Toleransi dalam Keragaman pada Masyarakat Kota Tangerang

You are currently viewing Toleransi dalam Keragaman pada Masyarakat Kota Tangerang

Toleransi dalam Keragaman pada Masyarakat Kota Tangerang

Gedung bertingkat di wilayah Kota Tangerang

Manusia sebagai makhluk sosial mustahil hidup dalam kesendirian. Ia butuh manusia lain untuk bersosialisasi atau melakukan aktivitas sebagaimana nalurinya. Manusia lain itu dapat ditafsirkan tidak terbatas pada manusia yang berada di sekitarnya, melainkan pula manusia lain yang berada di luar wilayahnya.
Setiap manusia memiliki dan membawa sifat-sifat khasnya, baik ciri individual maupun kelompok yang semuanya itu dipengaruhi oleh kondisi alam lingkungan atau geografisnya. Hal itu kemudian melahirkan sebutan masyarakat pegunungan, masyarakat maritim, masyarakat pedalaman nelayan, masyarakat kota dan seterusnya. Di samping itu muncul pula penyebutan berdasarkan rasa atau suku yang menurut George Cuvier (Syam,2008: 45), terdapat tiga ras yang menghuni dunia ini. Kaukasoid menghuni Benua Eropa, Mongoloid menghuni Benua Asia dan Negroid menghuni Benua Afrika.
Manusia dengan berbagai suku bangsa, tidak bisa tidak, baik sebagai individual maupun komunal akan berhadapan dengan keanekaragaman itu. Bentuknya dapat berupa suku bangsa (etnis), budaya, bahasa, agama dan kepercayaan, adat-istiadat dan hal lain yang menjadikan berbeda antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain lingkungan manusia sarat dengan perbedaan yang dibingkai dalam keragaman budaya dan agama.
Keragaman -apapun bentuknya- akan membawa dampak positif dan negatif. Hal itu sangat bergantung kepada “cara” masing-masing setiap suku bangsa beradaptasi. Dampak positif yang ditimbulkannya adalah menjadi kekuatan tak terbatas dalam membangun di berbagai aspek kehidupan. Namun demikian, kerusakan yang ditimbulkan pun tak urung bak sebuah bom atom. Keragaman menjadi alat penghancur bagi tatanan kehidupan manusia itu sendiri. Jadi, mengubah keragaman menjadi sebuah daya kekuatan maha dasyat masih diperlukan perekat yang dapat diterima oleh semua suku bangsa. Perekat yang dimaksud adalah toleransi. Toleransi dalam bahasa sederhana berarti saling menghargai menjadi alat efektif untuk meredam gejolak yang timbul manakala seseorang berhadapan dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan atau harapannya.

Mesjid Kota Tangerang

Penyandingan kata “keragaman” dan “toleransi” menjadi dua buah kata yang tidak dapat dipisahkan merupakan langkah tepat. Seolah-olah sebuah “hukum kausalitas”, sebab-akibat. Keragaman sebagai penyebab dan toleransi menjadi akibat; dalam pengertian sesuatu yang dihasilkan dari adanya sebab itu.
Permasalahan yang muncul biasanya bukan pada tataran keragaman, melainkan dalam tataran toleransi. Keragaman adalah sunatulah, tidak dapat dihilangkan apalagi diabaikan. Justru yang mesti dikaji adalah dari segi toleransi.
Kota Tangerang berdasarkan sensus penduduk tahun 1905 dan 1930, telah dihuni oleh masyarakat dari berbagai etnik. Tidak diketahui etnik mana yang menjejakkan kakinya pertama kali di sini. Beberapa etnik yang menempati Kota Tangerang sejak saat itu adalah etnik Sunda, Jawa, Betawi, Cina, Arab dan Eropa (http://www.kotatangerang.gov.id). Keragaman suku bangsa (etnik) tersebut tentu saja membawa konsekuensi logis bagi perkembangan Kota Tangerang itu sendiri. Enam suku bangsa berada dalam satu wilayah dan satu pemerintahan apakah tidak akan menimbulkan masalah? Sekurang-kurangnya hegemoni atau dominasi atas suku bangsa lain akan muncul. Akibatnya adalah pertikaian atau kecemburuan sosial yang dapat mengganggu kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Di sinilah pentingnya perekat yang disebut toleransi. Oleh karena itu masalah yang muncul adalah: 1) Apa arti dan makna toleransi menurut masyarakat ?; 2)Bagaimana wujud atau bentuk toleransi itu ?
Dua masalah di atas sesungguhnya tidak terlepas dari bentuk keragaman itu sendiri. Secara umum bentuk keragaman yang sering menjadi bahan pembicaraan adalah keragaman budaya dan keragaman agama. Kedua keragaman tersebut memerlukan penanganan tersendiri sesuai dengan bidangnya masing-masing. Oleh karena itu, lingkup penelitian ini bertumpu pada keragaman budaya karena sesuai dengan kapasitas para peneliti di bidang kebudayaan.
Hal lain yang perlu dibatasi lingkup penelitiannya adalah wilayah penelitian. Wilayah penelitian hanya mencakup Kota Tangerang dan sekitarnya. Hal tersebut didasarkan pada sifat masyarakat kota yang heterogen, majemuk, sehingga kompleksitas masalah beragam, termasuk di dalamnya mengenai keberagaman dan toleransi antara sesama.
Tujuan penelitian merujuk pada permasalahan utama yaitu membangun persepsi masyarakat atas kesamaan hak dan kewajiban tanpa perbedaan apa pun. Namun demikian, secara khusus penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu: 1) Memahami persepsi masyarakat (Tangerang) atas arti dan makna toleransi dalam hubungannya dengan keberagaman budaya; 2) Mengetahui bentuk atau wujud toleransi dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dijadikan model dan diterapkan di tempat lain.

Sumber:
Agus Heryana dkk, “Toleransi dalam Keragaman
Pada Masyarakat Kota Tangerang Provinsi Banten”,
Laporan Penelitian, Bandung: BPNB Jabar, 2018.