Melalui seni merajut kebhinekaan: Golek dan Angklung dalam PKA ke-VII

You are currently viewing Melalui seni merajut kebhinekaan: Golek dan Angklung dalam PKA ke-VII

Melalui seni merajut kebhinekaan: Golek dan Angklung dalam PKA ke-VII

Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang baru saja berakhir merupakan sebuah momen besar bagi seluruh masyarakat di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Terlihat dari lalulintas di Kota Banda Aceh yang semakin bertambah padat pada ruas jalan menuju lokasi Pekan Kebudayaan Aceh ke-VII.

Berlokasi di Lapangan Blang Padang, dilaksanakan Aceh Expo sebagai salah satu rangkaian acara Pekan Kebudayaan Aceh ke-VII pada tanggal 4 – 13 Agustus 2018. Aceh Expo merupakan ajang promosi produk-produk unggulan berbasis industri kreatif, budaya dan pariwisata, yang cukup potensial untuk mendatangkan para investor agar mau menanamkan modal di sektor tersebut. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ikut memeriahkan PKA ke-VII melalui sektor budaya yang diisi oleh tiga Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) yang tergabung dalam satu stand, yaitu BPNB Aceh, BPNB Sumatera Barat, dan BPNB Jawa Barat.

Banyak pengunjung yang tertarik untuk melihat stand kemdikbud yang bernuansa sejarah dan budaya. Salah satu daya tarik pengunjung yaitu adanya koleksi topeng, wayang golek, dan angklung yang dibawa oleh BPNB Jabar. Dari hasil pengamatan, banyak di antara pengunjung nampaknya ada yang belum mengetahui sama sekali bentuk nyata dari topeng, wayang golek, dan angklung sehingga mereka sangat ingin memegang dan memainkan peralatan seni tersebut. Pengunjung yang ingin mencoba tidak hanya terbatas dari usia anak-anak melainkan juga dari usia dewasa.

Tidak sedikit juga dari mereka yang mencoba untuk berfoto bersama dengan sosok cepot ataupun arjuna. Rasa kegembiraan dan kesenangan tersirat dari wajah mereka setelah sesi foto selesai dilaksanakan.

Begitu juga halnya dengan alat musik angklung. Suara angklung yang dimainkan oleh panitia mengundang pengunjung untuk mencari tahu asal mula suara yang seolah terdengar asing bagi mereka. Penjelasan singkat dari panitia tentang cara memainkan angklung disambut antusias dan menambah keingintahuan pengunjung untuk segera mencoba memainkan angklung.
Sekilas kesan yang disampaikan dari aksi pengunjung tersebut di atas tampak biasa saja dan kurang lebih sama dengan yang terjadi pada pengunjung yang tertarik pada stand lainnya pada PKA ke-VII. Namun demikian, ada hal menarik yang hendak disampaikan dalam aksi pengunjung di stand Kemdikbud ini. Sosok Cepot, Arjuna, dan alat musik angklung adalah identik berasal dari masyarakat Sunda yang ikut dipamerkan dalam ajang pameran Aceh Axpo. Ada kesan positif dari masyarakat Aceh selaku pengunjung pameran terhadap peralatan seni dari masyarakat Sunda. Hal ini kemudian menjadi sebuah pemikiran tersendiri mengingat adanya persepsi dari sebagian masyarakat yang memandang masyarakat Aceh terkesan ekslusif. Apalagi setelah dikeluarkannya Qanun nomor 8 Tahun 2014 yang berisi di antaranya tentang syariat Islam dan otonomi kepemimpinan selaku daerah istimewa. Ditambah lagi dengan faktor sejarah yang memberikan kesan bahwa masyarakat Aceh sebagai sebuah masyarakat yang menutup diri karena dilatarbelakangi karakter budaya heroik bercampur dengan unsur keislaman yang kuat.
Dengan adanya satu sisi gambaran keingintahuan dan ketertarikan pengunjung di stand pameran kemdikbud tersebut setidaknya menandakan bahwa masyarakat Aceh tidaklah seperti apa yang dipersepsikan. Sisi keterbukaan masyarakat Aceh terhadap karya budaya lain setidaknya menyiratkan bahwa mereka bukan sebagai masyarakat yang menutup diri. Unsur keislaman yang dikelola melalui perilaku budaya Aceh terformulasi menjadi sebuah kearifan lokal untuk menghormati kebhinekaan yang memang menjadi ciri khas Bangsa Indonesia.