20150326_130649Rumah tinggal yang tampak sederhana ini dahulu adalah milik Djiau Kie Song. Ia adalah seorang petani biasa yang tinggal di Kampung Bojong Tugu, Kelurahan Rengasdengklok, Kecamatan Rengasdengklok. Rumah yang menghadap ke arah selatan dan berada di kawasan dataran rendah pantai utara Jawa Barat ini dikelilingi pemukiman yang diselingi kebun dan sawah. Sebenarnya dahulu rumah yang berukuran 10 x 6 m ini berada di tepi Citarum, 500 m sebelah baratdaya lokasi sekarang.  Pada 1958 Citarum  mengalami pelebaran untuk mengatasi banjir dan rumah ini harus dipindahkan ke lokasi sekarang.

Rumah yang berdenah memanjang kesamping (barat-timur) ini memiliki atap limasan berbahan genting. Dindingnya bercat putih, dan tiang yang terbuat dari kayu bercat hijau muda. Lantainya adalah ubin terakota. Bagian depan rumah merupakan serambi terbuka, dengan pintu di tengah dan diapit dua jendela, yang juga bercat warna hijau muda.

Ruang dalam terbagi tiga, yaitu bagian tengah, kamar samping kanan (barat), dan kamar samping kiri (timur). Ruang dalam bagian tengah adalah ruang keluarga atau ruang tamu. Di bagian utara ruangan ini terdapat altar persembahyangan, yang di atasnya terpajang foto Bung Karno dan foto Djiau Kie Song.

Rumah ini adalah tempat yang sangat bersejarah, dan sarat dengan nilai-nilai luhur perjuangan pemuda ketika itu untuk mewujudkan kemerdekaan RI. Di tempat ini pula Bendera Merah Putih kali pertama dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok, tepatnya pada Kamis, 16 Agustus 1945 sebagai persiapan untuk Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Djiau Kie Song yang mengikhlaskan rumahnya dijadikan tempat para tokoh pemuda—di antaranya Sukarni, Chaerul Saleh, dan Adam Malik pada Kamis, untuk mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia—meninggal pada 1964. Atas jasanya yang sangat besar ini, Djiaw mendapatkan piagam penghargaan dari Pangdam Siliwangi, Mayjen Ibrahim Adjie pada 1961 dengan nomor 08/TP/DS/1961.

20150326_131031Pada 2015 Bangunan Cagar Budaya ini akan direvitalisasi dengan dana Tugas Pembantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Dalam kegiatan ini masih banyak yang perlu didiskusikan, terutama mengenai tahapan kerja.

 Bangunan yang sudah tidak in situ ini sebenarnya belum diketahui bentuk aslinya. Yang tersisa saat ini adalah bagian depan bangunan dengan luas 6 x 10 m. Bagian belakangnya terbuat dari bilik bambu, begitu juga dengan rangka atap (reng dan kaso). Jadi ada beberapa hal teknis dan arsitektural yang harus diperhatikan.

Ada beberapa bagian yang rusak pada bangunan ini, yaitu bambu dan papan kayu yang lapuk. Faktor kerusakan juga harus menjadi perhatian. Saat ini dapat diketahui bahwa sebagian besar kerusakan disebabkan oleh rayap.

Maka dari itu rambu-rambu dalam pekerjaan yang berkaitan dengan peraturan atau undang-undang mengenai Cagar Budaya harus diperhatikan. Selain itu, harus ada studi pendahuluan oleh BPCB Serang, dan harus ada diskusi di lapangan untuk mendapatkan cara terbaik merevitalisasi Bangunan Cagar Budaya ini. (Ivan Efendi)