Gotongroyong adalah istilah yang sudah tidak asing lagi bagi telingan masyarakat Indonesia. Pengertian gotong royong dapat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Arti gotongroyong kemudian diartikan secara luas. Aktivitas pekerjaan kemudian dikembangkan sesuai dengan budaya lokal yang ada di tiap-tiap daerah. Jenis pekerjaan dapat berupa pembuatan bangunan, pembuatan, dan pemeliharaan sarana umum. Dapat juga diartikan sebagai sebuah aktivitas tradisi yang dilakukan secara bersama-sama dalam menyambut hari besar, seperti bulan ramadhan, hari raya idul fitri, dan hari raya idul adha. masyarakat Banten juga kerap melakukan kegotongroyongan dalam menyambut perayaan atau syukuran memperingati kelahiran ulama besar atau haul dari kelompok pengajian/pesantren.
Tradisi yang dilakukan secara bersama-sama baik dalam proses setelah pelaksanaan sebenarnya sudah umum dilakukan dalam budaya masyarakat Indonesia. Akan halnya dengan proses penyambutan hari besar seperti menjelang awal dan akhir bulan ramadhan, beragam tradisi dilakukan dengan melibatkan banyak anggota masyarakat. Kabupaten Pandeglang sebagai bagian dari wilayah administratif Provinsi Banten memiliki tradisi menyambut bulan suci ramadhan yang dinamakan babacakan.
Dalam ensiklopedi sunda, Bancakan atau babacakan ialah nama hidangan maka yang diwadahi nyiru (niru), dengan tilam dan tutup daun pisang, disajikan nuntuk dimakan bersama pada selamatan atau syukuran. Macam makanan yang dihidangkan lazimnya nasi Congcor atau Tumpeng beserta lauk-pauknya antara lain urab sebagai sesuatu yang khas dalam hidangan selamatan. Tidak disediakan piring, para hadirin makan dengan memakai daun pisang sebagai alasnya. Makan bancakan dimulai setelah pembacaan doa selesai, setiap orang langsung mengambil dari nyiru nasi beserta lauk-pauknya (Kamus Bahasa Sunda R. A. Danadibrata).
Sama halnya dengan definisi Babacakan dalam kamus bahasa Sunda di atas. Babacakan di Banten kerap menghadirkan menu nasi yang ditaruh di atas daun pisang. Namun, sangat jarang sajian Babacakan dalam bentuk congcor atau tumpeng. Babacakan diikuti oleh minimal dua atau tiga orang. Semakin banyak peserta yang ikut maka akan semakin meriah tradisi makan bersama tersebut. Pola makan Babacakan dilakukan biasanya dengan cara memanjang. Artinya, peserta dapat makan secara berhadap-hadapan. Pola ini terutama diikuti oleh peserta yang lebih sedikit dan lebih bersifat tradisional karena menggunakan daun pisang sebagai media alas makannya. Berlainan halnya dengan Babacakan dengan peserta yang lebih banyak. Saat menyantap hidangan mereka kerap menggunakan pola ngariung (berkumpul membentuk lingkaran) secara berkelompok.
Menu yang dihadirkan dalam Babacakan biasanya kerap ditemukan ayam bakar atau ikan bakar. Kedua menu tersebut merupakan menu yang dapat dikatakan “wajib”. Selain itu, terdapat variasi lalapan lengkap dengan sambalnya. Terdapat juga menu urab yang juga menjadi menu yang kerap disajikan dalam Babacakan. Saat ini, menu yang dihadirkan lebih bervariasi. Bahkan, ada menu Babacakan berupa sate (kambing/sapi), dan berbagai olahan yang terbuat dari daging.
Dalam skala besar yang melibatkan banyak anggota masyarakat, Babacakan juga diisi menu buah-buahan dan kue-kue sebagai hidangan penutup. Selain itu, menu yang disediakan tidak ditaruh di atas daun pisang, tetapi sudah mirip dengan sajian yang biasa diadakan pada acara perkawinan atau khitanan.
Sumber:
“Babacakan, Tradisi Makan Bersama di Banten”, Perekaman Warisan Budaya Takbenda, Bandung: BPNB Jabar, 2019