Evaluasi Hasil Konservasi Rumah Adat Rambu Saratu Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

Latar Belakang

Cagar Budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan baik berupa bangunan cagar budaya atau struktur cagar budaya di darat/ di air yang perlu dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi agama, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar dapat melakukan tindakan pelestarian yang diwujudkan dengan kegiatan konservasi. Dalam kaitannya dengan konservasi, penanganannya harus mendasarkan pada kaidah Arkeologis dan pelestarian. Berbagai persoalan yang dihadapi untuk melakukan perawatan Cagar Budaya dalam rangka pelestarian diakibatkan oeh kurangnya data yang dimiliki mengenai evaluasi dari hasil Konservasi. Evaluasi Hasil Konservasi Rumah Adat Rambu Saratu Kabupaten Mamasa ini, merupakan rangkaian dari pelaksanaan studi konservasi tahun 2008 dan kegiatan konservasi yang telah dilakukan tahun 2009. Oleh karena itu, untuk pengunpulan data dan apabila ada gejala yang ditimbulkan dari pelaksanaan konservasi, maka di tahun 2014 kegiatan Evaluasi Hasil Konservasi akan dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar.

Maksud dan tujuan

Maksud dari kegiatan ini yaitu agar dapat melakukan pengamatan secara periodik terhadap cagar budaya yang telah dikonservasi, Sedangkan tujuan yang ingin dicapai pada kegiatan ini adalah untuk mengetahui hasil pelaksanaan konservasi berupa dampak yang terjadi pada obyek serta dapat mengetahui sejauh mana efektifitas penggunaan bahan konservan yang telah digunakan pada saat pelaksanaan konservasi.

Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Kegiatan evaluasi hasil konservasi dilaksanakan di Rumah Adat Rambu Saratu yang terletak di Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat.

Metode Pelaksanaan

– Pengumpulan data pustaka meliputi pengumpulan laporan hasil studi konservasi dan laporan hasil kegiatan pelaksanaan konservasi.

– Observasi hasil pelaksanaan konservasi meliputi gejala-gejala apa yang timbul akibat dari pelaksanaan konservasi yang telah dilakukan.

– Pengumpulan data klimatologi baik mikro maupun makroklimatologi. – Pengambilan sampel untuk kepentingan analisa di laboratorium dan kegiatan eksperimen.

– Analisis meliputi analisis data dan analisis sampel. Analisis sampel ini dilakukan apabila ditemukan ada gejala-gejala yang timbul akibat pelaksanaan konservasi.

Pelaksana

Pelaksanaan kegiatan evaluasi pasca konservasi dilaksanakan sesuai dengan surat perintah tugas Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar wilayah kerja Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat

GAMBARAN UMUM

Letak Geografis

Mamasa merupakan salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Barat. Kota kabupaten ini terletak di kota Mamasa, kabupaten Mamasa berada pada jarak 340 Km sebelah utara dari Kota Makassar atau 290 Km sebelah tenggara Kota Mamuju sebagai Ibu Kota Propinsi Sulawesi Barat. Secara administratif berada pada lingkungan pegunungan Quarles yang berbukit dan berlembah dengan posisi geografis antara 02º 40’ 00” – 03º 12” 00” LS dan 119º 00’ 40” – 119º 32’ 27 “ BT. Kabupaten Mamasa memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut;

• sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Mamuju,

• sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Polman

• sebelah timur berbatasan dengan kab. Toraja dan kab. Pinrang

• sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Mamuju

Kabupaten Mamasa terbentuk berdasarkan undang-undang no.11 tahun 2002 dan terbagi atas 10 kecamatan serta 123 desa/kelurahan, dengan luas wilayah 530,50 km2, dengan jumlah penduduk 122.993 orang, yang terdiri dari 18,71 % Muslim, 70,74 % Protestan, 8,09 % Katolik dan 8,29 % Aliran tradisional Aluk Tomatua.

Rumah Adat Rambu Saratu terletak di daerah ketinggian sekitar 1.025 dari permukaan laut, pada posisi 02º 55’ 33.5” Lintang Selatan dan 119º 23’ 53.0” Bujur Timur. Secara administratif termasuk dalam wilayah kampung Rantai Buda desa Rambu Saratu kecamatan Mamasa, dan memiliki batas–batas wilayah; sebelah utara dengan desa Manipi’, sebelah timur dengan desa Timbaan, sebelah selatan dengan kota Mamasa dan sebelah barat dengan desa Kole. Rumah Adat Rambu Saratu berada 3 km dari kota Mamasa, dan dapat ditempuh dalam waktu ± 30 menit menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.

Kondisi Geologi

Kondisi geologi dan geomorfologi kabupaten Mamasa terdiri dari alam pegunungan yang berbukit dan berlembah, demikian pula keberadaan lokasi Rumah Adat Rambu Saratu yang berada di Bukit Rante Buda. Vegetasi sekitar rumah adat berupa pohon bambu, pinang, kayu uru, enau, mangga, jeruk, jambu putih, serta tanaman hias. Rumah Adat Rambu Saratu berada pada areal persawahan milik keluarga Rumah Adat Rambu Saratu. Foto 1. Kondisi Geologi Di Sekitar Rumah Adat Rambu Saratu Kabupaten Mamasa memiliki dua musim yakni musim kemarau dan musim hujan, meskipun tidak jarang terjadi hujan pada saat musim kemarau. Suhu udara di daerah ini tergolong sejuk dan berhawa dingin yaitu 15˚-18º Celsius pada malam hari, dan 20º-35º Celcius pada siang hari, dengan curah hujan rata-rata 2.140 mm/perhari – 3.487 mm/hari. Wilayah pemukiman di kawasan lokasi Rumah Adat Rambu Saratu pada umumnya mengikuti garis bentang alam yang berbukit dan berlereng yang dibawahnya mengalir sungai-sungai kecil. Keadaan ini menyebabkan pola perkampungan terpisah di antara gunung dan sungai. Di daerah datar, pemukiman berkelompok padat, sementara di daerah perbukitan, rumah-rumah menyebar tidak merata. Keadaan morfologi yang demikian menciptakan panorama alam yang begitu indah sehingga dapat mendukung pengembangan lokasi rumah adat tersebut sebagai objek wisata budaya.

Deskripsi Rumah Adat Rambu Saratu

1. Rumah Adat Rambu Saratu

Rumah Adat Rambu Saratu
Rumah Adat Rambu Saratu Kabupaten Mamasa

Rumah Adat Rambu Saratu merupakan salah satu rumah adat yang ada di kabupaten Mamasa dan memiliki persamaan dengan rumah (Tongkonan) di Kabupaten Tana Toraja, baik dari segi bentuk, ragam hias maupun latar belakang sejarah pendiriannya, hal ini sangat memungkinkan karena keduanya berasal dari satu rumpun nenek moyang. Atap Rumah Adat Rambu Saratu menjorok kedepan dan dipikul oleh 2 (dua) tiang (panulak) dan longa bagian belakang agak rendah dan pendek yang hanya dipikul oleh 1 (satu) tiang (panulak pada) dengan tinggi 15 meter dan berdiameter 280.

Bangunan Banua Layuk terbagi atas tiga bagian; bagian kaki (kolong), bagian badan rumah dan bagian atas (atap). Ketiga bagian tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh meski terdapat pemisahan diantara ketiga bagian tersebut, Pemisahan tersebut mengandung arti bahwa masing-masing bagian tersebut dapat diselesaikan secara sendiri-sendiri. Jumlah anak tangga yaitu tujuh buah. Pemasangan anak tangga yang bersusun dua berfungsi sebagai isyarat dari bunyi anak tangga yang diinjak maka tuan rumah dapat mengetahui bahwa mereka kedatangan tamu. Selain itu tangga dan anak tangga dibuat harus dari jenis kayu memungkinkan untuk tahan lama. Tangga yang demikian hanya terdapat pada rumah-rumah bangsawan.

Jumlah tiang Banua Layuk 107 buah dan dibuat sangat sederhana karena peralatan yang digunakan sangat sederhana pula, lantai Rumah Adat Rambu Saratu dibagi atas dua bagian dan pembagian ini mempunyai fungsi masing-masing yaitu; salipollo (bagian lantai sebelah bawah) tempat duduk rakyat biasa dan Sali panguluan (lantai sebelah atas) tempat duduk para bangsawan. Kedua lantai tersebut dibatasi oleh balok kayu yang disebut pata. Fungsi utama dari pata adalah sebagai tempat membuang sampah, selain itu berfungsi sebagai pembatas antara bangsawan dengan rakyat biasa dalam mengadakan musyawarah. Dinding Rumah Adat Rambu Saratu mempunyai ukuran yang besar karena pada zaman dahulu masih sangat mudah mengambil bahan-bahan tersebut dari alam sekitar. Bentuk ventilasi rumah adat ini yang sangat keci bila dibandingkan dengan besarnya ukuran rumah, ukuran jendela dibuat kecil dengan maksud agar anak gadis yang berada di atas rumah tidak dilihat oleh orang lain. Rumah Adat Rambu Saratu terdiri dari empat ruangan yaitu; Tado sebagai ruang penerima tamu; Ba’ba sebagai ruang tidur untuk tamu; Tambing ruang tidur untuk tuan rumah, dan tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka; Lombon yang berfungsi sebagai dapur.

Pintu Banua Layuk ada dua yaitu pintu masuk (pintu tado) dan pintu dapur (pintu lombon) letaknya berada disamping rumah. Para ba’ba berfungsi menahan angin, tempat bertumpuhnya kaso sule dan memperindah rumah. Para-para terletak pada samping rumah yang terdiri dari empat bagian dan keempat bagian ini tidak sama rata makin ke belakang makin tinggi. Bila kita perhatikan antara ruangan rumah dan para-para adalah sama (adanya peninggian ruangan) maka dapat disimpulkan bahwa para-para adalah merupakan maket dari ruangan rumah. Fungsi praktis para-para adalah tempat beristirahat, tempat bertumpunya tangga dapur disampin itu berfungsi sebagai jalan menuju dapur.

Ornamen dingding rambu saratu
Ragam Hias dan Ornamen bentuk binatang pada Rumah Adat Rambu Saratu Kabupaten Mamasa

Ragam hias yang terdapat pada Rumah Adat Rambu Saratu ada 31 dan masing-masing mengandung arti yang berbeda-beda yaitu; Tolobeko, melambangkan Bhineka Tunggal Ika artinya rantai merantai tidak pisah satu sama lain. Palawa maksudnya untuk mengusir apa yang tidak baik. Toalo sebagai dasar dari ukiran dan dilambangkan dengan penghidupan manusia bahwa harus berusaha barulah dapat hidup sempurna.

Balambang melambangkan bahwa memang dapat menjaga keamanan masyarakat. Pamalin dengan maksud sebagai penjaga bila ada orang yang akan menyerang. Pamalin baranak maksudnya hampir sama dengan, Pamalin, hanya boleh dipakai oleh bangsawan. Bulintong melambangkan bahwa manusia di bumi ini akan berkembang secara terus menerus dan menjadi pewaris dari generasi sebelumnya. Dotiilangi melambangkan kebangsawanan. Doti lipa melambangkan bahwa manusia dalam hidup bermasyarakat mempunyai tingkat yang berbeda-beda.

Doti wai melambangkan suatu kepercayaan bahwa kerbau asalnya dari air. Paetong melambangkan segala yang dijadikan tuhan atau yang ditakdirkan mempunyai hubungan satu sama lain. Tekken api melambangkan pakaian adat yang dipakai dalam berperang. Rante bati melambangkan bahwa kita hidup di dunia saling membutuhkan dan setiap sesuatu yang hendak diputuskan harus melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Tida-tida, melambangkan bahwa bangsawan itu mempunyai kelebihan tersedniri dibandingkan dengan rakyat biasa. Sura seleng, melambangkan cara mempersunting seorang wanita. Bai-bai melambangkan bahwa babi itu dianggap binatang yang paling baik.

Doti sirue, melambangkan bahwa bangsawan memilih jodoh anaknya tidak boleh sembarang. Batalauan melambangkan bangsawan itu terdiri dari keluarga besar. Sura mawa melambangkan pakaian kerajaan dalam rangka pesta kematian dan pesta perkawinan. Sura To’sadan, melambangkan bahwa antara Toraja dan Mamasa masih satu rumpun. Batalauan dua randanan, bahwa perkawinan yang terjadi antara bangsawan akan melahirkan keluarga besar dan luas. Sora-sora, melambangkan bahwa pada masyarakat Mamasa terdapat stratifikasi sosial.

Somba-somba melambangkan orang yang suka bermalas-malasan kurang rejeki. Buah barelu melambangkan bahwa sirih dipakai untuk menjemput tamu (suguhan pertama bagi para tamu). Kadang-kadang melambangkan bahwa masyarakat Mamasa mempuyai persatuan yang tinggi, gotong-royong dan tolong menolong satu sama lain. Tanduk siluang melambangkan kekuatan melawan musuh. Sassang marobei melambangkan bangsawan yang sangat kaya. Barana, melambangkan bangsawan pintar. Bawan-bawah melambangkan bangsawan yang pintar dan bijaksana. Bura sengkang melambangkan tempat menyimpan hal-hal yang penting. Barrio allo melambangkan kebangsawanan (Darliana, 1989:54-57).

2. Alang

Alang Rambu Saratu
Alang Rumah Adat Rambu Saratu Kabupaten Mamasa

Alang merupakan bangunan pelengkap dari bangunan Rumah Adat di kabupaten Mamasa, bangunan alang ini difungsikan sebagai tempat penyimpanan bibit padi dan hasil panen. Alang yang ada dalam lokasi rumah adat Rambu saratu ada 3 (tiga) buah yang kesemuanya berada tepat di depan bangunan Rumah Adat, maka dari itu akan diuraikan menenai deskripsi setiap bangunan alang. Alang nomor 1 memiliki orientasi timur – barat dan memiliki tiang 8 (delapan) buah, alang nomor 2 dengan orientasi utara – selatan dan memiliki tiang sebanyak 10 (sepuluh) buah sedangkan alang nomor 3 memiliki orientasi timur –barat dan memiliki tiang sebanyak 6 (enam) buah.

Bangunan Alang juga terdiri dari beberapa bagian yaitu; bawah kaki, bagian tengah badan dan bagian atas (atap). Tiang (lettong) yang terbuat dari kayu banga berbentuk bulat, lettong ini dipasang langsung diatas badan alang tanpa sambungan, pada ketinggian 90 cm dari tanah antara lettong dipasangkan balok pemikul lantai yang dinamakan pangallo lettong. Ukuran kayu 7/16 cm sebanyak 20 buah, kemudian dihubungkan dengan balok rampea alang secara melintang dan membujur, pada ujung balok rampea alang dipasangi papan dodo’ ukuran 1/25 cm dan diatasnya dipasangi lantai (sali) ukuran kayu 2/25 cm, pada sekeliling kaki alang diperkuat dengan balok roro ukuran 3/10 cm. Pada badan rumah terdapat ruang tempat penyimpanan padi, untuk bagian dinding dipasang balok panampu alang dengan ukuran kayu 7/16 cm dan diatasnya dipasang sali ruang alang.

Bagian atas (penutup) alang memiliki model konstruksi dengan bangunan rumah adat, tetapi untuk bangunan alang hanya terdapat balok lelean balao Ǿ 6 cm, kaso sule Ǿ 5 cm, kaso Ǿ 6 cm, petoke 3/6 cm, balok mangoba Ǿ 6 cm dan balok manete.Ǿ 4 cm. Diatas balok petoke dipasang atap dari kayu dan untuk masuk keruang alang terdapat pintu pada bagian barat. Pada ujung atap depan dan belakang masing-masing dipikul satu balok panulak yang baloknya diperkuat dengan katea alang, dibawah katea alang diberi tandu titing alang dan dihubungkan lagi dengan panuang panulak bentuk lingkaran.

Berdasarkan dari evaluasi hasil konservasi yang telah dilaksanakan pada Rumah Adat Rambu Saratu, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi bangunan tongkonan dan alang sebagian sudah mulai terdegradasi, hal ini diakibatkan karena waktu pelaksanaan konservasi yang sudah terlalu lama (efektifitas bahan konservan terhadap obyek maksimal 3 tahun). Hal ini dapat dilihat pada kasus kamuflase lubang kumbang dengan bahan serbuk gergaji yang mulai mengkerut dan hampir lepas dari tempatnya..

 Saran

  1. Rekomendasi dari hasil kegiatan evaluasi pasca konservasi ini, agar supaya segera ditindak lanjuti untuk mencegah kerusakan dan pelapukan lebih lanjut.
  2. Kondisi lingkungan yang rusak perlu segera diperbaiki dalam bentuk konservasi lingkungan dengan cara menanam kembali tanaman endemik yang berfungsi sebagai pohon pelindung disekitar tongkonan.
  3. Kerjasama secara intensif antara Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar dengan Pemerintah Kabupaten Mamasa dan yayasan/ahli waris dari situs tersebut di atas harus terus ditingkatkan dalam penanganan, pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan situs.
  4. Meningkatkan Kinerja para juru pelihara yang bertugas pada situsyang ada di Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat