Dogdog Lojor, Kesenian Tradisional Kabupaten Lebak, Provinsi Banten

You are currently viewing Dogdog Lojor, Kesenian Tradisional Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
dogdog lojor merupakan kesenian tradisional kabupaten lebak provinsi banten.

Dogdog Lojor, Kesenian Tradisional Kabupaten Lebak, Provinsi Banten

Seni Dogdog Lojor dikenal oleh masyarakat Baduy dengan Nama Angklung Buhun

Baduy merupakan nama dari salah satu masyarakat adat, yang masih ada dan bertahan di wilayah Provinsi Banten. Untuk menuju kesana, kita harus melalui jalan darat, yaitu melalui rangkasbitung, kecamatan lewi damar, dan Ciboleger.
Rangkasbitung merupakan kota kecamatan di Kabupaten Lebak yang sudah ada semenjak jaman penjajahan Belanda.Sebelum memasuki wilayah kota. Kita harus melalui dua sungai besar. Yaitu, Ci ujung dan Ciberang. Di tengah kota. Kita akan melihat sebuah tata letak, yang masih sama dengan jaman penjajahan Belanda. Yaitu, dengan adanya alun-alun, masjid, dan pendopo yang menjadi pusat kota. Meninggalkan Rangkas Bitung. Kita kemudian mengarah ke Ciboleger melalui kota Kecamatan Lewi Damar. Jalan dari Lewi Damar menuju Ciboleger cukup sempit. Disertai dengan kondisi jalan yang berlubang. Walaupun demikian. Pemandangan yang cukup indah di sepanjang perjalanan, dapat menjadi hiburan bagi mereka yang hendak menuju Ciboleger.
Memasuki gerbang yang bertuliskan kampung wisata baduy. Menandakan bahwa, kita telah sampai di Ciboleger. Lokasi ini merupakan sebuah terminal angkutan umum. Di tengah terminal, terdapat sebuah monumen sepasang suami isteri dan dua orang anak, dengan mengenakan, pakaian adat baduy. Terdapat juga, warung-warung di sekeliling terminal, yang menjual berbagai makanan kecil, dan suvenir khas baduy.
Lokasi pemukiman masyarakat baduy terletak di wilayah yang terdiri dari bukit dan lembah yang curam, dengan ketinggian antara 500 sampai dengan 1200 meter di atas permukaan laut. Kondisi tersebut, membuat keadaan tanah, selalu basah, lembab, dan berlumut. Upaya untuk menjangkau lokasi pemukiman menjadi persoalan tersendiri. Karena, adanya adat yang melarang segala jenis kendaraan, dipergunakan di wilayah pemukiman. Apalagi, jarak antar kampung yang saling berjauhan. Membuat, perjalanan menjadi semakin sulit.
Aktivitas keseharian. Yang tampak dari kehidupan masyarakat baduy, bukan hanya terfokus, pada segi mata pencaharian saja. Kesenian tradisional. Merupakan salah satu bentuk aktivitas, yang, tidak kalah menarik untuk dilihat. Salah satunya adalah dogdog lojor.
Apakah anda tahu, dan pernah mendengar kesenian tradisional tersebut?
Mungkin. Sebagian besar, belum pernah mendengar nama kesenian tradisional tersebut. Namun. Apabila ada pertanyaan tentang kesenian tradisional angklung, tentunya, sebagian besar sudah mengenalnya. Sebenarnya. Kesenian tradisional dogdog lojor dan angklung, khususnya pada masyarakat baduy, memiliki beberapa kesamaan.
Dogdog lojor, merupakan salah satu kesenian tradisional yang hingga kini masih dipertahankan oleh masyarakat baduy yang berada di Desa Kanekes, Kecamatan Lewi Damar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Nama Dogdog lojor diberikan, oleh masyarakat umum, karena terfokus, pada tiga buah alat musik tetabuhan dalam kesenian tersebut. Sementara, alat kesenian lainnya, yang jumlahnya lebih banyak, adalah dari alat seni angklung. Tiga alat musik tersebut oleh masyarakat baduy sebenarnya bukan bernama dogdog lojor, tetapi bernama bedug, talingtit, dan ketug.
Dogdog lojor memang hampir mirip dengan kedua alat seni tradisional tersebut. Karena, penamaan dogdog disebabkan suara yang dihasilkan mengeluarkan bunyi dogdog. Sementara itu. Lojor berarti panjang. Sebuah nama yang diambil dari ukuran peralatan seni tradisional tersebut yang memiliki panjang sekitar 50 hingga 60 sentimeter.
Penamaan dogdog lojor oleh masyarakat umum disebabkan, seni angklung sudah begitu banyak bertebaran di seantero jawa barat. Sehingga, dipilihlah nama dogdog lojor, sebagai nama kesenian tradisional tersebut. Sementara itu. Masyarakat Baduy menamakan kesenian tradisional tersebut dengan nama angklung. Dan, tidak ada nama lain di belakang nama kesenian tersebut.
Belakangan, untuk mem beda kan seni angklung dari Baduy dengan kesenian angklung lainnya, maka, ditambah satu kata lagi, di belakang nama angklung tersebut. Yaitu buhun. Yang berarti kuno atau lama. Sehingga. Kesenian tersebut bernama angklung buhun.
Kesenian Angklung Buhun merupakan kesenian angklung khas masyarakat baduy, yang dibentuk sedemikian rupa. Sehingga, menimbulkan nada-nada yang harmonis. Kesenian tersebut memiliki karakter kesenian yang sederhana, baik dalam lirik, maupun lagunya. Biasanya. Suara yang dihasilkan, menggambarkan suara alam sekitar. Sehingga menciptakan, suasana yang nyaman, damai dan harmonis.
Dinamakan buhun. Karena, kesenian tersebut sudah ada sejak lama sekali. Yaitu sekitar, 18 abad yang lalu. Dan, telah dimainkan oleh 7 generasi. Tidak mengherankan. Apabila kesenian ini mengandung nilai-nilai sakral dan kekuatan gaib.
Kekuatan gaib yang dimaksud adalah, berupa ajakan, pemberitahuan, peringatan, penerangan, dan, larangan untuk para petani. Selain itu. Gerak, lirik dan lagu yang dimainkan, juga mengandung nilai-nilai untuk meningkatkan persatuan, kebersamaan, ketahanan dalam setiap langkah dan gerak untuk menuju kesejahteraan.
Kesenian angklung buhun, tidak sembarang waktu, dapat dimainkan. Kesenian ini hanya dapat dimainkan satu tahun sekali. Yaitu, pada bulan ke tujuh dari kalender masyarakat baduy. Tepatnya, pada upacara tanam padi. Upacara tanam padi. Yaitu, suatu upacara, yang bertujuan untuk mengawinkan Dewi Sri, yang dilambangkan sebagai benih padi. Dengan guru bumi, atau tanah. Dalam upacara tersebut, kesenian ini dimainkan dengan menggunakan tema sakral. Namun. Untuk tema yang bukan sakral, kesenian ini dapat dimainkan kapan saja. Tetapi, harus berada di luar wilayah baduy. Sementara itu. Ada satu waktu yang tidak boleh untuk melakukan aktivitas keseharian. Termasuk diantaranya, berlatih angklung. Yaitu, yang dinamakan, kawalu.
Pemain kesenian angklung buhun, harus laki laki. Adapun jumlah pemainnya sebanyak 12 o rang. Terdiri dari 9 orang pemain angklung, dan, 3 orang pemain bedug. Peralatan kesenian berjumlah 12 unit. Terdiri dari 3 unit bedug dan 9 unit angklung.
Adapun 3 unit bedug masing-masing terdiri dari. Satu unit bedug dengan panjang 60 sentimeter, diameter 40 sentimeter. Satu unit talingtit dengan panjang 50 sentimeter, diameter 30 sentimeter. Dan, Satu unit ketug dengan panjang 50 sentimeter, diameter 25 sentimeter. Sementara itu. Sembilan unit angklung, masing-masing terdiri dari. Satu angklung Indung, Satu angklung Ringkung, Satu angklung Gimping, Satu angklung Dongdong, Satu angklung Engklok, Satu angklung Indung letik, Satu angklung Tro lok. Dan, dua angklung Reyol.
9 unit angklung memiliki tinggi antara nol koma enam puluh meter sampai dengan satu koma dua puluh meter. Perbedaan panjang tersebut disertai dengan perbedaan besar kecil ukuran bambu. Sementara. Tinggi angklung berbeda 10 cm sampai dengan 15 cm, pada tiap unit angklung. Sebagai syarat. Pada setiap angklung, ujung bambu penahannya, dipasang daun pelah, sebanyak 7 sampai dengan 9 helai. Hal tersebut sekaligus, menjadikan peralatan kesenian angklung buhun sangat khas. Dan, berbeda dengan jenis angklung lainnya.
Tiap unit angklung memiliki makna dan ciri khas tertentu. Seperti, angklung indung, menggambarkan suara katak. Angklung trolok, menggambarkan suara air. Sedangkan, angklung reyol satu, dan reyol dua, lebih bersifat sebagai nada dasar. Angklung ringkung dan gimping menggambarkan, suara hujan dan suara angin. Untuk suara air mengalir, diperdengarkan oleh suara yang dihasilkan angklung engklok dan angklung letik. Sementara. Suara unggas ada pada angklung dongdong. Adapun fungsi, atau suara, dari 3 unit bedug adalah, sebagai penghentak nada, dan mempertegas irama secara keseluruhan.
Busana yang digunakan dalam pertunjukan angklung buhun. Di dominasi oleh warna hitam. Hal ini merupakan, sebuah cerminan kepercayaan masyarakat baduy, terhadap warna hitam. Yaitu, sebagai simbol bumi. Dan, warna putih sebagai simbol langit. Selain busana. Para pemain juga mengenakan iket, kain sarung, dan koja, serta tanpa alas kaki.
Pertunjukan kesenian angklung buhun, terbagi kedalam tiga tahap. Yaitu, tahap sebelum, tahap pelaksanaan, dan, tahap setelah pertunjukan berakhir. Sebelum pertunjukan dimulai. Kuncen melakukan upacara khusus untuk mengambil, atau mengeluarkan angklung, dari tempatnya. Setelah itu. Angklung kemudian dibagi-bagikan kepada para pemain, dan dibawa ke lokasi pertunjukan. Di tempat pertunjukan, angklung dikumpulkan ditengah-tengah tempat pertunjukan bersama pemain dan sesajen.
Setelah semua siap. Kuncen yang sebelumnya sudah berpuasa tiga hari tiga malam. Kemudian, memulai acara ini, dengan terlebih dahulu, membakar kemenyan. Saat pertunjukan. Para pemain membentuk formasi lingkaran. Setelah itu, para pemain berjalan melingkar, sesuai arah jarum jam.
Sambil memegang peralatan kesenian. Mereka menari sambil menyanyikan lagu-lagu khas angklung buhun, seperti : Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, dan Rangda Ngendong
Sebagai selingan. Terdapat atraksi adu kekuatan, yang dimainkan oleh dua orang pria. Mereka saling ber adu badan, dengan sekuat tenaga. Sampai, salah satu di antaranya ada yang jatuh tersungkur. Hal seperti itu dilakukan berulang kali. Hingga, batas kekuatan masing-masing pemain. Pertandingan adu kekuatan berakhir, setelah salah seorang menyerah kalah. Dengan berakhirnya permainan tersebut, maka, berakhir pula pertunjukan kesenian tradisional, angklung buhun.
Masyarakat Baduy tidak pernah peduli tentang adanya upaya klaim musik angklung oleh pihak lain. Bagi mereka, pelaksanaan kehidupan sosial dan adat istiadat dapat terus bertahan. Demikian juga dengan pertunjukan kesenian tradisional angklung buhun yang tidak boleh terlewatkan karena telah menjadi bagian dalam pelaksanaan upacara tradisional.

Sumber: Nina Merlina, dkk. Dogdog Lojor, Kesenian Tradisional di Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Laporan Perekaman Kebudayaan dan Kesejarahan. Bandung: BPNB Jawa Barat, 2016