Cacarekan: Tradisi Lisan pada Masyarakat Desa Sukakersa, Kabupaten Sumedang
Oleh :
Ria Andayani Somantri
(Balai Arkeologi Provinsi Jawa Barat)
Pengertian Cacarekan
Ketika seorang suami merasakan istrinya sulit untuk memiliki anak, dia berjanji seperti ini, upami pun bojo ngandeg, engke bade meuncit domba saatos orokna lahir ‘jika istriku hamil, nanti akan menyembelih kambing setelah bayinya lahir’. Dalam kehidupan masyarakat Desa Sukakersa, janji seperti itu bukan hanya sekedar janji biasa, tapi dapat dikategorikan sebagai cacarekan, carek, atau cacarek. Untuk selanjutnya, istilah lokal yang akan dipakai dalam tulisan ini adalah cacarekan.
Cacarekan merupakan kata dalam bahasa Sunda, yang secara harfiah berarti pakaulan ‘semacam nadar, yakni janji pada diri sendiri hendak berbuat sesuatu jika maksud tercapai’. Meskipun janji tersebut untuk diri sendiri, janji itu kadang-kadang juga diucapkan sehingga ada orang di luar dirinya yang mendengar janji tersebut. Bagi masyarakat Desa Sukakersa, cacarekan tidak dapat dianggap sepele, karena tidak sembarangan diucapkan oleh seseorang. Selain menyangkut hal yang sangat penting, cacarekan juga memiliki dorongan yang kuat bagi yang mengucapkannya untuk memenuhi cacarekan tersebut. Jika tidak dipenuhi, dipercaya hal itu akan menimbulkan konsekuensi yang tidak baik bagi yang bersangkutan.
Pada dasarnya siapapun bisa dan pernah berjanji pada diri sendiri, baik anak kecil maupun orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Ada janji yang bisa dipenuhi dan ada pula janji yang tidak bisa ditepati karena satu dan lain hal. Tidak ada orang lain yang mengetahui apa yang sudah dijanjikan kepada diri sendiri. Oleh karena itu, tidak akan ada tuntutan dari orang lain ketika janji kepada diri sendiri itu tidak terpenuhi. Kalaupun ada orang lain yang mengetahui janji tersebut, dia tidak akan peduli jika yang bersangkutan dapat atau tidak dapat memenuhinya.
Berbeda halnya dengan cacarekan yang dipahami betul makna dan konsekuensi yang ada di dalamnya oleh warga masyarakat Desa Sukakersa. Oleh karena itu, tidak sembarang orang mengucapkan cacarekan. Seseorang biasanya menyadari janji yang diucapkannya termasuk cacarekan sehingga dia memiliki kewajiban untuk menepati janji tersebut. Selain itu dia juga meyakini akan adanya akibat yang tidak baik menimpa dirinya jika dia tidak dapat memenuhi janji tersebut. Oleh karena itu, orang yang mengucapkan cacarekan umumnya sudah dewasa. Dia mampu bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya dan atas semua yang diucapkannya, termasuk ketika mengucapkan cacarekan.
Ekspresi Cacarekan
Telah dijelaskan sebelumnya, cacarekan merupakan janji kepada diri sendiri. Oleh karena itu, ekspresinya bisa berupa rangkaian kata-kata yang diucapkan di dalam hati sanubari seseorang, atau terucapkan secara langsung dari mulut seseorang. Dalam hal ini, tidak ada orang lain yang mendengarkan janjinya selain dirinya sendiri. Tetapi bukan tidak mungkin, pada saat janji terucap, ada orang lain di sekitar dia. Secara tidak langsung orang tersebut menjadi saksi atas janji yang diucapkannya tadi.
Kalaupun cacarekan itu diucapkan, biasanya berupa rangkaian kata-kata dalam bahasa Sunda yang membentuk kalimat dengan pola seperti ini:
“ Lamun…,engke bakal…”.
“Jika …, nanti akan….”.
Pola kalimatnya juga bisa dibalik seperti berikut ini:
“Engke bakal…lamun…”
“Nanti akan…jika…”
Kata-kata itu seakan menjadi kata kunci yang digunakan dalam cacarekan. Meskipun demikian, pilihan kata yang digunakan dalam cacarekan ada kalanya berbeda. Namun, kata-kata tersebut tetap memiliki arti yang sama, seperti:
“upami …, engke bade…”
“Kalau …, nanti akan…”
Pola kalimat cacarekan bisa juga dibalik seperti ini:
“Engke bade…, upami…”
” Nanti akan…, jika ….”
Dalam konteks cacarekan, ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan, yakni latar belakang munculnya cacarekan; harapan yang ingin diwujudkan; janji untuk melakukan sesuatu jika harapan tersebut dapat tercapai; dan melepas cacarekan. Ketiga hal itu merupakan materi penting yang terkandung dan ada di balik cacarekan.
Latar Belakang Cacarekan
Cacarekan tidak mungkin dicatatkan dalam hati seseorang atau terucapkan begitu saja dari bibir seseorang. Sudah pasti ada alasan tertentu yang melatar belakanginya. Hal itu biasanya berupa kondisi atau peristiwa tertentu yang sedang dihadapi seseorang, baik menyangkut dirinya langsung atau tidak langsung. Kondisi tersebut berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan yang dianggap penting dan berharga dalam kehidupan seseorang, juga dalam lingkungan masyarakatnya.
Orang tersebut menghadapi satu kondisi yang bertolak belakang dengan aspek kehidupan yang dipandang penting dan berharga tadi. Bahkan, ada kecenderungan keadaan tersebut sudah berada di luar batas kemampuannya. Dia sudah berupaya semaksimal mungkin untuk mengatasinya, namun hasilnya tetap tidak sesuai harapan. Kondisi itu bisa membuat dia merasa khawatir, sedih, malu, takut, atau kecewa.
Beberapa contoh dari keadaan yang bertolak belakang tadi di antaranya sebagai berikut.
- Seorang bapak pernah memiliki cacarekan ketika anaknya jatuh dari pohon. Dia merasa khawatir anaknya menjadi cacat. Padahal anak yang memiliki kondisi fisik yang mulus tanpa cacat sangat penting. Terbukti ketika seorang ibu melahirkan, dia selalu bertanya apakah anaknya mulus tidak kurang suatu apapun.
- Seorang petani pernah memiliki cacarekan ketika sedang berlangsung musim hama. Dia khawatir lahan pertaniannya terancam gagal panen. Padahal panen yang melimpah merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan dia sebagai petani. Hal itu tampak dari adanya upacara wuku taun sebagai refleksi rasa syukur masyarakat Desa Sukakersa terhadap hasil pertanian yang mereka selama setahun.
- Seorang suami pernah memiliki cacarekan ketika istrinya lama tidak mengandung setelah mereka menikah karena keberadaan anak begitu penting dan bernilai bagi kelangsungan pernikahannya, juga di lingkungan masyarakatnya.
- Seorang ayah pernah memiliki cacarekan ketika dia harus bekerja keras membiayai anaknya yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dia mengeluarkan cacarekan jika anaknya bisa menyelesaikan pendidikan tinggi, karena merasa pendidikan itu begitu penting sebagai bekal untuk masa depan anaknya. Selain itu, menjadi seorang sarjana juga bisa menjadi kebanggaan keluarga di lingkungan masyarakatnya yang umumnya masih berpendidikan rendah.
- Seorang ibu pernah memiliki cacarekan ketika putrinya belum berjodoh meskipun usianya sudah lebih dari cukup untuk ukuran masyarakat setempat. Cacarekan itu muncul karena khawatir putrinya menjadi perawan tua.
Gambaran beragam kondisi yang menjadi pemicu munculnya cacarekan tidak akan terekspresikan langsung dalam rangkaian kata-kata yang tercatat dalam hati maupun terucap dari bibir seseorang. Faktor pemicu tadi hanya ada di balik munculnya ekspresi cacarekan seseorang. Namun, hal itu dapat tertangkap dalam sebuah harapan yang terdapat dalam kalimat cacarekan.
Harapan dalam Cacarekan
Kondisi-kondisi tadi mampu mendorong seseorang untuk melakukan upaya terakhir dengan berharap akan ada pertolongan, mujizat, keajaiban atau apapun sejenisnya agar dapat melewati keadaan itu. Dia berharap akan ada perubahan menuju suatu keadaan yang sesuai dengan apa yang diinginkannya. Harapan itu tidak sekadar harapan melainkan dicatat dalam hati atau diucapkan secara lisan, bahkan mungkin juga ada orang lain yang mendengarkannya.
Harapan secara eksplisit terdapat pada frase awal atau frase akhir dalam kalimat yang dikategorikan sebagai cacarekan. Beberapa contoh harapan (sebagai frasa awal) yang muncul dari keadaan yang telah disebut tadi adalah sebagai berikut:
- Ketika seorang anak jatuh dari pohon, seorang bapak mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut:
“Upami pun anak sehat deui sabihara sabihari…”
“Jika anakku kembali sehat seperti biasa….” - Ketika sedang berlangsung musim hama, seorang petani mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut:
“Lamun melak pare ayeuna salamet nepi ka panen…”
“ Kalau menanam padi selamat (tidak terganggu hama) sampai masa panen tiba…” - Ketika seorang seorang istri belum hamil saja padahal sudah lama menikah, suaminya mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut:
“Upami pun bojo ngandeg,…”
“ Jika istriku hamil…” - Ketika seorang ayah merasa harus bekerja keras membiayai anaknya yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, dia mengeksprsikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut:
“Lamun engke budak tamat sakolana…”
“Jjika nanti anaknya bias menyelesaikan sekolah…” - Ketika seorang ibu khawatir karena anaknya belum berjodoh, dia mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata kalimat berikut, upami pun anak kenging jodona…’ kalau anakku mendapat pasangan hidup…’
Janji dalam Cacarekan
Harapan yang terekspresikan dalam suatu cacarekan itu begitu kuat, namun kemungkinan harapan itu tidak akan terwujud juga besar. Salah satu cara yang secara psikologis diharapkan dapat mengeliminasi kemungkinan tersebut adalah dengan menyertakan janji untuk melaksanakan sesuatu jika harapan itu tercapai. Janji tersebut seolah menjadi pelipur atas kondisi yang sebetulnya sudah berada di luar batas kemampuan mereka. Janji itu seakan untuk menguatkan harapan tersebut agar tercapai.
Isi janji dalam cacarekan biasanya berupa niat untuk melaksanakan suatu aktivitas. Aktivitas yang dijanjikan ada yang masih dipandang wajar untuk dilakukan. Namun, tak sedikit pula aktivitas yang harus dilakukan itu lain dari yang lain, aneh, agak unik, atau bisa membuat orang lain tertawa dan geleng-geleng kepala. Selain itu ada pula aktivitas yang harus disertai dengan menyediakan sesuatu yang bersifat materi. Oleh karena itu, diperlukan dana untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Nilai dana yang dikeluarkan sangat relatif, dari yang murah hingga yang mahal.
Jika itu berkaitan dengan dana, umumnya janji yang dilontarkan seseorang dalam cacarekan sesuai dengan kemampuan yang bersangkutan. Orang yang tidak mampu secara ekonomi tidak akan membuat janji menyiapkan sesuatu di luar batas kemampuannya. Kalaupun janji itu nilainya cukup besar bagi dia, tetap bisa dipenuhi sekalipun harus menabung atau meminjam dulu dengan tetap memiliki kemampuan untuk membayarnya. Jika di luar batas kemampuannya, dia khawatir tidak dapat memenuhi janji tersebut dan akan memberatkannya sampai kapan pun. Sesuatu yang bernilai kecil bagi orang yang mampu, bisa jadi bernilai besar bagi orang yang tidak mampu. Sebaliknya sesuatu yang bernilai besar bagi orang yang tidak mampu, mungkin saja tidak ada artinya bagi orang yang mampu.
Berkenaan dengan nilai janji dalam cacarekan, ada istilah cacarekan leuleutikan atau cacarekan kecil-kecilan dan cacarekan gede-gedean atau cacarekan besar-besan. Cacarekan leuleutikan menunjuk pada cacarekan dengan nilai janji yang ada di dalamnya dipandang relatif terjangkau. Adapun cacarekan gede-gedean menunjuk pada cacarekan dengan nilai janji yang ada di dalamnya relatif sulit terjangkau untuk uuran warga masyarakat pada umumnya. Yang memberi penilaian seperti itu bukan yang mengucapkan cacarekan, tetapi orang lain berdasarkan ukuran nilai yang berlaku pada masyarakat setempat.
Janji dalam cacarekan secara eksplisit bisa terdapat pada frase terakhir atau frase awal dari kalimat cacarekan. Beberapa contoh:
- (ketika seseorang sulit memiliki anak) upami nani ngandeg, engke bade meuncit domba saatos orokna lahir ‘jika nanti hamil, nanti akan menyembelih kambing setelah bayinya lahir’.
- (ketika seorang anak sakit terus menerus) upami si bungsu diparengkeun sehat, jaga lamun nyelam bade dipangmeuncitkeun sapi “jika si bungsu sehat, nanti jika dikhitan akan menyembelih sapi”.
- (ketika seorang anak jatuh dari pohon) lamun budak sabihara sabihari deui, engke bapa rek mayungan budak ku bakakak lamun diakadan “jika anaknya tidak apa-apa, nanti bapak akan memegang bakakak di atas kepala anaknya pada saat akad nikah”.
- (ketika petani menghadapi musim hama dalam pertanian) lamun melak pare ayeuna salamet nepi ka panen, engke kuring bakal ngabuceng meuncit sapi ‘kalau menanam padi selamat sampai masa panen tiba, kelak akan syukuran dengan menyembelih sapi’.
- Janji yang muncul dalam cacarekan merupakan ekspresi rasa bahagia, syukur