Seni Gaok
Oleh:
Nina Merlina
(Balai Arkeologi Provinsi Jawa Barat)
Salah satu jenis kesenian yang ada di Kabupaten Majalengka adalah seni Gaok. Seni Gaok berkembang sejak Abad XV di era Pemerintahan Pangeran Muhammad. Seni Gaok merupakan ciri khas kesenian dari Majalengka, Jawa Barat. Sementara tokoh yang berperan mengembangkan kesenian Gaok di antaranya adalah Sabda Wangsaharja sekitar tahun 1920-an di Kulur, Majalengka.
Gaok merupakan kesenian jenis mamaoas (membaca teks) atau disebut juga wawacan, dari kata wawar ka nu acan (memberi tahu kepada yang belum mengetahui) seni gaok biasa disuguhkan untuk keperluan ritual atau upacara adat. Kata Gaok berasal dari kata “gorowok” artinya berteriak. (Disbudpar Majalengka, 2012).
Suara Melengking
Gaok dibawakan dengan cara memaparkan cerita babad tanpa iringan musik. Jika sekarang terdapat penambahan alat musik, itu hanya digunakan sebagai pembuka saja, tidak digunakan untuk mengiringi mamaos atau gaok secara keseluruhan. Adapun alat musik hanya digunakan sebagai alat jeda atau sebagai penyelang saja.
Gaok dimainkan oleh empat sampai enam orang pemain laki-laki. Baju yang digunakan adalah baju kampret atau toro, lengkap dengan ikat. Berbeda dengan nyanyian pupuh lainnya, seni Gaok memiliki ciri khas pada suara melengking (nga-Gaok) dan saling balas alukan komentar atau improvisasi suara) yang dilakukan oleh beberapa orang tersebut.
Dalam pementasannya atau dalam pertunjukannya, seni gaok lebih sering dibawakan tanpa panggung dengan membawakan suatu cerita (babad) yang dibaca dari suatu buku yang disebut wawacan (bacaan) yaitu cerita yang ditulis dalam puisi tradisional berbentuk pupuh, seperti misalnya pupuh kinanti, sinom, asmaranadana, dangdanggula, maskumambang, magatruh, dan lain-lain yang dalam vokabuler sunda berjumlah 17 pupuh.
Satu wawacan atau satu (episode) cerita yang berdiri sendiri secara utuh, mungkin memakai seluruh 17 pupuh, atau mungkin pula hanya sebagian saja, umumnya memiliki balasan jenis pupuh. Ada 4 pupuh yang selalu ada, yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdangggula yang karena itu pula dalam dunia sastra Sunda disebut pupuh besar, disingkat KSAD (Disbudpar Majalengka,2012).
Cerita dalam pergelaran seni gaok di antaranya adalah, Cerita Umar Maya, Sulanjana, Barjah, Samun. Kini, bahan cerita gaok sudah ada yang ditulis, di antaranya; Nyi Rambutkasih, dan Talagamanggung yang ditulis oleh E. Wanhsadihardja (alm) yang merupakan keturunan langsung Sabda Wangsahardja.
Ada beberapa seniman gaok, salah satunya adalah Bah Rukmin. Bah Rukmin, adalah salah seorang seniman seni Gaok, yang sekarang merupakan juru Gaok terakhir di Kabupaten Majalengka. Bah Rukmin tinggal di Kampung Tari Kolot, Desa Kulur, Kecamatan Majalengka. Bah Rukmin adalah murid langsung dari seniman Gaok yaitu Sabda Wangsahardja. Ia telah menjadi juru Gaok sejak tahun 1963. Pada mulanya ia belajar membaca wawacan yang ditulis dalam huruf Pegon. Kemudian ia diajar membacakan atau menyanyikan dengan langgam pupuh.
Sumber:
Asikin Hidayat, dkk. 2017. Profil Kesenian Daerah Kabupaten Majalengka. Majalengka. Disparbud Kabupaten Majalengka.