Wilayah Lampung merupakan pintu gerbang menuju ke wilayah Sumatera. Wilayah ini menjadi jalur lalu lintas perdagangan dan ekonomi antara Jawa dan Sumatera. Kondisi ini kemudian membuat wilayah ini ramai akan aktivitas ekonomi dan perdagangan. Dalam kegiatan dan aktivitas ekonomi pada masa sekarang ini, Provinsi Lampung tidak saja berperan sebagai jalur transportasi perdagangan, wilayah ini juga kaya akan sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Kondisi wilayah pedalaman yang luas dan subur menjadikan Lampung dikenal sebagai salah satu pusat dari perkebunan karet, kopi, buah-buahan, palawija, aren, kelapa sawit, dan tebu termasuk juga dengan berbagai industri pengolahan dari produk-produk perkebunan tersebut. Di samping itu sektor pertambangan juga menjadi andalan pemasukan daerah bagi Provinsi Lampung, terutama jenis pertambangan batu bara (BPS Lampung, 2015: 178-179, 264).
Aktivitas perdagangan maritim di Provinsi Lampung ditunjang oleh keberadaan dua pelabuhan utama di provinsi ini yakni Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Bakauheni. Keberadaan Pelabuhan Bakauheni dan Pelabuhan Panjang menjadi sarana penting dalam aktivitas dan lalu lintas perdagangan regional di wilayah ini. Kedua pelabuhan ini menjadikan Lampung sebagai salah satu pusat aktivitas ekonomi penting di wilayah Sumatera. Pelabuhan Bakauheni merupakan penghubung lalu lintas antara Jawa dan Sumatera. Kesibukan lalu lintas angkutan darat baik barang maupun penumpang antar kedua pulau ini nampak jelas dalam keseharian lalu lintas di Pelabuhan Bakauheni. Pelabuhan Panjang sendiri lebih banyak digunakan sebagai terminal perdagangan regional dan internasional terutama untuk komoditas ekspor (Pelindo II, 2012: 82; BPS Lampung, 2015: 288).
Ramainya aktivitas ekonomi dan perdagangan di Provinsi Lampung tidak hanya berlangsung pada masa kini. Sebelumnya pada masa kolonial, Lampung juga telah memainkan peran penting sebagai salah satu pemasok kebutuhan sumber daya alam bagi perkembangan ekonomi Hindia Belanda. Berdasarkan catatan J.W.J. Wellan wilayah Karesidenan Lampung ketika itu merupakan penghasil utama bagi komoditas lada, kemenyan, kopi, kayu hasil hutan, kopra, dan rotan (Wellan, 1932: 223). Pada tahun 1912 wilayah Karesidenan Lampung bahkan mencatat total panen untuk produksi lada sebesar 13 ribu ton dari total seluruh panen lada di Hindia Belanda yang sebesar 16 ribu ton. Hal ini berarti Lampung memasok sekitar lebih dari 70 persen komoditas lada di Hindia Belanda (Mededeelingen, 1914: 114). Jumlah produksi lada di wilayah Karesidenan Lampung ini menunjukan catatan yang menarik bahwa Lampung memang telah lama memainkan peran penting dalam perkembangan ekonomi di Hindia Belanda. Hal ini pun ditambah dengan catatan mengenai perbaikan dan pembangunan sarana transportasi di lampung pada masa kolonial. Pengembangan dan perbaikan jalur jalan raya lintas timur Sumatera serta pembangunan jalur kereta api dari Teluk Betung (Lampung) hingga Muara Enim (Sumatera Selatan) pada tahun 1912 tentunya menjadi petunjuk dari tingginya tingkat aktivitas ekonomi di wilayah Lampung (De Graaf dan Stibbe, 1918, Tweede Deel: 513, 705, 712).
Permasalahan
Salah satu kota penting yang terdapat di wilayah Lampung pada masa kolonial adalah Teluk Betung (Telok Betong). Sebelum hadirnya Pelabuhan Bakauheni pada Tahun 1980 (Rijal, 2011: 71), Kota Teluk Betung Betung merupakan pusat dari seluruh aktivitas ekonomi di wilayah Lampung. Di samping itu Kota Teluk Betung juga merupakan ibu kota Karesidenan Lampung sejak berakhirnya perang Lampung pada tahun 1857.
Sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan aktivitas kehidupan masyarakat tentunya kota in memiliki makna penting dalam alur sejarah perkembangan wilayah Lampung pada masa kolonial. Berdasarkan pemaparan tersebut maka kajian ini akan membahas mengenai:1) Bagaimanakah perkembangan Kota Teluk Betung pada masa kolonial?; 2) Bagaimanakah pengaruh Pelabuhan Teluk Betung bagi pertumbuhan dan perkembangan Kota Teluk Betung?; 3) Bagaimana bentuk dan gambaran dari aktivitas ekonomi dan perdagangan di wilayah Teluk Betung pada periode 1856 hingga 1930?
Tujuan
Kajian mengenai wilayah Lampung selama ini belum mendapatkan tempat yang berarti dalam kajian historiografi di Indonesia. Masih sedikit pembahasan terhadap berbagai aspek yang terkait dengan perkembangan sejarah di wilayah Lampung. Letak Lampung yang strategis sebagai pintu gerbang Sumatera telah menjadikan wilayah ini memainkan peran sentral dalam arus transportasi dan perdagangan di wilayah Sumatera. Hal ini tentunya merupakan suatu pembahasan yang menarik terutama dalam membahas salah satu kota penting yang terdapat di wilayah ini yakni dalam pembahasan mengenai “Perkembangan Teluk Betung Pada Periode 1857 Sampai 1930”. Diharapkan kajian ini juga dapat menjadi satu langkah dalam menambah referensi penulisan sejarah mengenai wilayah Lampung.
Ruang Lingkup
Kajian ini memulai pembahasannya pada tahun 1856. Tahun ini merupakan masa akhir dari rangkaian panjang Perang Lampung yang pecah sejak tahun 1818. Konsolidasi dan penegakan kembali kekuatan kolonial di wilayah Lampung oleh Belanda membuat wilayah ini kembali bergeliat dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan. Penegakan kembali supremasi politik kolonial kemudian diikuti dengan perluasan perkebunan lada serta tanaman ekspor lain telah menjadikan Lampung sebagai salah satu penghasil sumber daya ekonomi bagi Hindia Belanda. Kemunduran ekonomi Hindia Belanda yang dimulai pada tahun 1930 akibat resesi ekonomi turut menghantam pondasi utama sumber daya ekonomi Lampung yang sangat ditunjang oleh perdagangan komoditas tanaman lada serta berbagai tanaman produksi lain. Rentang periode antara 1856 hingga 1930 juga merupakan rentang periode yang menarik untuk melihat bagaimana pemerintah kolonial Belanda mengelola daerah yang telah kehilangan potensi ekonominya untuk kembali menjadi salah satu penghasil utama pendapatan ekspor pemerintah kolonial Belanda. Pemilihan periode ini juga didasari oleh melimpahnya sumber dan data mengenai dinamika ekonomi Lampung yang menunjang penulisan terhadap kajian ini. Wilayah Kota Teluk Betung merupakan ruang kajian yang akan menjadi pokok pembahasan. Potensi ekonomi Teluk Betung yang sangat ditunjang oleh perkebunan kopi dan lada, keberadaan stasiun kereta api dan pelabuhan, serta dinamika sosial dan ekonomi masyarakat merupakan pembahan yang menarik dalam melakukan rekonstruksi terhadap perkembangan Kota Teluk Betung pada masa kolonial ini.
Metode Penelitian
Kajian menggunakan metodologi sejarah yakni yang terdiri dari susunan pemilihan tema, penelusuran sumber data, verifikasi dan kritik sumber data, setelah itu baru kemudian dilakukan penulisan terhadap kajian ini. Sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan kajian ini menggunakan berbagai literature yang terdiri dari artikel, dokumentasi, laporan dan survey baik oleh intasi pemerintah, individu, maupun lembaga non pemerintah yang terkait dengan tema kajian ini.
Beberapa sumber milik pemerintah kolonial antara lain Koloniaal Verslag serta laporan-laporan yang dkeluarkan oleh Department van Binneland Bestuur, Department van Kolonien, dan Department of Public Works pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Penggunaan sumber-sumber dari arsip pemerintah ini sangat penting dalam melihat alur pembangunan infrastruktur dan upaya pemerintah kolonial dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini.
Sumber:
G. Andika A.,dkk. “Perkembangan Kota Teluk Betung
pada Periode 1857 Sampai 1930”,
Laporan Penelitian, Bandung: BPNB Jabar, 2018