Survei Penyelamatan Situs Cagar Budaya Di Kecamatan Rampi Kabupaten Luwu Utara Propinsi Sulawesi Selatan

Ojek merupakan alat transportasi utama dalam kegiatan tim
Ojek merupakan alat transportasi utama dalam kegiatan tim

Sebagaimana diketahui bahwa kawasan tengah Pulau Sulawesi, terutama di bagian ujung selatan Provinsi Sulawesi Tengah, sejak dahulu telah ditemukan banyak tinggalan arkeologis dari berbagai situs megalitik. Tinggalannya berupa sebaran arca (tipe Polinesia), wadah kubur dari batu (dikenal dengan Kalamba), dan wadah kubur tempayan yang ditemukan tersebar di kawasan Lembah Bada dan lembah di sebelah utaranya (Lembah Besoa dan Napu) di wilayah Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Bentuk-bentuk arca yang ditemukan di kawasan ini memiliki kemiripan dengan arca yang terdapat di Kepulauan Polinesia dari segi bentuk dan dimensi, sehingga menarik banyak institusi dan peneliti baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan penelitian di kawasan ini. Tentu saja ini kemudian berimbas pada semakin banyaknya informasi hasil penelitian yang diterbitkan/dipublikasikan dari kawasan ini. Kondisi ini kemudian menjadi berbanding terbalik dengan kawasan yang ada di sebelah selatan Provinsi Sulawesi Tengah yang masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Di ujung utara Provinsi Sulawesi Selatan ini, informasi kepurbakalaan baik itu hasil kegiatan pendataan, survei, maupun ekskavasi masih sangat minim. Sementara diperoleh informasi adanya temuan arca dan wadah kubur dari batu (?) yang serupa dengan yang ditemukan di kawasan Lembah Bada. Lokasinya berada di wilayah Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan kecamatan perbatasan dengan Provinsi Sulewesi Tengah.

Dari beberapa laporan masyarakat yang diperoleh, bahwa di daerah ini masih ada ditemukan bentuk-bentuk kebudayaan yang serupa dengan yang ditemukan di situs megalitik Lembah Bada Sulawesi Tengah. Temuannya berupa tinggalan arkeologis berbentuk arca dan wadah kubur tempayan yang berukuran besar. Adanya kemungkinan kesamaan bentuk-bentuk budaya dengan situs-situs yang ada di Lembah Bada Sulawesi Tengah ini sangat dimungkinkan, mengingat batas administrasi saat ini tidak membatasi persebaran bentuk budaya (culture border). Selanjutnya disebutkan pula bahwa tinggalan arkeologi sejenis masih dapat ditemukan hingga jauh ke selatan hingga Kecamatan Seko, sebuah kecamatan pedalaman di sebelah selatan Kecamatan Rampi Kabupaten Luwu Utara. Sementara untuk wilayah Kecamatan Rampi sendiri yang berada di bagian barat laut-utara Kabupaten Luwu Utara, hingga saat ini Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makasar belum memiliki data ataupun informasi terkait kepurbakalaannya. Hal ini dirasa cukup wajar mengingat akses transportasi menuju daerah ini masih sangat sulit dan memerlukan biaya yang tidak murah. Sehingga perancangan program baik itu untuk kegiatan survei, ekskavasi maupun sifatnya pendataan belum dilakukan hingga saat ini oleh pihak BPCB Makassar di kawasan ini.

Lokasi tambang emas di rampi
Lokasi tambang emas di rampi

Selain informasi terkait adanya temuan arkeologi di daerah ini, berkembang pula isyu tentang maraknya penambangan emas dengan prospek pengembangan yang menjanjikan bagi pihak-pihak swasta untuk melakukan investasi yang lebih besar. Demikian pula halnya dengan isyu-isyu pengembangan lahan perkebunan kakao dan sawit yang pada beberapa dekade terakhir memang sangat berkembang di Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur. Pengembangan bidang ini terus dipacu oleh pemerintah daerah setempat sebagai salah satu bentuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Tetapi dari sisi pelestarian cagar budaya, kedua hal ini dapat menjadi faktor yang sangat mengancam keberadaan tinggalan arkeologi, apabila keduanya tidak dikelola secara bijak dan mempertimbangkan berbagai hal secara komprehensif. Kedua bidang pengembangan ini membutuhkan lahan yang tidak sedikit dengan pengolahan lahan yang sangat intensif, khususnya dalam bidang pertambangan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, maka Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar perlu untuk segera melakukan tindakan pelindungan terhadap cagar budaya yang ada di daerah ini sebelum terlanjur rusak atau hancur. Untuk itu sebagai langkah awal telah dilakukan survei untuk memastikan kebenaran informasi yang diperoleh sekaligus melakukan tindakan antisipatif dengan penyelamatan data cagar budaya dari situs atau lokasi yang diduga sebagai situs cagar budaya. Kegiatan ini diharapkan dapat mengumpulkan berbagai aspek terkait lokasi-lokasi yang diduga sebagai cagar budaya, yang diperkirakan sebagai bagian atau kelanjutan tradisi serupa di bagian selatan Sulawesi Tengah. Hal ini penting dilakukan mengingat proses pendaftaran, penilaian, penetapan, dan pemeringkatan Cagar budaya masih dalam tahap proses awal sehingga pengumpulan data diharapkan dapat mengantisipasi hal-hal yang tak terduga. Selain itu, data hasil survei diharapkan pula dapat mendukung upaya-upaya pelestarian selanjutnya, terutama dalam rangka penetapannya

Dalam kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan identifikasi dan observasi mendalam ke beberapa lokasi  atau yang diduga sebagai situs cagar budaya dengan tujuan penyelamatan data dan fisik cagar budaya serta mengidentifikasi potensi keterancamannya, dengan sasarann utama kegiatan survei penyelamatan ini adalah lokasi-lokasi di setiap desa yang diduga mengandung tinggalan arkeologi atau cagar budaya berdasarkan informasi yang diperoleh dari referensi kepustakaan, keterangan masyarakat dan tokoh adat setempat, serta melakukan aktivitas penelusuran data pustaka dan informasi tutur (wawancara), observasi, deskripsi, pemotretan, plotting (termasuk trekking jalur), penggambaran/pemetaan, dan pengumpulan data adminstrasi dan data pendukung lainnya.

Kegiatan survei pada kecamatan rampi Kabupaten Luwu utara Propinsi Sulawesi Selatan ini didasarkan pada adanya informasi tentang keberadaan benda atau tinggalan yang diduga sebagai cagar budaya, serta adanya aktivitas yang dianggap dapat menjadi ancaman bagi keberadaannya. Sementara sebaran berdasarkan informasi yang diperoleh meliputi wilayah yang cukup luas, yaitu seluruh wilayah Kecamatan Rampi yang terdiri atas 6 Desa. Kondisi ini menyebabkan perlunya menentukan metode survei yang efektif dan efisien agar tujuan kegiatan ini dapat tercapai dengan maksimal. Terlebih lagi wilayah ini masih sangat terisolir sehingga aksesibilitas sangat sulit, terutama dalam penggunaan alat transportasi yang sangat terbatas.

Deskripsi, pengukuran dan penggambaran Arca Hiwali
Deskripsi, pengukuran dan penggambaran Arca Hiwali pada kegitan survei penyelamatan cagar budaya di Kec. Rampi

Untuk itu, maka dalam pelaksanaannya metode yang digunakan lebih terbuka dan fleksibel dengan menggabungkan metode dasar dalam kegiatan survei pengumpulan data dalam arkeologi yang dipandu dengan penelusuran informasi dengan cara wawancara kepada masyarakat dan tokoh adat yang dianggap mengetahui keberadaan cagar budaya di daerah ini. Khusus dalam konteks penyelamatan cagar budaya, survei dilakukan terhadap lokasi-lokasi yang berdasarkan informasi masyarakat mengandung benda yang diduga sebagai cagar budaya yang kemudian dikembangkan dengan teknik survei standar dalam arkeologi. Prioritas utama ditetapkan berdasarkan pada indikasi ciri-ciri temuan yang mengarah pada tipologi arca (tipe-tipe polinesia sebagaimana yang terdapat di Lembah-Lembah di Lore Sulawesi Tengah), dan tempayan (penguburan?) atau sejenisnya. Secara singkat metode yang digunakan dapat diuraikan sebagai berikut:

Tahap Pra-Lapangan

Pada tahap ini, kegiatan penyelamatan dimulai dengan mengumpulkan data pustaka, berupa buku atau terbitan/publikasi terkait dengan lokasi atau situs. Sumber-sumber tersebut berupa hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti (meskipun masih sangat terbatas), publikasi dari media, atau informasi tak tertulis yang diperoleh dari berbagai pihak, termasuk perorangan dan institusi. Khusus untuk referensi pustaka/hasil-hasil penelitian, masih sulit ditemukan karena hingga saat kegiatan berlangsung, wilayah ini masih asing bagi kalangan peneliti, khususnya bidang arkeologi. Oleh sebab itu, informasi atau keterangan dari masyarakat dan tokoh adat setempat menjadi pedoman utama dalam upaya menemukan lokasi-lokasi yang dimaksud. Tentu saja informasi-informasi atau keterangan tersebut terlebih dahulu dilakukan verifikasi terkait dengan tingkat keakuratan yang disertai dengan pertimbangan kemampuan tim. Selain itu, lokasi yang diprioritaskan terlebih dahulu adalah lokasi yang secara langsung telah terancam dengan adanya aktivitas atau rencana aktivitas pengolahan lahan yang dianggap dapat mengancam keberadaan cagara budaya. Selanjutnya pada tahap ini pula dilakukan persiapan berupa administrasi/perizinan dan persiapan peralatan dan perlengkapan pendukung.

Tahap Lapangan

Pada tahap pelaksanaan lapangan, kegiatan dimulai dengan melakukan wawancara dengan tokoh adat dan anggota masyarakat untuk memperoleh gambaran kondisi lapangan, dan juga kemungkinan menjaring informasi tentang keberadaan benda yang diduga sebagai cagar budaya di lokasi tertentu. Setelah informasi berhasil dikumpulkan kemudian dilakukan verifikasi untuk menentukan prioritas lokasi yang akan disurvei dengan pertimbangan keakuratan informasi dan kemungkinan keterjangkauannya. Termasuk di antaranya adalah menemukan pemandu yang tepat untuk mencapai lokasi dengan mudah. Dengan pertimbangan efektifitas, maka penelusuran informasi dilakukan di setiap desa tertentu yang dijadikan sasaran survei.

Luasnya wilayah dan beratnya medan dengan terbatasnya transportasi, sehingga tim harus melakukan upaya penyesuaian-penyesuaian terhadap jadwal agar kegiatan dapat dilaksanakan secara maksimal dan efektif. Dalam hal ini, jarak, cuaca (musim hujan), kondisi medan, ketersediaan perbekalan, dan ketersediaan tenaga pemandu menjadi pertimbangan utama. Kondisi masyarakat yang mayoritas menganut Agama Kristen menyebabkan kegiatan pada hari Sabtu dan Minggu agak tersendat karena masyarakat pada umumnya berkonsentrasi untuk kegiatan ibadah, sehingga sulit untuk menemukan pemandu dan alat transportasi. Hal ini dapat disiasati dengan melakukan kegiatan di lokasi-lokasi yang relatif dekat dan mudah terjangkau dengan jalan kaki.

Pengumpulan data terkait dengan situs atau cagar budaya dilakukan langsung di lokasi berupa identifikasi lokasi yang kemudian dinyatakan dengan keletakan secara adminstratif, geografis, dan astronomis dengan menggunakan data administrasi pemerintah, dan Global Positioning System (GPS) Garmin 60 CSx. Selanjutnya observasi secara arkeologis dengan memadukan data pustaka yang tersedia pengetahuan observasi secara arkeologi yang kemudian dinyatakan secara verbal melalui deskripsi, yang dilengkapi dengan data pictorial berupa foto, gambar dan, peta. Hasil dari kegiatan ini adalah penjelasan lengkap tentang situasi (baik makro maupun mikro) dari lokasi survei/situs. Dengan demikian, diharapkan data cagar budaya dapat terekam secara maksimal untuk selanjutnya disimpan sebagai data cagar budaya.

Selanjutnya, dilakukan identifikasi terhadap kondisi cagar budaya (baik situs maupun artefak yang ada di dalamnya), berisi mengenai keadaan fisik temuan apakah baik atau rusak. Selanjutnya, dilakukan identifikasi terhadap gejala-gejala baik alamiah maupun budayawi yang mempengaruhi tingkat ketahanan obyek/cagar budaya atau yang mengancamnya. Selain itu gejala-gejala yang berpotensi mengancam perlu pula diperhatikan, termasuk bagaimana respon masyarakat terhadap keberadaan cagar budaya di daerahnya. Terkait dengan yang terakhir ini, tim dalam melakukan kegiatan lapangan juga diiringi dengan upaya melakukan sosialisasi tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam upaya pelestarian cagar budaya sebagai warisan budaya bangsa.

Tahap Penyusunanan Laporan

Tahap akhir ini berupa penyusunan laporan berisi hasil survei yang dilakukan, terdiri dari deskripsi lingkungan dan obyek cagar budaya beserta kondisinya dan dilengkapi dengan data terkait dengan keterancamannya. Pada bagian akhir dari laporan ini akan dituangkan kesimpulan kegiatan terkait dengan kondisi kelestarian dan rekomendasi tindak lanjut penanganan atau pelestariannya di masa mendatang.

Kondisi Arca Bangko
Kondisi Arca Bangko

Upaya penyelamatan cagar budaya melalui kegiatan survei ini adalah bentuk respon terhadap berkembangnya isyu tentang keberadaan situs-situs cagar budaya di Wilayah Kecamatan Rampi dan saat ini tengah terdesak oleh aktivitas pertambangan dan juga penjarahan atau pencurian terhadap arca-arca batu. Dengan segala keterbatasan sumberdaya dan pengetahuan awal tentang daerah ini, tim setidaknya berhasil membuktikan bahwa isyu-isyu tersebut memang nyata terjadi. Kegiatan ini merupakan langkah awal bagi upaya pelestarian yang lebih baik di masa mendatang, dengan asumsi kegiatan ini menghasilkan beberapa kesimpulan sementara yang perlu dilakukan:

  1. Kegiatan Survei Penyelamatan ini berhasil menjangkau 14 lokasi penting yang masing-masing mengandung tinggalan arkeologi (tidak termasuk beberapa lokasi yang dikunjungi tetapi tidak ditemukan adanya indikasi cagar budaya/arkeologi), masing-masing berada di 6 wilayah desa di Kecamatan Rampi;
  2. Akibat belum adanya penelitian bidang arkeologi atau bidang lain terkait untuk wilayah ini sebelumnya, menyebabkan sulitnya mendapatkan referensi yang memadai terkait dengan nilai-nilai penting cagar budaya yang diperoleh;
  3. Secara umum terdapat setidaknya 4 jenis tinggalan arkeologi yang berhasil diidentifikasi pada 14 lokasi tersebut, yaitu Arca batu (tipe Polinesia sebagaimana di lembah lore), tempayan (kubur?)/fragmen tembikar, umpak rumah tradisional Tambi, dan benteng tanah di beberapa kampung tua;
  4. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan berbagai pihak, maka potensi ancaman terbesar yang dihadapi tinggalan cagar budaya di wilayah Kecamatan Rampi adalah pertambangan (khususnya emas), terutama di berada di wilayah Desa Onondowa dan Tedeboe, apabila pemerintah tidak melakukan tindakan preventif dengan mempertimbangkan berbagai faktor secara komprehensif dalam menentukan kebijakan pengembangan wilayah;
  5. Ancaman besar lainnya adalah penjarahan yang dilakukan oleh para penggali liar yang selama ini mengincar lokasi-lokasi yang dianggap sebagai kampung tua, khususnya pada lokasi dimana sering ditemukan tembikar/tempayan, baik utuh maupun fragmen;
  6. Aktivitas pertanian, peternakan, serta kemungkinan adanya pembangunan sarana umum (misalnya jalan dan fasilitas lain) juga merupakan ancaman apabila masyarakat tidak memahami arti penting dari berbagai tinggalan cagar budaya tersebut. Selain ancaman intervensi manusia (faktor budayawi), faktor alam juga turut mempengaruhi terjadinya kerusakan pada masing-masing obyek, terutama iklim (kelembaban, fluktuasi suhu, penyinaran matahari dan sejenisnya), aktivitas geologi dan bencana alam (seperti erosi, sedimentasi, longsor, dan lain-lain);
  7. Hubungan antara tinggalan budaya (sumberdaya arkeologi) dengan masyarakat setempat, secara perlahan mulai renggang, bahkan cenderung terputus. Hal ini mungkin diakibatkan oleh peristiwa sosial yang terjadi pada tahun 1950-an ketika terjadi Pemberontakan DI/TII yang memaksa masyarakat meninggalkan lembah-lembah di Rampi dalam waktu yang cukup lama.
  8. Meskipun hasil temuan tersebut memperlihatkan adanya kemiripan dengan jenis-jenis tinggalan cagar budaya/arkeologi yang ada di wilayah-wilayah sekeliling Kecamatan Rampi (Lembah Bada di Utara, Kalumpang di sebelah Barat, dan Wawondula di sebelah timur), tetapi masih perlu penelitian untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan dengan masing-masing wilayah tersebut. Hasil penelitian kemudian dapat membantu dalam mengklasifikasi nilai penting dan perioritas pelestariannya di masa datang;
  9. Terdapat tiga lokasi penting di Kecamatan Rampi, yaitu Kampung Tua Mahale dan Borea di Desa Onondowa, dan Kampung Tua Rato di Desa Leboni yang belum dapat dilakukan survei akibat kondisi cuaca (musim hujan), keterbatasan waktu dan perbekalan, serta ketiganya hanya dapat dijangkau dengan berjalan kaki masing-masing selama 1-3 hari sehingga butuh waktu yang lebih lama;
  10. Pada umumnya masyarakat belum memahami arti penting cagar budaya, dan tata cara penanganannya. Dengan demikian hingga saat ini belum tampak adanya keterlibatan masyarakat secara langsung pada sistem pelestarian cagar budaya yang ada di daerahnya.

Berdasarkan pada kesimpulan yang telah diuraikan, maka beberapa hal yang dianggap perlu dilakukan dalam mendukung upaya-upaya pelestarian cagar budaya di wilayah ini antara lain:

  1. Kegiatan penelitian arkeologi, antropologi, sosial, dan disiplin lain yang terkait perlu dilakukan secara intensif untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan keberadaan beberapa jenis tinggalan arkeologi dengan wilayah lain di sekitarnya atau bagaimana hubungan itu terjadi;
  2. Temuan-temuan arkeologi di Kecamatan Rampi ini cukup penting apabila memperhatikan distribusi temuan serupa, khususnya arca, tempayan, dan umpak di wilayah-wilayah di sekelilingnya sebagaimana disebutkan sebelumnya. Untuk itu sangat perlu bagi pemerintah untuk segera menindak-lanjuti hasil survei ini untuk selanjutnya ditetapkan sebagai cagar budaya;
  3. Untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan akibat berbagai faktor yang diakibatkan oleh aktivitas manusia serta memonitoring kondisi temuan tersebut, maka perlu untuk segera menempatkan juru pelestari cagar budaya atau petugas keamanan cagar budaya di Kecamatan Rampi (dapat dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar maupun oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Utara);
  4. Selanjutnya untuk sistem pelestarian yang bertumpu pada pelibatan masyarakat, maka perlu dilakukan sosialisasi cagar budaya secara intensif di Kecamatan Rampi, atau lebih khusus di masing-masing desa, bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Utara;

Melanjutkan kegiatan survei penyelamatan pada lokasi-lokasi yang belum terjangkau pada kegiatan ini, mengingat ke-dua lokasi tersebut (Kampung Tua Borea dan Mahale) menempati lokasi yang memiliki potensi besar untuk dijadikan sasaran perluasan areal tambang emas, dan khusus lokasi di Rato sangat penting sebab saat ini menjadi salah satu sasaran penjarahan “harta karun” yang paling populer;