Hanjuang, Tanaman Obat dan Sawen Tulak Bala Pada Masyarakat Giri Jaya Sukabumi

You are currently viewing Hanjuang, Tanaman Obat dan Sawen Tulak Bala Pada Masyarakat Giri Jaya Sukabumi

Hanjuang, Tanaman Obat dan Sawen Tulak Bala Pada Masyarakat Giri Jaya Sukabumi

Hanjuang, Tanaman Obat dan Sawen Tulak Bala
pada Masyarakat Giri Jaya Sukabumi

Oleh:
Ani Rostiyati
(BPNB Jabar)

Tanaman Hanjuang
Sumber Foto: www.wikiwand.com

Bagi masyarakat Sunda, hanjuang adalah tanaman yang dianggap istimewa, bukan saja dianggap sebagai tanaman hias dan obat, tetapi juga sebagai sawen tulak bala.
Sawen tulak bala adalah cara tradisional yang dipercaya oleh masyarakat Sunda untuk menolak berbagai gangguan kekuatan gaib dan wabah penyakit. Inti dari sawen tulak bala adalah jenis tumbuhan tertentu yang dianggap mengandung kekuatan magis, dalam hal ini tanaman hanjuang yang diikat dan diberi ritual doa lalu diletakkan pada tempat tertentu, baik di dalam maupun di luar rumah agar terhindar dari bencana untuk mendapatkan keselamatan.
Bencana dalam masyarakat Sunda, seperti yang terdapat dalam naskah Sunda kuno Sang Hyang Sasana abad ke-16 disebutkan bahwa bencana ini disebut derita dunia yakni kota terbakar, gagal panen, wabah penyakit, musim kering salah mangsa, semua tanaman tak membuah hasil, dan semua binatang mati, inilah lima kesengsaraan. Lalu mengapa semua ini terjadi, tidak lain karena salah lakunya, ucapannya, pikirannya, dan berbuat jahat.
Berdasarkan catatan sejarah, seperti dalam cerita di kerajaan Sumedanglarang (1578-1610) yang sekarang menjadi kota Sumedang – Jawa Barat, “hanjuang” dijadikan sebuah “totonde” (tanda atau alamat) kemenangan dalam peperangan. Tanaman ini sering dijadikan tanda keberadaan sesuatu, pembatas ruang seperti sawah, ladang, kebun, pagar rumah antara milik pribadi dan milik orang lain. Jika dikaitkan dengan adanya wabah penyakit, tanaman hanjuang ini bisa digunakan sebagai pagar pembatas agar tidak terjangkit penyakit.
Di sini tanaman hanjuang dimaknai sebagai sosiokultural, yaitu bagaimana masyarakat Sunda mengimplementasikan kata “hanjuang” sebagai budaya. Penggunaan ini tidak hanya digunakan pada zaman sekarang saja, namun bukti sejarah dan filologi dalam Wangsit Siliwangi (401 Masehi) ditemukan kalimat yang berbunyi ”…. ditihangan ku hanjuang (menggunakan tiang “hanjuang”). Makna “hanjuang” dalam konteks kalimat tersebut merujuk pada tiang sebuah bangunan yang berfungsi sebagai penyangga bagian atas bangunan agar kuat dan tidak roboh. Oleh karena itu, “hanjuang” bagi masyarakat Sunda dianggap tanaman pembatas, kuat, dan keramat, yang mampu menjadi pagar mengatasi wabah.
Selain sebagai sawen tulak bala, tanaman hanjuang juga digunakan sebagai obat bagi masyarakat Sunda, seperti yang dilakukan masyarakat Desa Giri jaya Kabupaten Sukabumi. Mereka percaya tanaman ini berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit menular TBC. Kepercayaan ini tidak terlepas dari mitos yang berkembang, bahwa hanjuang dianggap keramat karena memiliki kekuatan dan sebagai pagar atau pembatas agar tidak terjangkit penyakit yang dianggap berat.
Hasil penelitian dari beberapa ahli juga mengungkap bahwa hanjuang bisa digunakan sebagai obat tradisional seperti TBC paru, asma, diare, dan sakit kepala. Masyarakat desa Giri Jaya membedakan batuk menjadi dua jenis yaitu batuk biasa dan Batuk cupet. Batuk cupet adalah batuk berat yang disertai sesak nafas, sakit di dada, dahak berdarah atau dalam istilah kedokteran disebut TBC, sedangkan batuk biasa hanya tenggorokan gatal dan serak. Batuk biasa ini cukup diobati dengan ramuan kencur atau cikur yang diparut dicampur dengan gula batu lalu diendapkan semalam kemudian diminum, sedangkan batuk berat (batuk cupet / TBC) dengan meminum daun hanjuang yang sudah dikeringkan dan direbus.
Demikianlah, masyarakat desa Giri Jaya masih menggunakan tanaman hanjuang sebagai sawen tulak bala dan pengobatan tradisional untuk mengobati beberapa penyakit, antara lain mengatasi wabah penyakit menular TBC.