Pemukiman Tradisional Tana Toraja

 

Pemukiman Tradisional Tana Toraja telah masuk dalam daftar usulan calon nominasi (tentative list) World Heritage UNESCO. Pemukiman Tradisional Tana Toraja merupakan tradisi yang terus hidup dari generasi ke generasi setidaknya 700 tahun atau lebih. Hal ini didasari oleh sistem kepercayaan Toraja yang mengatur kehidupan masyarakat yang dikenal dengan kepercayaan Aluk Todolo.

Terdapat elemen-elemen fisik yang membentuk pemukiman ini, antara lain Tongkonan (rumah adat), alang (lumbung padi), liang (penguburan), rante (dataran upacara/dataran dengan menhir), tanah gembala atau padang rumput untuk kerbau dan babi.

Tongkonan selalu menghadap ke utara yang dipercayai bahwa bagian utara merupakan penjuru yang paling utama dan tempat yang paling mulia. Setiap Tongkonan selalu berpasangan dengan Alang, namun satu tongkonan dapat memiliki beberapa Alang. Pada Tongkonan dan Alang terdapat ukiran-ukiran khas yang memiliki makna dan arti tersendiri. Ukiran dasar yang harus ada pada setiap bangunan Tongkonan adalah ukiran matahari, ukiran ayam jantan, ukiran kerbau, dan ukiran garis/geometris.

Bahan dasar bangunan Tongkonan adalah kayu dan bambu. Kayu yang digunakan berasal dari pohon nangka, pohon cendana, pohon aru. Bambu juga digunakan untuk atap yang dilengkapi dengan ornamen kepala kerbau.

Saat ini, Tana Toraja terbagi dalam dua wilayah administratif, yaitu Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Tana Toraja. Berikut beberapa situs yang membentuk elemen pemukiman berdasarkan hasil inventarisasi, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.

  • Kete Kesu

Kawasan Ke’te’ Kesu’ memiliki seluruh komponen dalam sebuah pemukiman adat Toraja. Komponen seperti tongkonan, alang, liang, rante, sawah dan areal penggembalaan. Hutan bambu sebagai bahan utama dalam setiap upacara maupun bahan baku rumah juga masih bisa ditemukan diantara areal pemukiman dan areal pemakaman. Ke’te’ Kesu’ memiliki 5 tongkonan dan 15 lumbung yang dibangun sesuai dengan tradisi. Terdapat 17 menhir berdiri di rante dengan ukuran bervariasi, yang paling besar berukuran tinggi 3,85 m dan ketebalan batu 0.9 m dan yang terkecil berukuran tinggi 0.4 m dan tebal 0.4 m.

Tongkonan terbesar dan tertua adalah Tongkonan Puang Ri Kesu’, berada pada bagian tengah jejeran rumah yang dibangun oleh pemimpin pertama di wilayah Kesu’.

Tongkonan Rura saat ini difungsikan sebagai museum, yang menjadi semacam contoh hasil kebudayaan material Toraja. Areal pekuburan berada bagian lereng bukit karst pada bagian belakang tongkonan.

Saat ini situs Ke’te’ Kesu’ dikelola oleh Yayasan Ke’te’ Kesu’ yang pengurusnya adalah generasi pewaris dari kepemilikan tongkonan Ke’te’ Kesu’.

  • Bori Parinding

Bori Parinding yang juga dikenal sebagai Rante Kalimbuang, mulai digunakan pertama kali pada tahun 1717 oleh Ne’ Ramba’. Bori Parinding merupakan tempat pelaksanaan upacara kematian rapasan bagi delapan tongkonan yang tersebar disekitarnya. Tongkonan tertua adalah Tongkonan Lumika yang berada di sisi barat laut rante dan memiliki luas sekitar 736 m2.

Situs Bori Parinding merupakan kombinasi antara lapangan upacara dan lokasi pekuburan. Saat ini situs Bori Parinding dikelola oleh Yayasan Kalimbuang Bori bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Toraja Utara.

  • Buntu Pune

Situs Buntu Pune dan situs Rante Karassik pada dasarnya merupakan satu bagian dalam konsep komponen dalam sebuah tongkonan Toraja. Dimana Buntu Pune merupakan area perkampungannya dan Rante Karassik sebagai lokasi pelaksanaan upacara khususnya untuk upacara Rambu Solo’ (kematian).

Pemukiman Buntu Pune dibangun pertama kali pada tahun 1880 oleh Siambe’ Pong Maramba’, salah satu pimpinan atau bangsawan yang berpengaruh Di Toraja pada tahun 1880-1916.

Buntu Pune memiliki dua tongkonan yaitu, Tongkonan Kamiri yang berada di sisi barat dan Tongkonan Potok Sia di sisi Timur. Di depan kedua tongkonan tersebut terdapat tujuh lumbung yang menghadap ke arah selatan.

Area pekuburan berada diperbukitan karst sisi barat tongkonan. Hutan bambu ditanam di sekitar tongkonan. Selain itu juga terdapat beberapa Peralatan Perang peninggalan leluhur masyarakat Buntu Pune seperti, tombak, tameng, parang, baju perisai lengkap dengan helmnya; serta peralatan sehari-hari, seperti peralatan makan, kain dari kulit kayu serta serat / benang dari serat nenas

  • Liang Pia (Baby Grave)

Liang Pia merupakan kuburan bayi yang diletakkan dalam pohon. Pohon yang digunakan adalah jenis Tarra. Sekeliling pohon atau kuburan bayi ini merupakan kebun bambu. Pemakaman pohon ini diperuntukkan bagi bayi yang meninggal dalam keadaan belum sempurna, seperti misalnya belum tumbuh gigi. Terdapat sebanyak 11 buah lubang yang ditutupi dengan ijuk pada Liang Pia.

  • Papa Batu

Papa Batu dibangun oleh Nek Buntu Batu dan telah berdiri sekitar kurang lebih 10 abad. Tongkonan memiliki 1 buah lumbung. Atap tongkonan terbuat dari batu, berbeda dengan tongkonan lainnya di Toraja. Di bagian depan tongkonan yakni di keempat tiang rumah dan tiang utama tongkonan dipenuhi oleh tanduk kerbau.

  • Sillanan

Terdapat 8 tongkonan induk, 5 tongkonan berada satu areal dan 3tongkonan masing-masing terpisah letaknya. Areal yang pertama di data adalah lokasi dengan 5 tongkonan, dengan luas wilayah 3,17 Ha. Lokasi ini berada di atas bukit.

Di lokasi ini terdapat 3 buah bangunan baru yang berfungsi sebagai tempat penginapan. Akses menuju lokasi tidak terlalu sulit karena jalan telah diperbaiki dan di trap.

  • Londa

Londa memiliki lorong gua alami yang sangat panjang, dan menurut penuturan masyarakat panjangnya bisa mencapai 1.2 km. Peti-peti kubur dalam jumlah yang banyak bisa dijumpai di dalam lorong-lorong gua yang diletakkan di lantai dan dinding gua. Bekal kubur juga banyak dijumpai disekitar peti kubur dan biasanya merupakan benda-benda kesenangan dari orang yang dikuburkan.

Area ini merupakan lokasi penguburan bagi masyarakat umum. Orang dengan status sosial tinggi dikuburkan lubang gua di bagian atas perbukitan atau ditebing bukit karst yang tinggi dan dibuatkan patung (tautau) sebagai personifikasi orang yang dimakamkan dan ditempatkan tidak jauh dari peti kuburnya (erong). Peti kubur mereka ada yang digantung ditebing dan ada pula yang dibuatkan lubang (liang pa’a) sebagai tempat menyimpan peti kuburnya.

Bagi bayi yang belum tumbuh giginya, dikuburkan di pohon (passilliran) yang oleh masyarakat Toraja disebut dengan pohon Sipate. Lokasi penguburannya sendiri berada di sisi tenggara dan berjarak sekitar 500 meter dari Londa.