Hahiwang merupakan sastra tutur yang berkembang pada masyarakat adat 16 marga di Kabupaten Pesisir Barat (budaya-indonesia.org). Menurut Fattah (2013), berdasarkan isinya hahiwang dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: hahiwang yang berkisah tentang penderitaan hidup seseorang dan hahiwang yang berkisah tentang kegagalan dalam menjalin hubungan percintaan. Kedua kisah tersebut dilagukan sedemikian rupa sehingga terasa menyayat hati. Konon, apabila ikut menghayati, si pendengar dapat menitikkan air mata karena seolah-olah ikut merasakan penderitaan si penutur hahiwang.
Sementara menurut Kurnia (2010), hahiwang dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu hahiwang agama dan hahiwang adat. Kedua jenis hahiwang ini tidak ada sangkut pautnya dengan ungkapan kesedihan dari penuturnya. Hahiwang agama konon muncul pada masa perkembangan Islam di Nusantara. Di daerah Pesisir Barat hahiwang digunakan sebagai salah satu media penyebaran ajaran Islam pada masyarakat Ulun Saibatin. Adapun isinya berkisar seputar syariat (hukum-hukum Islam), rukun iman, rukun Islam, Isra Miraj, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan agama Islam. Sedangkan hahiwang adat berisi tentang silsilah keturunan suatu keluarga atau pesan-pesan khusus bagi pasangan yang menikah. Hahiwang adat umumnya dikumandangkan pada acara-acara adat (perkawinan, pemberian gelar adat, nyambai, dan lain sebagainya).
Apabila mengacu pada pembagian yang dilakukan oleh Fattah (2003), maka fungsi dari hahiwang adalah sebagai ungkapan perasaan seseorang atas penderitaan yang sedang atau telah dialaminya. Oleh karena sifatnya yang sangat personal, maka hahiwang ini biasanya disenandungkan seorang diri tatkala sedang mengerjakan sesuatu hal di dalam rumah atau juga dapat disampaikan pada orang-orang yang akan ditinggal pergi. Menurut penuturan salah seorang informan, dahulu bila seorang perempuan yang baru menikah dan akan tinggal di tempat baru, pada tengah malamnya dia akan mendatangi seluruh anggota keluarganya yang berada di dalam rumah. Sambil menangis, dia akan mendatangi satu per satu anggota keluarganya dan memperdengarkan hahiwang yang dikarangnya sebagai ungkapan rasa kesedihan karena harus meninggalkan keluarga.
Sedangkan bila mengacu pada kategori Kurnia (2010), maka fungsi hahiwang dapat bermacam-macam sesuai dengan situasi dan kondisi ketika sedang dilantunkan. Jadi, hahiwang dapat digunakan sebagai sarana hiburan, pengantar upacara adat, pelengkap acara muda-mudi (nyambai, miyah damagh, kedayek), pengisi waktu luang, senandung pada saat menidurkan anak, pelengkap acara cangget, media dakwah, dan lain sebagainya.
Perkembangan Hahiwang
Hahiwang merupakan salah satu bentuk sastra lisan Lampung yang semakin hari semakin sepi peminatnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah relatif sulit dipelajari, kurangnya proses regenerasi, dan perhatian serta dukungan dari pemerintah setempat. Hahiwang relatif sulit dipelajari karena seseorang yang ingin berhahiwang harus mampu menciptakan bait-bait terdiri dari 3-6 baris yang membentuk sebuah rangkaian cerita atau kisah. Selain itu, dia juga harus mampu melantunkannya menjadi sebuah tembang yang terdengar memilukan dan menyayat hati.
Sumber:
T. Dibyo Harsono dkk, “Seni Hahiwang di Kabupaten Pesisir Barat”, Laporan Perekaman Peristiwa Sejarah dan Budaya, Bandung: BPNB Jabar, 2018.
Herry Wiryono dkk, “Hahiwang: Sastra Tutur Masyarakat Kabupaten Pesisir Barat Lampung”, Laporan Pengkajian Pelestarian Nilai Budaya, Bandung: BPNB Jabar, 2016