu untuk mewujudkan kemerdekaan RI. Di tempat ini pula Bendera Merah Putih kali pertama dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok, tepatnya pada Kamis, 16 Agustus 1945 sebagai persiapan untuk Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Djiau Kie Song yang mengikhlaskan rumahnya dijadikan tempat para tokoh pemuda—di antaranya Sukarni, Chaerul Saleh, dan Adam Malik pada Kamis, untuk mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia—meninggal pada 1964. Atas jasanya yang sangat besar ini, Djiaw mendapatkan piagam penghargaan dari Pangdam Siliwangi, Mayjen Ibrahim Adjie pada 1961 dengan nomor 08/TP/DS/1961.

20150326_131031Pada 2015 Bangunan Cagar Budaya ini akan direvitalisasi dengan dana Tugas Pembantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Dalam kegiatan ini masih banyak yang perlu didiskusikan, terutama mengenai tahapan kerja.

 Bangunan yang sudah tidak in situ ini sebenarnya belum diketahui bentuk aslinya. Yang tersisa saat ini adalah bagian depan bangunan dengan luas 6 x 10 m. Bagian belakangnya terbuat dari bilik bambu, begitu juga dengan rangka atap (reng dan kaso). Jadi ada beberapa hal teknis dan arsitektural yang harus diperhatikan.

Ada beberapa bagian yang rusak pada bangunan ini, yaitu bambu dan papan kayu yang lapuk. Faktor kerusakan juga harus menjadi perhatian. Saat ini dapat diketahui bahwa sebagian besar kerusakan disebabkan oleh rayap.

Maka dari itu rambu-rambu dalam pekerjaan yang berkaitan dengan peraturan atau undang-undang mengenai Cagar Budaya harus diperhatikan. Selain itu, harus ada studi pendahuluan oleh BPCB Serang, dan harus ada diskusi di lapangan untuk mendapatkan cara terbaik merevitalisasi Bangunan Cagar Budaya ini. (Ivan Efendi)

Revitalisasi Museum Banggai

0

IMG_8412Luwuk adalah ibukota Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, yang berjarak ± 607 km dari kota Palu. Di kota kabupaten ini terdapat museum yang bernama Museum Daerah Kabupaten Banggai. Museum ini berdiri sejak 2005, dan memiliki 101 koleksi benda bersejarah, yang merupakan titipan dari musem Provinsi Sulawsi Tengah. Akan tetapi, sejak 2013 sudah diambil kembali, dan secara perlahan dengan keterbatasan anggaran telah memiliki koleksi sendiri dan terus menambah koleksinya.

Museum Daerah Kabupaten Banggai berdiri di atas tanah seluas lebih kurang 1431,5 m2, dan  luas bangunan 276,50 m2. Museum yang terletak di jantung Kota Luwuk, Ibu Kota Kabupaten Banggai, merupakan peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda yang dibangun pada 1926. Dahulu bangunan ini merupakan rumah tinggal raja Banggai ke XXXIII, H.S.A. Amir. Kemuduan beralih fungsi menjadi Kantor Kesehatan Kodim Luwuk, dan saat ini menjadi Museum Daerah yang diresmikan pada 2005 oleh Bupati Banggai, Drs.Ma’mun Amir.

Bangunan museum ini merupakan Bangunan Cagar Budaya, yang harus dilestarikan keutuhannya. Oleh karena itu sangat dibutuhkan Revitalisasi untuk mengembangkan Museum Daerah ini, yaitu dengan membangun gedung baru yang berada di bagian belakang. Bangunan baru ini berlantai dua agar dapat memenuhi kebutuhan konservasi dan penataan koleksi, serta ruang kerja maupun ruang pentas seni dan budaya.

IMG_8404 Museum BanggaiMuseum Daerah Kabupaten Banggai sebelumnya telah mendapatkan bantuan dana Tugas Pembantuan pada 2014 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktur Jenderal Kebudayaan. Dana ini digunakan untuk membangun gedung museum yang berada di belakang gedung museum lama yang merupakan bangunan bersejarah dan termasuk Bangunan Cagar Budaya. Akan tetapi, pembangunan museum tersebut belum tuntas, yaitu baru terbangun satu lantai dengan satu lantai mezanine di bagian depan. belum terlihat ada tangga pada bangunan baru ini. Maka dari itu, Kabupaten Banggai mengajukan proposal kembali pada 2015 untuk meneruskan dan menyelesaikan pembangunan gedung museum ini hingga lantai 2. Gedung baru ini nanti akan digunakan sebagai ruang kerja dan untuk pementasan kesenian.

Permasalahan

Kondisi museum lama yang menggunakan bangunan bersejarah yang termasuk Bangunan Cagar Budaya kurang menarik. Story line pamer tidak lengkap dan sistematis, penataan label pamer tidak menarik, dan redaksi label tidak informatif. Selain itu, tidak tampak adanya penggunakan teknologi mutakhir yang ‘memanjakan’ pengunjung. Kondisi ini berdampak pada pelayanan informasi terhadap pengunjung yang tidak informatif, komunikatif dan menarik. Masalah terbesar museum ini adalah pada SDM-nya untuk mengelola museum.

Permasalahan lain yang mendasar adalah saat dimulainya pembangunan fisik pada tahap pertama tidak didahului dengan uji gali (test pit). Padahal kegiatan ini sangat penting dilakukan pada situs Cagar Budaya atau tempat yang diduga mengandung Cagar Budaya. Terbukti saat dilakukan pemantauan dan evaluasi diperoleh keterangan bahwa dalam proses penggalian untuk pembuatan fondasi ditemukan keramik stempel yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Beruntung artefak ini berhasil diamankan oleh pihak museum. Akan tetapi ada informasi lain bahwa ada temuan lain berupa keris, yang tidak sempat diamankan.

Rekomendasi

Diperlukan penataan ulang pada story line di bangunan museum yang baru, sedangkan museum lama yang menggunakan bangunan bersejarah, sebaiknya dijadikan “Museum Rumah Bersejarah”. Koleksi yang dipamerkan di dalam rumah bersejarah harus berkaitan dengan sejarah bangunan ini. Sementera koleksi lainnya ditempatkan di museum baru, tentunya dengan mengikuti story line.

IMG_8397 Keris Museum BanggaiMuseum Daerah Kabupaten Banggai juga harus melakukan kajian koleksi ulang dengan memperhatikan sarana pendukung penyajian informasi meliputi: koleksi, SDM pengelola museum, bangunan museum dan sarana pamer. Koleksi yang dipamerkan harus memiliki konteks sehingga saat dipamerkan menjadi informatif. Selain itu, koleksi master piece, dalam hal ini keris sang raja, sebaiknya dipamerkan terpisah, sehingga terlihat keistimewaannya. (Ivan Efendi)

 

Pengembangan Museum Situs Batujaya

0
Museum Situs Batujaya di antara hijaunya padi.
Museum Situs Batujaya di antara hijaunya padi.

Oleh: Ivan Efendi

Museum Situs Batujaya

Banyaknya penelitian yang telah dilakukan di Situs Batujaya menghasilkan temuan yang sangat banyak. Temuan yang banyak itu melahirkan masalah pelestarian dan konservasi. Temua hasil penelitian itu juga tersebar di berbagai tempat/instansi. Sampai saat ini belum ada akses data bagi banyak orang/instansi yang ingin mendapatkan informasi yang komprehensif dan mutakhir mengenai situs Batujaya. Hal itu mendorong perlunya suatu ruang informasi publik, yang di dalamnya ada edukasi melalui tata pamer. Tata pamer itu dikreasi oleh suatu lembaga yang disebut museum, dan dibangun di dekat lokasi situs. Maka dari itu perlu suatu pengembangan Museum Situs Batujaya yang memiliki lembaga tetap, didirikan di lingkungan situs purbakala, untuk memamerkan dan memublikasikan serta meningkatkan pemahaman terhadap koleksi/situs, bersifat nonprofit, terbuka untuk umum, menitikberatkan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan rekreasi serta harus memberdayakan masyarakat sekitar.

Penelitian yang dilakukan di Situs Batujaya sebagian besar merupakan penelitian arkeologi, geologi, atau paleo-ekologi, yang telah dilakukan sejak kali pertama ditemukan pada 1984. Padahal di situs ini telah dibangun Gedung Penyelamatan Situs Batujaya yang dibangun sejak 2002 hingga 2004. Penataannya juga berlangsung selama dua tahun, yaitu dari 2005 sampai 2006. Kemudian dikembangkan sebagai museum, walaupun masih dalam standard minimal. Maka dari itu, perlu pengembangan Museum Situs Batujaya yang sesuai dengan Museologi Baru.

Lalu bagaimanakah pengembangan Museum Situs Batujaya yang ideal menurut pandangan museologi baru dan sesuai dengan kondisi sejarah, sosial budaya masyarakat, serta geografis Karawang? Sebenarnya museum Situs Batujaya telah memenuhi rumusan tentang museum situs yang dibuat oleh ICOM, yaitu:

  1. Museum Situs Batujaya merupakan bangunan yang didirikan untuk melindungi tinggalan alam dan budaya yang bergerak atau pun tidak bergerak di lokasi yang secara ekologis belum mengalami perubahan oleh manusia dan in situ. Museum Situs Batujaya hendaknya dapat menjadi lembaga yang dapat melindungi tinggalan budaya hasil penelitian di Situs Batujaya, baik yang bergerak maupun bangunan candi yang in situ.
  2. Museum Situs Batujaya merupakan bangunan yang dibangun di Situs Batujaya untuk melindungi adat istiadat dan cara hidup suatu komunitas di tempat aslinya. Museum Situs Batujaya harus dibangun di lokasi asli atau di dalam Situs Batujaya untuk melindungi tinggalan arkeologi di kawasan tersebut.
  3. Museum Situs Batujaya merupakan bangunan yang dibangun di Situs Batujaya sebagai lokasi asli yang ditempat itu pernah terjadi peristiwa prasejarah dan sejarah yang penting. Berdasarkan temuan sejumlah prasasti diketahui bahwa sekitar abad ke-5 Masehi telah berdiri kerajaan yang bersifat hinduistik, yakni Tārumānagara/Tārumā-nagara atau Kerajaan Tārumā.
  4. Museum Situs Batujaya merupakan bangunan yang dibangun di suatu Situs Batujaya yang pada bebarapa situs telah dilakukan penggalian arkeologi.

Dalam kategori yang disebut three basic sub categories oleh Moolman, Museum Situs Batujaya termasuk ke dalam visual site museum, yang menekankan pada keberadan situs yang mutlak harus terlihat. Oleh karena mengandung beberapa unsur di antaranya adalah sejarah yang khusus, budaya yang signifikan, situs arkeologi. Sejarah yang khusus mengacu pada lahir dan berkembangnya Tārumā-nagara; Budaya yang signifikan mengacu pada kebudayaan yang terbentuk karena adanya pengaruh dari luar (India), dan melahirkan Budaya Hindu-Buddha; dan situs arkeologi adalah tinggalan purbakala dari masa Tārumā-nagara yang bercorak Hindu-Buddha.

Selain itu, Museum Situs Batujaya juga telah memenuhi kriteria museum situs, yaitu:

  1. Museum Situs Batujaya adalah suatu bangunan yang didirikan di atas situs yang berfungsi untuk melindungi tinggalan alam dan budaya beregerak dan tidak bergerak beserta lingkungan situs aslinya yang merupakan kawasan bersejarah.
  2. Bangunan Museum Situs Batujaya harus didirikan di atas situs atau bisa di lokasi lain yang berdekatan dengan situs asli agar terdapat keterkaitan antar koleksi dengan situsnya. Ditekankan bahwa lokasi museum situs harus memenuhi kriteria tertentu terkait ekologi, etnografi, sejarah dan arkeologi
  3. Koleksi yang dipamerkan di Museum Situs Batujaya ada dua jenis, yaitu koleksi yang berada di dalam bangunan Museum Situs Batujaya, dan koleksi yang dipamerkan secara in situdi lokasi aslinya. Koleksi tersebut adalah hasil penelitian yang pernah dilakukan atau sedang dilakukan penelitian.
  4. Prinsip Penyajian Museum Situs Batujaya dalam bentuk interpretasi terintegrasi antara koleksi di dalam museum, koleksi yang dipamerkan di luar museum sebagai bagian dari situs, dan lingkungannya.

Menurut Allan (1955:107) situs adalah elemen utama dari museum situs, oleh karena itu, bangunan Museum Situs Batujaya harus didirikan sedekat mungkin dengan situs. Maka hasil penelitian di Situs Batujaya dapat ditampung di Museum Situs Batujaya dan disajikan untuk pengunjung. Letak Museum Situs Batujaya yang dekat dengan situs juga bertujuan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan koleksi, meminimalkan biaya perawatan, memudahkan akses penelitian, dan kesesuaian tema dengan koleksi yang dipamerkan.

Museum Situs Batujaya juga harus seperti yang dikatakan oleh Chabra (1956:42−49) dalam artikelnya yang berjudul Site Museums of India, menyatakan bahwa museum situs merupakan tempat menyimpan objek-objek yang mudah dipindahkan yang ditemukan atau digali dari suatu situs kuno tertentu yang memiliki makna penting terhadap sejarah. Bangunan tersebut berdiri di atas situs, di pusat reruntuhan yang sedang digali atau dekat dengan situs. Museum situs bisa saja merupakan bangunan baru yang khusus dibangun untuk tujuan tersebut. Beberapa museum situs memiliki bangsal atau bangunan terbuka, sejenis galeri open-air museum yang menyajikan objek berukuran besar dan berat seperti pilar batu, arca, pahatan, batu bertulis dan lain sebaginya, sehingga benda-benda tersebut dapat terlindungi dari vandalisme dan cuaca.

Pengelolaan

Ada dua hal penting dalam pengelolaan Museum Situs Batujaya, yaitu pengelolaan koleksi dan pengelola Museum Situs Batujaya yang diwujudkan dalam struktur organisasi. Pengelolaan koleksi bertumpu pada kelestarian, penelitian dan pengomunikasian koleksi. Sementara struktur organisasi Museum Situs Batujaya yang harus memiliki ‘aktifitas permuseuman’ yang berorientasi kepada masyarakat.

Pengelolaan Koleksi

Museum mempunyai tiga fungsi dasar yaitu melakukan preservasi/konservasi, riset/penelitian, dan komunikasi (Mensch 2003:10). Dalam melakukan preservasi museum melakukan pengumpulan, pendokumentasian, konservasi, dan restorasi koleksi. Museum juga melakukan penelitian pada koleksi, termasuk pemaknaannya (interpretasi). Museum juga harus menyebarkan informasi hasil penelitian dan preservasi melalui pameran, program edukasi, dan sarana publikasi lainnya (Mensch 2003:10; Magetsari 2008:13−14).

Tiga fungsi dasar museum tersebut harus diterapkan dalam Museum Situs Batujaya, yaitu pengelolaan Situs Batujaya. Salah satunya adalah bangunan yang terdapat pada situs-situs tersebut dapat dilestarikan di lokasi situsnya. Pelestarian situs dapat dilakukan dengan pendokumentasian, perawatan dan pemeliharaan (fungsi konservasi). Situs asli yang terbuka, dan terpisah-pisah dalam satu kawasan dapat ‘diintegrasikan’ dengan dalam tata pamer yang baik. Pelestarian terhadap bangunan-bangunan tersebut juga melestarikan aspek intangible-nya melalui proses kurasi (musealisasi).

Berdasarkan uraian tersebut pengelolaan Museum Situs Batujaya dapat dilakukan dengan beberapa cara:

  1. Menjadikan situs-situs di Situs Batujaya sebagai koleksi Museum Situs Batujaya.
  2. Melakukan penelitian melalui pemaknaan (interpretasi) pada masing-masing situs yang akan disajikan secara terintegrasi dengan bangunannya.
  3. Pelestarian (konservasi) bangunan dapat dilakukan di situs aslinya (in situ).
  4. Mengomunikasikan hasil penelitian dan konservasi, serta pemaknaan bangunan-bangunan di situs melalui konsep penyajian musuem situs.
  5. Membuat tema tata pamer yang dapat mengintegrasikan bangunan-bangunan yang terpisah dalam satu rangkaian cerita.

Pengembangan Struktur Organisasi

IMG_1670 Candi Jiwa

Struktur organisasi museum tradisional yang berbasis koleksi, bahwa setiap jenis koleksi dikelola oleh seorang kurator sesuai keahliannya (Magetsari 2008:7.), berubah karena aktivitas permuseuman mengalami perubahan paradigma dari berorientasi pada koleksi menjadi berorientasi kepada masyarakat. Perubahan ini memunculkan “profesional baru” yang berfungsi sebagai peneliti menggantikan fungsi kurator. Manajemen museum juga mengalami perubahan, yang lebih menekankan pada manajemen koleksi dan komunikasi. Oleh karena itu, struktur organisasi museum juga berubah, tidak lagi berbasis koleksi melainkan berbasis fungsional (Mensch 2003:4−5; Magetsari 2008:8−9). Maka dari itu struktur Museum Situs Batujaya pun mengikuti perkembangan ini. Heni Fajria Rif’ati (2010) dalam tesisnya telah membuat analisis tentang struktur organisasi Museum Situs Batujaya beserta SDMnya berdasarkan kebutuhan sesuai dengan konsep struktur organisasi museum situs. Selanjutnya untuk mengelola museum perlu dibentuk struktur organisasi Museum Situs Batujaya dengan SDM museum sesuai dengan jenis, tugas, dan fungsinya.

Maka dari itu, dalam pengembangan Museum Situs Batujaya struktur organisasi seperti pada bagan 3. Kepala Museum Situs Batujaya membawahkan dua bidang utama, yaitu Bidang Administrasi dan Bidang Teknis. Bidang Administrasi membawahkan bidang Administrator dan Pengamanan. Bidang Teknis membawahkan Bidang Koleksi dan Bidang Komunikasi, dst.

Koleksi Museum

IMG_1816 Tablet BatujayaKoleksi Museum Situs Batujaya sangat beragam, di antaranya adalah bangunan, struktur, ornamen, arca, materai (votive tablet) terakota, inskripsi, gerabah, arca, alat logam, perhiasan, keramik, tulang dan serbuk sari (pollen). Koleksi tersebut adalah hasil penelitian yang telah dilakukan di Situs Batujaya oleh beberapa instansi, dan bangunan in situ baik yang telah dipugar ataupun belum.

No. Situs/Sektor Bentuk Denah Jenis
1. Segaran I Bujur sangkar Kaki candi
2. Segaran II-A Persegi panjang (?) Fondasi/profan
3. Segaran II-B/1 (?) Kaki candi
4. Segaran II-B/2 Memanjang Tembok
5. Segaran II-C Memanjang Tembok
6. Segaran II-D/ Persegi panjang Fondasi lantai/profan (3 ruang)
7. Segaran III-A Persegi panjang Fondasi candi
8. Segaran III-B Susunan bata (belum digali)
9. Segaran IV Bujur sangkar Kaki candi
10. Segaran V Bujur sangkar Kaki dan badan candi
11. Segaran VI Lingkaran Menhir/susunan
12. Segaran VII Persegi panjang Fondasi candi
13. Segaran VIII ? Fondasi/profan
14. Segaran IX Persegi panjang Fondasi/kaki candi
15. Telagajaya I-A Persegi panjang Kaki candi
16. Telagajaya I-B Bujur sangkar Kaki candi
17. Telagajaya I-C Persegi panjang Kaki candi
18. Telagajaya I- D Persegi panjang Kaki candi
19. Telagajaya I- E Menyudut 76o Sudut tembok/pagar keliling
20. Telagajaya II Persegi panjang Kaki candi
21. Telagajaya III Belum digali
22. Telagajaya IV-A Belum digali
23. Telagajaya IV-B Belum digali
24. Telagajaya V Bujur sangkar Kaki candi
25. Telagajaya VI-A Bujur sangkar Kaki candi
26. Telagajaya VI-B Bujur sangkar Kaki candi
27. Telagajaya VII Kosong
28. Telagajaya VIII Persegi panjang Fondasi candi
29. Telagajaya IX Fondasi/kaki candi (?) (dihuni/rumah penduduk)
30. Telagajaya X Fondasi/kaki candi (?) (dihuni/rumah penduduk)

 

Desain Arsitektur

Museum Situs Batujaya harus memiliki desain rancang bangun yang sesuai dengan museologi baru. Menurut Friess (2006:16) museum itu harus dibangun dari dalam ke luar, bukan sebaliknya. Jadi harus dipahami dahulu mengenai hasil penelitian secara komprehensip, baru mendesain bangunan museum. Friess menambahkan bahwa kurator dan desainer (arsitek) harus bekerja sama membuat museum menjadi tempat yang menarik, sehingga dapat menstimulasi memori pengunjung dan menjadi inspirasi.

Museum Situs Batujaya tidak perlu bangunan yang sangat luas, tetapi cukup untuk artefak-artefak yang telah terpilih dan sesuai dengan alur cerita. Bangunan Museum Situs Batujaya juga harus mencerminkan ‘kebatujayaan’. Salah satunya mengadopsi bentuk candi yang sudah dipugar, yaitu Candi Jiwa dan Candi Blandongan. Kedua candi ini memiliki ciri khas dengan bentuk stupa pada bagian atasnya. Hal ini sesuai dengan latar keagamaan, yaitu Buddha. Jadi Museum Situs Batujaya serasi dan selaras dengan koleksinya. Saat berada di depan Museum Situs Batujaya yang terbayang di banyak pengunjung adalah Batujaya.

Museum Situs Batujaya dapat mencontoh Museum Situs Sarnath yang mengadopsi biara Buddha sebagai bentuk bangunan museum situs. Museum Situs Batujaya juga dapat membuat suatu struktur terbuka untuk menyelamatkan berbagai temuan in situ seperti di Museum Situs Khajuraho yang pada 1910 telah dibangun dinding terbuka oleh W.E. Jardine untuk menampung sejumlah besar arca dan pahatan dalam berbagai jenis, baik rusak maupun utuh yang ditemukan di situs tersebut. Struktur open air tersebut diberi nama Jarnie Museum. Dalam upaya pelindungan situs dan tinggalannnya Pemerintah India membuat museum situs permanen di situs tersebut.

Selain itu, bangunan candi yang terbuat dari susunan bata itu dilarang untuk dinaiki oleh pengunjung. Maka Museum Situs Batujaya harus didesain agar dapat dinaiki pengunjung untuk dapat merasakan seolah-olah menaiki candi. Juga dapat menjadi menara pandang untuk melihat lingkungan di sekitar Museum Situs Batujaya. Maka dari itu, Museum Situs Batujaya dalam gambar sketsa terlihat ada tangga pada bagian luarnya.

Museum Situs Batujaya idealnya minimal memiliki lima atau enam ruang utama, yang didesain dalam bangunan berlapis atau bertingkat. Bentuk bangunan seperti ini dapat difungsikan sebagai menara pandang dengan menempatkan tangga pada bagian luar. Desain rancang bangun mengadopsi bentuk Candi yang telah dipugar, yaitu Candi Blandongan atau Candi Jiwa. Luas bangunan dapat mengambil ukuran Candi Blandongan yaitu 25 x 25 m.

Kurasi

Kurator di Museum Situs Batujaya harus melakukan preservation (pemeliharaan); revelation (pembukaan rahasia-penyusunan semua elemen masa kini); dan regeneration (kelahiran kembali melalui edukasi dan penyebaran). Kurator Museum Situs Batujaya harus dapat membangun pemahaman pengunjung melalui proses komunikasi, yang merupakan proses penyampaian pesan, dan merupakan tahap yang penting. Hal tersebut dapat menentukan keberhasilan Museum Situs Batujaya dalam menjalankan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan tujuan pendidikan dan kesenangan. [1]

Konsep Edukasi

Museum Situs Batujaya harus dapat berperan sebagai fasilitator atas cara belajar aktif melalui penanganan objek dan diskusi, yang dihubungkan dengan pengalaman konkrit pengunjung. Cara ini digunakan dalam pandangan konstruktivis, sedangkan cara yang diterapkan dalam teore didaktik atau stimulus respon mungkin bisa diterapkan sesekali dalam sesi guiding. Sementara cara lainnya adalah teore diskoveri yang menekankan pada proses aktif yang berhubungan dengan aktivitas fisik, sehingga dapat memberikan rangsangan untuk belajar, dapat mendukung cara yang digunakan dalam pandangan konstruktivis. Ada dua komponen penting dalam konstruktivis, yaitu partisipasi aktif dari pembelajar, dan pembelajar memvalidiasi kesimpulan sendiri. Museum Situs Batujaya juga harus dapat dapat memadukan sisi kognitif, afektif dan motorik pengunjung agar memberikan kemungkinan belajar yang efektif (Asiarto 2007:10).

Museum Situs Batujaya juga harus menjadi sarana belajar yang baik. Pengunjung dalam belajar mengalami proses belajar yang efektif—dengan mendapatkan ketrampilan, ilmu pengetahuan, dan pemahaman—dengan menggabungkan belajar aktif dan pengalaman. Dengan proses efektif ini pengunjung dapat belajar lebih mendalam (Black 2005:132).

Selain itu, Free-chioce learning dapat menjadi pilihan Museum Situs Batujaya dalam cara belajar informal yang juga efektif. Belajar dilakukan secara sukarela, serta didorong atas dasar kebutuhan dan ketertarikan individu (Falk dan Dierking 2002:9, dalam Suzuki 2005:30). Jadi proses belajar terjadi karena seseorang memilihnya, bukan karena ada keharusan untuk mempelajarinya. Maka aspek motivasi menjadi penting agar orang mau belajar atas pilihannya (Supriyanto 2009:17). Tipe belajar free-chioce learning ini sesuai dengan teore edukasi konstruktivis yang memiliki dua komponen penting, yaitu: pemahaman bahwa saat belajar membutuhkan partisipasi aktif dan pembelajar; dan pendekatan pendidikan yang mengharuskan tidak memvalidasi kesimpulan yang diambil dengan standar kebenaran eksteral, tetapi oleh pembelajar (Hein, 1998:34). Maka Museum Situs Batujaya harus menjadi sarana pembelajaran informal dengan menggunakan metode-metode tersebut. Agar hasil penelitian yang selama ini telah dilakukan dapat ‘dinikmati’ oleh semua kalangan masyarakat. Pengunjung dapat membangun pengetahuannya sendiri atas kesimpulan dari pemahamannya selama berada di dalam museum. Pengunjung juga diberi kebebasan untuk ‘memilih’ koleksi mana yang harus ‘dinikmati’, sehingga terjadi komunikasi dan interaksi (antara pengunjung dengan koleksi).

Pameran

Museum Situs Batujaya dengan dua jenis koleksi, yaitu artefak hasil penelitian yang banyak dan beragam, serta struktur yang in situ, dapat ditampilkan dalam pameran dengan pendekatan tematiknya Route atau pendekatan lingkungannya Lord dan Lord. Pendekatan tematik Route berbeda dengan pendekatan tematik Lord dan Lord. Pendekatan tematik Route memotivasi pengunjung untuk lebih jauh mencari informasi tentang objek dan pengetahuan, karena dapat merasakan adanya hubungan emosi. Kekuatannya pada cerita yang diinterpretasikan berdasarkan fakta. Dasar interpretasinya adalah paket komunikasi yang disampaikan untuk memprovokasi pengunjung untuk berpikir, menyimpulkan nilai moralitas cerita yang dapat diambil. Sementara pendekatan tematiknya Lord dan Lord hanya mengelompokkan objek menjadi tema-tema sosial, historis, kultural, dan ilmiah dengan menggunakan grafis dan sarana penjelasan lainnya. Pendekatan ini sering dikatakan sebagai pendekatan yang bersifat didaktis, dan umum digunakan dalam museum sejarah atau ilmu pengetahuan.

Pendekatan lingkungan akan lebih menarik dengan memanfaatkan setting ruangan, atau untuk menampilkan suasana yang sebenarnya dari koleksi. Pendekatan lingkungan dapat digunakan untuk ‘menghidupkan’ koleksi dalam sub tema-sub tema yang telah dibuat. Pendekatan ini juga mendukung metode pendidikan konstruktivisme yang memberikan ‘kebebasan’ pada pengunjung untuk memilih dan ‘menikmati’ koleksi. Dengan pendekatan lingkungan diharapkan pengunjung akan mendapatkan pengalaman yang menarik.

Pendekatan pameran lingkungan di Museum Situs Batujaya juga akan lebih menarik dengan dukungan pendekatan interaktif dan hand-on. Pendekatan interktif dapat melibatkan pengunjung secara aktif dalam menelusuri setiap koleksi di Museum Situs Batujaya dan dapat menjadi pengalaman yang sangat baik. Sementara pendekatan Hand-on dapat menempatkan pengunjung untuk belajar melalui pengalaman fisik dengan menyentuh dan menggunakan koleksi sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Tema Pameran

Pameran Museum Situs Batujaya disusun berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Situs Batujaya, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Situs Batujaya adalah multicomponent site. Di Situs Batujaya terdapat temuan yang berasal dari lapisan budaya Buni, yang berada di bawah lapisan masa Hindu-Buddha. Dari beberapa penelitian juga menghasilkan kesimpulan bahwa Situs Batujaya merupakan situs masa Hindu-Buddha yang tertua di Jawa Barat, yaitu abad V. Bahkan Hasan Djafar (2010:130) dalam disertasinya menyimpulkan bahwa  Situs Batujaya merupakan kompleks percandian  agama Buddha yang tertua di Jawa. Kesimpulan-kesimpulan ini kemudian dikemas menjadi tema Museum Situs Batujaya, yaitu “Situs Batujaya sebagai satu-satunya percandian tertua di Jawa”. Tema ini diurai dalam dua sub tema, yaitu: Sub tema penelitian dan sub tema keragaman budaya Batujaya. Tema dan sub tema ini diwujudkan dalam bentuk alur cerita sebagai kerangka kerja untuk membangun pesan pendidikan yang terdiri atas narasi, garis besar pameran, dan urutan cerita.

Alur Cerita

Alur cerita Museum Situs Batujaya dibuat berdasarkan tema Museum Situs Batujaya, yang diurai ke dalam dua sub tema, yaitu tentang penemuan dan tentang keragaman budaya Batujaya.

Tema Situs Batujaya sebagai satu-satunya percandian tertua di Jawa
Sub tema Informasi pameran/sajian pameran
Penemuan Mengenai penemuan dan penelitian yang pernah dilakukan di Situs Batujaya.
Keragaman budaya Batujaya Mengenai kebudayaan Batujaya (prasejarah) dan kebudayaan yang terbentuk karena adanya pengaruh luar (Hindu-Buddha)
Prasejarah Kehidupan sehari-hari Mengenai temuan wadah tembikar dan peralatan logam yang berhubungan dengan kehidiupan sehari-hari.
Masyarakat Mengenai kondisi sosial masyarakat melalui analisis temuan bekal kubur.
Hindu- Buddha Percandian dan bangunan profan di Situs Batujaya masih berhungan dengan percandian, khususnya beberapa bangunan di Segaran II yang merupakan kelompok bangunan profan. Bangunan-bangunan itu merupakan tempat tinggal para pendeta dan tempat untuk melakukan persiapan upacara.
Teknologi Mengenai teknologi pembuatan fondasi, pembuatan bata, pengolahan bahan batuan, penggunaan stuko dan pemanfaatan sumber daya alam.
Seni Kehadiaran agama Hindu dan Buddha di wilayah Kerajaan Tārumā, khususnya di daerah pantai utara Jawa Barat telah menghasilkan suatu bentuk kesenian baru, yaitu seni bangunan yang terbuat dari bata, khususnya seni bangunan keagamaan yang berbentuk candi. bentuk hiasan-hiasan relief yang terbuat dari bahan stuko dengan jenis ragam hias seperti bingkai-bingkai berbentuk pita dengan diberi motif floral, untaian manik-manik, dan hiasan bermotif bunga. Bisa pula motif hiasan berupa relung-relung dengan bingkai pinggi berbentuk pita ganda dengan bagian ujung berbentuk hiasan cĕplok bunga padma mekar, atau berbentuk ukĕl (yang diduga di bagian tengahnya terdapat relief berupa arca kepala atau torso), seperti bentuk kudu yang lazin ditemukan pada bagian dinding badan atau di bagian atas candi, seperti di Candi Bima, di Kompleks percandian Dieng. Juga arca-arca stuko kecil, fragmen ikal rambut arca batu dan fragmen kaki arca perunggu. Arca-arca kepala manusia, tokoh dewata dan hewan pun bisa ditampilkan, karena memiliki kesamaan dengan gaya seni arca dari Nālandā.
Aksara dan Bahasa Mengenai inskripsi Batujaya memiliki beberapa aksara yang bentuknya mempunyai kedekatan dengan bentuk aksara Palawa dari masa Tārumā-nagara.
Agama Mengenai kompleks percandian di Situs Batujaya yang berlatar agama Buddha. Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat suci yang dituliskan dalam inskripsi-inskripsi Batujaya dengan jelas memberikan bukti yang kuat mengenai latar keagamaan yang bercorak agama Buddha.
Pola sebaran bangunan & tatanan pemukiman Mengenai pembagian bangunan di Situs Batujaya berdasarkan orientasi arahnya terhadap mata angin menjadi empat kelompok. Juga mengenai situs perbengkelan atau industri yang menghasilkan barang-barang keperluan hidup. Juga ada pertukaran atau perdaganan dengan tempat-tempat lain di luar kawasan ini. Bahan pangan yang melimpah atau surplus dijadikan komoditi perdagangan baik lokal maupun dengan luar.
Masyarakat Mengenai dua jenis kepemimpinan yang mempunyai peranan penting dalam menata kehidupan masyarakat ketika datangnya pengaruh unsur-unsur budaya India, yaitu kepemimpinan yang berkaitan dengan religi, dan kepemimpinan sekuler yang berkaitan dengan masalah kekuasaan dalam kehidupan masyarakat.
Ekonomi Wilayah yang sangat subur dan banyak sungai, memungkinkan untuk menanam padi di sawah dengan irigasi yang intensif. Rute pelayaran dan perdagangan antara India dan Tiongkok yang melewati kawasan Asia Tenggara ramai sejak awal Masehi. Di sepanjang jalur pelayaran dan perdagangan ini tumbuh pusat-pusat perdagangan dan permukiman yang ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai kawasan.

 

Tema Situs Batujaya sebagai satu-satunya Percandian di Jawa Barat
Sub tema Koleksi Penunjang Keterangan
Penemuan Label Informasi dan foto, terutama foto-foto lama penelitian dan pemugaran. Berada di ruang pameran pertama dengan desain interior (tata pamer) ‘tidak mengalir’
Keragaman budaya Batujaya Pra sejarah Kehidupan sehari-hari Gerabah Buni Artefak logam Label Informasi dan foto Berada di ruang pameran kedua (dan bisa dikembangkan menjadi beberapa ruang [disesuiakan dengan banyaknya koleksi]) dengan desain interior (tata pamer) ‘tidak mengalir’
Masyarakat Bekal kubur Label Informasi dan foto
Hindu-Buddha Bangunan Candi Jiwa, Blandongan Label Informasi dan foto
Teknologi Bata, stuko fragmen dayung, dll Label Informasi dan foto
Seni Arca, ornamen Label Informasi dan foto
Aksara dan Bahasa Inskripsi Label Informasi dan foto
Keagamaan Inskripsi, arca, candi Label Informasi dan foto
Pola sebaran bangunan & tatanan pemukiman Peta keletakan situs Label Informasi peta dan foto
Ekonomi Gerabah Arikamedu Label Informasi peta dan foto

 

Program Publik

Program publik Museum Situs Batujaya dapat dibentuk dengan beragam desain, yang bertujuan untuk memberikan pengalaman kepada pengunjung. Program publik yang berhubungan dengan tema pertama (tentang penemuan) dapat memberikan pengalaman kepada pengunjung tentang bagaimana belajar (learn) melalui observasi dengan objek asli; Menyelidiki (investigate) bagaimana arkeolog bekerja dan memahami kehidupan, masyarakat dan budaya masa lalu; Mencari (look for) bukti masa lalu dengan melalui sentuhan dan belajar menemukan; Melibatkan (engage) dengan melalui penggunaan indera berdasarkan pada pengalaman; Belajar arkeologi (study archaeology) baik tentang seni, sejarah, agama dsb, serta membuat bentuk hubungan (make links) dari berbagai proses pembelajaran.

Museum Situs Batujaya dapat menggunakan strategi belajar aktif (acitve learning) yang melibatkan seluruh indera dan pengalaman pelajar melalui konsep edutainment. Strategi ini dapat diterapkan di dalam dan di luar museum. Dengan strategi ini dapat dibuat suatu pameran temporer dan program pendidikan (atau program publik lainnya) yang menarik, informatif, dan interaktif. Banyak program publik yang umum dilakukan seperti pemanduan, ceramah, workshop, lomba, dll. Akan tetapi untuk Pengembangan Museum Situs Batujaya perlu suatu program publik yang menarik dan khas, seperti membatik dengan motif huruf Palawa dengan mencontoh inskripsi pada materai terakota (votive tablet) atau pada lempeng emas. Bisa juga membatik dengan motif-motif yang ada pada temuan gerabah batujaya dan gerabah Arikamedu.

Program publik lainnya adalah kunjungan situs malam hari, sehingga akan didapatkan pengalaman yang berbeda daripada berkunjung ke situs pada siang hari. Untuk pelajar sekolah menengah dan mahasiswa bisa dibuat program membuat karangan ilmiah tentang Batujaya, atau lomba menggambar dan mewarnai untuk pelajar tingkat dasar dan pendidikan usia dini. Lomba fotografi bisa dibuat untuk kalangan pelajar, umum dan wartawan (jurnalistik). Pembagiannya bisa dengan jenis kamera yang digunakan, di antaranya kamera HP, kamera saku, kamera prosumer, dan kamera DSLR.

Pastisipatory juga bisa dibuat untuk memberi kesempatan kepada pengunjung untuk menjadi kontributor, sehingga dapat merasakan keterlibatannya dalam proses komunikasi museum. Partisipatory yang dibuat bisa berupa simulasi kotak gali dengan sejumlah temuan di dalamnya. Kemudian pengunjung dapat menuliskan apa pun kedalam lembar kertas yang telah disediakan. Tema partisipatory bisa berbeda setiap hari, minggu atau bulan. Misalnya tema tentang persamaan antara gerabah yang ditemukan di Situs Batujaya dengan gerabah yang pernah dilihat atau bahkan digunakan oleh pengunjung. Bisa juga dibuat tema dengan pertanyaan “bagaimana jika anda seorang arkeolog?

KESIMPULAN

Museum Situs Batujaya hendaknya dapat menjadi lembaga yang dapat melindungi tinggalan budaya hasil penelitian di Situs Batujaya, baik yang bergerak maupun bangunan candi yang in situ. Museum Situs Batujaya harus dibangun di lokasi asli atau di dalam Situs Batujaya untuk melindungi tinggalan arkeologi di kawasan tersebut. Yang dimaskud dengan lokasi asli adalah yang di tempat itu pernah terjadi peristiwa, baik prasejarah ataupun sejarah yang penting. Museum Situs Batujaya juga merupakan bangunan yang dibangun di Situs Batujaya yang di bebarapa situs telah dilakukan penggalian arkeologi.

Museum Situs Batujaya harus memiliki desain rancang bangun yang sesuai dengan museologi baru, dan dirancang dari dalam ke luar, bukan sebaliknya. Museum Situs Batujaya juga harus serasi dan selaras dengan koleksinya. Museum Situs Batujaya harus didesain agar dapat ‘dinaiki’ pengunjung untuk dapat merasakan seperti atau seolah-olah menaiki candi. Juga dapat menjadi ‘menara pandang’ untuk melihat lingkungan di sekitar Museum Situs Batujaya. Museum Situs Batujaya idealnya minimal memiliki enam ruang utama, yang didesain dalam bangunan berlapis atau bertingkat. Bentuk bangunan seperti ini dapat difungsikan sebagai menara pandang dengan menempatkan tangga pada bagian luar. Desain rancang bangun mengadopsi bentuk Candi yang telah dipugar, yaitu Candi Blandongan atau Candi Jiwa. Luas bangunan dapat mengambil ukuran Candi Blandongan yaitu 25 x 25 m.

Dalam pengelolaannya Museum Situs Batujaya harus melakukan beberapa cara, yaitu: menjadikan situs-situs di Situs Batujaya sebagai koleksi Museum Situs Batujaya; melakukan penelitian dan pelestarian; mengomunikasikan hasil penelitian dan konservasi; dan membuat tema tata pamer yang dapat mengintegrasikan bangunan-bangunan yang terpisah dalam satu rangkaian cerita. Maka dari itu Museum Situs Batujaya harus memiliki pengelola yang memahami tentang museologi baru, dan dapat melestarikan, menyajikan, dan memublikasikan museum bagi kepentingan pelayanan wisata, pendidikan, dan penelitian.

Museum Situs Batujaya harus dapat berperan sebagai fasilitator atas cara belajar aktif melalui penanganan objek dan diskusi, yang dihubungkan dengan pengalaman konkrit pengunjung. Cara ini digunakan dalam pandangan konstruktivis. Museum Situs Batujaya juga harus dapat dapat memadukan sisi kognitif, afektif dan motorik pengunjung agar memberikan kemungkinan belajar yang efektif.

Museum Situs Batujaya juga harus menjadi sarana belajar yang baik, dengan menggabungkan belajar aktif dan pengalaman. Maka dari itu Free-chioce learning dapat menjadi pilihan sebagai cara belajar informal yang juga efektif. Tipe ini sesuai dengan teore edukasi konstruktivis yang memiliki dua komponen penting, yaitu: pemahaman bahwa saat belajar membutuhkan partisipasi aktif dan pembelajar; dan pendekatan pendidikan yang mengharuskan tidak memvalidasi kesimpulan yang diambil dengan standar kebenarann eksteral, tetapi oleh pembelajar.

Alur cerita dalam Museum Situs Batujaya dengan tema yang kemudian dirinci menjadi sub tema dikemas dalam satu desain komunikasi berupa pameran, baik pameran tetap maupun temporer. Pameran Museum Situs Batujaya disusun berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Situs Batujaya. Kemudian dikemas menjadi tema, yaitu “Situs Batujaya sebagai satu-satunya percandian tertua di Jawa”. Tema ini diurai dalam dua sub tema, yaitu: Sub tema penelitian dan sub tema keragaman budaya Batujaya. Tema dan sub tema ini diwujudkan dalam bentuk alur cerita sebagai kerangka kerja untuk membangun pesan pendidikan yang terdiri atas narasi, garis besar pameran, dan urutan cerita.

Museum Situs Batujaya dengan dua jenis koleksi, yaitu artefak hasil penelitian dan struktur yang in situ dapat ditampilkan dalam pameran dengan pendekatan lingkungan. Pendekatan lingkungan akan lebih menarik dengan memanfaatkan setting ruangan, atau untuk menampilkan suasana yang sebenarnya dari koleksi. Pendekatan lingkungan dapat digunakan untuk ‘menghidupkan’ koleksi dalam sub tema-sub tema yang telah dibuat. Pendekatan ini juga mendukung metode pendidikan konstruktivisme yang memberikan ‘kebebasan’ pada pengunjung untuk memilih dan ‘menikmati’ koleksi. Dengan pendekatan lingkungan diharapkan pengunjung akan mendapatkan pengalaman yang menarik.

Pendekatan pameran lingkungan di Museum Situs Batujaya akan lebih menarik dengan didukung dengan pendekatan interaktif dan hand-on. Dengan melibatkan pengunjung secara aktif dalam menelusuri setiap koleksi di Museum Situs Batujaya dapat menjadi pengalaman yang sangat baik. Pendekatan Hand-on dapat menempatkan pengunjung untuk belajar melalui pengalaman fisik dengan menyentuh dan menggunakan koleksi sebagai bagian dari proses pembelajaran. Hands-on exhibition juga dapat dimaknai sebagai computer games, yang lebih banyak mengunakan keyboard, joystick, atau virtual reality, sehingga dapat menggabungkan aspek hiburan dan belajar.

Museum Situs Batujaya dapat menggunakan strategi belajar aktif (acitve learning) yang melibatkan seluruh indera dan pengalaman pelajar melalui konsep edutainment. Strategi ini dapat diterapkan di dalam dan di luar museum. Dengan strategi ini dapat dibuat suatu pameran temporer dan program pendidikan (atau program publik lainnya) yang menarik, informatif, dan interaktif. Banyak program publik yang umum dilakukan seperti pemanduan, ceramah, workshop, lomba, dll. Akan tetapi untuk Pengembangan Museum Situs Batujaya perlu suatu program publik yang menarik dan khas, seperti membatik dengan motif huruf Palawa dengan mencontoh inskripsi pada materai terakota (votive tablet) atau pada lempeng emas. Bisa juga membatik dengan motif-motif yang ada pada temuan gerabah batujaya dan gerabah Arikamedu. Bisa juga dibuat program kunjungan situs malam hari sehingga akan didapatkan pengalaman yang berbeda daripada berkunjung ke situs pada siang hari. Untuk pelajar sekolah menengah dan mahasiswa bisa dibuat program membuat karangan ilmiah tentang Batujaya, atau lomba menggambar dan mewarnai untuk pelajar tingkat dasar dan pendidikan usia dini. Lomba fotografi bisa diuat untuk kalangan pelajar, umum dan wartawan (jurnalistik). Pembagiannya bisa dengan jenis kamera yang digunakan, di antaranya kamera HP, kamera saku, kamera prosumer, dan kamera DSLR.

Pastisipatory juga bisa dibuat untuk memberi kesempatan kepada pengunjung untuk menjadi kontributor, sehingga dapat merasakan keterlibatannya dalam proses komunikasi museum. Partisipatory yang dibuat bisa berupa simulasi kotak gali dengan sejumlah temuan di dalamnya. Kemudian pengunjung dapat menuliskan apa pun kedalam lembar kertas yang telah disediakan. Tema partisipatory bisa berbeda setiap hari, minggu atau bulan. Misalnya tema tentang persamaan antara gerabah yang ditemukan di Situs Batujaya dengan gerabah yang pernah dilihat atau bahkan digunakan oleh pengunjung. Bisa juga dibuat tema dengan pertanyaan “bagaimana jika anda seorang arkeolog?

Baca juga: Beton Stuko Batujaya Tertua di Nusantara

Daftar Pustaka

Allan, Douglas A. (1995). “Site Museum in Scotland”, dalam Museum, Vol. VIII, no2., 1995. UNESCO-Paris. Hlm. 107.

Asiarto, Luthfi (2007). “Museum dan Pembelajaran”, dalam Museografia: Majalah Ilmu Permuseuman, Vol. 1, No. 1-September 2007, Jakarta: Direktorat Museum, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Black, Graham (2005). The Engaging Museum: Developing Museum for Visitor Involvement”, London dan New York: Routledge.

Chabbra, B. Ch. (1956). “Site Museums of India”, dalam Museum, Vol. IX, No1, 1956. Hlm. 42−49.

Davis, Douglas (1977). Art Culture: Essay on the Postmodern, New York: Harper & Row,

Djafar, Hasan (2010). Kompleks Percandian Batujaya: Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat, Bandung: Penerbit Kiblat Buku Utama, École Française d’Extrême-Orient, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, KITLV-Jakarta

Falk, Jhon H dan Dierkling, Lynn D. (2002). Lessons Without Limit How Free-Choice Learning is Transforming Education, New York: Altamira.

Friess, Peter (2006). “Curators and Their Architects”, dalam Curator 49/1, January 2006. Hlm. 16−20

Hein, George E. (1998/2002). Learning in the Museum. London: Routledge.

Magetsari, Noerhadi, (2008). “Filsafat Museologi”, dalam Museografia, Vol. II, No. 2, (Oktober 2009). Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Hlm. 6.

Mensch, P. Van (2003). Museology and Management: Enemis of Friend. Current Tendecies in Theoretical Museology and Museum Management in Europe, disampaikan sebagai keynote speech dalam konferensi tahunan ke-4 Japanaese Museum Managaement Academy, Tokyo, 7 Desember 2003.

Rif’ati, Heni Fajria (2010). Pengelolaan Museum Situs Batujaya sebagai Objek Wisata Budaya di Kabupaten Karawang, Tesis Program Studi Ilmu-ilmu Sastra Konsentrasi Museologi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

Sutaarga, Moh. Amir (1989/1990). Pedomman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum, Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta. Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemenh Pendidikan dan Kebudayaan.

Suzuki, Midori (2005). Toward Enhanced Learning of Science: an Educational Scheme for Informal Science Institution”, Disertasi untuk Doctor of Philosophy pada North Carolina State University.

[1]     Menurut Douglas Davis (1977) ada tiga hal yang harus dilakukan oleh museum pada abad ke-21, yaitu: preservation (pemeliharaan); revelation (pembukaan rahasia-penyusunan semua elemen masa kini); dan regeneration (kelahiran kembali melalui edukasi dan penyebaran).

Sekilas Sejarah PDRI

0
Desain Museum dan Monumen PDRI tampak samping.
Desain Museum dan Monumen PDRI tampak samping.

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) adalah penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia periode 22 Desember 1948–13 Juli 1949. Dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara yang disebut juga dengan Kabinet Darurat. Sesaat sebelum pemimpin Indonesia saat itu, Sukarno dan Hatta ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948. Mereka sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara.

Tidak lama setelah ibukota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, mereka berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti Sukarno, Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan. Mendengar berita itu, pada 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh yang berjarak 15 km di selatan kota Payakumbuh.

Berkumpul di Halaban

Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Sukarno belum diterima, pada 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Kini, sejarah yang sangat penting bagi Negara Indonesia ini akan diabadikan dalam bentuk monumen dan museum yang dibangun di Kabupaten Limapuluhkoto, Provinsi Sumatera Barat, dengan nama Monumen dan Museum PDRI.

Pembangunan Museum dan Monumen PDRI

0
Desain Museum dan Monumen PDRI.
Desain Museum dan Monumen PDRI.

Pembangunan Monumen Bela Negara PDRI

Pembangunan Monumen Bela Negara PDRI di Kabupaten Limapuluhkoto, Sumatera Barat merupakan representasi dari peristiwa peristiwa bersejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, yang merupakan penyelamat Republik Indonesia di mata dunia. Peristiwa ini adalah salah satu babak penting sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sehingga pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Penetapan Hari Bela Negara pada tanggal 19 Desember.

Monumen PDRI dibangun dengan menggunakan dana Tugas Pembantuan melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penataan kawasan Monumen ini direncanakan berkonsep linier, untuk memudahkan akses bagi pengunjung, dan dapat meminimalisir kawasan yang rusak akibat pengolahan lahan, serta pembangunan monumen dan fasilitas penunjangnya.

Kearifan lokal dan sejarah perjuangan

Nilai kearifan lokal dan sejarah perjuangan menjadi inspirasi untuk dituangkan dalam garis desain dan elemen desain kawasan secara umum. Pemilihan material, desain bangunan, serta pesan-pesan arsitektural ditampilkan dalam bentuk fresh yang mengakar pada nilai-nilai setempat. Agar menjadi identitas bagi kawasan ini, tetapi tidak menjadi “asing” bagi masyarakat dari luar kawasan.

Desain Museum PDRI tampak samping.
Desain Museum PDRI tampak samping.

Desain

Monumen ini dirancang dengan sumbu sederhana agar mudah dikembangkan. Ruang-ruang dibuat sebagai bahan belajar dan pengingat masa lalu tentang kegigihan dan rasa percaya diri untuk melawan musuh bersama, termasuk nilai-nilai sosial yang bisa diserap. Ruang-ruang ditata dengan berdasar pada alur sejarah perjuangan, dari penjajahan menuju kemerdekaan yang hakiki.

Monumen PDRI mengambil desain dengan menggubah Rumah Gadang yang merupakan simbol lokal dan refleksi dari bahtera. Masa bangunan yang terbelah dua menunjukkan kondisi darurat yang mendesak untuk dilakukan langkah penyelamatan. Rangka baja yang menyelimuti bangunan menjadi simbol kesementaraan sekaligus keberlanjutan sebagai refeksi keberadaan PDRI dalam menjaga eksistensi NKRI. Kulit bangunan terbuat dari rangkaian rangka baja  dapat mengurangi glare pada dinding bangunan yang terbuat dari kaca, serta sebagai elemen pembentuk efek visual.

Namun pembangunan monumen ini juga tidak terhindar dari permasalahan, terutama kondisi alam. Kondisi Jalan Koto Tinggi Aia Angek rusak parah, dan curah hujan yang cukup tinggi mengganggu mobilisasi material, serta mengganggu pelaksanaan pekerjaan.

Baca juga: Sekilas Sejarah PDRI

Pembangunan Museum Islam Termegah di Nusantara

0

museum-isalam-nusantara-render-crop-tebuireng.orgKita patut berbahagia, karena pada tahun ini, gagasan untuk mengabadikan, mengumpulkan, melestarikan, meneliti, mengomunikasikan, dan memamerkan kepada masyarakat tentang benda-benda peninggalan bersejarah tentang perkembangan dan perjuangan agama Islam di Nusantara akan diwujudkan dalam suatu museum. Museum yang nantinya akan dinamakan Museum Islam Nusantara “KH. Hasyim Asy’ari” di Jombang ini akan berisi informasi mengenai sejarah masuk dan bekembangnya Islam di Nusantara,  hingga pada zaman perjuangan melawan penjajah, zaman pergerakan nasional dan pada era reformasi.

Gagasan ini muncul dari berbagai elemen masyarakat, di antaranya sejarahwan, budayawan, kalangan pesantren, serta masyarakat secara luas. Pemerintah pusat serta pemerintah dan masyarakat Kabupaten Jombang sangat merespon gagasan tersebut. Museum yang salah satu koleksinya berhubungan dengan Pahlawan Pergerakan Nasional KH. Hasyim Asy’ari, akan dibangun Lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng, Cukir, Diwek Jombang.

Sebenarnya pembangunan Museum Islam Nusantara telah dimulai sejak 2013, dan diharapkan akan selesai pembangunannya pada 2015 ini. Tata pamer museum ini nantinya tidak hanya sekadar “exhibition collection” (hanya memamerkan benda-benda koleksi museum), tetapi lebih ke ”Participation and Interactive exhibiton” (partisipatori dan interaktif), agar pengunjung mendapatkan pengalaman yang lebih menyenangkan. Tata pamer seperti ini juga akan memberi kesan adanya keterikatan antara pengunjung, koleksi serta cerita dibalik koleksi.

Museum ini rencananya akan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia bersamaan dengan Muktamar NU di Jombang pada awal Agustus 2015. (Ivan Efendi) Museum Jombang Tampak Utara Museum Jombang Tampak Timur

Kemendikbud Segera Terbitkan Buku Museum Tematik di Indonesia

0

buku museum

Jakarta — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan meluncurkan Buku Museum Tematik di Indonesia,  akhir tahun ini. ”Tahun ini kami akan menerbitkan beberapa buku edisi lux, salahsatunya Buku Museum Tematik di Indonesia,” kata Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Harry Widianto, di Jakarta.

“Buku ini merupakan salah satu bentuk publikasi tentang museum-museum khusus yang ada di Indonesia, dan segmentasinya untuk masyarakat luas. Oleh karenanya, buku ini menggunakan bahasa yang popular yang tentunya mudah dimengerti” Imbuh Harry.

Harry menambahkan bahwa “tujuan dari penerbitan Buku Museum Tematik di Indonesia adalah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap museum dan tentunya memanfaatkan museum sebagai media pembelajaran yang menyenangkan”

Buku Museum Tematik di Indonesia berisi tentang 45 museum dengan tema khusus dan tersebar di seluruh Indonesia. Museum tersebut bertemakan Sejarah Perjuangan, Etnografi dan Arkeologi, Seni, Industri, Rumah Bersejarah Sejarah Alam, Perbankan, dan Religi.

Yang takkalah menarik, buku ini dilengkapi dengan berbagai foto hasil jepretan beberapa fotografer profesional di Indonesia.

Museum-Museum di Indonesia akan Segera di Standardkan

0

 

 

standardisasi museum standardisasi 2

Jakarta —-  Sebagaimana lembaga lain yang berbasis pelayanan terhadap masyarakat (seperti rumah sakit, terminal, lembaga pemasyarakatan, perguruan tinggi, dan sekolah) yang telah memiliki standardisasi, museum sudah selayaknya memiliki standardisasi dalam hal pengelolaannya, agar dapat dinilai dan dievaluasi.

Tahun 2013 ini, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman selaku pembina museum-museum di Indonesia merasa perlu untuk membuat Pedoman Standardisasi Museum di Indonesia.

Pedoman Standardisasi Museum ini telah di Uji Petikkan di Makassar dan Yogyakarta pada Bulan November 2013. Kegiatan ini dibuka oleh Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Harry Widianto serta diikuti oleh penyelenggara dan pengelola museum.

Dalam Sambutannya Harry menyampaikan bahwa “Standardisasi ini akan dijadikan sebagai acuan baku untuk pengelolaan museum-museum di Indonesia. Tujuannya tidak lain agar penyelenggara dan pengelola museum di Indonesia termotivasi untuk mengelola museumnya menjadi lebih baik”

“Standardisasi tersebut juga dijadikan oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam pengembangan museum tersebut” Ujarnya.

Sudah seharusnya, Ungkap Harry “Museum-Museum di Indonesia di standardisasi, baik dari sisi pendirian maupun pengelolaannya. Tercatat, Indonesia memiliki kurang lebih 275 museum, bervariasi jenis, koleksi, dan pengelolaanya. Namun disayangkan kita belum memiliki standardisasi yang baku tentang pengelolaan tersebut”

Standardisasi pengelolaan museum akan dilakukan dua tahun setelah museum memperoleh nomor pendaftaran nasional. Selanjutnya pemerintah melakukan evaluasi terhadap Museum yang telah memperoleh standarisasi setiap 3 (tiga) tahun sekali. Dalam pelaksanaan evaluasi tersebut, tentunya kita akan melibatkan komunitas yang perduli terhadap perkembangan museum.

Pedoman Pemanfaatan Cagar Budaya Nasional dan Dunia Telah Dirampungkan

0

Jakarta —– Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah merampungkan Pedoman Pemanfaatan Cagar Budaya Nasional dan Dunia. Pedoman ini telah disusun pada bulan Mei 2013 di Semarang dan dirampungkan pada Bulan September 2013 di Bandung.

Dalam Sambutan Penyusunan Pedoman Pemanfataan Cagar Budaya Nasional dan Dunia di Semarang, Gatot Ghautama Selaku Plt. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman menyatakan bahwa ”Pedoman ini diperlukan mengingat Cagar Budaya di Indonesia sangat beranekaragam bentuk, bahan, jenis dan fungsinya”

Bahkan, Gatot menambahkan ”beberapa Cagar Budaya kita telah diakui oleh badan dunia UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage). Pengakuan tersebut membuktikan bahwa Indonesia memiliki warisan budaya yang tidak kalah nilainya dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia”.

Di lain kesempatan, pada saat Sambutan Finalisasi Pedoman Pemanfaatan Cagar Budaya Nasional dan Dunia di Bandung, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Harry Widianto mengatakan bahwa ”Cagar Budaya memiliki nilai budaya tinggi, di samping menjadi kebanggaan juga menjadi sumber pembentukan karakter bangsa dan budi pekerti bangsa.

”Cagar Budaya tersebut boleh dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, pariwisata, dan lain-sebagainya. Bahkan dari tahun ke tahun jumlah pemanfaatannya cenderung terus mengalami peningkatan” Ujarnya.

Dalam sambutannya pula, Harry menambahkan ”di samping mempunyai dampak positif terhadap kelestarian Cagar Budaya, aktivitas pemanfaatan Cagar Budaya tidak sedikit yang menimbulkan dampak negatif, dan hal ini tidak boleh diabaikan. Pemanfaatan Cagar Budaya secara berlebihan dan tidak terkendali untuk berbagai kepentingan yang tidak sesuai dengan kaidah pelindungan dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap fisik bangunan maupun nilai-nilai yang terkandung dalam cagar budaya itu sendiri. Berbagai upaya untuk melestarikan Cagar Budaya telah, sedang, dan akan dilakukan”

Untuk mewujudkan terciptanya iklim koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi pemanfaatan Cagar Budaya antara pusat dan daerah, maka disusunlah Pedoman Pemanfaatan Cagar Budaya Nasional dan Warisan Budaya Dunia. Dengan adanya pedoman ini akan menjadi jelas prinsip-prinsip dan kebijakan, serta langkah-langkah teknisnya. Selain itu, batas-batas kewenangan lembaga menjadi jelas sehingga akan tergambar siapa dapat melakukan apa, di mana, kapan dan bagaimana caranya, secara terarah dan terpadu, serta mudah dipahami. (AP)