Surau Atok Ijuak, yang Unik Tapi Pelik

0
1799
????????????????????????????????????

Nama surau lazim disematkan pada tempat ibadah umat Islam yang berukuran kecil dan cenderung tradisional. Penekanan rasa tradisional inilah yang berusaha dipegang teguh oleh masyarakat di sekitar Surau Atok Ijuak. Selain dari segi bahan kayu dan atap ijuk yang memesona, surau ini juga menawarkan kedamaian bagi para peziarah yang datang ke Kabupaten Pariaman. Bagaimana tidak, surau yang terletak di dataran yang lebih rendah dari bangunan sekitarnya ini seolah tak tersentuh hiruk pikuk jalan raya diatas sana. Aksesibilitas jalan raya membuat surau ini mudah dijangkau dan ditemukan oleh para peziarah dan wisatawan. Halamannya yang luas juga memudahkan para jama’ah memarkir kendaraan pribadinya. Para peziarah dan wisatawan dari luar kota banyak yang datang ke surau ini dan penasaran bagaimana kesejarahannya. Oleh karena itu, pengurus masjid sudah berencana membuat sebuah Ranji, atau silsilah keturunan, asal muasal masjid. Hal ini merupakan sebuah usaha yang harus segera dilakukan, karena di seluruh Nagari Sicincin hanya tinggal 1 orang yang mengetahui sejarah surau dan beliau sudah berusia lanjut. Surau Atok Ijuak dibangun di tanah yang lebih rendah agar dekat dengan sumber air, karena dahulu jama’ah yang akan melaksanakan shalat berwudhu di sungai-sungai (batang air).

Menurut cerita pengurus, Aslimin, surau ini sudah berusia sekitar 500 tahun. Sayangnya, usia tersebut hanya perkiraan, tidak ada bukti inskripsi atau naskah yang dapat memperkuat asumsi beliau. Beberapa fakta yang dapat dilacak kebenarannya adalah pelaksanaan pemugaran dan penambahan bangunan di kompleks surau Atok Ijuak. Pemugaran surau secara besar-besaran dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau (BPCB Sumbar) tahun 2015. Selain itu, pada tahun 2011, Surau Atok Ijuak juga menerima bantuan dari Swiss Labor Agency (SLA) untuk pembangunan kamar mandi dan tempat berwudhu.

Jika dilihat dari bentuknya, surau ini memiliki bentuk yang serupa dengan surau lain di Sumatera Barat. Ruangan utama berdenah bujur sangkar, atapnya berbentuk tumpeng/tingkat (tajug), dan lantai yang ditinggikan (panggung). Di bagian tengah ruang utama terdapat 1 buah tiang utama (macu) dan 8 buah tiang pendamping yang terletak konsentris di sekitar tiang utama. Di sisi barat terdapat mihrab berdenah persegi panjang dan di sisi timur terdapat teras pintu masuk yang juga berdenah persegi panjang. Keseluruhan bangunan terbuat dari papan kayu serta atap yang terbuat dari ijuk. Adapun tangga masuk bangunan terbuat dari mortar.

Bentuk Atap Masjid

Pemugaran oleh BPCB Sumbar difokuskan pada penggantian lantai dan dinding papan kayu yang telah lapuk. Tetapi sayangnya 4 tahun kemudian, lantai papan tersebut sudah banyak yang keropos akibat dimakan rayap. Dahulu perakitan bangunan kayu khas Sumatera Barat menggunakan sistem pasak dan ikat, tetapi waktu pemugaran sistem tersebut diganti dengan menggunakan paku. Upaya pelestarian surau tradisional ini merupakan upaya yang kontinyu dan memakan biaya yang tidak sedikit. Minyak cengkeh (20 kg hanya untuk 2 kali semprot) dan tembakau digunakan untuk mempreservasi kayu serta pembelian ijuk dengan harga 10.000 per kg disediakan oleh BPCB Sumbar dengan dibantu seadanya oleh dana pribadi pengurus masjid, mengingat di surau ini memang tidak disediakan kotak infaq untuk sumbangan.

Sayangnya upaya merawat kelestarian surau tersebut tidak dibarengi dengan antusiasme masyarakat. Menurut Pak Aslimin, sejak surau rusak (sebelum dipugar BPCB), jama’ah mulai sepi karena masyarakat beralih ke masjid baru. Masjid baru tersebut merupakan sumbangan dari salah satu TV swasta nasional setelah terjadinya gempa besar Padang. Pengajian dan qasidah untuk anak-anak yang biasanya berlangsung pukul 16-18 pun beralih ke masjid baru karena disana ada ustadz dan ustadzah yang mengajar. Yang tertinggal kini hanyalah pengajian untuk ibu-ibu (majelis ta’lim) yang dilaksanakan 1 kali tiap minggu. Mereka pun mengaji sendiri, saling menyimak karena memang tidak ada guru yang mau mengajar dengan sukarela. Selain pengajian ibu-ibu, Surau Atok Ijuak masih digunakan untuk rapat dan musyawarah warga Nagari Sicincin.

Tradisi dan ritual keagamaan yang sampai sekarang masih dilaksanakan di surau adalah kebiasaan berdzikir 1 kali tiap tahun, pelaksanaan shalat tarawih, Idul Fitri, dan Idula Adha, serta penyembelihan hewan qurban. Kebiasaan lain di bulan Ramadhan adalah pengajian sebelum berbuka, saat Maghrib tiba semua berbuka di rumah masing-masing dan kemudian kembali untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah.

Surau Atok Ijuak juga menjadi saksi sejarah penyebaran Islam Syekh Burhanuddin di Sumatera Barat. Syekh Burhanuddin, atau Pono nama kecilnya, merupakan salah satu ulama besar yang berasal Ulakan, Pariaman. Syekh Burhanuddin menuntut ilmu agama ke Aceh dan setelah dianggap mampu oleh gurunya, Syekh Ahmad, kemudian diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerah asalnya. Setelah dari Aceh, Syekh Burhanuddin sempat menginap dan tidur selama 1 malam di Surau Atok Sijuak, sebelum meneruskan perjalanan ke Ulakan. Menurut penuturan Aslimin, setelah Syekh Burhanuddin singgah, masyarakat sekitar kemudian berinisiatif membuat mihrab di dalam surau.

Keunikan lain yang dahulu pernah ada di Surau Atok Ijuak adalah tradisi shalat ampek puluah. Shalat ampek puluah atau shalat empat puluh, merupakan shalat wajib lima waktu yang dilakukan di surau selama 40 hari tanpa terputus. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh orang-orang tua yang berusia 75 tahun keatas. Shalat empat puluh dipercaya sebagai pem’badal’ haji (haji pengganti, karena belum mampu ke tanah suci) dan sebagai upaya qadha shalat wajib lain yang terlewat sebelum-sebelumnya. Mengingat ramainya kegiatan keagamaan di surau ini, dulu juga banyak Al-Qur’an lama tulisan tangan dengan tinta merah, tetapi sayang sekarang sudah hilang semua karena dicuri. Selain itu juga ada jam kuno yang harus diputar (diengkol).

Bagian Dalam Masjid

Keistimewaan lain Surau Atok Ijuak yakni menjadi salah satu tempat syuting film Tuanku Imam Bonjol sekitar tahun 2007, sebelum surau dipugar. Keunikan dan keistimewaan Surau Atok Ijuak diharapkan dapat menjadi penyemangat kita untuk membantu melestarikan dan merawat surau tersebut.


Ditulis ulang dari buku “Masjid Warisan Budaya Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi – Cahaya Syiar di Relung Mihrab”