Masjid yang dibangun pada masa lalu oleh orang Tionghoa ini hanya bisa sedikit bercerita, tanpa bisa menunjukkan kemegahannya di masa lalu. Akibat tuntutan zaman dan bertambahnya jemaah, akhirnya memaksa masjid ini untuk ikut berubah, menyisakan bagian kecil dari masa lalunya.

Bentuk limasan pada atap masjid

Berada di tengah ramainya jalanan Jakarta, membuat keberadaan masjid ini sulit diketahui. Meski berada di pinggir jalan raya, bentuk bangunan yang tidak terlalu tampak seperti masjid dan cenderung tertutup di bagian depan, menjadikan orang-orang sulit menyadarinya.

Padahal, masjid ini menyimpan cerita unik. Adalah Masjid Jami Kebon Jeruk, masjid yang dibangun oleh seorang Tionghoa Muslim. Dinamakan demikian karena dulunya, di sekitar masjid terdapat banyak pohon jeruk.

Bangunan masjid terdiri dari 3 lantai

Masjid ini didirikan di sebidang tanah milik Tuan Tchoa, yang merupakan Kapitan Tamien Dossol Seng. Dirinya merupakan kepala kaum Muslim Tionghoa antara tahun 1780 dan 1797. Di tanah tersebut, dibangunlah masjid oleh Chau Tsien Hwu, yang melarikan diri dari Xin Jiang (Tiongkok) karena ditindas[1].

Makamnya saat ini dapat ditemukan di halaman belakang masjid. Pada nisannya, terdapat huruf-huruf Tionghoa, tanggal dalam huruf Arab, dan ornamen kepala naga serta ornamen Tionghoa lainnya.

Dulunya, ruang utama masjid memiliki tiga pintu yang memiliki ukiran yang sama. Di atas pintu-pintu tersebut terdapat jendela ukir. Bagian lantai dihiasi dengan ubin Delft berwarna cokelat dan biru dengan gambar manusia dan binatang. Masjid ini memiliki dua atap berbentuk limasan. Atap menara yang lama berada di sebelah timur, merupakan tempat tinggal orang yang belajar mengaji. Sedangkan atap menara baru berbentuk segi delapan dan terletak di depan menara lama. Dinding menara dihiasi dengan jendela yang melengkung.

Ornamen pada salah satu bagian masjid
Bagian dalam masjid

Sayangnya, bagian-bagian tersebut saat ini hampir semuanya hilang. Akibat tuntutan zaman dan bertambahnya jemaah, akhirnya memaksa masjid ini untuk ikut berubah. Berbagai penambahan ruang dan fasilitas dilakukan untuk memberikan kenyamanan pada jemaah. Bahkan, bangunan aslinya telah dirobohkan dan diganti dengan yang baru.

Luas masjid awalnya hanya 7×7 meter. Hanya tersisa bagian langit-langit dan dinding bagian atas yang dicat dengan warna hijau. Selain sedikit ruang utama yang tersisa, di halaman belakang masjid pengunjung masih dapat melihat makam Nyonya Cai dan satu makam lainnya.

Kini, masjid ini hanya bisa sedikit bercerita, tanpa bisa menunjukkan kemegahannya di masa lalu. Meski begitu, Masjid Jami Kebon Jeruk pernah menjadi tempat singgah seorang Tionghoa ketika berusaha selamat dari negerinya dulu, sama seperti masjid ini menjadi tempat singgah jamaah tabligh dari berbagai daerah dan negara.


[1] Heuken, A. (2003). “Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta”. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.