Jipeng, Kesenian Tradisional dari Sukabumi

You are currently viewing Jipeng, Kesenian Tradisional dari Sukabumi

Jipeng, Kesenian Tradisional dari Sukabumi

Jipeng merupakan salah satu kesenian tradisional di Provinsi Jawa Barat yang diciptakan dengan mengambil tiga unsur seni, yaitu tanji/tanjidor, ketuk tilu/kliningan, dan topeng (Sandiwara Sunda). Tahun 1923 merupakan awal dari terbentuknya seni Jipeng. Kala itu, kesenian yang ada dan kerap dimainkan di Kasepuhan Citagelar adalah tanji. Biasanya, Seni tersebut kerap menjadi bagian dari proses kegiatan yang dilakukan di huma dan sawah milik kasepuhan. Selain berfungsi sebagai hiburan, tanji juga memiliki fungsi ritual. Suara keras alunan musik tanji juga dapat mengusir binatang yang mengganggu masyarakat saat melakukan proses kegiatan di huma dan sawah.

Selain kegiatan d huma dan sawah, tanji juga dipergelarkan dalam acara adat yang dilakukan oleh Kasepuhan Ciptagelar. Salah satunya adalah ritual Opatbelasna. Biasanya durasi pertunjukan tanji mulai pukul 20.00 – 24.00 WIB. Penonton disuguhi oleh musik tanji tanpa diiringi oleh lagu dan tari. Kesan monoton dan durasi yang cukup panjang menimbulkan kebosanan dalam diri penonton. Faktor tersebut akhirnya membuat seniman di Kasepuhan Ciptagelar menambahkan seni ketuk tilu/kliningan dan Sandiwara Sunda (topeng). Sejak saat itu, tiga kesenian yang kerap dipentaskan dalam acara adat yang digelar di Kasepuhan Ciptagelar dikolaborasikan dan diberi nama Jipeng.

Pertunjukan Jipeng dapat dilakukan di dalam ruangan (panggung) dan di ruang terbuka. Pertunjukan dipanggung biasa dilaksanakan dalam ritual Opatbelasna, Ngaseuk, Mipit, Mapag Ngunjal, Ponggokan, Nganyaran, Seren Taun, dan Hajatan (khitanan, pernikahan). Pertunjukan Jipeng di ruang terbuka dilakukan dalam proses kegiatan di huma dan sawah. Selain itu, Jipeng juga kerap dipergelarkan untuk mengiringi dari belakang para warga kasepuhan yang mengangkut padi dari lantayan (penjemuran padi) menuju leuit (lumbung padi) kasepuhan. Selain Jipeng, rombongan pengangkut padi tersebut juga diiringi seni Angklung Dogdog Lojor.

Dalam struktur pertunjukan panggung, seni Jipeng diawali dengan alunan musik tanji. Berbeda halnya dengan seni tanji pada awal mula yang hanya berupa musik instrumen. Tanji dalam struktur pertunjukan Jipeng selain bersifat musik instrumen juga dapat digunakan untuk mengiringi penyanyi laki-laki yang disebut Ciput dan Bancet. Setelah selesai pertunjukan tanji, Seni Jipeng berlanjut pada sesi ketuk tilu/kliningan/jaipong. Biasanya sesi ini lebih menarik penonton karena lagu dan tari yang menginspirasi penonton untuk ikut berjoget.

Sesi kedua, yaitu jaipong yang dipergelarkan dalam seni Jipeng ini memunculkan sosok Jaipong yang diiringi dengan musik tanjidor. Kolaborasi seni tersebut menghasilkan bentukan seni baru yang dinamakan Tari Jipeng. Saat ini, Tari Jipeng sudah menjadi ikon budaya Kabupaten Sukabumi dan mulai banyak dipergelarkan baik dalam suguhan tari perorangan hingga kolosal.
Setelah sesi Seni Jaipong (Tari Jipeng) selesai kemudian dilanjutkan dengan sesi Sandiwara Sunda (topeng). Sesi terakhir ini memiliki daya tarik pada dialog dan adegan sandiwara yang terkesan lucu dan nakal. Selama sesi ketiga berlangsung, alunan musik kliningan mengiringi dan mengikuti gaya yang ditampilkan dalam tiap adegan Sandiwara Sunda.
Struktur pertunjukan di luar panggung dalam beberapa segi berbeda dengan pertunjukan panggung terutama pada tidak ditampilkannya Sandiwara Sunda. Dengan demikian, hanya tanji dan ketuk tilu saja yang dapat ditampilkan saat Jipeng beratraksi di luar panggung.
Busana yang dikenakan pelaku seni Jipeng terbagi dalam tiga bagian, yaitu busana penari, penyanyi, dan nayaga. Penari mengenakan busana kebaya lengkap dengan asesoris. Penyanyi atau sinden (untuk seni ketuk tilu) juga mengenakan busana kebaya namun terkesan lebih sederhana, sedangkan penyanyi tanji (Ciput dan Bancet) adalah penyanyi laki-laki yang mengenakan sama dengan para nayaga. Nayaga dalam seni Jipeng mengenakan acuk kampret dan calana sontog (celana cingkrang) serta totopong (ikat kepala).
Jumlah nayaga dalam pertunjukan tanjidor sekitar 10 orang. Mereka bertugas memainkan waditra yang terdiri dari trombon, tenor, bass, klarinet, piston, bedug, kitimpring, tiga buah ketuk, kecrek, dan satu goong. Seluruh waditra tanji yang dimainkan mengikuti iringan lagu yang biasa dinyanyikan dalam seni topeng, seperti Mapay Roko, Cendol Hejo, Rayak-rayak, Kampret, Kembang Beureum, Gaplek, Pariswado, Wangsit Siliwangi, dan Buah Gedang. Lagu-lagu berirama mars seperti Halo-halo Bandung, 17 Agustus 1945, dan Garuda Pancasila juga biasa dimainkan terutama untuk ikut memeriahkan acara peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Saat ini, Seni Jipeng dapat dikatakan masih bertahan karena menjadi bagian dari tradisi yang wajib dilaksanakan masyarakat di Kasepuhan Banten Kidul. Fungsi ritual yang berpadu dengan fungsi hiburan menjadikan Jipeng memiliki daya tarik serta menambah warna dalam aktivitas kultural masyarakat Kasepuhan. (Irvan)

Sumber:
Sasmita, Ujang, 2018. ”Deskripsi Pertunjukan Jipeng Grup Satia Kulun di Kasepuhan Ciptagelar Kabupaten Sukabumi”, Skripsi, Bandung: Institut Seni Budaya (ISBI) Bandung.
Dani Daniar (danikancil), 2012. “Jipeng (Tanji Topeng) Kasepuhan Ciptagelar”, dalam https://danipicture.wordpress.com/2012/11/12/jipeng-tanji-topeng-kasepuhan-ciptagelar/ tanggal 12/11/2012