Debus, Kesenian Tradisional Masyarakat Banten

You are currently viewing Debus, Kesenian Tradisional Masyarakat Banten

Debus, Kesenian Tradisional Masyarakat Banten

Debus, Kesenian Tradisional Masyarakat Banten

Oleh:
Ria Andayani S.
(BPNB Jabar)

Debus merupakan salah satu kesenian tradisional yang terdapat di Provinsi Banten. Pada awalnya, debus berfungsi sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran Islam, kemudian berkembang digunakan sebagai media untuk memompa semangat rakyat Banten dalam menghadapi penjajahan Belanda pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Fase berikutnya, debus sempat menghilang seiring dengan melemahnya Kasultanan Banten di bawah kekuasaan Sultan Rafiudin. Kesenian debus muncul lagi pada tahun 1960-an, dan sampai sekarang berfungsi sebagai sarana hiburan. Saat ini, debus memang menunjuk pada satu kesenian yang memanifestasikan kekuatan tubuh terhadap sentuhan senjata atau benda tajam dan pukulan benda keras di Banten. Selain debus, masih ada nama lainnya untuk menyebut kesenian yang sama, yakni Al Madad, yang dipandang sebagian orang sebagai cikal bakal debus. Jumlah kelompok kesenian Al Madad yang tersisa saat ini memang kalah banyak oleh kelompok kesenian debus.

Kesenian debus dihidupkan dan dikembangkan di paguron/ padepokan/ sanggar silat. Akan tetapi, tidak setiap paguron/ padepokan/ sanggar menggarap kesenian debus. Antara debus dan silat memang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Silat merupakan cikal bakal debus merupakan salah satu tahapan tertentu dalam aktivitas bersilat. Setiap pemain debus sudah pasti pesilat, namun tidak setiap pesilat adalah pemain debus.

Setiap sanggar/ padepokan/ paguron biasanya menginduk pada satu aliran silat tertentu. Setidaknya ada 3 (tiga) aliran silat yang cukup besar di wilayah Banten, yakni aliran silat cimande, bandrong, dan terumbu. Aliran silat tersebut mewarnai karakteristik kesenian debus yang dimiliki oleh sanggar/ padepokan/ paguron debus. Komunitas pemain debus biasanya dapat mengenali karakteristik debus cimande, debus bandrong, atau debus terumbu. Setiap sanggar debus dipimpin oleh seorang guru besar atau syeh. Dia membawahi sekitar 20 pemain debus, termasuk pemain atraksi dan penabuh nayaga. Untuk menampilkan kesenian debus diperlukan perlengkapan yang meliputi busana pemain, peralatan kesenian, dan peralatan atraksi debus.

Busana pemain debus terdiri atas lomar ‘ikat kepala’, baju kampret, dan celana pangsi. Peralatan kesenian yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan debus ada tiga jenis. Pertama, peralatan kesenian kendang penca untuk mengiringi debus cimande, yang terdiri atas tarompet, kanco ‘gong’, kendang kemprang, kendang gedur, dan kulanter; Kedua, peralatan kesenian patingtung untuk mengiringi debus terumbu dan debus bandrong, yang terdiri atas 1 (satu) kendang besar, 2 (dua) kendang kecil, gong kecil, gong panggang (dibuat dari drum berisi air dan di bagian atasnya diletakkan besi panjang yang ada cembungnya), kenuk, angkeb, kecrek, dan tarompet; ada juga yang merupakan gabungan kendang penca dan rebana.

Adapun peralatann atraksi debus yang akan digunakan tentu saja disesuaikan dengan jenis atraksi debus yang akan ditampilkan. Tak kurang dari 40 jenis atraksi debus yang ada di Banten, di antaranya berjalan di atas bara api yang menyala; memukul bata di kepala dengan kayu; menjilat pisau yang dibakar; menorehkan pecahan botol ke badan, menusuk pipi dengan jarum; menginjak pecahan kaca; menyiram badan dengan air keras; menusuk perut dengan paku banten atau almadad; mengupas kulit kelapa dengan gigi; menyayat badan dengan golok yang tajam; dan menusuk lidah dengan kawat (sujen, jara).


Beragam atraksi debus

Pertunjukan kesenian debus idealnya dilaksanakan di lapangan terbuka agar pemain leluasa dalam melakukan atraksinya. Sebelum melakukan pertunjukan, guru besar atau syeh melakukan ritual khusus, yang intinya memohon kepada Tuhan agar dilancarkan dalam melaksanakan pertunjukan debus. Pada hari pelaksanaan pentas kesenian debus, jalannya pertunjukan dibagi menjadi beberapa tahapan. Tahapan tersebut secara berurutan:1) menyiapkan peralatan dan mengecek arena pertunjukan; 2) guru besar memanjatkan doa untuk kelancaran pertunjukan tersebut; 3) memainkan tetabuhan pengiring untuk mengundang penonton agar mendekati arena pertunjukan; 4) menampilkan atraksi silat untuk mulai menghangatkan suasana, dari sekadar ibing biasa hingga pandungdung; dan 5) menampilkan atraksi debus, dari yang paling ringan hingga puncaknya yang paling berbahaya.