Kehidupan Masyarakat Baduy

You are currently viewing Kehidupan Masyarakat Baduy
IM000829.JPG

Kehidupan Masyarakat Baduy

Kehidupan Masyarakat Baduy

Oleh:
Ria Andayani Somantri
(BPNB Jabar)

Masyarakat Baduy
Sumber Foto: Dok. BPNB Jabar, 2005

Baduy terdapat di Desa Kanekes, yang merupakan wilayah adat orang Baduy. Secara administratif, Desa Kanekes masuk dalam wilayah Kemantren Cisimeut, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Jarak Desa Kanekes dari ibu kota Jakarta sekitar 160 Km, sedangkan dari pusat pemerintahan Provinsi Banten di kota Serang jaraknya sekitar 78 Km. Jarak dari pintu masuk Desa Kanekes ke pusat kota Kecamatan Leuwidamar adalah 27 Km, dan jarak ke pusat kota Kabupaten Lebak di kota Rangkasbitung sekitar 50 Km.

Letak Desa Kanekes berada di kawasan Pegunungan Kendeng, yang kondisi fisiknya berbukit-bukit. Luas desa tersebut berdasarkan Perda (Peraturan Daerah) Kabupaten tingkat II Lebak Nomor 13 Tahun 1990 adalah 5.101,85 Ha. Wilayah Kanekes seluas itu meliputi huma (ladang, kebun atau lahan pertanian), permukiman, serta hutan lindung. Masyarakat Baduy tersebar di sekitar 59 kampung.

Permukiman di Desa Kanekes dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah Baduy Tangtu/Kajeroan yang menempati daerah sebelah selatan; dan wilayah Baduy Panamping yang berada di wilayah sebelah timur, barat, dan utara. Di wilayah Baduy Tangtu terdapat Kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik, sedangkan di wilayah Baduy Panamping terdapat 56 kampung. Penambahan anak kampung hanya dizinkan di wilayah Baduy Panamping. Selain itu, ada juga warga Dangka, yakni warga Baduy yang tinggal di luar Desa Kanekes. Meskipun berada di luar Kanekes, mereka merupakan pendukung budaya dan keturunan Baduy. Mereka tidak kehilangan statusnya sebagai orang Baduy karena masih terlibat dalam kegiatan adat di Baduy. Para pemimpin di dangka pun selalu dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan di Baduy.

Pola permukiman orang Baduy dibangun dalam bentuk kampung atau lembur. Setiap kampung dibangun di lokasi yang ada sumber air, baik mata air, sungai, atau selokan. Di dalam kampung terdapat sejumlah bangunan rumah panggung dalam tataran mengelompok, dan diatur sedemikian rupa sehingga kumpulan rumah terletak di tengah. Rumah-rumah umumnya, dibangun bersaf berhadap-hadapan dengan jarak antar rumah kira-kira 2-3 meter. Walaupun rumahnya tanpa jendela, sinar matahari/ udara luar dapat masuk melalui celah-celah dinding. Sementara itu di bagian pinggir luar didirikan saung lisung (tempat menumbuk padi), tampian (tempat mandi), dan di bagian yang lebih ke luar lagi adalah bangunan leuit (lumbung padi) milik keluarga-keluarga. Di tengah permukiman biasanya terdapat lahan kosong, berupa lapangan atau halaman rumah. Area itu berfungsi sebagai tempat bermain anak-anak atau menjemur benang, pakaian, dan aktivitas lainnya.

Mata pencaharian orang Baduy dapat dibedakan menjadi dua, yakni mata pencaharian utama dan mata pencaharian tambahan atau sampingan. Mata pencaharian utama seluruh warga Baduy adalah bertani di lahan kering atau disebut ngahuma. Pekerjaan sampingan di Baduy Tangtu di antaranya menyadap nira dan membuat kerajinan anyaman atau rajutan. Adapun pekerjaan tambahan di Baduy Panamping cukup bervariasi, di antaranya membuat gula aren; menenun kain khas Baduy; membuat kerajinan anyaman atau rajutan; berjualan makanan dan minuman ringan, benang, dan kain batik corak Baduy yang dibeli dari Jakarta dan Majalaya; menjual pakaian, madu, dan kerajinan Baduy ke daerah lain; bahkan kini ada yang merintis menjadi pemandu wisata bagi para wisatawan yang berkunjung ke Baduy.

Roda kehidupan orang Baduy diatur oleh dua sistem pemerintahan yang berbeda, yakni sistem pemerintahan formal dan sistem pemerintahan informal. Sistem pemerintahan formal mengacu pada sistem pemerintahan negara Republik Indonesia yang diberlakukan untuk mengatur seluruh desa di negeri ini. Secara formal, Desa Kanekes dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut Jaro Pamarentah. Dalam melaksanakan tugasnya, dia dibantu oleh seorang carik. Sistem pemerintahan informal merujuk pada sistem pemerintahan lokal atau sistem pemerintahan adat. Sistem pemerintahan adat ini berupa lembaga kapuunan, yang mengharuskan mereka tunduk pada ketentuan adat yang dilaksanakan di bawah kendali pemimpin adat tertinggi, yakni puun.

Dalam lembaga kapuunan, orang Baduy dipimpin oleh puun sebagai pemimpin tertinggi. Selain puun, dalam lembaga kapuunan terdapat sejumlah jabatan yang terdiri atas girang seurat, jaro, baresan, panengen, dukun pangasuh, tangkesan, parawari, dan kokolot. Setiap jabatan dalam lembaga kapuunan memiliki wewenang yang khas.

Orang Baduy menganut agama Sunda Wiwitan, yakni keyakinan yang didasarkan pada penghormatan atau pemujaan kepada arwah nenek moyang atau karuhun dan kepercayaan kepada satu kuasa, yakni Batara Tunggal. Pusat pemujaan mereka berada di puncak gunung yang disebut Sasaka Domas atau Sasaka Pusaka Buana. Objek pemujaan ini pada dasarnya merupakan sisa komplek peninggalan megalitik berupa bangunan berundak atau berteras-teras dengan sejumlah menhir dan arca di atasnya. Itulah yang menjadi tempat para karuhun ’nenek moyang‘ berkumpul.

Keturunan karuhun yang langsung mewakili mereka di dunia adalah puun, yang merupakan keturunan Batara Panjala. Selain sebagai pemimpin tertinggi, puun juga merupakan penguasa agama Sunda Wiwitan, serta pemuka yang paling suci yang harus ditaati segala perintah dan perkataannya. Puun juga memimpin berbagai upacara tradisional di Baduy, seperti kawalu, ngalaksa, seba, muja, dan tolak bala.