Beranda blog Halaman 90

Museum Situs di Kawasan Muarajambi

0

Oleh: Rusmiyati

I. Pendahuluan

Pendirian museum situs pada setiap daerah memiliki perbedaan latar belakang pendirian, prinsip-prinsip yang terkait dengan lokasi museum situs, bentuk bangunan dan sifat geografis situs, fungsi, ruang lingkup dan pengelolaan museum situs. Hal ini disebabkan setiap daerah atau wilayah memiliki karakteristik sejarah dan budaya serta masyarakat pendukung yang berbeda. Berkaitan dengan hal tersebut, maka di Kawasan Muarajambi yang memiliki tinggalan budaya yang bervariasi, tentunya mempunyai potensi besar dalam pendirian museum situs yang sesuai dengan kaidah permuseuman dan konsep museologi baru.

Secara astronomis Kawasan Muarajambi berada pada 103o 22’ BT hingga 103o 45 ” BT dan 1o 24’ LS hingga 1o 33’ LS. Secara administratif daerah-daerah yang tercakup dalam Kawasan Muarajambi meliputi tujuh wilayah desa, yaitu Desa Dusun Baru, Desa Danau Lamo, Desa Muarajambi, Desa Kemingking Luar dan Desa Kemingking Dalam, Desa Teluk Jambu, dan Desa Dusun Mudo.  Ketujuh desa tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan Maro Sebo dan Taman Rajo, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004).

Nama Muarajambi kali pertama muncul dari laporan seorang perwira angkatan laut Kerajaan Inggris bernama S.C. Crooke pada 1820. Crooke melaporkan bahwa ia melihat reruntuhan bangunan dan menemukan satu arca yang menggambarkan arca Buddha. Keterangan Crooke ini kemudian dilengkapi oleh T. Adam, seorang Belanda yang berkunjung ke Jambi pada 1921. Adam juga tidak menyebutkan peninggalan-peninggalan lain di luar bangunan dan arca. Tiga belas tahun kemudian, F.M.Schnitger mengunjungi Jambi. Ia menambahkan beberapa informasi tentang nama-nama candi baru selain Astano, yaitu Gumpung, Tinggi, Gunung Perak, Gudang Garem, Gedong I, dan Gedong II. Schnitger sempat melakukan ekskavasi pada bagian dalam sejumlah candi (Mundardjito, 1995, 1996; SPSP Jambi, 1999, 2000).

Pengembangan Pusat Informasi Kawasan percandian Muarajambi menjadi museum situs tentunya bukan saja sebagai tempat menyimpan dan memamerkan berbagai macam artefak hasil temuan dan penelitian, tetapi juga dapat menjadi pusat informasi, pendidikan dan penelitian tentang Kawasan Muarajambi. Hal in tentunya sesuai dengan fungsi dasar museum sebagaimana yang dijabarkan oleh Mensch (2003) bahwa preservasi mencakup pemeliharaan fisik maupun administrasi koleksi (pengumpulan, pendokumentasian, konservasi, dan restorasi koleksi). Riset atau penelitian dilakukan terhadap warisan budaya sesuai dengan subject matter discipline. Komunikasi berupa kegiatan penyebaran informasi hasil penelitian dan pengalaman dalam bentuk pameran, program edukasi, even, dan publikasi (van Mensch, 2003: 10; Magetsari, 2008: 13-14).

Melalui observasi kepustakaan dan lapangan, diperoleh data mengenai situs-situs yang terdapat di Kawasan Muarajambi, yaitu candi, manapo, kanal-kanal kuno, dan danau atau kolam kuno. Situs-situs tersebut antara lain: Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Tinggi, Candi Kembarbatu, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Astano, Candi Kedaton, Candi Kotomahligai, Candi Teluk I, Candi Teluk II, Menapo Kasih, Menapo Selat, Menapo Durian Sakat, Menapo Sialang I, Menapo Kedongdong, dan Menapo Buluran Keli serta Kolam Telagarajo, kanal-kanal kuno dan Bukit Sengalo atau Bukit Perak.

Selain situs-situs tersebut, di Kawasan Muarajambi juga terdapat satu bangunan yang diberi nama Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan, menyelamatkan dan memamerkan koleksi hasil temuan penelitian maupun hasil temuan masyarakat. Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi ini berada 50 meter dari pagar keliling Candi Gumpung di sisi selatan pada tanah seluas 460 meter persegi, dengan fasilitas ruang pamer, ruang satpam, ruang tamu, ruang reparasi, kamar kecil dan gudang. Ruang pamer berukuran 15 x 8 meter terpisah dari fasilitas ruang lainnya. Di dalam pusat informasi ini disimpan berbagai koleksi baik dari hasil dari penelitian maupun temuan masyarakat sekitar. Koleksi-koleksi ini diatur dan diberi label atau keterangan yang selanjutnya dipamerkan di dalam ruang pusat informasi ini, sehingga masyarakat yang berkunjung dapat mengetahui berbagai jenis koleksi yang berasal dari Kawasan Muarajambi.

Koleksi-koleksi yang terdapat di pusat informasi ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel Jenis Koleksi yang Terdapat di Ruang Pamer Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi

 

No Jenis Koleksi Asal Koleksi Jumlah
1 Bata 254
a.       Bata bertulis Candi Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, dan Gedong 49
b.       Bata bercap Candi Gumpung dan tidak diketahui 11
c.        Bata bertanda Candi Gumpung, Tinggi, Kedaton, Kembarbatu, dan Gedong 114
d.       Bata berukir Candi Gedong, Astano, Tinggi, Gumpung, dan kolan Telagorajo 39
e.        Bata lainnya Candi Kedaton, Gumpung, Tinggi, dan Gedong 41
2 Batu 107
a.       Arca Candi Gumpung, Kotomahligai, Gedong, Astano, Tinggi 38
b.       bukan Arca Candi Gumpung, Kotomahligai, Gedong, Astano, Tinggi 57
c.        bukan artefak Candi Gumpung dan tidak diketahui 12
3 Logam Candi Gumpung, Tinggi, dan Kembarbatu 19
4 Keramik 670
a.       Keramik Asing 450
b.       Tembikar 220
5 Koleksi lainnya Candi Gumpung dan Candi Tinggi 7
JUMLAH TOTAL 1057
Cincin Muara  Jambi
Foto Cincin Sumber: www. muarojambitemple.com

Selain koleksi-koleksi tersebut di atas juga terdapat beberapa koleksi yang berasal dari Kawasan Muarajambi yang disimpan di kantor BPCB Jambi dan Museum Negeri Jambi, yaitu berupa koleksi emas, mata uang dan gong perunggu.

Koin Perunggu Muara Jambi
Foto Koin Perunggu, Sumber: www. muarojambitemple.com

II. Pembahasan

Pengembangan Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi sebagai museum situs merupakan salah satu cara dalam pengelolaan Kawasan Muarajambi. Pengembangan pusat informasi ini tentunya berdasarkan rumusan konsep museum situs menurut ICOM dan prinsip-prinsip dasar museum situs di Kawasan Muarajambi.

1. Konsep Museum Situs di Kawasan Muarajambi

Konsep museum situs yang dapat diterapkan di Kawasan Muarajambi dapat meliputi rumusan konsep museum situs menurut ICOM dan beberapa kriteria yang harus dimiliki museum  situs yaitu berupa prinsip bentuk atau bangunan, prinsip lokasi, prinsip koleksi, dan prinsip penyajian. Berdasarkan konsep museum situs yang telah dibuat oleh ICOM, maka ada empat rumusan museum situs yang dapat diterapkan dalam rangka pengembangan Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi sebagai museum situs, yaitu:

  1. Museum situs merupakan bangunan yang didirikan untuk melindungi tinggalan alam dan budaya yang bergerak atau pun tidak bergerak di lokasi yang secara ekologis belum mengalami perubahan oleh manusia dan in situ. Museum situs di Kawasan Muarajambi hendaknya dapat menjadi lembaga yang dapat melindungi tinggalan budaya hasil penelitian di kawasan tersebut, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang in situ.
  2. Museum situs merupakan bangunan yang dibangun di suatu lokasi untuk melindungi kawasan dimana terdapat adat istiadat dan cara hidup suatu komunitas di tempat aslinya. Kawasan Muarajambi merupakan gambaran pertukaran budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masa tertentu ketika berlangsungnya periode kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia pada umumnya dan di Jambi pada khususnya. (http://whc.unesco.org/en/tentativelists/5465).
  3. Museum situs merupakan bangunan yang dibangun di suatu lokasi asli dimana pernah terjadi peristiwa sejarah yang penting bagi suatu Kawasan Muarajambi sebagai lokasi asli tempat akan didirikannya museum situs merupakan tempat yang pernah terjadi suatu peristiwa sejarah, yaitu adanya suatu sejarah peradaban manusia dari masa Hindu-Buddha yang dibuktikan oleh adanya beberapa tinggalan arkeologis baik berupa artefak maupun fitur serta bukti-bukti tertulis lainnya.

Museum situs merupakan bangunan yang dibangun di suatu lokasi titik terjadinya penggalian arkeologi. Kawasan Muarajambi merupakan suatu kawasan yang telah dilakukan berbagai penelitian arkeologi berupa ekskavasi yang dilakukan pada masa lalu hingga saat ini.

Selain itu dalam pendirian museum situs ada kriteria-kriteria yang harus dipenuhi berupa prinsip bentuk atau bangunan, prinsip lokasi, prinsip koleksi, dan prinsip penyajian. Prinsip dasar bangunan museum situs di Kawasan Muarajambi adalah berupa bangunan baru yang dibangun untuk digunakan sebagai museum. Bangunan baru ini dapat mengunakan bangunan pusat informasi dengan perluasan yang diperlukan yang disesuaikan dengan kebutuhan museum, atau dengan benar-benar membangun kembali bangunan baru di tempat yang baru namun masih disekitar atau dekat dengan Kawasan Muarajambi. Lokasi dari bangunan itu sendiri merupakan in situ, yaitu berada di situs atau Kawasan Muarajambi itu sendiri. Koleksi yang terdapat di museum situs KMJ merupakan objek-objek temuan yang terlepas dari konteksnya yang sebagian besar disimpan di gedung Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi, sebagian lainnya ada yang disimpan di kantor BPCB Jambi, Museum Negeri Jambi, Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya dan Museum Nasional. Selain koleksi temuan lepas, Kawasan Muarajambi juga memiliki koleksi yang dapat dipamerkan di luar bangunan museum, yaitu berupa fitur-fitur yang ada di kawasan tersebut. Fitur-fitur tersebut ada yang berupa bangunan candi, menapo, kolam kuno, dan kanal-kanal kuno. Dalam menyajikan koleksi-koleksi tersebut, maka diperlukan suatu pembentukan tema atau konsep model eksibisi melalui interpretasi koleksi dan situs-situsnya. Konsep eksibisi ini haruslah merupakan konsep yang dapat memberikan informasi yang menyeluruh dan terintegrasi antara koleksi di dalam museum dan koleksi yang dipamerkan di luar museum.

2. Pengelolaan Kawasan Muarajambi Berdasarkan Konsep Museum Situs

Pengelolaan Kawasan Muarajambi berdasarkan konsep museum situs dapat dilakukan dengan beberapa cara: 1) Menjadikan situs-situs di kawasan Muarajambi sebagai koleksi museum (museum situs); 2) Pelestarian (konservasi) bangunan dapat dilakukan di situs aslinya (in situ); 3) Melakukan penelitian melalui pemaknaan (interpretasi) pada masing-masing situs untuk memperoleh yang akan disajikan secara terintegrasi dengan bangunannya; 4) Membuat tema tata pamer yang dapat mengitegrasikan bangunan-bangunan yang terpisah dalam rangkaian cerita; 5) Melakukan klasifikasi bangunan di situs sesuai dengan tema tata pamernya; 6) Mengkomunikasikan hasil konservasi dan pemaknaan bangunan-bangunan di situs melalui konsep penyajian dalam museum situs.

Selain itu sebagai museum, seharusnya museum situs yang akan dikembangkan atau didirikan di Kawasan Muarajambi memiliki organisasi atau lembaga yang permanen dan legal berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan memiliki kekuatan hukum yang jelas, maka lembaga atau organisasi yang mengelola museum situs beserta koleksinya baik yang berada di dalam ruangan museum maupun koleksi yang berada di luar museum akan memiliki otoritas yang penuh dalam mengelola museumnya. Berdasarkan hal tersebut, maka struktur organisasi yang dapat diterapkan pada pendirian museum situs di Kawasan Muarajambi haruslah merupakan struktur organisasi yang sesuai dengan museologi baru.

Elemen penting dalam struktur dan organisasi museum baru adalah menawarkan peran aktif dari populasi dalam membentuk dan berpartisipasi dalam museum. Karya museum baru didasarkan pada pengetahuan dan semangat hidup masyarakat dalam berbagai kegiatan. Selain itu menurut Edson dan Dean (1994: 15) Struktur organisasi museum yang ideal, harus meliputi tiga komponen utama, yaitu bagian administrasi, bagian kuratorial, dan bagian operasional. Setiap bagian dapat dijalankan oleh satu orang atau lebih. Tiap-tiap bagian tersebut membawahi beberapa staf atau lingkup pekerjaan.

Berdasarkan hal tersebut maka usulan struktur organisasi museum di KMJ disesuaikan dengan kebutuhan yang ada di dalam museum dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Museum yang merupakan pelaksanaan ketentuan pasal 18 ayat 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sebagaimana yang tertera dalam bagan 1.3 di bawah ini.

Organisasi Museum Situs Muara Jambi
Usulan Struktur Organisasi Museum Situs Kawasan Muara Jambi

3. Komunikasi di Museum Situs Kawasan Muarajambi

Cara mengomunikasikan museum situs di Kawasan Muarajambi dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain adalah dengan eksibisi, program publik, dan edukasi. Eksibisi yang dapat dikembangkan di Museum Situs KMJ adalah suatu eksibisi dengan menggunakan pendekatan beberapa gabungan dari konsep model tersebut, yang biasa disebut sebagai Hybrid Model dengan teori edukasinya konstruktivis. Eksibisi yang dapat ditampilkan dalam museum situs di Kawasan Muarajambi dapat menggabungkan artefact display, yaitu dengan memamerkan artefak asli maupun reproduksi dari kawasan Muarajambi, idea terutama berisi tentang informasi mengenai artefak dan situs-situs yang berada di kawasan Muarajambi baik dari segi sejarah, fungsi dan makna yang terkandung dalam koleksi-koleksi tersebut, dan visitor activity dapat diterapkan dalam berbagai kegiatan.

Dengan pendekatan tersebut diharapkan bahwa pesan yang ingin disampaikan kepada pengunjung dapat tercapai, selain itu pengunjung dapat memahami secara menyeluruh mengenai arti penting Kawasan Muarajambi. Berdasarkan pendekatan tersebut juga, maka tema besar yang ingin disampaikan dalam konsep eksibisi ini adalah “Muarajambi: Kemegahan Dibalik Belantara”. Tema ini diurai dalam beberapa tema kecil, yaitu:

  1. Gagasan tentang sejarah Kawasan Muarajambi, yang dikemas dengan judul “Jejak Muarajambi”.
  2. Gagasan tentang aktivitas manusia masa lampau di Kawasan Muarajambi, yang dikemas dalam beberapa judul, yaitu:
    • “Cerita Buddha”
    • “Muarajambi: Pusat Pendidikan Agama buddha”
    • “Masa Lalu untuk Masa Kini”
  3. Gagasan yang menceritakan tentang hubungan Muarajambi dengan dunia luar, yang dikemas dengan judul “Muarajambi dalam Pelayaran dan Perdagangan”
  4. Gagasan mengenai kesenian (seni bangunan dan seni arca) yang terdapat di Kawasan Muarajambi, dengan judul “Paduan Alam dan Seni
  5. Gagasan yang menceritakan tentang fungsi dan peranan perhiasan di Kawasan Muarajambi, dalam judul“Perhiasan: Ritual dan Prestise”
  6. Gagasan yang menceritakan tentang makna dari tulisan atau inskripsi pada artefak, yang dikemas dengan judul “Keajaiban Aksara”
  7. Gagasan yang menceritakan tentang kearifan lokal masyarakat masa lampau di Kawasan Muarajambi yang dikemas dengan judul “Belajar dari Masa lalu”
  8. Gagasan tentang preservasi di Kawasan Muarajambi yang berisi tentang kegiatan penelitian dalam hal ini ekskavasi dan pemugaran yang telah dan sedang dilakukan di KMJ dengan tujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, yang dikemas dalam judul: “Edukasi Melalui Pengalaman”
  9. Gagasan yang menampilkan seluruh koleksi museum situs yang berada di luar bangunan museum, yaitu berupa bangunan candi, menapo, kolam kuno, dan kanal-kanal kuno yang ditampilkan dalam bentuk maket dan ilustrasi penjelasannya yang dikemas dalam judul “Warisan Budaya Muarajambi”.

Selain eksibisi, program publik dan edukasi merupakan salah satu cara dalam mengomunikasikan museum situs di KMJ. Program publik tersebut dapat dijadikan sebagai program pendukung dalam pendirian museum situs di Kawasan Muarajambi. Namun demikian ada beberapa program dan kegiatan yang harus dicermati kembali. Sebaiknya program tersebut lebih menitik beratkan pada konten untuk memahami Kawasan Muarajambi secara keseluruhan, seperti program publik di bawah ini:

  1. Festival Kanal Kuno. Melalui kegiatan ini diharapkan pengunjuing dapat memahami arti penting kanal-kanal kuno yang ada di Kawasan Muarajambi.
  2. Perkemahan Budaya, Merupakan kegiatan perkemahan Sabtu-Minggu dengan peserta terdiri dari anggota Pramuka. Kegiatan ini merupakan kegiatan edutainment yang bertujuan mengenalkan kepurbakalaan Muarajambi dengan cara yang menyenangkan, diantaranya kegiatan outbond dan simulasi ekskavasi arkeologi
  3. Eksplore Muarajambi, Merupakan kegiatan tur menelusuri kepurbakalaan yang ada di Kawasan Muarajambi. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan bahwa para pengunjung dapat mengetahui dan memahami nilai-nilai budaya yang ada di Kawasan Muarajambi serta dapat membangkitkan kebanggaan akan tinggalan budayanya.
  4. Field School Cagar Budaya Di Kawasan Percandian Muarajambi. Bentuk kegiatan ini bervariasi antara muatan teori dan praktek. Dengan melibatkan langsung peserta pada kegiatan praktek lapangan dalam rangka pelindungan dan pelestarian cagar budaya. mulai dari kegiatan ekskavasi, konservasi, pemeliharaan dan kegiatan pendokumentasian, diharapkan mereka dapat memahami dan membangun kesadaran akan nilai penting pelestarian cagar budaya yang ada di Kawasan Muarajambi. Selain itu hal ini akan memberikan pengalaman yang lain dari yang biasa mereka dapatkan di sekolah, sehingga mereka diharapkan akan memiliki kesadaran yang lebih untuk berperan aktif dalam melestariakan cagar budaya.

Berdasarkan konsep dan teori edukasi di museum dalam hal ini teori konstruktivis, maka dalam penentuan strategi edukasinya, museum situs di Kawasan Muarajambi dapat menggunakan strategi belajar aktif (active learning) yang melibatkan seluruh indera dan pengalaman para pelajar melalui konsep edutainment. Museum situs di kawasan Muarajambi dapat menerapkan strategi edukasi di dalam dan di luar museum dengan membuat eksibisi dan program pendidikan yang menarik, informatif, dan interaktif, seperti pemanduan, ceramah, workshop (rekonstruksi artefak, konservasi artefak dan bangunan candi), pemutaran film, kunjungan situs, dan lain sebagainya. Hal lain yang penting dari strategi edukasi yang dapat dikembangkan di dalam museum situs di Kawasan Muarajambi adalah penggunaan media interaktif di dalam pamerannya, sehingga akan banyak melibatkan pengunjung secara langsung.

III. Kesimpulan

Pengembangan Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi sebagai museum situs tentunya harus memperhatikan kriteria-kriteria museum situs yaitu yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar museum situs yang meliputi prinsip bentuk, prinsip lokasi, prinsip koleksi, dan prinsip penyajian. Museum situs yang akan dikembangkan di Kawasan Muarajambi merupakan bangunan baru yang berada di lokasi situsnya (in situ) dengan koleksi yang terdiri dari koleksi yang dipamerkan di dalam ruangan, yaitu berupa artefak-artefak hasil penelitian di kawasan tersebut, serta koleksi yang berada di luar bangunan museum dalam hal ini koleksi yang berupa fitur-fitur yang terdapat di KMJ seperti bangunan candi, menapo, kanal-kanal kuno, dan kolam kuno.

Selain itu konsep museum situs tersebut dapat digunakan sebagai salah satu cara alternatif dalam pengelolaan Kawasan Muarajambi. Sedangkan model museum situs yang akan dikembangkan di Kawasan Muarajambi mengikuti konsep museum yang terdiri atas prinsip dan kriteria museum situs. Bangunan atau struktur kuna yang masih berada di tempat aslinya (in situ) dan tersebar diintegrasikan melalui tema tata pamer hasil dari pemaknaan (hasil penelitian). Situs-situs yang masih terkait dengan koleksinya, atau koleksi lain yang berada di tempat aslinya (in situ) sehingga masih ada keterkaitan konteks.

Eksibisi yang dapat ditampilkan dalam museum situs di Kawasan Muarajambi dapat menggabungkan artefact display, yaitu dengan memamerkan artefak asli maupun reproduksi dari kawasan Muarajambi, idea terutama berisi tentang informasi mengenai artefak dan situs-situs yang berada di kawasan Muarajambi baik dari segi sejarah, fungsi dan makna yang terkandung dalam koleksi-koleksi tersebut, dan visitor activity dapat diterapkan dalam berbagai kegiatan. Dengan pendekatan tersebut diharapkan bahwa pesan yang ingin disampaikan kepada pengunjung dapat tercapai, selain itu pengunjung dapat memahami secara menyeluruh mengenai arti penting Kawasan Muarajambi.

Program publik dan strategi edukasi juga merupakan hal yang perlu dilakukan di museum situs di Kawasan Muarajambi. Program-program ini merupakan program penunjang yang dapat menarik pengunjung untuk datang ke museum. Selain itu program tersebut dapat secara langsung mengedukasi para pengunjung untuk mendapat pengetahuan, dan pemahaman yang lebih baik lagi tentang museum dan koleksinya.

1. Pembangunan dan Pengembangan Museum

Bentuk bangunan museum situs di Kawasan Muarajambi sebaiknya menggunakan bangunan baru yang lebih luas dari bangunan Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi saat ini, yang diletakkan di dekat pintu masuk Kawasan Muarajambi. Bangunan museum yang akan dibangun hendaknya sesuai dengan kebutuhan sebagai museum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ICOM yang juga telah diadaptasi dalam Pedoman Penyelenggaraan Museum Situs yang dikeluarkan oleh Kemeterian Kebudayaan dan Pariwisata, yaitu bangunan museum situs harus memiliki kelengkapan bangunan yang dapat menunjang aktivitas dalam pengelolaannya, antara lain meliputi: ruang penyimpanan koleksi, ruang perawatan (laboratorium), ruang preparasi, ruang pameran, ruang audiovisual, ruang kantor, ruang perpustakaan.

Dibangunnya sarana dan prasarana yang akan menunjang aktivitas penyelengaaraan dan pelaksanaan tugas dan fungsi museum secara memadai. Untuk koleksi yang tidak dapat ditampilkan dalam bentuk aslinya, maka dapat dibuat suatu replika atau duplikasi koleksi tersebut. Sehingga akan memberikan interpretasi yang lengkap dalam museum situs. Selain itu di dalam museum situs sebaiknya ada maket yang menggambarkan tentang kondisi situs-situs yang berada di Kawasan Muarajambi.

 2. Kebijakan Pemerintah

Sebaiknya kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pelestarian Kawasan Muarajambi yang dibuat oleh Pemerintah Daerah tidak menyalahi aturan atau kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, mengingat bahwa Kawasan Muarajambi merupakan Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional sesuai dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 259/M/2013. Instansi berwenang setidaknya telah membuat Zonasi mengenai Kawasan Muarajambi sesuai dengan yang dibutuhkan. Selain itu Perlunya penataan ulang Kawasan Muarajambi. Hal ini dikarenakan banyaknya para pedagang dan penyewaan sepeda yang terlalu dekat dengan situs, sehingga akan menimbulkan kekhawatiran rusaknya atau kurang menriknya situs dan kawasannya itu sendiri. Alangkah lebih baik bila para pedagang dan penyewaan sepeda diberikan ruang atau tempat yang aga jauh dari zona inti, yaitu pada zona pengembangan dan pemanfaatan. Menjalin kerja sama dengan pemangku kepentingan, khususnya pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), akademisi dan lembaga pendidikan, untuk membuat program bersama dalam rangka pengembangan dan pemanfatraan museum situs Kawasan Muarajambi. Dengan demikian diharapkan akan tercipta sinergitas dan jejaring dalam peningkatan peran museum situs Kawasan Muarajambi sebagai lembaga pendidikan informal untuk meningkatkan apresiasi pelajar terhadap sejarah dan kebudayaan di Kawasan Muarajambi.

Daftar Referensi

Chabbra, B. Ch. (1956) “Site Museums of India”, dalam Museum, Vol. IX, No1, 1956. Hlm.42−49.

Cossons, Neil (1980). “The Museum in the Valley, Ironbridge Gorge”, dalam Museum, Vol. XXXII, No. 3, 1980, Hlm.334–341.

Davis, Peter. (2007). “Place Exploration: Museums, Identity, Community”. Museum and Their Communities. Ed. Sheila Watson. New York : Routledge,. 53-75.

Edson, Gary dan David Dean. (1996). The Handbook for Museums. New York: Routledge..

Ertürk, Nevra. (2006). “A management model for Archaeological Site Museums in Turkey”, dalam Museum Management and Curatorship, 21 (2006) 336–348.

Gadi, Mgomezulu. (2004). “Editorial by the Director of the Division of Cultural Heritage, Gadi Mgomezulu”, dalam Museum International. Vol LVI, No. 3/223. Paris: UNESCO.

Hein, George E. (1998). Learning in The Museum, New York: Routledge.

Hachili, Rachel. (1998). “A Question of Interpretation”, dalam Museum International. No. 198 (Vol. 50, No. 2). Paris: UNESCO

Hauenschild, Andrea. (1988). “Claim and Reality of New Museology: Case Studies in Canada, the United States and Mexico”. Disertasi. Doktor Hamburg University.

Hudson, Kenneth. (1987). Museum of Influence, British: Cambridge Univesity Press.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. (2009). “Draf Nominasi Daftar World Heritage, UNESCO – Kawasan Muarajambi”.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). “Salinan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 259/M/2013 tentang Satuan Ruang Geografis Muarajambi Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional”

Lewis, Ralph H. (1959).  “Site Museums and National Parks”, dalam Curator. Vol. II (2), , hal. 172-185.

Magetsari, Noerhadi. (2008). “Filsafat Museologi”, dalam Museografia, Vol. II, No. 2, (Oktober 2009). Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Hlm. 6.

Mensch, P. Van (2003). Museology and Management: Enemis of Friend. Current Tendecies in Theoretical Museology and Museum Management in Europe, disampaikan sebagai keynote speech dalamkonferensi tahunan ke-4 Japanaese Museum Managaement Academy, Tokyo, 7 Desember 2003.

Munandar, Agus Aris. (2007). “Museum Situs: Kajian Awal Kemungkinan pembukaan Museum Situs di Sindangbarang, Taman Sari, Bogor” dalam Museografia Vol. I No. 1 Hal. 94-95.

Mundardjito.(1995). Hubungan Situs Arkeologi dan Lingkungan Wilayah Jambi. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi dan Geologi Provinsi Jambi 1994-1995. Jambi : Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jambi.

Mundardjito. (1996). Rencana Induk Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit Trowulan. Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jakarta. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Raswaty, Retno. (2009). Konsep Museum Situs dan Open-Air Museum: Tinjauan Kasus pada Taman Arkeologi Onrust, Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, dan Taman Mini Indonesia Indah. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sarma, I.K. (1998). “Archaeology Site Museum in India: The Backbone of Cultural Education”. Museum International, 50 (2), 44-49.

Shafernich, Sandra M. (1993) “On-Site Museums, Open-Air Museums, Museums Villages and Living History Museums: Reconstruction and Period Rooms in the United States and the United Kingdom”, dalam Museum Management and Curratorship, hlm. 43-61. Buuterworth-Heinemann Ltd.

Smithsonian Institution. (2002). Exhibition Concept Models. by Office of Policy and Analysis, Washington DC. Juli

Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi. (1994). Laporan Pendataan Benda-Benda Koleksi Museum Situs Muarajambi. Jambi:  Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi.

Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi. (1999). Laporan Ekskavasi Penyelamatan Menapo-Menapo di Situs Muarajambi. Jambi:  Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi.

Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi. (2000). Laporan Ekskavasi Penyelamatan Menapo-Menapo di Situs Muarajambi. Jambi:  Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi.

UNESCO, 2009.  “Muarajambi Temple Compound” in Tentative list World Heritage UNESCO. http://whc.unesco.org/en/tentativelists/5465. Diakses tanggal 10 Maret 2014.

Museum Coelacanth Ark Rampung pada 2015

0
Fasad Museum Kota Manado "Coelacanth Ark"
Fasad Museum Kota Manado "Coelacanth Ark"
Fasad Museum Kota Manado “Coelacanth Ark”

Ikan Raja Laut (Coelacanth) adalah yang paling terkenal dari semua “fosil hidup” dan pantas menjadi nomor 1 dalam daftar keajaiban dunia. Ikan ini seharusnya sudah lama punah pada periode Cretaceous, bersama dengan dinosaurus jutaan tahun yang lalu. Tak terduga ditemukan masih hidup hingga sekarang. Pada 1938, satu spesimen hidup tertangkap di Afrika Selatan dan pada 1998 di perairan Manado Tua, di wilayah Kota Manado Sulawesi Utara.

Untuk itu, Kota Manado membangun suatu museum yang representatif sekaligus sebagai monumen untuk mengingatkan dan memberitahukan kepada masyarakat tentang keberadaan “Fosil hidup Ikan Purba Coelacanth” di wilayah Kota Manado. Juga memberi gambaran tentang kekayaan laut daerah ini bagi masyarakat luas, terutama masyarakat dari luar Kota Manado, dan  bagi generasi-generasi yang akan datang.

Pembangunan Museum yang diberinama Museum Kota Manado “Coelacanth Ark” ini menggunakan APBN dengan dana Tugas Pembantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Pembangunan museum ini telah dimulai pada 2013 dan telah berhasil membangun struktur lantai 1 dan 2 gedung pengelola. Pada 2014 telah direalisasikan arsitektur lantai 1 dan 2 gedung pengelola dan pemancangan sebagian gedung utama museum. Pada 2015 ini direncanakan dapat menyelesaikan Gedung Utama Museum.

Museum Coelacant Ark ini direncanakan akan memiliki beberapa zona, yaitu: ZonaI Introduksi untuk memberikan informasi dan gambaran serta penjelasan tentang Letak geografi Wilayah Manado/Sulawesi Utara, kekayaan alamnya, ciri khas, populasi dan kebudayaannya. Zona Awal Kehidupan untuk memberikan informasi dan gambaran tentang sejarah kehidupan dan lingkungan alam pada masa lalu, sejak awal adanya kehidupan dan terbentuknya lingkungan alam.

Struktur lantai dua
Struktur lantai dua

Zona Perkembangan Kehidupan untuk menggambarkan sejarah perkembangan kehidupan dan lingkungan alam pada masa lalu di muka bumi . Zona Puncak Kehidupan untuk memberikan gambaran tentang sejarah kehidupan dan lingkungan alam pada periode Kenozoikum yang merupakan periode terakhir, yaitu kehidupan dan lingkungan alam di muka bumi mencapai puncaknya.

Rangka atap
Rangka atap

Zona Masa Kini untuk informasi tentang adanya  peristiwa-peristiwa penting pada masa kini yang berkaitan dengan kehidupan dan peristiwa kelautan di  Kota Manado dan Sulawesi Utara khususnya, serta di tempat-tempat lainnya disajikan. Zona Umum (Zona Pendukung) yang di dalamnya terdapat ruangan-ruangan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan publik untuk bersantai, bermain, menikmati hidangan, menikmati tayangan video, seminar, bisnis,dll. Zona ini direncanakan akan menyediakan berbagai fasilitas seperti: tempat/sarana bermain anak, kafetaria/restoran, toko cinderamata, dan auaditorium.  (Ivan Efendi)

Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat

0

IMG_3805 (2)-Monomen Juang Jabar

Di Jalan Dipati Ukur No. 48, Kota Bandung, tepatnya di Kelurahan Lebak Gede dan Sadang Serang, Kecamatan Coblong terdapat bangunannya berbentuk bambu runcing yang dipadukan dengan gaya arsitektur modern. Lokasinya berada di kawasan terbuka, bergaris bentang lurus antara Gedung Sate dan Lapangan Gasibu, dan di depan Kampus Universitas Padjadjaran (Unpad). Ya, ini adalah bangunan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat yang dikenal dengan Monpera atau Monju. Di bagian bawah bangunan monumen ini terdapat ruangan yang cukup besar  yang berfungsi sebagai Museum Sejarah Perjuangan Rakyat Jawa Barat.

Letak monumen yang diresmikan penggunaanya oleh Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana pada 23 Agustus 1995 ini sangat strategis, karena berada dalam satu titik area kunjungan wisata sejarah, yaitu Museum Geologi Bandung, Museum Pos, dan Gedung Sate. Letaknya yang berdekatan itu memudahkan untuk dikunjungi dengan berjalan kaki.

Monumen yang sejak April 2010 dikelola oleh Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional (BPKSNT), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat, menginformasikan peristiwa-peristiwa sejarah di wilayah Jawa Barat. Di antarnaya didesain dalam bentuk diorama dan relief kesejarahan Jawa Barat.

Bentuk monumen ini tidak tunggal, tetapi plural. Diwujudkan dalam lima unsur bentuk yang menjadi satu kesatuan harmonis (beungkeutan), yang satu sama lain hampir sama. Bentuk seperti ini memiliki makna yang berhubungan dengan kebudayaan Sunda yang tidak mengenal pusat (sentral), melainkan tersebar di berbagai tempat, memiliki sifat plural, dinamis dan demokratis. Monumen ini juga pada hakikatnya merupakan karakter perjuangan rakyat Jawa Barat dari masa ke masa, yang mengandung nilai-nilai hakiki budaya dan perjuangan rakyatnya. Tiada perjuangan tanpa persatuan, jadi harus menjadi satu ikatan (hiji beungkeutan), tetapi untuk menjadi satu ikatan persatuan memerlukan perjuangan. Singkatnya perjuangan untuk persatuan dan persatuan untuk perjuangan. Semua itu diwujudkan dalam desain bangunan yang luwes, plastis, tidak masif, melainkan teranyam, yang didesain oleh seorang arsitek dari Bandung, Slamet Wirasonjaya dan perupa Sunaryo.

Diorama sebelum direvitalisasi
Diorama sebelum direvitalisasi
Ruang kontrol audio visual sebelum direvitalisasi
Ruang kontrol audio visual sebelum direvitalisasi

Pada 2014 Monumen ini mendapat dana Tugas Pembantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktora Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk revitalisasi. Ada beberapa bagian yang penting dari revitalisasi ini, yaitu mengenai koleksi, tata pamer, ruang audio visual, ruang pengelola (kantor), dan perbaikan beberapa bagian bangunan yang rusak, terutama lapisan kedap air di bawah tangga. (Ivan Efendi)

Diorama setelah dilakukan revitalisasi
Diorama setelah dilakukan revitalisasi
Ruang kontrol Audio Visual setelah dilakukan revitalisasi
Ruang kontrol Audio Visual setelah dilakukan revitalisasi

Tugu Khatulistiwa

0

PBA_1295-Tugu KhatulistiwaOleh: Ivan Efendi

Tugu Khatulistiwa[1] Pontianak berada di sisi jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara.[2] Tugu bersejarah ini dibuat pada masa pemerintahan Hindia Belanda sebagai penanda letak nol derajat garis khatulistiwa. Sekarang tugu ini menjadi ciri khas Kota Pontianak, yang pada tengah hari 21–23 Maret dan 3 September setiap tahun diperingati hari kulminasi matahari di tempat ini. Kulminasi adalah saat matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa sehingga benda-benda tegak yang berada di sekitar Tugu Khatulistiwa tidak berbayang.

Sejarah

Tidak banyak data sejarah mengenai Tugu Khatulistiwa. Satu-satunya data yang dipakai penulis adalah uraian sejarah yang menjadi koleksi di dalam kubah Tugu Khatulistiwa. Data sejarah ini menjadi salah satu koleksi Tugu Khatulistiwa. Kalaupun ada di internet, acuannya tidak jauh dari data ini, bahkan sebagian besar mengutip apa adanya. Penulis mengambil gambar mengenai data ini pada Juni 2012.

Uraian sejarah Tugu Khatulistiwa Pontianak diambil dari catatan pada 1941 yang diperoleh dari V. en V oleh Opsiter Wiesse. Catata ini dikutip dari Bijdragentot De Geographe dan Chep Van den topographeschen dien in Nederlandsch Indie: Den 3 Sten Maart 1928. Dalam catatan itu dikatakan bahwa satu Ekspedisi Internasional yang dipimpin oleh seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda tiba di Pontianak untuk menentukan titik/tonggak garis equator.

Pada 1928 mulai dibangun tugu equator ini dengan bentuk sederhana, yaitu dengan tonggak (mungkin sekarang lebih dikenal dengan nama ‘patok’) dengan tanda panah di atasnya. Tugu yang sederhana ini kemudian disempurnakan pada 1930 dengan mengganti tanda panah dengan lingkaran.

Pada 1938 penyempurnaan tugu dilakukan lagi oleh seorang opsiter/architech yang bernama Silaban, sehingga bentuknya menjadi lebih baik. Bangunan tugu hasil penyempurnaan menjadi lebih rumit, yang terdiri atas empat tonggak kayu belian. Masing-masing berukuran 0,30 m, dengan ketinggian tonggak bagian depan (dua tonggak) setinggi 3,05 m dari permukaan tanah. Tonggak bagian belakang tempat lingkaran dan anak panah petunjuk arah setinggi 4,40 m.

PBA_1310-Tugu KhatulistiwaDeskripsi

Pada 1990 Tugu Khatulistiwa direnovasi dan dibangun kubah sebagai cungkup pelindung. Di atas kubah itu dibuat duplikat Tugu Khatulistiwa dengan ukuran lima kali lebih besar. Dua tonggk bagian depan berukuran 1,5 m dengan ketinggian 15,25 dari permukaan tanah. Dua tonggak bagian belakang (tempat lingkaran dan anak panah petunjuk arah) berukuran 1,5 m dengan ketinggian 22 m dari permukaan tanah. Panjang anak panah petunjuk arah adalah 10,75 m, dan pada plat di bawah anak panah tertera 109 20’ 00” OLVGR. Tullisan tersebut menunjukkan letak berdirinya Tugu Khatulistiwa pada garis Bujur Timur. Duplikat Tugu Khatulistiwa dan kubah diresmikan pada 21 September 1991 oleh Gubernur Kalimantan Barat, Parjoko Suryokusumo.

Pada Maret 2005, Tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan koreksi untuk menentukan lokasi titik nol garis khatulistiwa di Kota Pontianak. Koreksi dilakukan dengan menggunakan gabungan metoda terestrial dan ekstraterestrial, yaitu menggunakan global positioning system (GPS) dan stake-out. Hasil pengukuran oleh tim BPPT menunjukkan posisi tepat Tugu Khatulistiwa saat ini berada di 00 0’ 3,809” lintang utara; dan 1090 19’ 19,9” bujur timur. Sementara posisi 00 0’ 0” ada di luar taman, tepatnya 117 meter ke arah Sungai Kapuas. Di titik hasil koreksi itu dibuat patok baru yang terbuat dari pipa PVC dan belahan garis barat-timur ditandai dengan tali rafia. Sementara posisi yang tertera dalam tugu asli (00 0’ 0” lintang utara, dan 1090 20’ 00” bujur timur) berdasarkan hasil pelacakan tim BPPT, terletak di 1,2 km dari Tugu Khatulistiwa, tepatnya di belakang satu rumah di Jl Sungai Selamat, kelurahan Siantan Hilir.[3]

Dari hasil koreksi BPPT terlihat bahwa para ahli geografi Belanda saat itu sudah memiliki metode yang nyaris tepat dengan peralatan sederhana. Kesalahan penempatan titik tugu berbeda 117 meter dari lokasi hasil koreksi. Akan tetapi angka koordinat geografi yang tertera pada plat lingkaran di atas tugu memiliki perbedaan yang signifikan, yaitu 1,2 km dari titik tugu.

Koleksi Tugu Khatulistiwa

Di dalam kubah Tugu Khatulistiwa terdapat koleksi yang terdiri atas dua jenis, yaitu koleksi yang in situ, dan benda-benda yang memiliki konteks dengan tugu ini. Tugu Khatulistiwa yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda terbuat dari kayu besi/belian. Tugu asli ini berada di tengah ruang. Sementara koleksi lainnya adalah objek fotografi hasil reproduksi dan teks yang menguraikan sejarah berdirinya Tugu Khatulistiwa. Sebagian besar koleki-koleksi itu diletakan pada dinding bagian dalam kubah.

PBA_1303-Koleksi Tugu KhatulistiwaMemori kolektif ‘Pontianak’ dalam Tugu Khatulistiwa

Kota Pontianak dikenal sebagai kota khatulistiwa karena dilintasi garis lintang nol derajat bumi.[4] Hal itu mengandung makna sejarah dan dapat menjadi identitas. Kalimat “dilalui garis lintang nol derajat” mengantar kita pada Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Tugu Khatulistiwa adalah ikon Kota Pontianak yang dapat menjadi identitas, dan “Hindia Belanda” adalah bagian dari sejarah yang terjadi di kota ini.

Kota Pontianak selain dilintasi garis khatulistiwa, juga dialiri Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia.[5] Kalimat itu menunjukkan posisi Pontianak dalam konteks Indonesia. Jadi ‘Pontianak’ tidak hanya memiliki signifikansi bagi Kota Pontianak tetapi juga bagi Indonesia. Meskipun Tugu Khatulistiwa memiliki sejarah yang kental dengan kolonialisme dan kesakithatian masa lalu. Akan tetapi tetap dapat menumbuhkan memori kolektif dan identitas kepontianakan, bahkan keindonesiaan.

Tugu Khatulistiwa bisa menumbuhkan identitas komunitas, identitas kota, dan identitas nasional. Menurut Watson (2007:1631–65) identitas komunitas muncul dengan melihat, mengingat, dan mengalaminya, karena warisan budaya tidak selalu sampai pada suatu komunitas dalam bentuk materi budaya atau objek, tetapi melalui kehidupan sehari-hari yang di dalamnya teredapat interaksi dan ekspresi. Tugu Khatulistiwa sudah mengalami berbagai interaksi dengan masyarakat dari beberapa generasi. Sehingga identitas komunitas itu tumbuh dengan sendirinya.

Menurut Gorbacheva (2006:50) ada tiga aspek yang harus ada pada museum kota, yaitu hubungan antara museum dan lingkungan kota, perubahan atau perkembangan kota dari waktu ke waktu, dan hubungan antara museum dan masyarakatnya saat ini. Tugu Khatulistiwa memang bukanlah museum kota, karena tidak memenuhi aspek yang diuraikan oeh Gorbacheva. Akan tetapi dapat menjadi identitas kota karena adanya keberterimaan masyarakat atas tugu ini sebagai bagian dari Pontianak.

Tugu Khatulistiwa dapat menjadi identitas bangsa, karena menurut Watterson (2009) identitas bangsa dapat dibentuk dari museum dengan koleksinya, hasil penelitiannya, dan penyajiannya. Tugu ini adalah milik Pontianak, dan Pontianak adalah bagian dari Indonesia. Jadi identitas bangsa ada dalam Tugu Khatulistiwa karena merupakan bagian dari Indonesia.

Keontetikan Tugu Khatulistiwa dalam wujud museum situs

Pada akhir abad XIX di Eropa dikenal istilah open air museum[6] dan on-site museum. Open air museum kali pertama didirikan oleh King Oscar II di Norwegia, dan diresmikan pada 1881. Sebagai besar open air museum memfokuskan pada upaya merekonstruksi bangunan-bangunan tua di tempat terbuka; dan menata kembali lansekap masa lalu dan pemukiman etnis atau suku tertentu. Open air museum pada umumnya berada di lokasi aslinya, seperti Cradel of Humankind Museum, Afrika Selatan; The Mammonth Site Museum, Inggris; dan Goreme Open Air Museum, Turki. Sedangkan on-site museum berfungsi untuk melestarikan semua temuan arkeologis yang berbentuk struktur dan artefak yang masih berada dalam kontes aslinya. Contoh adalah museum of Terracotta Wariors and Horses di Cina.[7]

Museum situs berbeda dengan dua jenis museum tersebut. Museum situs[8] didirikan di kawasan situs[9] purbakala, sehingga keterkaitan koleksi[10] dengan situsnya mudah di pahami. Museum situs diarahkan untuk mengumpulkan, meneliti, merawat, mengamankan, menyebarluaskan informasi, dan menyajikan benda-benda (artefak) dari situs purbakala. Di Indonesia, istilah museum situs mulai dikenal pada 80-an.[11] Berawal dari dibangunnya bengkel kerja (werkeet) sebagai sarana penunjang kegiatan pemugaran bangunan purbakala yang dikembangkan pada 70-an. Bangunan ini juga berfungsi untuk menyelamatkan benda cagar budaya sebagai akibat dari maraknya pencurian, perusakan, dan penemuan benda cagar budaya oleh masyarakat.[12]

Kegiatan penelitian purbakala yang semakin meningkat, menyebabkan harus adanya bangunan untuk penyimpanan hasil temuan, sekaligus sebagai pusat informasi. Temuan yang semakin bertambah, baik yang berasal penemuan masyarakat maupun penelitian, memerlukan sistem penataan pameran/display dan pembuatan label informasi. Pusat informasi tersebut akhirnya berubah menjadi museum situs purbakala.[13] Tugu Khatulistiwa dalam konteks bangunan kubah dapat dikategorikan sebagai museum situs yang di dalamnya terdapat tinggalan bersejarah yang in situ. Di dalamnya terdapat pula koleksi yang memiliki konteks dengan Tugu Khatulistiwa yang dibuat pada masa Hindia Belanda, sehingga keotentikannya dapat dipertanggungjawabkan. Seperti yang dikatakan oleh Ouzman (2006:273–274) bahwa restorasi dan konservasi dapat mempengaruhi keaslian suatu benda. Akan tetapi di lain pihak, suatu benda tetap masih bisa diakui keotentikannya meskipun hasil duplikasi jika memiliki alasan kuat. Antara lain benda yang asli sudah tua atau usang, sangat bagus dan berharga, dan lain-lain.

Prinsip-prinsip keotentikan

Hal-hal prinsip yang terkait dengan pendirian, pengelolaan, dan pengembangan museum situs purbakala, harus didasarkan pada kajian ilmiah. Pendirian museum situs purbakala harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat berbentuk non-profit, terbuka untuk umum, menitikberatkan pada bidang pendidikan-kultural, penelitian, dan rekreasi, serta mempunyai tugas untuk melestarikan dan menyajikan/menginformasikan koleksinya.[14]

Museum situs purbakala hanya dapat didirikan di situs atau kawasan yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Museum situs purbakala harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ideologi, akademis, dan ekonomis. Koleksi museum situs purbakala harus berupa temuan, hasil penelitian, dan/benda-benda yang berasal dari situs tersebut, dan koleksi yang berasal dari situs lain harus berupa temuan yang memiliki hubungan dengan situs tempat didirikannya museum.[15]

Bangunan museum situs purbakala merupakan bangunan baru yang didahului dengan peneliti arkeologis.[16] Lokasinya harus berada di mintakat/zona pengembangan, dan pengelolaannya harus mendapat rekomendasi dari instansi yang berwenang. Situs purbakala yang layak untuk dijadikan museum situs, harus harus memiliki nilai penting dan informasi yang potensial bagi studi kebudayaan, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Juga situs purbakala yang sudah ditetapkan sebagai situs berskala nasional atau internasional didasarkan pada undang-undang yang berlaku.[17] Atas dasar itu Tugu Khatulistiwa sudah memenuhi kriteria tersebut untuk disebut sebagai museum situs, yang memiliki tugas melestarikan peninggalan benda cagar budaya yang menjadi koleksinya berserta situsnya, dengan pemeliharaan, perawatan, perlindungan, pemantauan, serta pengendalian suhu dan kelembaban udara ruang mikro.

Standard Museum Situs

Mendirikan bangunan baru yang akan difungsikan sebagai bangunan museum situs purbakala harus memenuhi standar teknis sebagai berikut.

Material

Material bangunan sangat menentukan kondisi lingkungan, baik di dalam maupun di luar museum situs purbakala. Oleh karena berbagai jenis material bangunan memberikan efek berbeda terhadap suhu dan kelembaban di dalam bangunan. Material bangunan yang digunakan harus sesuai dengan karakteristik benda cagar budaya dan kondisi lingkungan sekitar situs. Jika tidak sesuai, akan memberikan efek buruk terhadap bangunan dan lingkungan di sekitarnya. Kondisi lingkungan yang sangat asam dapat merusak bangunan yang menggunakan kayu. Kondisi lingkungan yang labil dan sering terjadi gempa, tidak kondusif untuk bangunan yang menggunakan semen.[18]

Arsitektur

Arsiktektur bangunan museum situs harus serasi dengan situs serta lingkungan sekitarnya. Bangunan yang baru dan berada di lokasi situs sebaiknya bersifat permanent. Gaya dan bentuk bangunannya sesuai dengan cagar budaya (koleksi) dan arsitektur tradisional lingkungan sekitarnya. Suatu bangunan museum situs purbakala yang memiliki terlalu banyak jendela menyebabkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam bangunan sangat tinggi. Intensitas cahaya yang tinggi dapat mengganggu kelestarian koleksi museum situs. Bangunan museum situs purbakala yang memiliki ventilasi terlalu banyak dapat mengakibatkan suhu dan kelembaban di dalam bangunan museum situs bersifat fluktuatif. Kondisi yang demikian sangat mengganggu kelestarian koleksi museum situs. Selain itu, perencanaan arsitektur harus mempertimbangkan pembagian antara zona publik dan zona tertutup, dan harus memiliki akses bagi penyandang cacat dan akses pada saat terjadi bencana.[19] Tugu Khatulistiwa sudah sesuai dengan kriteria ini. Salah satunya ada duplikasi tugu dengan perbandingan 1 : 5.

Penataan Lingkungan

Penataan lingkungan yang dibuat pada museum situs purbakala, sebaiknya tidak mengubah karakteristik dari lansekap situs tersebut, sehingga tidak mengubah lansekap aslinya. Penataan lingkungan museum situs harus di dahului dengan kajian tentang kelestarian lansekap situs tersebut.[20]

Aksesibilitas

Tugu Khatulistiwa sudah memiliki aksesibilitas yang memberikan kamudahan kepada pengunjung, tanpa mengabaikan keamanan dan kelestarian situs. Selain itu sudah ditunjang dengan infrastruktur yang memadai, seperti penunjuk arah, sanitasi, serta kamudahan memperoleh informasi tentang museum situs tersebut.[21]

Kesimpulan

Tugu Khatulistiwa seolah masa lalu yang hadir dalam kekinian. Murphy (2005:71) mengatakan bahwa Museums as machines of time and memory. sementara Chen (2007:182) mengutarakan bahwa memori kolektif dapat tumbuh melalui bangunan bersejarah dan koleksi museum. Tugu Khatulistiwa ada dalam pengertian itu, dan memiliki potensi luar biasa untuk dapat diwujudkan sebagai museum situs dengan konteks museologi baru. Namun tentu harus lebih ditingkatkan lagi dengan manajemen yang baik. Pengelola lebih aktif mendekati masyarakat agar menjadi bagian komunitas, dan sebaliknya, komunitas melakukan pemaknaan terhadap museum untuk membentuk identitasnya. Born (2006:7) mengatakan bahwa museum adalah lembaga yang sangat penting yang berperan menjadi “penjaga” komunitas sejarah, nilai-nilai, inovasi, bahkan ide-ide provokatif. Museum juga dapat menjadi partner dari suatu komunitas yang sebelumnya selalu menilai negatif pada museum. Museum dan komunitas harus melakukan dialog, karena keduanya memiliki sumber daya yang dapat mengubah, tidak hanya tatanan sosial di antaranya, tetapi lebih luas dari itu.

Indonesia memiliki banyak situs purbakala yang sangat potensial untuk di kembangkan dan di manfaatkan sebagai pusat keunggulan (center of excellence) dalam rangka menanamkan nilai-nilai budaya bangsa, meningkatkan kebanggan nasional, dan memperteguh jatidiri bangsa. Selain itu, situs purbakala juga dapat dikembangkan sebagai objek wisata budaya. Pada masa depan diharapkan akan semakin banyak lagi museum situs purbakala, yang menyajikan informasi tentang potensi dan interpretasi yang telah di lakukan di situs tersebut, sehingga dapat pula mendukung pelestarian situsnya.[22]

Pada dasarnya, pemanfaatan museum situs purbakala mengacu pada pemanfaatan museum pada umumnya, yaitu pelayanan kepada peneliti, akademis, dan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan edukatif bersifat eksperimen dan interaktif, seperti kegiatan survai permukaan, penggalian arkeologis, dan penanganan temuan hasil penggalian. Pelayanan dapat juga berupa informasi, pelatihan, dan bantuan konsultasi yang berkaitan dengan pengelolaan museum situs purbakala. Pelayanan harus berwawasan pelestarian terhadap benda cagar budaya dan situsnya.[23]

[1]     Disebut juga Monumen Ekuator (equator monument)

[2]     Di Indonesia ada beberapa Tugu Khatulistiwa, yaitu Tugu Khatulistiwa di Pontianak (Kalimantan Barat) dan Sumatera Barat, yaitu di Kampung Jambak, Sunur, Pariaman; dan di Nagari (desa) Koto Alam di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Jepang menamakan Koto Alam dengan Sakido Mura (Kampung Khatulistiwa).

[3]     www.geografiana.com

[4]     Dari berbagai sumber yang diunggah dari internet kemudian disarikan menjadi tiga kalimat singat. Alamat website: www.melayuonline.com; www.wikipedia.com; www.jongjava.com; www.dhokribo.blogspot.com; www.kesultanankadriyah.blogspot.com; www.wisata-kalbar.blogspot.com; www.indungsia.wordpress.com; www.khatulistiwa.brantah.com; www.indonesia-life.infowww.habebimam.multiply.com

[5]     Ibid.

[6]     Museum adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti material hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya, guna menunjang upaya pelindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.

[7]     http://disbudpar.jatimprov.go.id/museum/117-pedoman-penyelenggaraan-museum-situs.html

[8]     Museum situs purbakala adalah museum yang didirikan situs purbakala, merupakan lembaga tetap, bersifat non-profit, terbuka untuk umum yang berfungsi untuk memamerkan, dan memublikasikan serta meningkatkan pemahaman terhadap nilai penting benda cagar budaya dan situs tersebut, dengan menitikberatkan pada kepentingan penelitian, pendidikan, rekreasi, serta perdayaan masyarakat sekitar.

[9]     Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya, termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.

[10]    Koleksi adalah benda-benda bukti material hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

[11]    Hingga kini, museum situs yang dikenal di Indonesia, antralain museum situs Manusia Purbakala Sangiran (Sragen, Propinsi Jawa Tengah), Banten Lama (Propinsi Banten), Muara Jambi (Propinsi Jambi), dan Trowulan (Mojokerto, Propinsi Jawa Timur).

[12]    http://disbudpar.jatimprov.go.id/museum/117-pedoman-penyelenggaraan-museum-situs.html

[13]    Ibid.

[14]    Ibid.

[15]    Ibid.

[16]    Pada situs tertentu (benteng atau kota kuno) museum situs purbakala dapat memanfaatkan bangunan lama yang berada dalam situs tersebut. Dalam perencanaan fisik dan infrastrukturnya, bangunan museum situs purbakala harus mengikuti kaidah pelestarian benda cagar budaya sesuai peraturan perundang-undang yang berlaku.

[17]    Prosedur pendirian museum situs purbakala mengacu pada prosedur pendirian museum pada umumnya, yaitu didasarkan pada Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor KM.33/PL.303/MPK/2004 tentang Museum.

[18]    http://disbudpar.jatimprov.go.id/museum/117-pedoman-penyelenggaraan-museum-situs.html

[19]    Ibid.

[20]    Ibid.

[21]    Ibid.

[22]    Ibid

[23]    Ibid.

Referensi

Born, Paul. (2006), Community Collaboration: A New Conversation, dalam Journal of Museum Education, Vol. 31, No. 1,Spring 2006, hlm. 7–14.

Chen, Chia-Li (2007) “Museums and the Shaping of Cultural Identities. Visitors Recollectionns in Local Museums in Taiwan” dalam Simon J. Knell, et al. (eds.) Museum Revolutionn. London & New York. Hlm. 173–188

Murphy, Bernice (2005) Memfory, History and Museums”, dalam Museum International, No. 227, Vol. 57, No. 3, 2005, Oxford (UK), Malden (USA):  Blackwell Publishing

Ouzman, Sven, 2006, “The Beauty of Letting Go: Fragmentary Museums and Archaeologies of Archive”, dalam Elizabets Edwards, Chris Gosden dan Ruth B Philllips (ed.) Sensible Objects: Colonialism, Museums and Material Culture: Berg-Oxford New York, hlm. 269-301

Watson, Sheila (2007) “History Museum, Community Identitas and a Sense of Place”, dalam Simon Knell (ed.) dalam Museum Revolution. London:Routledge, Hlm.160–172.

Watterson, Sally. 2009, “Mongolia’s National History Museum: The National Museum o Mongolia Reinvents itself” dalam The International Journal of the Inclusive Museum vol. 2, vo. 2, hal. 51–56

wisatamelayu.com; dalam: http://disbudpar.kalbarprov.go.id/where-to-go/pontianak/115-istana-kadriah.html diakses pada 15 Oktober 2012

www.melayuonline.com

www.wikipedia.com

www.jongjava.com

www.dhokribo.blogspot.com

www.kesultanankadriyah.blogspot.com

www.wisata-kalbar.blogspot.com

www.indungsia.wordpress.com

www.khatulistiwa.brantah.com

Lukisan di Tebing Kaimana

0
Gambar Cadas di Kaimana.
Gambar Cadas di Kaimana.

Senja di Kaimana

“Senja di Kaimana” begitu judul lagu yang dinyanyikan oleh Alfian pada 70an. Lagu tersebut menggambarkan keindahan panorama Kaimana saat senja. Senja di Kaimana memang sangat indah, tetapi Kaimana menyimpan keindahan lainnya selain panorama saat senja, apa itu?? Lukisan dinding di tebing-tebing pulau di Kaimana. Ya, lukisan tebing tersebut yang belum diketahui banyak orang.

WP_001548-Kaimana

Lukisan di dinding tebing tersebut kali pertama ditemukan oleh Johannes Keyts, kepala pedagang VOC, pada 1678. Lukisan-lukisan tersebut sudah pernah didokumentasikan dalam bentuk buku oleh UNESCO yang bekerjasama dengan salah satu arkeolog Indonesia, Karina Arifin. Sedikitnya dokumentasi mengenai lukisan dinding tersebut mewajibkan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskannya kepada masyarakat. Tahun ini kami akan membuat film dan buku mengenai lukisan dinding prasejarah yang ada di Indonesia, salah satunya Kaimana.

WP_001419-Kaimana

Kegiatan pendokumentasian lukisan dinding di Kaimana berlangsung selama 8 hari dari 29 Maret sampai 5 April. Diikuti oleh tim Direktorat Pelestarian Cagar Budaya, Karina Arifin (penulis), R. Cecep Eka Permana (penulis), Feri Latief (fotografer), Putra Apriandy Dendang (videographer), dan Fahmi M Syarief (sutradara). Melakukan perjalanan yang lumayan panjang dari Jakarta ke Kaimana, berangkat pukul 01.30 WIB dan sampai di Kaimana pukul 10.15 WIT, kami disambut dengan lukisan-lukisan dinding tebing yang indah, tak kalah indah dengan saat senja di kaimana.

Lukisan tebing sepanjang puluhan kilometer yang membentang sepanjang Desa Lobo sampai Tanjung Bicari diperkirakan berumur 3000–10.000 tahun, sejaman dengan manusia Austronesia yang melakukan perjalanan ke arah timur Nusantara.

DSC_0770-Kaimana

Dibagi ke dalam 3 situs

Untuk memudahkan pendokumentasian lukisan tebing tersebut kami bagi menjadi 3 situs, pertama situs kampung Maimai yang terdiri atas dua sisi, sisi selatan dan utara. Sisi selatan meliputi tebing Nusuamoi, Ermamare, Refis, Omborcene, Memnemba, Memnemnambe, Werfora1, Werfora 2, Werfora 3 sampai Werfora 4 tebing yang paling tinggi. Sisi utara kampung Maimai meliputi Sasereoyomo, Sasereinabo, Munfuritnus, Munfuriti, Netnarai dan Weretwarom.

Dekat desa bernama Lobo, dua setengah jam perjalanan dari pelabuhan Kaimana, 2 tebing di dekatnya yaitu tebing Ganggasa dan Irisjawe menjadi situs kedua kami. Situs ketiga dekat dengan desa Namatota. Desa ini berada di utara kp maimai. Namun, karena waktu dan bahan bakar yang terbatas kami tidak sempat untuk mendokumentasikan situs ketiga ini.

Dari 18 tebing bergambar yang kami kujungi hanya ada 4 tebing yang dapat kami naiki dan didokumentasikan dari dekat, yaitu tebing weretwarom, sasereinabo, memnemnambe, dan werfora 1. Tebing-tebing lainya hanya bisa didokumentasikan dari atas speedboat karena tebing tidak memungkinkan untuk dinaiki dan tidak ada pijakan untuk kami berdiri mendokumentasikannya.

Tulisan berwarna putih menutupi dan merusak lukisan cadas di Kaimana
Tulisan berwarna putih menutupi dan merusak lukisan cadas di Kaimana.

Vandalisme

Lukisan-lukisan tersebut sudah mulai mengelupas dan tertutupi oleh coretan-coretan dari tangan-tangan jahil masyarakat sekitar. Mereka mencoret mengunakan cat berbahan kimia dan menutupi lukisan prasejarah dengan nama mereka. Mereka menuliskan nama mereka untuk menandakan bahwa mereka pernah berasa di sana. Dinas Budpar Kaimana, pada 2010 lalu pernah melakukan kegiatan konservasi terhadap beberapa dinding tersebut. Kegiatan tidak dilanjutkan karena bahan penghapus menggunakan bahan kimia akan menghapus lukisan prasejarah yang terbuat dari oker.

Penggambaran ikan, manusia, kadal dan cap tangan mendominasi lukisan dinding di tebing kaimana. Lukisan-lukisan tersebut bercerita mengenai upacara-upacara adat, kehidupan sehari-hari, dan binatang-binatang yang dianggap penting oleh manusia prasejarah. Manusia digambarkan dengan bermacam-macam bentuk seperti menggunakan topeng, manusia dengan kepala berhias, manusia sedang menari, dan penggambaran sepasang manusia lengkap dengan alat vitalnya. Penggambaran ikan disatukan dengan gambar-gambar alat pancing seperti kail, jaring, dan keranjang penangkap ikan.

DSC_0036-Tim KaimanaPendokumentasian ini diharapkan akan memberikan informasi mengenai pelestarian terhadap lukisan dinding agar tidak ada vandalisme berkelanjutan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Hasil pendokumentasian ini akan dipublikasikan untuk masyarakat Indonesia khususnya masyarakat yang berada di desa-desa terdekat dengan lukisan-lukisan dinding. Dengan adanya dokumentasi tersebut diharapkan masyarakat sekitar dapat lebih menghargai dan menjaga Cagar Budaya di lingkungannya. (Mita Indraswari)

Kunjungan Kerjasama Program Pelestarian Cagar Budaya Bawah Air

0

(Thai Underwater Archaeology Department dan National Maritime Museum, Thailland)

25-27 Desember 2014

Oleh: Khanifuddin Malik

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang ke dua di dunia menyimpan potensi yang sangat besar di bidang maritim. Selain kekayaan laut yang melimpah, Indonesia juga memiliki kekayaan lain berupa peninggalan benda-benda berharga yang terdapat di dasar laut. Peninggalan tersebut biasanya merupakan kapal-kapal karam yang dahulu digunakan sebagai pengangkut barang dagangan dari Tiongkok maupun negara lainnya menuju tanah Jawa dan sekitarnya. Selain itu terdapat pula banyak kapal perang yang karam dan pesawat tempur yang jatuh di perairan Indonesia selama masa perang dunia I dan II. Seluruh peninggalan tersebut merupakan kekayaan negara Indonesia sebagai Cagar Budaya yang wajib dilestarikan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Sejalan dengan hal tersebut, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menekankan prioritas tentang dunia kemaritiman Indonesia dalam program visi pembangunan bangsa ke depan. Hal ini semakin menguatkan niat Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman untuk meningkatkan upaya pelestarian Cagar Budaya bawah air yang berada di wilayah maritim Indonesia. Salah satu upaya tersebut adalah peogram pembangunan pusat pelatihan pelestarian cagar budaya bawah air di kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sejak 2012, telah dilaksanakan pelatihan pelestarian Cagar Budaya bawah air di Makassar yang diikuti oleh peserta dari Indonesia dan beberapa negara di kawasan Aisa Tenggara seperti Thailand, Filipina, dan Kamboja. Para pengajar dalam pelatihan ini merupakan para ahli selam dan eksplorasi bawah air, terutama yang berhubungan dengan penyelamatan Cagar Budaya dari beberapa negara seperti Thailand, Australia, dan Filipina. Seluruh biaya untuk melaksanakan pelatihan tersebut bersumber dari APBN, DIPA Direktorat Pelestaraian Cagar Budaya dan Permuseuman.

Di Kawasan Asia Tenggara, Thailand adalah sebuah negara yang maju dalam bidang pelestarian Cagar Budaya bawah air. Negara ini termasuk leading country dalam pelestarian kebudayaan, termasuk Cagar Budaya. Thailand memiliki Kementerian Kebudayaan sendiri, sehingga negara tersebut selalu fokus dalam mengelola budaya yang dimiliki. Salah satu Departemen yang berada di bawah Kementerian Kebudayaan adalah Department of Fine Art yang membawahi The Thai Underwater Archaeological Office. Kantor arkeologi bawah air ini berada di Kota Chantaburi, sekitar 200 km dari kota Bangkok. Di kota ini juga terdapat Museum Maritim Nasional yang menyimpan, menyajikan, dan mengelola koleksi-koleksi cagar budaya bawah air yang ditemukan di wilayah Thailand.

Pada 2014 ini, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman mengirimkan delegasi ke Thailand untuk menjajaki kerjasama program, terutama program pelestarian Cagar Budaya bawah air melalui kegiatan Perjalanan Luar Negeri.

Tujuan

Tujuan dari kunjungan kerjasama ke Thailand ini adalah:

  1. Menjajaki kerjasama program pelestarian Cagar Budaya Bawah Air.
  2. Studi banding program pelestarian Cagar Budaya Bawah Air.
  3. Mempelajari storyline dan manajemen  pengelolaan Museum Maritim Nasional Thailand untuk dijadikan sebagai salah satu contoh untuk Museum Maritim Indonesia di Belitung

Waktu

Kunjungan kerjasama ke Thailand dilaksanakan selama 3 hari pada 25-27 Desember 2014.

Peserta

Delegasi yang dikirim untuk kunjugan kerjasama ke Thailand sebanyak 2 orang pegawai dari 3 orang yang direncanakan. Kedua pegawai tersebut adalah Dewi Murwaningrum, M.Hum dan Khanifudin Malik, MA. Sedangkan Kosasih Bismantara, S.H batal mengikuti kunjungan disebabkan karena passport dinas yang yang bersangkutan harus diperpanjang terlebih dahulu, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk perpanjangan tidak dapat mengejar waktu pada saat kunjungan dilaksanakan.

Tempat

Kunjungan ini dilaksanakan di Thai Underwater Archaeology dan Museum Maritim Nasional di Kota Chanthaburi dan Kawasan Cagar Budaya termasuk Museum Nasional di Kota Bangkok.

Hasil

Dari kunjungan kerjasama ini didapatkan beberapa informasi penting dari narasumber-narasumber yang ditemui. Narasumber adalah Mr. Erbprem Vatcarangkul – Direktur The Thai Underwater Archaeology Office dan Ms. Anh Duangpond – Kepala Museum Maritim Nasional Thailand.

1. Thai Underwater Archaeology

Kantor Thai Underwater Archaeology berada di dalam satu kompleks yang sama dengan Museum Maritim Nasional, yaitu di dalam suatu benteng bersejarah. Tugas dan fungsi Kantor ini adalah mengurusi bidang arkeologi bawah air yang berada di bawah koordinasi Departement of Fine Arts, Kementerian Kebudayaan Thailand. Pimpinan kantor ini adalah seorang Direktur. Beliau adalah seorang arkeolog lululan University of York, Inggris, teman seangkatan mantan Direktur Jenderal Kebudayaan, Bapak Hari Untoro Drajat. Pegawai kantor ini berjumlah 25 orang, terdiri atas 15 orang PNS dan 10 orang tenaga kontrak.

11Bangunan kantor ini sedang direnovasi, sehingga pegawainya masih menumpang di kantor Museum Maritim. Pada saat ini sedang dibangun kolam renang untuk latihan penyelaman khusus untuk penelitian arkeologi bawah air di sebelah kiri kantor yang sednag direnovasi. Kolam renang khusus ini adalah kolam renang untuk pelatihan arkeologi yang pertama di dunia. Kedalaman kolam renang ini mencapai 12 meter, sehingga cocok untuk pelatihan selam. Selain itu, lantai kolam renang yang dangkal dilengkapi kait-kait yang dipasang dengan aman yang dipersiapkan untuk membuat jaring khusus untuk pengukuran dan eksplorasi benda dan struktur yang diduga sebagai cagar budaya bawah air.

Anggaran untuk pembuatan kolam dan renovasi kantor ini diperkirakan mencapai 1 juta US Dollar atau sekitar 13 Milyar Rupiah. Anggaran berasal dari pemerintah, khususnya Kementerian Kebudayaan. Namun, dalam mewujudkan anggaran ini Direktur memerlukan waktu 10 tahun untuk mengusulkannya kepada Pemerintah Pusat Thailand. Pekerjaan renovasi kantor dan pembuatan kolam pelatihan selam akan selesai pada Februari tahun 2015.

Pelatihan Selam Arkeologi Bawah Air

Pemerintah Thailand bekerjasama dengan UNESCO telah berhasil menyelenggarakan pelatihan selam untuk eksplorasi Cagar Budaya bawah air untuk seluruh negara-negara di Asia Tenggara dan beberapa negara di Asia Pasifik sejak 2009. Biaya pelatihan ini merupakan hibah dari Pemerintah Kerajaan Norwegia kepada UNESCO Bangkok. Pelatihan ini bagian dari proyek yang berjudul ‘Safeguarding the Underwater Cultural Heritage of Asia and the Pacific: Building Regional Capacities to Protect and Manage Underwater Archaeology Sites through the Establishement of a Regional Centre of Excellence Field Training Facility and Programme of Instruction’.

Tujuan dari Pelatihan ini adalah:

  1. Menyiapkan negara-negara di Asia Pasifik untuk meratifikasi dan mengimplementasikan konvensi UNESCO tahun 2001 dan mendorong kolaborasi para ahli di antara negara-negara tersebut
  2. Membangun kemampuan regional dalam melindungi dan mengorganisasi Cagar Budaya bawah air di negara-negara Asia Pasifik
  3. Meningkatkan keprofesionalan arkeologi bawah
  4. Membantu dan mendorong negara-negara di Asia Pasifik dalam membangun unit arkeologi bawah air di negara masing-masing
  5. Mempromosikan pendekatan multidisipin dalam pelindungan dan pengelolaan Cagar Budaya bawah air
  6. Menyediakan wadah untuk menjalin kerjasama di antara negara-negara di Asia Pasifik
  7. Menyebarluaskan praktek terbaik (best pactise) dalam eksplorasi Cagar Budaya bawah air yang dimiliki oleh negara-negara di Asia Pasifik
  8. Melanjutkan program arkeologi maritim di kawasan Asia-Pasifik.

Perlu digarisbawahi bahwa Thailand berkomitment untuk terus meningkatkan kualitas dan kuantitas ekplorasi Cagar Budaya bawah air, sehingga UNESCO sangat mengapresiasi langkah tersebut. UNESCO mencarikan dana dari berbagai negara untuk mendukung usaha tersebut, sehingga pelaksanaan pelatihan selam untuk eksplorasi bawah air di Thailand sangat maju karena dukungan finansial yang memadai. Bahkan di Chanthaburi juga telah didirikan sebuah training centre atau biasa disebut sebagai ‘markas’ bagi para peserta dan trainer selama kegiatan pelatihan berlangsung. Di training centre ini terdapat 8 kamar yang masing masing terdapat 2 kamar double deck, sehingga bisa menampung 32 orang. Ruang aula yang digunakan sebagai ruang perkuliahan terdapat di bagian belakang gedung yang letraknya langsung menghadap ke laut. Training centre ini telah memiliki perahu dan peralatan khusus yang biasa digunakan untuk pelatihan di laut lepas.

Majunya fasilitas dan program pelestarian Cagar Budaya bawah air di Thailand ini dimulai dari beberapa tahun lalu ketika pusat pelatihan selam UNESCO yang berada di Srilanka terkena musibah, sehingga dipindahkan ke Thailand. Selain itu, UNESCO Bangkok merupakan pusat kebudayaan untuk kawasan Asia Pasifik sehingga anggaran UNESCO pusat di Paris untuk bidang kebudayaan banyak dikucurkan di UNESCO Bangkok.

Pada 2015, training centre ini juga akan melaksanakan workshop tentang konservasi perahu sulam. Panitia juga telah mengirimkan surat undangan mengenai hal ini dan masih menunggu jawaban dari Direktur PCBM. Seluruh biaya pelatihan seperti biasa ditanggung oleh panitia penyelenggara.

Perlu disampaikan pula bahwa negara Thailand menerapkan tahun anggaran yang berawal di Bulan Oktober dan berakhir di Blan September. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang menerapakan awal tahun anggaran pada bulan Januari dan berakhir pada bulan Desember. Sehingga untuk kerjasama bilateral ke depan, Indonesia harus dapat menyesuaikan dengan tahun anggaran mereka agar kerjasama dapat berjalan dengan lancar.

Sebagai tambahan informasi, menurut Bapak Erbprem Vatcharangkul yang beberapa kali menjadi narasumber pelatihan selam untuk ekslporasi Cagar Budaya bawah air di Indonesia, pelaksanaan pelatihan di di Indonesia tersebut perlu ditingkatkan lagi kualitasnya. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah koordinasi di antara para narasumber agar materi yang disampaikan tidak tumpang tindih, sehingga pelatihan bisa berjalan lebih efektif.

2. Museum Maritim Nasional

4a. Sejarah Museum. Museum Maritim Nasional telah berdiri sejak 12 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2002. Museum ini merupakan museum maritim pertama di Asia Tenggara. Sekarang ini sudah terdapat beberapa Museum Maritim di Asia Tenggara seperti di Singapura dan Malaysia. Indonesia sedang membangun Museum Maritim di Provinsi Bangka Belitung yang telah dimulai sejak 2011.

b. Bangunan dan Isi Museum

Museum Maritim Thailand terdiri dari 2 lantai yang terbagi menjadi 6 ruangan.

1) Ruang artefak dan barang yang berhubungan dengan perdagangan

Ruang ini memamerkan barang-barang dagangan pada abad ke-17 dan mengilustrasikan kehidupan pedagang maritim pada abad itu.

2) Ruang Arkeologi bawah air

Ruang ini menampilkan pengenalan terhadap arkeologi bawah air termasuk gambaran teknik ekskavasi yang berbeda dengan ekskavasi arkeologi biasanya. Selain itu ditampilkan beberapa peralatan ekskavasi bawah air yang berbeda dengan peralatan arkeologi di darat.

3) Warehouse atau storage

Storage ini merupakan tempat penyimpanan barang-barang yang ditemukan oleh arkeolog bawah air. Storage ini ditampilkan dengan sangat rapih, tidak seperti storage pada umumnya. Pengunjung dapat melihatnya melalui jendela kaca yang lebar namun tidak diperbolehkan memasuki ruangan storage.

4) Ruang Perahu

Ruang ini menampilkan berbagai bentuk perahu yang digunakan oleh rakyat Thailand dari waktu ke waktu. Perahu yang ditampilkan meliputi seluruh perahu baik yang digunakan oleh rakyat biasa maupun perahu kerajaan Thailand.

5) Ruang Perhiasan Chanthaburi

Ruang ini menampilkan sejarah Provinsi Chanthaburi. Ruang ini menampilkan asal dan sejarah Provinsi Chanthaburi termasuk tempat wisata yang menarik serta hasil bumi Chanthaburi seperti buah-buahan dan batu-batu perhiasan

6) Ruang Hall of fame Raja

Ruang ini menampilkan kehidupan Raja Taksin termasuk peperangannya yang heroik melawan bangsa Birma yang difokuskan pada jatuhnya kerajaan Ayutaya.

Hal yang menarik adalah bahwa seluruh museum dilengkapi dengan ramp yang ditujukan untuk pengunjung yang disable. Sedangkan hal yang mungkin dapat ditingkatkan di museum ini adalah pemasangan audio visual yang interaktif ataupun audio guide. Namun, instalasi fasilitas-fasilitas ini pasti membutuhkan anggaran yang tidak sedikit dan hal ini cukup sulit diterapkan karena adanya pemotongan budget untuk pengelolaan permuseuman di Thailand. Di  Thailand terdapat 43 museum bertaraf nasional. Karena ada pemotongan budget ini, maka jumlah museum tingkat nasional akan dikurangi dan belum dapat diketahui bagaimana pengelolaan museum tingkat nasional selanjutnya, termasuk Museum Maritim.

c. Pengelolaan Museum

Museum ini dikelola oleh pemerintah, di bawah Kementerian Kebudayaan, tepatnya Department of Fine Arts. Pengelola museum ini hanya terdiri atas tiga PNS (2 kurator dan 1 administrator) dan 15 orang honorer. Museum dibuka untuk umum pada Rabu-Minggu jam 09.00-16.00 (Libur pada Senin dan Selasa). Tiket masuk museum untuk pengunjung Asing adalah 100 Baht (Rp. 40.000), sedangkan masyarakat Thailand tidak dipungut biaya. Fasilitas yang terdapat di Museum ini antara lain adalah souvenir shop, kantin, toilet yang bersih dan parkir yang cukup luas.

3. Kunjungan Tambahan

Selain mengunjungi kedua tempat di atas, dilakukan juga kunjungan mandiri ke beberapa pusat kebudayaan di Kota Bangkok di antaranya Kompleks Grand Palace, Wat Arun, Wat Pho, dan Museum Nasional Thailand. Perlu disampaikan di sini bahwa semua Cagar Budaya yang dikunjungi dirawat dengan sangat baik. Cagar Budaya tersebut dilestarikan hingga pada tahap pemanfaatannya, sehingga Cagar Budaya tersebut dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat walaupun pengelolaannya dikendalikan oleh Kerajaan Thailand.

Rencana untuk mengunjungi kantor UNESCO tidak terlaksana, sebab mulai 19 Desember 2014 hingga 5 Januari 2015 kantor tersebut libur panjang Natal dan Tahun Baru.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari hasil kunjungan kerjasama program ini bisa sampaikan beberapa rekomendasi untuk Direktorat Pelestarian Cagar budaya dan Permuseuman:

  1. Direktorat PCBM perlu melaksanakan penjajakan kerjasama yang intensif dengan Museum Maritim Nasional Thailand terutama dalam pengkajian storylinenya agar Museum Maritim Belitung bisa dibangun lebih baik daripada Museum di Thailand. Namun perlu disampaikan pula bahwa Museum Maritim Thailand memiliki kekurangan, yaitu bahwa kajian story line nya baru dikerjakan ketika pembangunan gedung telah selesai, sehingga terdapat beberapa perubahan pada konstruksi gedung guna menyesuaikan dengan story line Hal ini diakui oleh Kepala Museum sebagai kesalahan yang seharusnya tidak dilakukan. Oleh sebab itu Kajian story line Museum Maritim Belitung harus dikerjakan sebelum pembangunan gedung, paling tidak beriringan dengan perencanaan pembangunan gedung.
  1. Pusat pelatihan eksporasi Cagar Budaya bawah air Thailand menjadi salah satu yang termaju di dunia. Hal ini dapat terwujud sebab pemerintah memperhatikan bidang ini secara serius dan memiliki lembaga tersendiri yang mengurusinya. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman diharapkan dapat merekomendasikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayan RI untuk lebih memperhatikan bidang pelestarian Cagar Budaya bawah air, terlebih Presiden RI saat ini, Joko Widodo, menekankan prioritas kemaritiman di Indonesia sebagai leading sector program pembangunannya.
  2. Pelestarian Cagar Budaya di Thailand sudah dilakukan dengan baik hingga tahap pemanfatannya. Indonesia yang memiliki keanekaragam budaya dari Sabang hingga Merauke memilki potensi yang jauh lebih besar untuk dikembangkan dan dimanfatkan untuk kemajuan pembangunan bidang kebudayaan, pendidikan, sosial  dan ekonomi.

Kunjungan ke Pusat Arkeologi Bawah Air di Kota Chantaburi, Thailand

0

23-ThailandDalam rangka mempererat kerjasama pelestarian Cagar Budaya bawah air dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara serta persiapan untuk meratifikasi UNESCO Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage Tahun 2001, maka Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman melakukan kunjungan kerjasama ke Thai Underwater Archaeology Department di Kota Chantaburi, Thailand. Kunjungan ini dilaksanakan selama tiga hari pada tanggal 25 hingga 27 Desember 2014.

7-Stored ThailandPusat Arkeologi Bawah Air Thailand adalah Pusat Arkeologi Bawah Air terbaik di Asia. Pusat Pelatihan ini memiliki fasilitas yang lengkap seperti asrama, perahu khusus eksplorasi, dan berbagai peralatan yang menunjang pelatihan. Bahkan, pada saat ini sedang dibangun kolam pelatihan khusus untuk penyelaman dan eksplorasi Cagar Budaya Bawah air yang pertama di dunia. Pelatihan dilakukan secara rutin bekerjasama dengan UNESCO Bangkok dan selalu melibatkan peserta dari berbagai negara di kawasan Asia dan Pasifik.

1-ThailandSelain mengunjungi Pusat Arkeologi Bawah Air, delegasi juga mengunjungi National Maritime Museum yang terletak di Kota yang sama. Kunjungan ke Museum ini adalah untuk mempelajari storyline dan manajemen  pengelolaan Museum Maritim sebagai contoh untuk Museum Maritim Indonesia yang sedang dibangun di Belitung. (Khanifuddin Malik)

Istana Kadriyah Pontianak

0

Signifikansi Sejarah-Memori Kolektif-Identitas

Oleh: Ivan Efendi

PBA_1216-Istana KadriahPontianak adalah kota multikultur yang memiliki bentangan sungai terpanjang di Indonesia yang bernama Kapuas. Kemultikulturan Pontianak itu terlihat dari banyaknya suku, baik pendatang maupun asli, yang berbaur harmonis dan memberi warna indah kota ini. Ada dua peninggalan bersejarah di kota ini yang memiliki latar beda, yaitu Istana Kadriyah beserta Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman, dan Tugu Khatulistiwa.

Istana Kadriah berada di Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Letaknya tidak jauh dari pusat Kota Pontianak, dan dapat dijangkau melalui jalur sungai dan darat. Istana Kadriah di sebelah kiri jalan dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman di sebelah kanan. Di sekitar kawasan peninggalan Kesultanan Pontianak ini adalah pemukiman yang cukup padat. Dengan rumah-rumah panggung yang tersebar di dataran banjir Sungai Kapuas.

Sekitar 25 menit dari Istana Kadriah menuju Mempawah terdapat tugu bersejarah yang dibuat pada masa pemerintahan Hindia Belanda untuk menunjukkan letak nol derajat garis khatulistiwa. Sekarang tugu ini bernama “Tugu Khatulistiwa” yang menjadi ciri khas Kota Pontianak. Letaknya berada di sisi jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara. Setiap 21–23 Maret dan 21–23 September diperingati hari kulminasi matahari di tempat ini. Kulminasi adalah saat matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa sehingga bayangan benda di tempat ini hilang.

Kedua jenis peninggalan ini, meskipun berbeda latar, memiliki nilai penting yang sama. Tidak hanya bagi Pontianak, tetapi juga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keduanya menjadi identitas dan dapat menumbuhkan memori kolektif[1] dengan mewujudkannya menjadi museum situs dengan manajemen museum yang baik dan berorientasi kepada masyarakat.

[1]     Menurut Chen (2007:178–179) memori kolektif itu dapat dirangsang melalui bangunan bersejarah. Chen menguatkan pernyataannya dengan mengutip Halbwachs (1980:140) yang mengatakan bahwa memori kolektif selalu berasosiasi dengan suatu tempat atau lokasi.

Signifikansi Sejarah-Memori Kolektif-Identitas

Signifikasi sejarah dan identitas yang terkandung dalam dua peninggalan arkeologis, yang tidak hanya berlatar beda tetapi juga fungsi yang berbeda, akan menjadi bahasan menarik. Istana Kadriah memiliki sejarah yang sangat kental dengan tradisi, budaya, keislaman, bahkan nasionalisme; sedangkan Tugu Khatulistiwa memiliki sejarah yang kental dengan kolonialisme dan kesakithatian masa lalu. Sangat bertolak belakang. Akan tetapi keduanya berkolaborasi, bahu-membahu menumbuhkan memori kolektif dan identitas Pontianak, bahkan Indonesia.

Menurut Watson (2007:1631–65) identitas komunitas muncul dengan melihat, mengingat, dan mengalaminya melalui sangat penting, karena warisan budaya tidak selalu sampai pada suatu komunitas dalam bentuk materi budaya atau objek, tetapi melalui kehidupan sehari-hari yang di dalamnya teredapat interaksi dan ekspresi.

Akan tetapi, dalam tulisan ini hanya akan dibahas mengenai Istana Kadriah dan sedikit menyinggung Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Sementara Tugu Khatulistiwa akan dibahas pada essai lainnya dengan topik yang berbeda. Kalaupun dimasukkan dalam essai ini, maka jumlah kata dan halaman tentu akan menjadi banyak dan tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan.

Signifikasi Sejarah Istana Kadriah

Kesignifikansian sejarah tidak bisa kaji, jika tidak diketahui fakta sejarahnya, yang terfokus pada dua bagian. Bagian pertama mengenai awal berdirinya Kesultanan Pontianak, dan bagian kedua tentang masa berakhirnya Kesultanan Pontianak saat menyatakan bergabung dengan NKRI.

Signifikansi sejarah ini akan menjadi “bahan” untuk memupuk identitas, tidak hanya bagi Pontianak tetapi bagi NKRI. Istana Kadriah sebagai saksi sejarah menjadi memori kolektif masyarakat Kota Pontianak. Bahkan di akhir cerita sejarah tersebut jelas dapat dibaca tentang signifikansi ‘Pontianak’ tidak hanya bagi ‘Pontianak’, tetapi bagi ‘Indonesia’.

Jadi jelas bahwa bangunan bersejarah dapat mengingatkan masyarakat terhadap kejadian masa lalu yang seoah-olah bagian darinya. Masyarakat menyadari bahwa bangunan bersejarah itu adalah bukti dari rentetan cerita yang akan membentuk identitas Kepontianakan. Bahkan jika kita perhatikan bagian akhir dari cerita sejarah Pontianak, tidak menutup kemungkinan akan membentuk identitas keindonesiaan.

Signifikasi Arsitektur Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman

Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman yang berarsitektur tradisional memiliki nilai penting yang dapat membangkitkan memori kolektif. Menurut Chen (2007:178-179) memori kolektif itu dapat dirangsang melalui bangunan bersejarah. Sementara Halbwachs (1980:140) mengatakan bahwa memori kolektif selalu berasosiasi dengan suatu tempat atau lokasi. Jadi Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman sebagai bangunan bersejarah in situ yang berarsitektur tradisional berciri khas Melayu dapat menjadi stimulan memori kolektif.

PBA_1248-Masjid Jami Sultan AbdurrahmanMasjid Jami’ Sultan Abdurrahman yang merupakan masjid Kesulatanan terletak sekitar 200 meter di sebelah barat Istana Kadriah. Hampir 90 persen konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu belian. Di dalam Masjid Abdurrahman terdapat enam pilar kayu belian berdiameter setengah meter. Dua pelukan tangan orang dewasa tak akan mampu mencapai lingkaran pilar. Selain pilar bundar, ada enam tiang bujur sangkar penyangga yang menjulang ke langit-langit masjid.

Masjid itu memiliki mimbar tempat khutbah yang unik, mirip geladak kapal. Pada sisi kanan dan kiri mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis pada kayu plafon. Atapnya yang bertingkat empat menggunakan sirap, yang dibuat dari kayu belian (awalnya menggunakan rumbia). Pada tingkat kedua, terdapat jendela-jendela kaca berukuran kecil. Di bagian atap paling atas mirip kuncup bunga atau stupa. Jendelanya berukuran besar berderet sejajar pintu Tinggi lantai masjid dengan tanah sekitar 50 centimeter.

Makna Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurraman tidak hanya memiliki nilai sejarah, tetapi mencerminkan tradisi atau budaya Melayu Pontianak. Kedua bangunan yang berarsitektur tradisional, atau bisa juga dikatakan sebagai vernacular, memiliki makna filosofis yang tinggi. Sehingga dapat menjadi ikon budaya sekaligus identitas Kepontianakan. Keotentikannya pun tidak dapat diragukan lagi, selain in situ, kedua bangunan ini adalah living monument.

Signifikasi Koleksi Istana Kadriah

Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman memiliki koleksi, meskipun kedua bangunan ini bukanlah museum. Melainkah bangunan bersejarah. Akan tetapi, dalam praktis (dalam konteks wisata sejarah) kedua bangunan itu bertindak sebagai museum. Bahkan menurut pengamantan penulis, Istana Kadariah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman dapat dikatakan hampir memenuhi kriteria museologi baru. Tentu saja hal ini dilihat dari segi koleksi dan penataannya saja. Tidak banyak tulisan yang mendeskripsikan koleksi.seolah membiarkan pengunjung untuk member makna sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya. Koleksi-koleksi disusun berdasarkan konteksnya, baik dengan koleksi lalin, maupun dengan tempat atau ruang atau tempat. Berikut ini adalah uraian mengenai koleksi yang berada di Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman.

Istana Kadriyah memiliki koleksi antara lain foto-foto Sultan Pontianak, lambang kesultanan, lampu hias, kipas angin, keris, meja giok, serta singgasana sultan dan permaisuri. Di belakang ruang istana terdapat satu ruangan yang cukup besar. Di ruangan ini terdapat benda-benda warisan Kesultanan Pontianak, seperti senjata, pakaian sultan dan permaisurinya, foto-foto keluarga sultan, dan arca-arca. Di sisi kanan, tengah, dan kiri depan istana, ada 13 meriam kuno buatan Portugis dan Perancis.

Di dalam istana juga terdapat cermin pecah seribu yang dikatakan ajaib karena bisa melihat 1000 wajah kita. Selain itu ada Lancang Kuning[2] milik Kesultanan Istana Kadriyah. Dilengkapi dengan foto Sultan Muhammad AlKadrie mengenakan pakaian kesultanan warna putih. Terdapat juga kursi di istana ini yang sangat tegap, kukuh dan kuat hingga kini. Ada pula hierarki raja-raja yang bertakhta pada zaman kejayaan kesultanan Kutaringin. Yang paling menarik lainnya yaitu Al-Quran bertuliskan tangan baginda Sultan Syarif Abdurrahman al-Kadrie yang disiapkan sempurna hingga 30 juz. Dan ada pula harta-harta yang dipamerkan oleh Istana Kadriyah ini.

Dari kutipan tersebut dapat “ditangkap” makna yang ada di baliknya. Di antaranya ada meja giok yang langsung mengajak kita “terbang” ke Asia Timur, atau bahkan langsung muncul di benak kita kata ‘China’. Juga dengan kalimat “13 meriam kuno buatan Portugis dan Perancis”, yang tentu tidak perlu dijelaskan panjang lebar lagi. Lancing Kuning pun seolah tidak kalah. Keberadaannya menggambarkan bagaimana penguasaan transportasi air telah dimiliki oleh Kesultanan Pontianak.

[2]     Lancang kuning adalah alat transportasi laut tradisional Kesultanan Pontianak.

Kesimpulan

Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman seolah dapat membuat kita terbang ke masa lalu. Sejarahya yang memukau dan keindahan arsitektur yang menyiratkan hubungan harmonis antara manusia dan alam melekat secara intangible. Murphy (2005:71) mengatakan bahwa Museums as machines of time and memory. Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman layaknya museum yang dapat mengajak pengunjungnya melintasi waktu dan beragam memori yang bersemayam di dalamnya. Julian (2010: 28–29) mengatakan bahwa memori sejarah memberikan kontribusi pada struktur dari suatu situs sebagai parameter dasar untuk perencanaan spasial. Memori sejarah itu akan memperkaya suatu tempat, baik berupa cagar budaya yang kompleks maupun tidak.

Chen (2007:182) mengemukakan bahwa ternyata memori kolektif itu dapat tumbuh tidak hanya dari bangunan bersejarah, tetapi dari objek museum. Jadi ada keterikatan antara masa lalu dan masa kini dalam pikiran pengunjung. Pengunjung dengan aktif membandingkan masa lalu dengan masa kini. Pengunjung juga dapat memilah-milah mana yang positif dan baik baginya. Pengunjung menjadikannya koleksi museum sebagai “bahan” untuk bernostalgia. Isatana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman sudah melakukan itu, meski tampak tak sengaja. Kedua bangunan itu seolah membiarkan kita untuk menikmati koleksi-koleksinya sebagai bagian dari kehidupan kita.

Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman sudah memiliki potensi luar biasa untuk dapat diwujudkan sebagai museum dengan konteks museologi baru. Namun tentu harus lebih ditingkatkan lagi dengan manajemen yang baik. Pengelola (dalam hal ini pemilik) harus berinisiatif dan lebih aktif mendekati komunitas. Komunitas yang dimaksud tidak hanya masyarakat di sekitarnya atau di Kota Pontianak, tetapi lebih luas lagi. Karena selama ini publikasi kedua bangunan ini hanya dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan para blogger yang aktif berbagi pengalaman di dunai maya. Agar museum menjadi bagian komunitas, dan sebaliknya, komunitas melakukan pemaknaan terhadap museum untuk membentuk identitasnya. Born (2006:7) mengatakan bahwa museum adalah lembaga yang sangat penting yang berperan menjadi “penjaga” komunitas sejarah, nilai-nilai, inovasi, bahkan ide-ide provokatif. Museum juga dapat menjadi partner dari suatu komunitas yang sebelumnya selalu menilai negatif pada museum. Museum dan komunitas harus melakukan dialog, karena keduanya memiliki sumber daya yang dapat mengubah, tidak hanya tatanan sosial di antaranya, tetapi lebih luas dari itu.

Cara ini dilakukan tidak hanya untuk komunitasnya pada saat ini, tetapi juga untuk generasi sesudahnya pada masa datang. Sungguh bijaksana. Ini seperti yang dikatakan oleh Marschall (2005: 103 dalam Bakker, dkk: 2010) yang menjelaskan bahwa representasi warisan tak benda adalah bagian dari bentuk identitas komunitas. Jadi komunitas membentuk identitasnya tidak hanya tergantung pada objek atau materi yang berwujud benda, tetapi juga yang tak benda.

Referensi:

Bakker, Karel Anthonie and Műller, Liana. (2010) “Intangible Heritage and Community Identity in Post-Apartheid South Africa”, dalam Museum International, Vol. 62, Issue 1–2, Mei 2010

Born, Paul. (2006), Community Collaboration: A New Conversation, dalam Journal of Museum Education, Vol. 31, No. 1,Spring 2006, hlm. 7–14.

Chen, Chia-Li (2007) “Museums and the Shaping of Cultural Identities. Visitors Recollectionns in Local Museums in Taiwan” dalam Simon J. Knell, et al. (eds.) Museum Revolutionn. London & New York. Hlm. 173–188

Halbwachs, M. (1980) The Collective Memor, trans. F.J. Ditter, Jr. dan V. Yazdi Ditter, New York: Harper Colophon Books.

Julien, Olsen Jean (2010) “Port-au-Prince: Historical Memory as a Fundamental Parameter in Town Planning”, dalam Museum International, No. 248, Vol. 62, No. 4, 2010, Oxford (UK), Malden (USA):  Blackwell Publishing.

Murphy, Bernice (2005) Memfory, History and Museums”, dalam Museum International, No. 227, Vol. 57, No. 3, 2005, Oxford (UK), Malden (USA):  Blackwell Publishing

Marschall, S.. (2005). “Making money with memories: The fusion of heritage, tourism and identity formation in South Africa”, dalam Historia, Vol. 50, No.1, hlm.103–122.

Watson, Sheila (2007) “History Museum, Community Identitas and a Sense of Place”, dalam Simon Knell (ed.) dalam Museum Revolution. London:Routledge, Hlm.160–172.

 

Workshop Konservasi Kayu Cagar Budaya Bawah Air

0

Bimtek Perahu RembangSebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas tenaga pelestari budaya, khususnya dalam bidang konservasi Cagar Budaya Bawah Air, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Pemuseuman menyelenggarakan kegiatan workshop konservasi kayu Cagar Budaya Bawah Air pada 25-31 Maret 2015 di Rembang-Jawa Tengah. Kegiatan ini diikuti oleh 30 peserta dengan menghadirkan narasumber-narasumber dan konservastor yang kompeten di bidangnya. Rembang sebagai tempat ditemukannya perahu kuno peninggalan bawah air yang cukup fenomenal, menjadi tempat yang tepat untuk diselenggarakannya workshop ini. Perahu kuno yang ditemukan pada 2008 dan merupakan satu-satunya perahu kuno di Asia Tenggara yang ditemukan secara lengakap dan utuh, saat ini sedang dilakukan proses konservasi. Diharapkan peserta workshop dapat langsung melihat dan belajar proses konservasi perahu kuno berbahan kayu tersebut.

Workshop yang berlangsung selama 7 hari dibuka oleh Prof. Kacung Maridjan, Direktur Jenderal Kebudayaan-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam sambutan pembukaannya, Prof.Kacung menyampaikan bahwa Indonesia memiliki begitu banyak potensi Cagar Budaya Bawah Air yang belum terkelola dengan baik. Menurutnya hal tersebut tidak terlepas dari terbatasanya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dalam bidang konservasi cagar budaya bawah air. Lebih lanjut, Prof. Kacung menyampaikan bahwa melalui workshop ini diharapkan adanya pertukaran pengetahuan di antara peserta dan para pakar sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelestari Cagar Budaya khususnya Cagar Budaya bawah air.

Untitled Sebanyak 30 peserta workshop yang berasal dari Balai Pelestarian Cagar Budaya se-Indonesia, Balai Arkeologi, Balai Konservasi Borobudur, dan tenaga lokal situs perahu kuno Punjulharjo menerima materi workshop dalam kegiatan perkuliahan dan diskusi serta praktik di laboratorium situs perahu kuno Punjulharjo. Dalam sesi perkuliahan materi tentang kebijakan pelestarian Cagar Budaya Bawah Air disampaikan oleh Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Dr. Harry Widianto. Pengantar konservasi Cagar Budaya oleh Junus Satrio Atmodjo,M.Hum, dan Prinsip Dasar Konservasi Cagar Budaya Bawah Air oleh Ir. Joeseof Boedi Arijanto.  Pengetahuan dasar tentang kayu diberikan pula oleh Ahli kayu dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Dr. Suanto, MP. Lebih lanjut peserta juga diberikan materi khusus tentang metode dan teknik konservasi kayu Cagar Budaya Bawah Air dari mulai penelitian di laboratorium, pra konservasi sampai proses konservasi oleh konservator senior Aris Munandar dan konservator dari Balai Konservasi Borobudur, Nahar Cahyandaru, S.Si.

Lab-Perahu RembangUntuk lebih meningkatkan pemahaman terhadap materi, serta untuk melatih peserta dalam melakukan konservasi Cagar Budaya Kayu Bawah Air secara langsung, peserta workshop dibawa ke laboratorium situs yang berada di situs perahu kuno Punjulharjo untuk melakukan berbagai percobaan konservasi kayu bawah air. Ari Swastikawati, S.Si, M.Hum, konservator dari Balai Konservator Borobudur terlebih dahulu memberikan pembekalan kepeda peserta mengenai analisis laboratorium sebelum peserta melakukakan praktik secara berkelompok.

Melalui workshop ini peserta diharapkan mampu melakukan tindakan konservasi terhadap kayu peninggalan bawah air (waterlogged wood) dengan benar, atau minimal peserta dapat melakukan penyelamatan darurat ketika menemukan kayu yang diduga merupakan Cagar Budaya. (Reni Amelia)

Museum Situs Goa Harimau telah Dikoordinasikan dengan Bupati OKU

0

IMG_8858-Bupati-DirekturPada Selasa (21/04/2015) Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (Dit. PCBM), Dr. Harry Widianto, didampingi Kepala Subdirektorat Program dan Evaluasi, Judi Wahjudin, M.Hum. bertemu Plt. Bupati Ogan Komering Ulu (OKU), Drs. H. Kuryana Azis di Rumah Dinasnya. Tujuan pertemuan ini adalah untuk mengoordinasikan kegiatan yang akan dilakukan Dit. PCBM di Kabupaten OKU, yaitu mengenai Pembangunan Museum Situs Goa Harimau.

Museum Situs ini penting untuk didirikan segera, karena begitu pentingnya temuan yang terdapat di situs ini. Perlu diketahui bahwa Situs yang terletak di lereng Bukit Karang Sialang, Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Merupakan kawasan kars yang terdapat banyak gua, di antaranya Goa Karang Pelaluan, Goa Karang Beringin, Goa Harimau adalah Goa Selabe dan Goa Putri.

Di situs ini terdapat gambar atau seni cadas (rock art) dan komplek pemakaman purba yang berumur sekitar 3.500 dan 2.000 tahun. Dr. Harry Widianto dalam kesempatan ini menjelaskan bahwa seluruh rangka manusia dari Goa Harimau, yang umumnya dikubur dengan orientasi timur (kepala) dan barat (kaki), merupakan ras Mongoloid. Ciri-ciri morfologis yang mengarah pada Ras Mongoloid adalah dari bentuk Tengkorak yang meninggi dan membundar (brachycephal), tulang tengkorak bagian belakang (occiptal) yang datar, morfologi gigi seri, bentuk orbit mata, kedalaman tulang hidung (nasal), serta dari postur tulang dan tubuh mereka yang khas Mongoloid.

Temuan di situs ini menunjukkan usia yang sama dengan temuan di Ulu Tijanko, Jambi, yaitu sekitar 3.500 tahun. Begitu juga dengan budaya Austronesia di Sulawesi. Maka dapat disimpulkan bahwa sejak awal persebaran ras Mongoloid tidak hanya terjadi di bagian tengah Nusantara (jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi), tetapi juga di bagian barat melalui daratan Asia Tenggara ke Sumatera-Jawa. Menurut Dr. Harry Widianto “Sisa-sisa kerangka manusia di Goa Harimau, juga di Pondok Selabe dan Goa Putri yang masih dalam satu kawasan, adalah bukti dari pergerakan ’jalur baru’ tersebut”. Maka dari itu, penemuan ini menjadi bahan untuk dapat mengkritisi teori “Out of Taiwan“, yang menjelaskan bahwa penduduk Sumatera awal adalah ras Mongoloid yang berasal dari daratan Asia melalui Taiwan-Filipina-Sulawesi. Selanjutnya ke Madagaskar melalui Kalimantan, Sumatera, dan Jawa.

Pada 2015 ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direkorat Jenderal Kebudayaan menargetkan untuk pembangunan fisik gedung Museum Situs Goa Harimau. pada tahun berikutnya direncanaan untuk pengembangan lansekap dan kajian tata pamer museum situs. Diharapkan kegiatan ini dapat diselesaikan pada 2017 dengan tata pamer dan segala kelengkapannya sudah dapat dinikmati oleh pengunjung.

Dr. Harry Widianto juga menekankan bahwa fungsi Museum Situs Goa Harimau, yang masterplan dan DEDnya telah dibuat pada 2014 ini, tidak sekadar untuk memublikasi dan mengomunikasikan segala hal mengenai hasil penelitian di situs ini, tetapi juga sebagai pusat penelitian. Oleh karena masih banyak informasi mengenai “Manusia Goa Harimau” yang harus dan bisa digali dari situs ini.

IMG_9045-di Goa HarimauPada kesempatan ini juga disempatkan untuk mengunjungi lokasi penggalian di dalam Goa Harimau. Tampak dalam foto (dari kiri ke kanan) Sigit Eko P. (Balai Arkeologi Palembang), Abi Kusn0 (Dit. PCBM), Ruli Fauzi (Balai Arkeologi Palembang), M. Natsir, Judi Wahjudin, M. Rifky Ananda, dan Agung W. (Dit. PCBM).  (Ivan Efendi)