Beranda blog Halaman 89

Makassar Lontara’ Patturioloanga ri Tugowaya

0

Tahukah Anda?

Kerajaan Gowa diislamkan oleh tiga ulama dari Minangkabau yang dalam bahasa Bugis disebut dengan Datuk Tellue, dalam bahasa Makassar disebut Datuk Tallue, yaitu: Abdul Makmur/Khatib Tunggal/Datuk ri Bandang; Sulaiman/Khatib Sulung/Datuk Patimang; dan Abdul Jawad/Khatib Bungsu/Datuk ri Tiro. Sebelum ke Sulawesi mereka mempelajari kebudayaan orang Bugis dan Makassar di Riau dan Johor.

Dalam lontara’ patturioloanga ri Tugowaya menyebut bahwa Raja Tallo, yang juga menjabat Mangkubumi Kerajaan Go¬wa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri, diislamkan dengan mengucapkan syahadat oleh orang Minangkabau, Abdul Makmur Khatib Tunggal, yang kemudian diberi gelar Dato’ ri Bandang, setelah ia berdiam di Ujung Kampung Pamatoang pada pertengahan abad ke-16.

Tim Storyline Museum Islam Nusantara KH. Hasyim Asy’ari, Jombang

Naskah Kuna Bo Sangaji Kai tentang Bima

0

Tahukah Anda?

Naskah kuno Bo Sangaji Kai adalah kumpulan catatan harian tentang Kerajaan Bima yang ditulis sekitar 1600-1800. Naskah ini dimiliki oleh Siti Maryam Salahuddin (keturunan terakhir Raja Bima).

 

Tim Storyline Museum Islam Nusantara KH. Hasyim Asy’ari, Jombang

Imam Ahmad dari Kerajaan Bacan

0

Tahukah Anda?

Imam Masjid Kerajaan Bacan (Imam Ahmad) pada masa pemerintahah Sultan Kaicil Buko di Maluku Utara, membuat daftar kitab di Kerajaan Bacan. Dari daftar yang dibuatnya tersebut, ada satu naskah yang paling penting, yaitu  Kitab karangan Abdul Somad Al Palembani dari Palembang.

 

Tim Storyline Museum Islam Nusantara KH. Hasyim Asy’ari, Jombang

Catatan Alfred Wallace tentang Asistennya

0

Tahukah Anda?

Dalam catatan Alfred Wallace menunjukkan bahwa salah satu asistennya yang bernama Ali beragama Islam, dan meninggal saat di Papua. Wallace menguburkan asistennya itu dengan cara Islam. Hal ini menunjukkan indahnya tolerasi umat beragama.

 

Tim Storyline Museum Islam Nusantara KH. Hasyim Asy’ari, Jombang

Islam di Papua

0

Tahukah Anda?

Dalam salah satu dokumen yang ditulis oleh Leupe pada masa pemerintahan Hindia-Belanda menyatakan bahwa pada abad ke-17 atau 18, masyarakat pesisir Papua telah masuk Islam. Akan tetapi masih mempraktikkan tradisi lokal secara sembunyi-sembunyi, karena takut dengan hukum Tidore.

 

Tim Storyline Museum Islam Nusantara KH. Hasyim Asy’ari, Jombang

Keraton Sumenep, Keraton di Ujung Timur Pulau Madura

0
Revitalisasi Keraton Sumenep.
Revitalisasi Keraton Sumenep.
Sumenep2
Kondisi Museum 3 atau Panyeppen Bindara Sa’od setelah direvitalisasi pada 2014

Keraton Songeneb

Sumenep yang dalam bahasa Madura diucapkan Songeneb adalah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, tepatnya di ujung timur Pulau Madura, yang beribukota di Kota Sumenep. Pada masa kolonial Kabupaten ini dikuasai oleh keluarga Kadipaten Madura, yaitu keluarga Cakraningrat.

Di kabupaten ini terdapat keraton yang bernama Keraton Sumenep, atau Keraton Panembahan Sumolo. Tepatnya terletak di tengah kota, di Jalan Dr. Sutomo. Keraton ini dibangun pada 1762, pada masa pemerintahan Panembahan Sumolo I atau Tumenggung Arya Nata Kusuma.

Arsitek keraton ini adalah seorang berkebangsaan China, bernama Louw Phia Ngo. Ia memadukan gaya arsitektur Islam, Eropa, China, dan Jawa. Bangunannya terdiri atas bangunan induk keraton, Taman Sare, dan Ladang Museum. Di setiap ruangan terpajang berbagai benda yang menjadi saksi kekuasaan dan keberadaan Museum Keraton. Di museum ini juga tersisa pemandian putri Keraton Sumenep.

Dikenal juga sebagai Potre Koneng

Keraton ini juga dikenal dengan Potre Koneng atau Putri Kuning. Dahulu permaisuri keraton ini berasal dari China yang berkulit kuning, bernama Ratu Ayu Tirto Negoro. Untuk menghormati sang permaisuri, atap Keraton Sumenep diberi warna kuning cerah. Di dalam keraton terdapat Pendopo Agung, Kantor Koneng, dan bekas Keraton Raden Ayu Tirto Negoro. Pendopo Agung sampai saat ini masih dipakai sebagai tempat diadakannya acara-acara kabupaten. Penyambutan tamu, serah terima jabatan pemerintahan, dan acara kenegaraan lainnya dilakukan di pendopo ini. Kantor Koneng atau kantor raja adalah ruang kerja Sultan Abdurrachman Pakunataningrat I selama masa pemerintahannya pada 1811 sampai 1844.

Kondisi Museum 3 atau Panyeppen Bindara Sa'od sebelum pendapatkan sentuhan revitalisasi
Kondisi Museum 3 atau Panyeppen Bindara Sa’od sebelum pendapatkan sentuhan revitalisasi

Di belakang keraton ini terdapat Museum Keraton Sumenep yang menyimpan beragam peninggalan bersejarah. Sebagian besar merupakan peninggalan bangsawan Sumenep. Tidak hanya satu bangunan museum di kompleks keraton ini, tetapi ada museum lain. Di antaranya Museum Bindara Saod, yang dahulu merupakan tempat Bindara Saod menyepi, dan Museum Kantor Koneng.

Pada 2014 keraton ini mendapatkan dana Tugas Pembantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Dana tersebut digunakan untuk merevitalisasi museum yang juga merupakan Bangunan Cagar Budaya. Diharapkan dengan telah program revitalisasi ini kondisi fisik museum menjadi lebih baik dan menarik. Museum Keraton Sumenep dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk berkunjung. Mereka dapat memenuhi keingintahuannya tentang sejarah Sumenep, atau pun hanya sekadar berwisata budaya.

Museum Situs Semedo Telah Dibangun

0

DSC_0097-Semedo
Peletakan batu pertama di Desa Semedo, Kecamatan Kedungbanteng oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof. Dr. Kacung Marijan, dan Bupati Tegal, Enthus Susmono, pada Kamis (30/4/2015), menjadi awal pembangunan Museum Situs Semedo. Dalam kesempatan ini Prof. Dr. Kacung Marijan mengatakan bahwa museum Semedo yang berdiri di atas tanah seluas 10.582 meter persegi itu, tidak hanya berfungsi sebagai museum saja, tetapi menjadi pusat penelitian dan informasi tentang manusia purba, serta tempat rekresi. Sementara Bupati Tegal Enthus Susmono mengungkapkan harapannya bahwa dengan dibangunnya museum ini akan menjadi titik awal pembangunan di daerah Semedeo. Museum Semedo diharapkan menjadi pemicu tumbuhnya sarana dan prasarana yang baik yang diperlukan masyarakat sekitar, yang kedepannya dapat meningkatkan kesejahteraannya.

DSC_0140-SemedoSitus Semedo adalah situs manusia purba yang ditemukan pada 2005. Hasil penelitian di Situs Semedo yang pernah dilakukan oleh BPSMP Sangiran dan Balai Arkeologi Yogyakarta antara lain himpunan artefak litik berupa alat batu massif dan non-massif. Alat batu massif terdiri atas kapak penetak (chopping), kapak perimbas (chopper), kapak genggam (hand axe), batu berfaset (polyhedral), batu inti (core), dan batu pukul (percutor). Alat batu non-massif berupa alat serpih, serpih, serut, gurdi, serpihan non-intensional. Bahan koral kersikan ini hanya ditemukan di Situs Semedo dan menjadi ciri utama situs ini, karena di situs-situs paleolitik yang lain belum pernah ditemukan bahan alat dari koral kersikan.

Selain itu juga ada jenis fauna yang telah teridentifikasi meliputi Elephantidae (gajah purba), Bovidae (kerbau, sapi, banteng), Cervidae (sejenis rusa), Rhinoceros sp. (badak), Suidae (babi), Hippopotamus sp. (kuda nil), Canidae, Felidae, Hyaenidae, Chelonidae (penyu), Crocodilidae (buaya), dan Lamnidae (ikan hiu). Fosil avertebrata yang berhasil ditemukan adalan phylum Ceolenterata, Echinodermata, dan molusca. Salah satu temuan lain dari situs Semedo adalah gajah kerdil purba atau Stegodon (pygmy) Semedoensis. Jenis stegodon tersebut diyakini endemik Semedo, tak bisa dijumpai di wilayah lain.

Balai Arkeologi Yogyakarta juga berhasil mengidentifikasi dengan analisis morfometris dua gigi yang diduga kuat adalah fosil kera besar atau kera raksasa (Gigantopithecus blacki). Penemuan fenomenal ini mematahkan konsep para ahli paleontologi yang menyimpulkan bahwa habitat Gigantopithecus hanya berada di sekitar Tiongkok, Vietnam, dan India. Kera ini disebut raksasa karena tingginya mencapai lebih dari 3 meter atau 9–12 kaki. Dilihat dari konteksnya, fosil kera raksasa ini ditemukan pada lapisan tanah berumur sekitar satu juta tahun lalu.

DSC_0159-SemedoFosil dari Situs Semedo sebelumnya diselamatkan di rumah Bapak Dakri, warga Desa Semedo yang berada di RT. 05 RW 02. Di rumah yang sederhana, berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu itu, tersimpan lebih dari 3.000 koleksi yang terdiri atas artefak, fosil tumbuhan dan hewan, serta fragmen tengkorak Homo Erectus. Pemerintah Daerah membangun pendopo kecil di samping rumah Bapak Dakri agar pengunjung dapat menikmati temuan purbakalan dari situs Semedo. (Ivan Efendi)DSC_0161-Semedo

Museum “Siwalima” Beratap Baru

0

IMG_20150430_101912-Museum SiwalimaUsu Mae Upu” yang berarti “Mari silakan masuk” seolah menyambut pengunjung yang datang di museum ini. Kalimat yang ramah tersebut dapat dijumpai saat mememasuki gedung koleksi Etnografi di Museum yang terletak di kawasan Taman Makmur, Desa Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, kota Ambon, Provinsi Maluku. Museum yang didirikan pada 8 November 1973 dan diresmikan pada 26 Maret 1977 bernama Museum Provinsi Maluku “Siwalima”, atau lebih dikenal dengan Museum Siwalima. Lokasi bangunan ini berada di atas bukit yang rindang dan menghadap ke Teluk Ambon yang indah. Dari Kota Ambon dapat ditempuh dengan jarak sekitar 5 kilometer.

Kata Siwalima berasal dari dua kata, yakni ‘siwa’ dan ‘lima’. Siwa berarti sembilan yang diambil dari kata ‘Ulisiwa’ yang bermakna kumpulan 9 kerajaan di wilayah selatan Maluku. Kata ‘lima’ berarti lima diambil dari kata Patalima yang bermakna kumpulan 5 kerajaan di wilayah utara Maluku.

Saat dilakukan Pemantauan dan Evaluasi di Museum Siwalima pada Kamis, 30 April 2015 kami mendapat kesempatan untuk dapat melihat sebagian koleksi museum ini, yaitu koleksi pakaian adat Nusantara, dan koleksi etnografi. Pada kesempatan ini kami ditemani dengan ramah oleh kepala Museum Siwalima, Dra. Jean Esther Saija. M.Hum. dan beberapa stafnya. Ibu Jean, begitu kami memanggilnya, memandu kami dari satu gedung ke gedung lainnya. Museum ini memiliki areal yang cukup luas dengan kontur berbukit, sehingga di dalamnya terdapat jalan yang berkelok untuk menghubungkan antara gedung satu dengan gedung lainnya. 
IMG_20150430_102030-Museum SiwalimaGedung Koleksi Kelautan Museum Siwalima bagian atapnya baru saja selesai diperbaiki pada 2014. Perbaikan atap Gedung Koleksi Kelautan ini menggunakan dana Tugas Pembantuan APBN 2014 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat  Jenderal Kebudayaan. Pada 2015 Museum Siwalima mendapatkan lagi dana Tugas Pembantuan APBN 2015 untuk penataaan koleksi Gedung Koleksi Kelautan.IMG_20150430_102017-Museum Siwalima

Sebenarnya revitalisasi Museum Siwalima pada 2014 yang seharusnya digunakan untuk tata pamer dialihkan untuk perbaikan atap dan plafon Gedung Koleksi Kelautan. Oleh karena kondisi atap yang rusak, sehingga jika tetap dilakukan revitalisasai tata pamer, maka akan sia-sia.

IMG_20150430_102224-Museum Siwalima
Kondisi vitrin yang rusak dan perlu diganti.

Pada 2014, Museum Siwalima memperbaiki atap Gedung Koleksi Kelautan dengan atap yang lebih baik dan rangka baja ringan. Penggantian rangka atap dengan bahan baja ringan ini untuk mengatisipasi kerusakan yang terjadi pada kerangka atap sebelumnya, yaitu rusak karena faktor biologis, terutama rayap.

Perlu diketahui bahwa lokasi museum ini berada di lokasi yang sekelilingnya terdapat tanah yang subur dengan vegetasi yang sangat rimbun dan sejuk. Kondisi ini sangat memungkinkan rayap sangat nyaman untuk hidup di lingkungan museum ini. Rayap juga tidak  hanya merusak kerangka atap, tetapi juga vitrin-vitrin yang terbuat dari triplex. (Ivan Efendi)

Gambar Cadas di Padang Bindu

0

Gambar cadas merupakan hasil karya manusia masa prasejarah yang digambarkan pada media batuan cadas baik pada dinding gua, dinding tebing karang maupun pada bongkahan batu. Menurut Daud Aris Tanudirjo, gambar cadas yang ditemukan pada konteks penguburan merupakan bagian penting dari upacara kematian dan mempunyai arti magis religius. Berdasarkan konteks arkeologisnya, konsep ini dapat juga diterapkan pada pemaknaan gambar cadas di Situs Gua Harimau yang memiliki tinggalan kubur manusia.

Pendokumentasian gambar cadas atau juga dikenal dengan lukisan gua pada gua-gua prasejarah merupakan salah satu kegiatan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman dalam rangka mengumpulkan data dalam bentuk foto dan film. Hasil dokumentasi ini akan diwujudkan dalam bentuk buku dan film dokumenter sebagai bagian dari upaya publikasi Cagar Budaya dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap nilai penting Cagar Budaya.

Salah satu gua yang didokumentasi adalah Gua Harimau yang terletak dalam kawasan karst Padang Bindu, di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan karst ini merupakan wilayah hutan hujan tropis dengan beragam vegetasi dan fauna. Untuk mencapai Gua Harimau yang berada pada ketinggian 164 meter di atas permukaan air laut atau ketinggian 20 meter dari dataran, dibutuhkan waktu sekitar 45 sampai 60 menit berjalan kaki melalui jalan setapak di antara kebun masyarakat, menyeberangi sungai kecil dan menaiki puluhan anak tangga yang cukup tinggi. Menuju kawasan inipun membutuhkan waktu sekitar 5 jam perjalanan darat dari Kota Palembang.DSC_0169-Goa Harimau

Selain Gua Harimau, dalam kawasan karst Padang Bindu terdapat Gua Puteri yang justru lebih dikenal masyarakat. Lokasi gua lebih mudah dijangkau pengunjung dan berada dekat lokasi parkir dan bangunan museum yang merupakan fasilitas dalam Kawasan Wisata Terpadu Gua Putri dan Museum Si Pahit Lidah. Di bagian dalam gua mengalir air sungai dan pada satu lokasi dipercaya masyarakat setempat sebagai lokasi pemandian puteri.DSC_0171-Goa Harimau

Hingga saat ini, Gua Harimau merupakan satu-satunya gua di Sumatera yang memiliki gambar cadas. Adalah E. Wahyu Saptomo, peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional yang kali pertama menemukan gambar cadas di Gua Harimau pada tahun 2009. Sebagai penghargaan, namanya kemudian diabadikan untuk menamakan ruang atau galeri utama dalam gua.DSC_0236-Goa HarimauTemuan gambar cadas melengkapi penemuan-penemuan spektakuler dari Gua Harimau berupa kubur manusia sebanyak 78 individu yang terdiri atas balita hingga dewasa. Secara morfologi, individu tersebut merupakan ras Mongoloid dan ras Australomelanesoid, berasal dari sekitar 3.000–1000 tahun yang lalu. Dari jumlah dan variannya, temuan kubur di Gua Harimau jarang ditemukan di Nusantara. Sejak penelitian pada 2009–2014, Pusat Arkeologi Nasional juga menemukan sejumlah artefak berupa serpih, mata panah, tembikar, kapak corong, gelang perunggu dan bubukan hematit (oker) yang ditemukan di sekitar kubur dan kemungkinan juga digunakan sebagai bahan pembuat gambar cadas. Tembikar bermotif anyaman dan duri ikan mirip dengan gambar yang terdapat pada dinding Gua Harimau.

DSC_0323-Goa HarimauGambar cadas di Gua Harimau terletak pada Galeri Wahyu dan Galeri Barat. Pada Galeri Wahyu terdapat 36 gambar yang tersebar pada 3 lokasi yaitu 21 gambar di panil Galeri Wahyu Utara, 6 gambar di panil Galeri Wahyu dan 9 gambar di panil Galeri Wahyu Selatan. Dari analisis bentuk, motif gambar berupa non-figuratif sepert jala tumpal, lingkaran konsentrik, garis lengkung sejajar, sisir, atau garis paralel. Warna yang digunakan coklat gelap dan merah gelap yang dihasilkan dari bahan hematit atau oker. Tehnik penggambarannya menggunakan kuasan jari, dan hanya satu gambar yang menggunakan kuasan alat runcing. Gambar-gambar ini terdapat pada dinding dan langit-langit gua, dengan ketinggian antaar 1–4,9 meter.DSC_0199-Goa Harimau

Pada Galeri Barat terdapat 15 gambar, terdiri atas 14 gambar di panil Galeri barat dan 1 gambar di panil Barat Utara. Motif, warna dan tehnik penggambaran sama dengan yang digambarkan di Galeri Wahyu berupa non figuratif, berwarna coklat gelap dan merah gelap, dibuat dengan menggunakan kuasan jari.DSC_0214-Goa Harimau

Hasil penelitian Pusat Arkeologi Nasional menunjukkan adanya hubungan antara sebaran kubur prasejarah dengan gambar cadas di Gua Harimau. Hubungan ini sekurangnya memberikan informasi tentang kehidupan manusia pada 3000 tahun yang lalu, yaitu diperkirakan bahwa pada proses upacara penguburan diiringi dengan proses penggambaran di dinding gua.

DSC_0270-Goa Harimau

Kenyataan bahwa hingga saat ini gambar cadas baru ditemukan di Gua Harimau dalam kawasan karst Sumatera tentunya dapat menjadi pertimbangan untuk melakukan upaya pelestarian secara berkelanjutan. Apalagi dilengkapi dengan informasi yang mengungkap hubungan gambar cadas dengan situs kubur, menjadikan alasan kuat bagi pemerintah dan pemerintah daerah melakukan upaya pelindungan, pengembangan dan pemanfaatannya dengan mengingat nilai pentingnya bagi rekonstruksi sejarah kehidupan manusia. Untuk itu sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah lebih ditingkatkan lagi seiring dengan adanya rencana pembangunan museum yang lebih representatif di kawasan karst Padang Bindu. Pengembangan dan pemanfaatan kawasan diharapkan akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Sumber: Adhi Agus Oktaviana dan Pindi Setiawan, 2014) (Sri Patrmiarsi)

Galeri di Cadas Sangkulirang

0

DSC_0251a-SangkulirangSangkulirang, merupakan batuan karst yang sedikitnya terdapat 37 goa prasejarah. Di dalamnya terdapat gambar-gambar, yang merupakan Seni Cadas tertua di Asia Tenggara. Tim Pedokumentasian Lukisan Goa dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (Dit. PCBM) yang terdiri atas Randy Kharisma dan Dimas Arif Primanda pada Jumat 17 april 2015 menuju situs prasejarah ini melalui Balikpapan. Mereka didampingi arkeolog dari Universitas Indonesia, Dr. Karina Arifin, dan juga seorang pakar seni rupa dari Institut Teknologi Bandung. Dr. Pindi Setiawan. Tim ini juga didampingi Fotografer dari National Geographic, Fery Latief, serta Patrick Marbun, Yudha Pratama dari Institut Kesenian Jakarta.

Dari Balikpapan tim pendokumentasian lukisan goa melanjutkan perjalaannya menuju Samarinda untuk berkoordinasi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Samarinda. Lama perjalanan ini memakan waktu sekitara 4,5 jam.

Sore hari, sekitar pukul 15.00 tim berangkat ke Sangata melalui jalur darat dengan kondisi jalan cukup baik, dan tiba di lokasi pada pukul 19.30. Keesokan harinya, Sabtu, 18 April 2015 sekitar pukul 9 pagi, tim beranjak ke Hamburbatu. Setelah menempuh perjalanan hampir 5 jam dengan jalan yang masih beraspal dengan kondisi cukup baik, pada pukul 14.00 tiba di Hamburbatu. Kemudian dilanjutkan ke Kamp pertama, yaitu Kamp Tewet dengan lama perjalanan sekitar 3 jam. Tim pendokumentasian lukisan goa ini baru dapat beristirahat pada pukul 18.30.

Pada hari ketiga, Minggu 19 April 2015 tim sampai di Goa Karim. Untuk mencapai goa ini tim harus berjalan sekitar 1 jam melalui jalan setapak dan menanjak di antara hutan belantara. Dari Goa yang berada di atas hutan kanopi ini dilanjut ke Goa Pindi dengan lama perjalanan sekitar 40 menit berjalan kaki dengan kondisi yang relatif sama.

Secara administratif Sangkulirang berada di Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur. Berdasarkan Pendekatan DAS Luas Kawasan Karst mencapai 1.800.000 hektar, dan khusus batuan Karst (limestone) mencapai luasan 505.000 hektar. Di sekitarnya terdapat hulu dari 5 Sungai besar, yaitu Sungai Bengalon, Sungai Karangan, Sungai Tabalar, Sungai Lesan dan Sungai Pesab.

Hari keempat, Senin 20 April 2015 tim berangkat ke Goa Tewet yang ditempuh sekitar 40 menit dari kamp dengan berjalan kaki. Untuk mencapai lokasi lukisan goa harus memanjat tebing dengan tinggi sekitar 20 m. Kondisi ini memang menjadi ciri morfologi dari bentang alam karst, yaitu terdapatnya cekungan-cekungan tertutup (doline, uvala), gua, lembah buta, lembah kering, dan bukit sisa yang berbentuk kerucut atau menara. Sementara ciri spesifik dari kondisi hidrologi karst adalah terdapatnya jaringan sungai bawah tanah, telaga, langkanya atau tidak terdapatnya sungai permukaan, dan terdapatnya mata air yang besar.

Hari kelima, Selasa 21 April 2015 tim berpindah ke kamp Indrus melalui sungai dengan lama perjalanan hampir setengah hari. Berangkat sekitar pukul 10.00 pagi, dan sampai sekitar pukul 15.00. Penyebabnya adalah kondisi sungai yang surut, sehingga perjalanan menjadi terhambat, kerena Katinting yang menjadi alat transportasi kandas di dasar sungai. Katinting milik masyarakat ini menjadi salah satu alat transportasi yang digunakan oleh tim. Masyarakat ini memang tinggal di sekitar Sangkulirang. Terdapat lebih dari 100,000 jiwa hidup di sekitar kawasan Karst, yang tersebar di 111 desa/kampung dan 13 Kecamatan di Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur.DSC_0379a

Hari keenam, Rabu, 22 April 2015 tim pendokumentasian harus mempersiapkan logistik untuk melakukan pendokumenasian di Goa Saleh dan Goa Ham. Lama pendokumentasian yang akan dilakukan di dua goa ini memakan waktu tiga hari dua malam. Tim memulai perjalanan sekitar pukul 9 pagi dan sampai di Goa Saleh sekitar pukul 18.30 dengan berjalan kaki menelusuri hutan. Oleh karena hari semakin larut, dan cahaya remang semakin menghilang, berganti ke kegelapan malam, akhirnya tim bermalam di Goa Saleh. Keesokan harinya, Kamis, 23 April 2015 tim baru dapat melakukan pendokumentasian di Goa Saleh.DSC_0583a-Bermalam di Sangkulirang

Masih pada hari yang sama, sekitar pukul 14.00 tim berangkat menuju Goa Ham, dengan lama perjalanan sekitar 2 jam. Sore hari sekitar pukul 16.00 tim tiba di Goa Ham dan bermalam di goa ini. Lukisan cadas di goa ini berhasil didokumentasikan pada Jumat, 24 April 2015. Selesai mendokumentasikan di dua goa ini, Jumat sore tim hari kembali ke kamp Indrus dan tiba sekitar pukul 21.00.

Kawasan Sangkulirang ini mempunyai setidaknya tiga nilai penting, yaitu nilai ilmiah yang berkaitan dengan ilmu kebumian, litologi, struktur geologi dan mineral, situs-situs fosil, arkeologi dan plaeontologi, serta tempat berlindung flora dan fauna endemis. Kedua adalah nilai sosial budaya, yang mencakup aspek spiritual keagamaan; terutama menyangkut keberadaan gua kepentingan ritual, bernilai estetika, rekreasi, pendidikan. Ketiga adalah nilai ekonomi yang tinggi, karena menjadi sumber air sungai bawah tanah,  penghasil sarang burung walet, pariwisata dan bahan semen.

Kawasan Karst dengan lukisan cadas ini adalah tanda kehadiran manusia sejak jaman prasejarah. Ber kali-kali berbagai ras dan sub-rasnya bermigrasi. Artefak-artefaknya menggambar-kan proses percampuran budaya yang damai dan cair. Kawasan ini juga mengawetkan peninggalan prasejarah sejak jaman Batu Tua sampai Logam. Juga sangat kaya dengan artefak-artefak jaman bahari. Tembikar dan guci bertebaran di Karst.

Pada Sabtu, 25 April 2015 tim berkempatan untuk beristirahat, dan mengisi waktu dengan mendata perlengkapan pendokumentasian di Kampt Indrus. Kemudian kembali ke Hamburbatu, dan dilanjutkan menuju Desa Merabu. Sampai di desa ini pada Minggu. Tidak terasa sudah sembilan hari tim berada di Kawasan Karst merupakan tempat kubur sakral bagi orang Dayak. Ada Lungun ‘bertungku’, Lungun di puncak batu, ada Lungun di lantai ceruk, ada pula Guci tempat penyimpanan abu atau tulang.

Kawasan ini juga adalah ekosistem yang sambung menyambung membentuk koridor-hayati. Tempat hidup berjuta spesies flora fauna penunjang keseimbangan kehidupan Kalimantan Timur nan damai. Karst mempunyai keanekaragaman hayati dalam dan luar karst serta kehidupan pesisir dan pulau coral.

Senin pagi, dari Desa Merabu, tim beranjak melanjutkan petualangan ke Goa Bloyot sekitar pukul 10 pagi. Pendokumentasian di goa yang dikenal masyarakat sebagai Liang Bloyot dilakukan hingga menjelang magrib. Kemudian dilanjutkan ke Ke Kamp Kepitan, dan tiba di lokasi sekitar pukul 19.00.

Selasa, 28 April 2015 dilakukan pendokumentasian di Goa Caipar. Siang harinya baru bisa kembali ke Desa Merabu. Pada malam hari, sekitar pukul 10.00, tim berangkat lagi ke Tanjut Redep dan tiba di lokasi sekitar pukul 01 dini hari. Pada hari ini, Rabu tim pendokumentasian lukisan goa telah berhasil melaksanakan tugas dan kembali ke Jakarta melalui Tanjung Redep dan Balikpapan.

Kawasan Kars yang sangat penting ini tidak luput dari ancaman. Pertambangan batu gamping (sumber batu kapur dan bahan baku semen); serta penambangan marmer, semen, fosfat, dan guano menjadi ancaman utama. Penambangan di kawasan karst memang menghasilkan keuntungan ekonomi yang besar, namun akan habis dalam jangka waktu terbatas. Akan tetapi, peninggalan masyarakat purba ini akan tetap lestari selama karsnya masih ada. (Ivan Efendi)