Awal Mula Pemerintahan di Malino Kabupaten Gowa

Pesangrahan
salah satu bagunan pesanggarahan pada masa penjajahan Belanda

Pada masa kolonial, yakni Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang, maka Belandalah yang banyak sekali meninggalkan warisan politik pemerintahan di Indonesia, karena Belandalah yang paling lama berkuasa di Indonesia. Pada awal pemerintah kolonial di daerah-daerah, sistem politik belum banyak berpengaruh karena mereka tidak mencampuri perkembangan pemerintahan kerajaan-kerajaan pada saat itu. Pada dasarnya mereka menganggap bahwa kepentingan kolonialisme dan imperialisme barat merupakan kepentingan ekonomi. Kepentingan politik baru dijalankan oleh Belanda sejak berakhirnya perang di Jawa (Perang Diponegoro). Sejak itu Belanda serius mendirikan pemerintahan Nederland Indie (Hindia Belanda), dengan membentuk pemerintahan pusat, Propinsi atau wilayah otonom dan hukum, kekuasaan tertinggi Nederland Indie (Hindia Belanda) dipegang oleh Gubernur Jenderal. Organisasi pemerintahan yang dibentuk Belanda itu menjadi model (Prototipe) bagi organisasi pemerintahan Indonesia sekarang ini. Lembaga-lembaga Negara di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan lembaga negara pada era Nederlands Indie (Hindia Belanda).

Sejak kedatangan Belanda  ke wilayah Sulawesi Selatan secara umum dan kabupaten Gowa secara khusus, maka Gowa mulai dikuasai sepenuhnya pada tahun 1910. Belanda kemudian menempatkan pejabatnya yang berkebangsaan Belanda di Gowa dengan nama Controleur atau masyarakat setempat mengenalnya dengan nama Tuang Petoro’. Controleur ini berkedudukan di Sungguminasa. Gowa kemudian dibagi ke dalam 12 Distrik, salah satu diantaranya adalah Distrik Parigi. Setelah itu, Belanda menggabungkan Distrik Parigi, Borisallo, dan Pao kedalam Aspirant Controleur yang dijabat oleh pemerintah  Belanda yang berkedudukan di Malino. Kepala Distrik Parigi pertama dijabat oleh I Rahing Daeng Ngalle dengan gelar Karaeng Parigi. Pada masa pemerintahannya, beliau membagi Distrik Parigi menjadi enam kampung gabungan, yakni:

  • Kampung Gabungan Jonjo terdiri dari lima kampung yaitu Jonjo, Baliti, Sicini, Tanete, dan Tonroyang dikepalai oleh Anrong Guru Jonjo;
  • Kampung Gabungan Gantarang terdiri dari enam kampung yaitu Gantarang, Sanggiringang, Lembang Panai, Asana, Matanna, dan Patukuyang di kepalai oleh Karaeng Gantarang;
  • Kampung Gabungan Buluttana terdiri dari lima kampung yaitu Buluttana, Palangga, Pattapang, Bontolerung, dan Malinoyang di kepalai oleh Karaeng Buluttana;
  • Kampung Gabungan Longka terdiri dari empat kampung yaitu Longka, Bilanrengi, Kalolo dan Padang Malullu yang di kepalai oleh Karaeng Longka;
  • Kampung Gabungan Manimbahoi terdiri dari empat kampung yaitu Manimbahoi, Barombong, Raulo, dan Sampeangyang di kepalai oleh Karaeng Manimbahoi;
  • Kampung Gabungan Sironjong terdiri dari dua kampung yaitu Sironjong dan Bulo yang di kepalai oleh Karaeng Sironjong.

Sedangkan untuk Distrik Pao terdiri dari enam Gallarang yaitu Gallarang Pao, Gallarang Baringang, Gallarang Mamampang, Gallarang Tonasa, Gallarang Suka, dan Gallarang Balassuk.

Rumah PeterSejak kedatangan Jepang ke Makassar pada tahun 1942, maka sejak saat itu pula terjadi perubahan terhadap masyarakat khususnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Jepang berusaha menarik simpati rakyat dengan berbagai cara, diantaranya adalah melakukan propaganda dengan semboyan “Tiga A” (Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia). Selain itu, Jepang menjanjikan kemudahan bagi rakyat dalam melakukan ibadah, mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Pada masa Perang Dunia II adalah saat dimana Jepang mulai menduduki suatu daerah, semua fasilitas peninggalan Belanda di daerah yang pernah didudukinya dimanfaatkan kembali. Begitupun dengan bangunan-bangunan di Kota Malino yang telah didirikan oleh Belanda, dimanfaatkan kembali oleh tentara Jepang. Seperti kita ketahui Malino adalah salah satu daerah yang dijadikan markas karena daerahnya cukup strategis. Selain itu, Malino merupakan penghasil sayur mayur untuk logistik tentara Jepang. Dari Makassar tentara Jepang mengerahkan pasukan infanteri dan kavalerinya menuju Kecamatan Tinggimoncong. Setelah menduduki Kecamatan Tinggimoncong, tentara Jepang menjadikan Kota Malino sebagai komando pusat. Adapun komando bagiannya terletak di daerah yang sekarang bernama Pa’barung. Pada masa pendudukannya di Kecamatan Tinggimoncong, tentara Jepang membuat dua proyek, yaitu proyek pembuatan gua dan proyek perkebunan. Proyek pembuatan gua tujuannya untuk memperkuat posisi komando pusat (Kota Malino) terhadap serangan musuh dan proyek perkebunan tujuannya untuk persediaanlogistik perang.

Setelah penyerahan kekuasaan ke Republik Indonesia, sistem pemerintahan dirombak dan disesuaikan dengan sistem pemerintahan Undang-Undang Dasar 1945 yang terimplementasi secara konkrit kedalam peraturan pemerintah lainnya. Pada tahun 1959, sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1960 tentang pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra), kemudian UU No. 13 Tahun 1960 tentang pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara. Maka pemerintahan Swapraja (Onder Afdeling) diubah menjadi Dati II Kabupaten serta Distrik diubah menjadi Kecamatan. Sebagai tindak lanjut dari UU no. 17 tahun 1960. oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1160 tahun 1961 tentang pembentukan Desa gaya baru. Sehubungan dengan itu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gowa, pada saat itu dijabat oleh Andi Tau, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 45/AU/1961 tanggal 18 Desember 1964 tentang pembentukan kecamatan didalam wilayah Daerah Tingkat II Gowa. Distrik Parigi, Pao dan Borisallo kemudian dilebur menjadi satu kecamatan yakni kecamatan Tinggimoncong yang beribukota di Kota Malino.

Pada tahun 1990-an, dengan alasan mempermudah pelayanan kepada masyarakat, maka kecamatan Tinggimoncong dimekarkan dengan membentuk satu Kecamatan baru, bekas Distrik  Pao yakni kecamatan Tombolo Pao. Kemudian pada tahun 2006 Kecamatan Tinggimoncong kembali melepaskan wilayahnya untuk berdiri sendiri yakni  Kecamatan Parigi, bekas wilayah distrik Parigi. Saat ini, Kecamatan Parigi terdiri dari lima desa, yakni Desa Majannang, Desa Bilangrengi, Desa Manimbahoi, Desa Jonjo dan Desa Sicini. Sedangkan untuk Kelurahan Bulutana secara administratif terdiri dari empat lingkungan, yaitu Lombasang, Butta Toa, Palangga dan Parangbugisi.

Balla Jambu, merupakan tempat kediaman Karaeng Bulu yaitu pemimpin adat tertinggi di komunitas adat. Umur rumah diperkirakan ratusan tahun dan didirikan bersamaan dengan Balla Lompoa. Sedangkan, Balla Lompoa atau rumah besar, adalah kediaman Gallarang, pemimpin eksekutif adat, posisinya tepat dibawah Karaeng, sang pemimpin utama.

Adapun fungsi dari kedua rumah tersebut yaitu Balla Jambua sebagai tempat menyatakan ingin melaksanakan nazar dan tempat diambilnya benda-benda pusaka kemudian Balla Lompoa dijadikan sebagai pusat aktivitas ritual adat dan keagamaan masyarakat adat Bulutana. Sedangkan untuk proses pergantian Karaeng ataupun jabatan-jabatan adat bersifat Benteng Tatimpung, atau hanya bisa digantikan setelah yang bersangkutan meninggal.

Dalam struktur adat Bulutana dikenal dengan nama Sampulonrua. Sistem ini dimulai pada masa pemerintahan Karaeng Bulu I dan sampai saat ini masih difungsikan untuk upacara ritual adat. Adat Sampulonrua mempunyai fungsi, yakni; (1) Karaeng, (2) Gallarrang, (3) Anak Pattola, (4) Bakulompoa, (5) Sanro,  (6) Pinati , (7) Batangpa’jeko,  (8) Palekka Sempe, (9) Paerang Mare-Mare,  (10) Passeru Berasa, (11) Paerang Damara, (12) Pabinting Cere’. (Wawancara, 10 Mei 2015). Selain itu,  hal yang masih dijaga sampai saat ini adalah hutan adat, karena dari hasil hutan ini dimanfaatkan untuk memperbaiki rumah apabila mengalami kerusakan.