Kain Tenun Masyarakat Baduy

You are currently viewing Kain Tenun Masyarakat Baduy

Kain Tenun Masyarakat Baduy

Kain sebagai salah satu kebutuhan primer manusia yang telah sejak dahulu ada dan dibuat melalui proses yang semakin lama semakin kompleks baik dari segi bahan, peralatan, teknik pembuatan, dan motif. Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman budaya telah mengenal kain dengan beragam motif dan proses pembuatannya. Baduy menjadi salah satu asset budaya Indonesia yang berada di wilayah administratif Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang juga telah mengenal dan menggunakan kain sejak lama.
Teknologi dan bahan yang dgunakan dalam membuat kain tenun pada masyarakat Baduy dapat dikatakan masih sederhana. Kain tenun hasil produksi masyarakat Baduy dibuat dengan menggunakan teknologi Alat Tenun Gedogan Berlungsi Tak Lanjut, yaitu bagian yang telah berupa kain digulung dengan batang apit, sedangkan bagian benang lungsi yang belum ditenun tergulung pada totogan. Pada alat tenun yang ini, biasanya terdapat sisir untuk mengendalikan susunan benang lungsi dan merapatkan hasil tenunan (Dwi Astuti, 2012: 10).

Proses pembuatan kain tenun dimulai dengan pembuatan benang. Saat ini, kepraktisan menjadi hal utama dalam pembuatan kain. Kebutuhan untuk memenuhi pesanan kain tenun baduy membuat upaya pembuatan benang dialihkan pada sistem pemesanan benang yang sudah jadi. Biasanya produk benang yang kerap dipesan masyarakat Baduy berasal dari daerah Majalaya Kabupaten Bandung.
Meskipun sudah banyak yang menggunakan benang siap tenun, proses tradisional yang dilakukan secara turun menurun masih tetap ada dan dilaksanakan hingga saat ini. Bahan pembuat benang terdiri dari dua jenis, yaitu daun pelah dan kapas. Dua bahan tersebut tidak berjalan beriringan. Bahan pertama yang digunakan untuk membuat benang terbuat dari daun pelah, yaitu jenis tumbuhan yang biasa tumbuh di hutan dengan bentuk daun yang mirip daun salak. Untuk merubah daun pelah menjadi bahan pembuat benang digunakan melalui proses perebusan. Tahap pertama adalah memilih daun pelah yang masih muda sesuai jumlah kebutuhan. Seluruh daun pelah tersebut kemudian direbus sampai dirasa mudah untuk mengambil seratnya.

Bahan kedua pembuatan benang yaitu kapas. Keberadaan kapas lambat laun menggeser penggunaan daun pelah karena dianggap lebih memudahkan dalam proses pembuatan benang. Proses pembuatan benang dengan bahan kapas dimulai dengan memilih buah kapas yang sudah matang kemudian dijemur agar buah kapas pecah. Langkah selanjutnya adalah memisahkan antara kulit dari isinya. Isi kapas yang sudah terpisah dari kulitnya kemudian ditarik-tarik agar mengembang dan lembut saat dibuat benang. Masyarakat baduy menamakan proses tersebut dengan nama hasiwang. Proses pembuatan tidak hanya sampai disitu. Masih ada tiga proses lagi yang diperlukan untuk menjadi benang siap tenun, yaitu nyikat, ngilak, dan nganteh. Nyikat merupakan sebuah proses mencampur isi kapas dengan air bubur nasi. Setelah tercampur sempurna kemudian dijemur. Setelah dianggap kering, isi kapas yang sudah tercampur dengan air bubur nasi tersebut kemudian disikat dengan menggunakan sabut kelapa. Fungsi penyikatan adalah untuk memisahkan isi kapas dari serbuk nasi yang sudah mengering. Selain itu, fungsi nyikat adalah agar saat proses pembuatan benang menjadi lebih mudah diatur. Setelah proses nyikat selesai dilanjutkan dengan proses selanjutnya, yaitu ngilak. Ngilak adalah proses menggulung isi kapas dan memasukkan ke dalam selongsong yang terbuat dari potongan bambu. Saat proses ngikat, isi kapas harus diatur searah agar saat proses nganteh menjadi lebih mudah. Hasil dari proses ngikat adalah sebentuk kapas bulat dan lonjong. Nganteh adalah proses memintal kapas menjadi benang. Peralatan yang dibutuhkan adalah kincir berbentuk velg roda sepeda yang terbuat dari kayu. Tahap selanjutnya adalah :

  • Nguluran, yaitu menghubungkan ujung benang yang terlihat disisi luar kisi dikaitkan ke ujung golebag.
  • Mihane, yaitu mempersiapkan benang untuk membuat lungsi.
  • Nyorokan, yaitu memasukan benang kedalam sisir.
  • Ngaliar, yaitu proses meluruskan dan merapihkan benang hasil nyorokan.
  • Ngalingkup, yaitu menggulung benang setelah proses ngaliar
  • Ninun, yaitu melakukan proses menenun (Maftukha, 2012: 7).

Dalam proses menenun, ada 6 tahap yang harus dilalui, yaitu:

  • Ngajingjing atau menjinjing yaitu mengangkat jinjingan kemudian digeser-geser kedepan-kebelakang agar lungsi tidak kusut bisa juga untuk mengunci anyaman.
  • Ngalimbuhan yaitu menggeser-geser limbuhan dan jinjingan agar benang lungsi tidak kusut, bisa juga untuk mengunci anyaman.
  • Ngasupkeun pakan atau memasukan benang pakan dari toropong kedalam benang lungsi.
  • Nyisir yaitu menggeser-geser sisir agar benang pakan bergeser kedalam hasil anyaman tenun dan untuk merapihkan anyaman.
  • Ngajingjing atau menjinjing yaitu mengangkat jinjingan kemudian memasukan barera kedalam sela-sela benang yang dijinjing untuk mengunci anyaman.
  • Keteg yaitu menggeser barera ke sisir untuk merapihkan dan mengencangkan anyaman. Dan seterusnya ulangi ke tahap pertama dan selanjutnya sampai dengan selesai (Maftukha, 2012: 12).

Tenunan kain Baduy, terutama Baduy Luar memiliki motif yang sangat beragam sementara kain tenun produksi masyarakat Baduy Dalam hanya ada motif polos dan motif aros. Beberapa nama motif yang dihasilkan oleh masyarakat Baduy Luar adalah: motif suat samata, motif suat balimbingan, motif mata baru, motif suat songket, motif tajur pinang, motif adu mancung, motif suat kembang gedang, motif aros, motif sanglur atau motif susuatan/batik baru, motif polos, motif sarung poleng kacang herang carang, dan motif sarung poleng kacang herang kerep.
Perbedaan motif di antara dua masyarakat Baduy (Luar dan Dalam) turut mempengaruhi warna yang dipergunakan. Warna kain tenun Baduy Dalam terdiri dari dua warna yaitu hitam dan putih. Pedoman penggunaan dua warna tersebut lebih diarahkan pada kepatuhan mereka pada sang leluhur untuk menggunakan dua warna tersebut. Sementara itu, warna kain tenun Masyarakat Baduy Luar lebih bervariasi. Dahulu warna yang dipergunakan terdiri dari warna biru, hitam, putih, merah dan hijau. Kondisi kekinian, masyarakat Baduy Luar kemudian menambahkan warna merah muda, kuning, dan kuning emas. Alasan mereka menggunakan lebih banyak variasi warna adalah seperti yang diungkapkan dalam pepatah “moal aya putih mun teu aya hideung, moal rame dunia mun eweuh warna” (Tidak ada warna putih kalau tidak ada warna hitam, Tidak akan ramai dunia kalau tidak ada warna). Ukuran kain tenun yang dihasilkan masyarakat baduy bermacam-macam. Tidak ada pedoman dalam pemilihan ukuran hanya kebutuhan akan pakaian saja yang menjadi unsur utama dalam pemilihan ukuran kain tenun baduy. Akan halnya dengan kain selendang, juga demikian halnya dengan kain untuk kebutuhan sehari-hari. Kain selendang juga hanya berfungsi sebagai pelengkap dari pola tata rias masyarakat Baduy (Luar). Beberapa motif yang digunakan untuk selendang adalah motif poleng kacang herang, adu mancung, dan lamak putih (motif putih polos). Selendang pada masyarakat Baduy dapat dikatakan memiliki multi fungsi. Selendang dipergunakan untuk keperluan fungsional seperti menggendong anak, ikat pinggang, sabuk, kerudung, kemben, dan ikat kepala. Kaitannya dengan upacara tradisional, masyarakat Baduy juga mengenakan selendang untuk upacara Kawalu, ngalaksa, Seba, Upacara menanam padi, dan upacara kelahiran (Maftukha, 2012: 14-16).

Sumber:

    • Dwi Astuti, Anita. 2012, “Tenun Baduy Di Leuwidamar Lebak Banten”, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta
    • Maftukha, Nina. 2012, “Sejarah Visualisasi Tenun Baduy”, Makalah Seminar Internasional The Gathering of Histories 2012.