MENGENAL KEMBALI BULENG, TRADISI LISAN BETAWI

You are currently viewing MENGENAL KEMBALI BULENG, TRADISI LISAN BETAWI

MENGENAL KEMBALI BULENG, TRADISI LISAN BETAWI

MENGENAL KEMBALI BULENG, TRADISI LISAN BETAWI

Oleh:
Ria Intani T.
(BPNB Jabar)

Buleng adalah tradisi lisan Betawi. Buleng terakhir dijumpai pada sekitar tahun 1978. Buleng ‘dongeng’ dan ngebuleng ‘mendongeng’. Dongeng dibawakan oleh tukang dongeng dengan berbahasa Melayu Tinggi bercampur Sunda. Dongeng yang dibawakan berkisah tentang kerajaan. Dulu, tukang dongeng dapat ditemui di Caracas, Cijantung, dan Kali Malang. Dulu, tukang dongeng dipanggil oleh orang yang akan berhajat untuk memeriahkan malam ngangkat, yakni malam prapesta dilaksanakan. Saat itu tukang dongeng tidak dibayar. Ia hanya diberi suguhan dan dibawakan oleh-oleh.

Arti dari kata “buleng” ada beberapa versi. Versi pertama, buleng merupakan nama dari seorang tukang dongeng, Buleng. Versi kedua, buleng merupakan sebutan untuk suatu jenis kesenian, yakni seni bercerita. Versi ketiga, buleng merupakan sebutan untuk orang yang berprofesi sebagai pendongeng. Buleng berkembang di wilayah Betawi Pinggir seperti: Cisalak, Cililitan, Bekasi, Cijantung, dan Depok. Karenanya buleng mendapat pengaruh dari tradisi lisan masyarakat Sunda, carita pantun. Baik itu pengaruh dari segi bahasa maupun materi ceritanya. Buleng dibawakan seorang diri tanpa diiringi instrumen musik. Cerita yang dibawakan termasuk cerita kerajaan yang biasa dibawakan dalam carita pantun, seperti di antaranya Ciung Wanara dan Prabu Siliwangi.

Ngebuleng sebenarnya merupakan aktivitas harian di rumah-rumah. Tukang ngebuleng-nya bisa kakek atau orang tua dalam keluarga itu. Ngebuleng biasa dilakukan manakala anggota keluarga sedang berkumpul. Di luar rumah, ngebuleng juga acapkali dilakukan oleh seseorang saat acara kumpul-kumpul antarwarga. Ngebuleng dilakukan oleh seseorang yang gemar bercerita, meskipun tanpa diminta. Manakala masyarakat mengapresiasi maka ngebuleng selanjutnya ditampilkan di acara-acara resmi sebagai suatu pertunjukan dan menjadi suatu profesi. Selanjutnya tukang buleng dipanggil di acara hajat khitanan, Maulud Nabi, hajat perkawinan, tujuh bulanan, dan sebagainya.

Buleng sebagai suatu pertunjukan diawali dengan mendendangkan sapun (nyapun). Yakni berdoa meminta keselamatan kepada Tuhan, lalu masuk ke dalam cerita. Diawali dengan memperkenalkan judul cerita, dilanjutkan dengan menyebutkan silsilah raja, menggambarkan sekilas keadaan kerajaan, menggambarkan konflik-konflik yang terdapat dalam cerita, lalu diakhiri dengan penjelasan pesan moral yang terkandung dalam cerita. Sebagai penutup disampaikan ucapan terima kasih.

Pengiring Pertunjukan, Aktor, dan Tukang Buleng
Sumber Foto : www.youtube.com

Ngebuleng biasanya dilakukan sambil duduk dan sesekali berdiri bila diperlukan. Demi menghidupkan cerita, tukang buleng mengekspresikan ceritanya dengan gerakan tangan atau kaki serta menciptakan sound effect. Bisa dari suara mulut, tangan, atau hentakan kaki, atau dari suara pukulan gendang. Kostum saat ngebuleng bisa berupa pakaian jawara dengan ikat kepala yang dinamai stagen jengger ayam (khas Betawi) dan sarung setengah tiang. Ada pula yang berkostum sadariah, safari, atau jas tutup. Buleng ditampilkan semalam suntuk atau minimal sampai tengah malam. Tukang buleng bisa membawakan dua sampai tiga cerita. Pada akhir cerita ditarik kesimpulan dengan mengulas tokoh-tokohnya. Apabila sifat tokoh itu jelek dinasihatkan untuk tidak dicontoh. Sebaliknya kalau tokoh itu baik maka dinasihatkan untuk dicontoh.

Atin Kisam, Tukang Buleng, dengan Ikat Kepala Stagen Jengger Ayam dan Jas Tutup
Sumber Foto: www.Youtube.com

Saat ini tradisi ngebuleng sebagai suatu pertunjukan diangkat kembali dengan sosok baru, hanya saja tempat tampilnya masih terbatas dan waktu tampil sekitar 1-2 jam. Buleng baru diusung oleh Atien Kisam alias Muhammad Supriyatin. Menggunakan seperangkat waditra gamelan topeng Betawi sebagai pengiring, Atien bertindak sebagai tukang buleng. Iringan musik selain sebagai daya tarik, juga membantu tukang buleng menghidupkan cerita. Lagu yang dibawakan sama dengan kesenian topeng, di antaranya adalah Arang-arangan dan Tetalu Melontang. Satu dongeng bisa memunculkan satu lagu atau lebih.

Tampilan buleng yang baru juga diperkuat dengan adanya sejumlah aktor yang bertugas mengekspresikan suatu kejadian. Aktor hanya tampil dengan gerakan, sedangkan suara aktor diisi oleh tukang buleng. Demi menghidupkan kembali buleng, pelaku buleng berinovasi seperti dalam hal: artistik, tata lampu, aransemen musik yang kekinian, dan hal lain yang sedang tren. Meskipun buleng yang baru berbeda dalam cara penyajian dan waktu tampilan, namun tidak meninggalkan esensinya. Buleng adalah buleng, yakni pertunjukan dongeng tentang kerajaan-kerajaan lokal yang diawali dengan nyapun.