Penelitian Sejarah, Sumber Langka dan Kelangkaan Sumber

Penelitian Sejarah, Sumber Langka dan Kelangkaan Sumber

  • Post author:
  • Post category:Artikel

PENELITIAN SEJARAH, SUMBER LANGKA DAN KELANGKAAN SUMBER

(Makalah Disampaikan pada Bimbingan Teknis Penelitian dan Penulisan Laporan Kebudayaan, di Hotel Augusta Garut, tanggal 18 – 19 Februari 2009)

Drs. Yuzar Purnama

(Staf Peneliti BPSNT Bandung)

I

 

Penelitian ilmiah dalam bidang sejarah Indonesia yang menggunakan sumber-sumber (tertulis) yang tergolong langka tampaknya masih belum berkembang – terutama yang dilakukan oleh peneliti Indonesia. Boleh jadi, hal itu disebabkan antara lain oleh sifat langka yang melekat pada sumber penelitian itu sendiri. Di sini, kelangkaan itu dipahami bukan saja jarang atau sukar diperoleh, tetapi juga unik, bahkan eksekutif. Jadi, sumber langka adalah sumber yang unik sekaligus sukar diperoleh koleksinya. Dengan kata lain, pada sumber langka melekat (inherent) kelangkaan. Juga menjadi jelas bahwa jangkauan peredaran sumber langka bersifat terbatas karena umumnya tidak digandakan secara masih melalui mesin cetak ataupun media transmisi lainnya.

Selain itu, biasanya – meskipun tidak selalu – sumber langka menyangkut kurun masa yang sangat “tua” sehingga terentang jarak waktu yang jauh dengan masa hidup penelitinya. Segera dapat diidentifikasi bahwa yang tergolong sumber langka adalah naskah-naskah kuno atau manuskrip yang ditulis tangan. Banyak ditemukan naskah-naskah itu berasosiasi dengan “masa klasik” kerajaan tempo dulu. Dalam khazanah (ilmu) sejarah, penggolongan sumber langka diperluas dengan memasukkan kronikel, catatan harian, dokumen keluarga, memoar, arsip/dokumen resmi; juga sumber-sumber tidak tertulis seperti customs, folklor, bahkan mishmash sihir dan mitos (lihat Tosh 1987; Marwick dalam Kozicki [ed.] 1998).

Tidak terbantahkan pula bila penelitian sejarah yang bersandar pada sumber-sumber langka membawa tantangan tersendiri bagi penelitinya. Risalah ringkas ini mencoba membahas sumber langka dan/atau kelangkaan sumber sebagai aspek masalah historiografis, khususnya dalam penelitian sejarah. Pertanyaan pokoknya ialah apa implikasi sumber langka dan/atau kelangkaan sumber bagi penelitian sejarah. Beberapa karya penelitian yang disebut dalam tulisan ini sekedar sebagai ilustrasi pendukung untuk memperoleh gambaran situasinya secara lebih jelas.

 

II

 

Pada awal perkembangannya, penelitian dan penulisan sejarah boleh dikata tidak bersifat ilmiah. Cara kerja para penulis sejarah masih terbatas pada usaha menemukan sumber sejarah berupa buku-buku kuno ataupun surat-surat resmi dan berbagai laporan. Dokumen-dokumen itu dibaca oleh penelitinya untuk kemudian dikutip bagian-bagian yang sesuai dengan tema sejarah yang akan ditulis. Tidak ada usaha mengkaji sumber-sumber sejarah itu; temanya pun biasanya terbatas mengenai riwayat hidup orang-orang penting, kejayaan dan kejatuhan kerajaan, peperangan dan diplomasi antar-kerajaan. Singkat kata, tema umum penulisan sejarah pada masa-masa itu cenderung pada aspek politik dan militer.

Perubahan dalam cara-cara penulisan sejarah terjadi mulai abad ke-17. Suasana budaya yang berciri perkembangan ilmu pengetahuan alam serta sikap intelektual yang kritis muncul di kalangan penulis sejarah. Seorang sarjana Prancis, Jean Mabillon (1632-1707), dipandang sebagai peletak dasar ilmu sejarah yang disebut diplomatika- sesuai judul buku yang ditulisnya, De re diplomatica (1681). Para sejarawan mulai menemukan berbagai cara untuk mengkaji dokumen atau sumber sejarah secara kritis sehingga dapat menghasilkan penulisan sejarah yang mendekati kebenaran. Selain itu, sejarawan Leopold von Ranke (1795-1815), memperkenalkan prinsip seleksi kritis atas data sejarah untuk menetapkan fakta berdasarkan pedoman wie es eigentlich gewesen, sejarah sebagaimana sesungguhnya terjadi (Barnes, 1963).

Kini, secara umum, perkembangan metode ilmiah dalam ilmu sejarah boleh dikata makin berkembang. Hal itu tidak terlepas dari diterimanya sejarah sederajat dengan ilmu-ilmu lain dan menjadi bagian dari kurikulum perguruan tinggi di berbagai negara setidaknya sejak abad ke-19. Pada dasarnya, metode penelitian sejarah menyangkut tiga hal penting. Pertama, mengenai cara-cara menemukan sumber sejarah, yang juga lazim disebut heuristik. Para peneliti sejarah masa kini boleh dikata “diuntungkan” oleh berdirinya lembaga/instansi pemerintah dan swasta yang berfungsi sebagai tempat menyimpan sumber sejarah, seperti perpustakaan nasional/daerah, kantor arsip nasional/daerah, pusat-pusat penelitian, dan sebagainya. Sistem untuk menemukan sumber sejarah juga sudah dirancang, ditunjang oleh tenaga staf yang berpengalaman atau terdidik secara profesional ditambah sistem teknologi informasi yang canggih. Meskipun demikian, proses menemukan sumber sejarah – apabila yang tergolong langka – tetap merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena munculnya berbagai kendala.

Hal kedua, setelah sumber ditemukan, adalah mengkaji isi sumber itu. Seberapa jauh isi sumber itu bisa diterima sebagai keterangan yang dapat dipercaya. Untuk dapat mengorek keterangan yang terkandung dalam sumber diperlukan keahlian tersendiri, seperti diplomatika sebagaimana telah disebutkan; paleografi atau cara-cara memahami tulisan kuno; kronologi untuk mencocokkan penanggalan yang berlaku dulu dan sekarang; leksikografi atau cara menentukan arti istilah-istilah tempo dulu yang tidak lagi digunakan pada masa kini; numimastik berkaitan dengan cara menentukan nilai mata uang kuno; metrologi atau cara menentukan ukuran dan timbangan yang berlaku dalam zaman yang berbeda-beda; toponimi atau cara menentukan nama-nama tempat pada masa-masa lampau; dan sebagainya (Barnes, 1963).

Ketiga, berkaitan dengan penulisan hasil penelitian atas sumber-sumber tersebut. Penulisan tidak saja membutuhkan keterampilan menulis dan penguasaan kaidah bahasa, tetapi juga menyangkut pemahaman atas terminologi serta teori-teori tertentu yang relevan dengan tema sejarah yang diteliti. Pada umumnya, para ahli sejarah berpendapat bahwa kemahiran penelitian dan kemahiran penulisan hasil penelitian merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan (Leirissa [t.t.]).

Dari uraian singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek pertama dan kedua dalam metode sejarah berkaitan erat dengan sumber. Secara konvensional, sumber yang dimaksud adalah sumber primer – lebih khusus lagi yang bersifat tertulis. Pandangan dasarnya ialah sumber primer merupakan bagian dari bukti tentang masa lampau yang menjadi bahan sumber kajian, yang menjadi tumpuan apakah suatu peristiwa, kejadian, ataupun gejala sejarah dapat direkonstruksi (Lohanda, 1998). Seiring dengan perjalanan waktu, sumber primer makin lama makin jauh dengan masa hidup peneliti di kemudian hari – sehingga pada suatu ketika akan mengandung sifat langka pada sumber itu. Akan halnya aspek ketiga dari metode tersebut berkaitan erat dengan perkembangan teori dan metodologi – yang tidak akan dibicarakan dalam tulisan ini secara khusus.

 

III

 

Telah disebutkan bahwa penelitian sejarah yang bersandar pada sumber-sumber langka akan membawa tantangan tersendiri bagi penelitinya. Letak persoalannya ialah pada kenyataan bahwa kondisi fisik sumber-sumber tua tersebut umumnya sudah rapuh sehingga rawan untuk disentuh. Upaya memindahkan ke dalam bentuk lain (seluloida, disk) dapat membantu mengatasi kerentanan tetapi mungkin pula akan menimbulkan masalah baru, seperti ketergantungan pada alat baca, gagap teknologi, dan sebagainya. Setelah itu, kesulitan yang “sesungguhnya” akan muncul berkaitan dengan isi atau substansi, aksara dan bahasa yang mungkin tidak dikuasai sepenuhnya oleh peneliti. Persoalan bertambah rumit bila koleksi sumber langka tersebut tersimpan di tempat “tersembunyi” atau jauh dari domisili peneliti (bdk. Lohanda, 1998).

Tidak diragukan bahwa dalam sumber-sumber langka tersimpan berbagai keterangan masa lampau yang melimpah. Artinya, sumber yang langka tidak identik dengan kelangkaan kandungan informasi yang diperlukan dalam penelitian sejarah. Peneliti awal sejarah Jawa, H.J. de Graaf misalnya, membuktikan bahwa “hanya” dengan mempelajari sumber-sumber tradisional seperti babad (tentu saja ditambah sumber-sumber lain), ia berhasil menampilkan aspek-aspek sejarah Jawa secara rinci. Sebagai orang Belanda, ia berguru kepada filolog Jawa R.M. Ngabehi Poerbatjaraka untuk “menaklukkan” berbagai kesulitan dalam menghadapi sumber-sumber tradisional, terutama dari segi bahasanya. Hasilnya, antara lain sejarah Mataram yang lengkap – dari muncul, berkembang sampai runtuhnya kerajaan itu (lihat De regering van Panembahan Senapati Ingalaga [1954], De regering van Sultan Agung [1958], De regering van Sunan Mangku – Rat I Tegal-Wangi, 2 jilid [1961, 1962], dan karya-karya lainnya).

Studi H.J. de Graaf tersebut dapat digolongkan sebagai tipikal sejarah konvensional yang menentukan pada peristiwa-peristiwa penting tingkat elite, sementara aspek sosial yang lebih luas tidak mendapatkan perhatian sewajarnya. Meskipun demikian, hasil jerih payah de Graaf sepanjang puluhan tahun itu dipandang sebagai landasan yang kokoh bagi studi ilmiah tentang sejarah Jawa dalam masa abad ke-16/18. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, yang pernah menjadi murid de Graaf, arti penting karya-karya gurunya itu terletak pada kepeloporannya untuk menyusun suatu dasar kisah sejarah serta menyediakan rujukan sumber-sumber bagi yang akan mengikuti jejaknya (1989:xvi).

Di kemudian hari, Ricklefs sendiri menunjukkan keandalannya untuk melanjutkan upaya de Graaf dalam menyusun rekonstruksi sejarah Jawa berdasarkan sumber-sumber yang tergolong langka. Tiga karya utamanya (lihat Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-92 [1974], War, Culture and Economy in Java 1677-1726 [1993], dan The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749 [1998]) merupakan trilogi yang komprehensif untuk melihat perkembangan sejarah Jawa, khususnya di seputar lingkaran keraton, kurun abad ke-17/18. Dalam studinya itu, Ricklefs mendemonstrasikan kepiawaiannya mengolah dan menganalisis sumber-sumber lokal secara intensif – di samping jenis sumber-sumber lain tentunya. Agak berbeda dengan de Graaf yang lebih menekankan kajiannya pada aras elite dengan konsentrasi pada aspek politik dan militer, maka perhatian Ricklefs meluas pada aspek-aspek lainnya. Secara ringkas, studi Ricklefs melukiskan dinamika masyarakat Jawa sekitar keraton dan interaksinya dengan kekuatan asing (Barat) yang muncul kemudian. Interelasinya mencakup perang atau militer dan politik, ekonomi, budaya, sastra serta agama. Aspek agama (Islam) bahkan ditunjukkan sebagai upaya orang Jawa untuk menemukan identitasnya di tengah himpitan kekuasaan asing – yakni VOC.

Jejak Ricklefs diikuti oleh sarjana asing lainnya yang juga menggunakan sumber-sumber langka secara intensif dalam studinya, seperti Peter Carey, Ann Kumar, Vincent Houben, dan masih banyak lagi. Perhatian terhadap sejarah lama luar Jawa juga ditunjukkan antara lain oleh Denys Lombard (Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 [1986]), dan Leonard Andaya (The Heritage of Arung Palaka [1981]). Beberapa contoh kajian tersebut diambil secara acak dan masih dapat diperpanjang dengan memasukkan hasil-hasil karya sarjana non-sejarah seperti filolog dan sastra – misalnya Henri Chambert-Loir yang menyusun Kerajaan Bima (2004). Informasi tentang sumber langka juga diperkaya oleh jasa penyusun katalogus naskah-naskah lama dan pengumpul dokumen arsip.

Dari kalangan sarjana Indonesia, seperti telah disebutkan, masih jarang yang menggarap sumber-sumber langka sebagai bahan kajian sejarah. Di antara yang sedikit itu adalah Aminuddin Kasdi yang menulis disertasi Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa (diterbitkan 2003). Sejumlah manuskrip yang belum diterbitkan dan yang sudah diterbitkan merupakan sumber penting dalam kajian ini. Meskipun studi Kasdi tersebut menyangkut masa akhir Mataram (abad ke-18) khususnya tentang hubungan pusat dan daerah, menjadi penting karena memiliki gaung dengan persoalan masa kini, yakni tentang otonomi daerah. Hal itu menunjukkan bahwa kelampauan bisa menemukan relevansinya dengan kekinian.

Cukup menggembirakan bahwa di kalangan generasi muda sejarawan Indonesia juga timbul minat pada naskah-naskah lama untuk mengembangkan studinya. Salah seorang di antaranya adalah S. Margana yang menulis Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial (2004). Pendekatan Marganda terhadap naskah lama agak berbeda dengan apa yang telah dilakukan peneliti lain sebelumnya. Ia melihat naskah lama tidak hanya sebagai sumber sejarah tetapi juga sebagai sejarah (Jawa) itu sendiri. Pendekatan serupa itu tampaknya sudah dirintis oleh filolog Nancy Florida yang menempatkan teks Jawa (abad ke-19) dalam konteksnya sebagai “writing-in-history” dan “history-as-writing”. Yang juga ingin ditunjukkan oleh Marganda ialah bahwa penelitian atas naskah-naskah lama selama ini lebih ditekankan pada makna isi teks tetapi “melupakan” penciptanya. Hasilnya, studi Margana berhasil menampilkan manusia-manusia (Jawa) kreatif pada masa lampau yang cukup tangguh secara intelektual dalam menghadapi kekuasaan asing. Sebelum menerbitkan Pujangga, Margana juga menyunting setumpuk arsip berkenaan dengan keraton, yakni Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874 (2004; 865 halaman). Penerbitan sumber ini penting karena mengingatkan peneliti bahwa naskah-naskah lama Jawa bukan hanya berbentuk karya literer seperti babad, tetapi juga produk non-literer seperti parintah, pranatan, piyagem, dan sebagainya, yang amat bermanfaat untuk mempelajari sejarah pemerintahan tradisional.

Bukan tidak mungkin bahwa masih banyak hasil penelitian yang menggunakan sumber-sumber langka dalam bidang sejarah ataupun bidang-bidang lain. Program-program studi pascasarjana di berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang makin berkembang sejak kurun 1990-an telah melahirkan peneliti-peneliti ilmiah yang menjanjikan. Tesis-tesis atau karya disertasi para peserta program layak dipertimbangkan untuk diterbitkan. Dengan cara itu, diseminasi ilmu pengetahuan (budaya khususnya) ke khalayak luas sedikit-banyak dapat tercapai.

 

IV

 

Tidak terlalu salah bila ada asumsi yang bernada pesimistik bahwa karena sumber langka dan langkanya sumber akan menyebabkan surutnya minat meneliti sejarah, terutama menyangkut kurun waktu yang sangat jauh ke belakang. Berbagai kesulitan teknis ataupun substantif seperti sudah membayang-bayangi langkah peneliti. Bila pun terjadi penelitian mungkin akan tersendat atau terancam macet. Implikasinya ialah makin banyak mata rantai masa lampau yang terputus dalam pengetahuan orang masa kini. Namun, bisa juga ada asumsi yang optimistik bahwa meneliti sejarah dengan menggunakan sumber-sumber langka merupakan tantangan yang harus dijawab oleh kalangan sejarawan dengan berbagai cara yang dapat dipertanggungjawabkan.

Berkaitan dengan itu, di kalangan sejarawan sendiri telah cukup lama timbul kesadaran bahwa penelitian sejarah tidak selamanya bisa bertumpu pada sumber-sumber tertulis – apalagi bila sumber itu tergolong langka yang sukar dijangkau. Juga pengalaman yang kerap ditemui mengajarkan bahwa sumber tertulis tidak selalu menerangkan keseluruhan aspek masalah yang akan diteliti. Tidak jarang apa yang disampaikan dalam suatu sumber tertulis masih menyisakan pertanyaan yang perlu dicari jawabannya pada (jenis) sumber lain. Dengan demikian timbul keragaman sumber sebagai pilihan-pilihan dalam penelitian sejarah (lihat kembali Marwick dalam Kozicki [ed.] 1998).

Dengan penganekaragaman sumber, maka pengertian “sumber langka” menjadi relatif. Setidaknya, pengertian “langka” tidak memberat pada kelampauan yang jauh atau sukar diperoleh, tetapi lebih pada keunikan substansinya. Sebagai contoh adalah wawancara dengan pelaku atau saksi sejarah sebagai upaya mencari sumber lisan. Tokoh yang diwawancarai itu

mungkin saja tetangga rumah dari peneliti sehingga tidak perlu dicari jauh-jauh. Namun juga disadari bahwa pengumpulan sumber lisan memiliki tantangan tersendiri. Yang pasti ialah bahwa dengan sumber lisan, peneliti akan makin “dekat” dalam berdialog dengan masa lalu. Sejarah, pada dasarnya merupakan dialog – dan juga debat – antara sejarawan dengan bukti-bukti masa lampau yang ditemukan.

Kebutuhan akan sumber-sumber alternatif dalam penelitian sejarah sebenarnya bukan semata-mata untuk mengatasi kelangkaan sumber. Munculnya paradigma baru, perkembangan teori dan metodologi serta berkembangnya berbagai genre dalam sejarah, menuntut pula penggalian sumber-sumber dalam berbagai jenis dan bentuk. Bila dalam tradisi Rankean di Jerman, atau bahkan dalam masa Yunani Kuno, sejarah cukup didasarkan pada bukti-bukti tertulis (resmi), maka hal itu sesuai dengan pemahaman sejarah yang berkembang pada masanya – yakni menekankan pada event atau peristiwa. Dalam hal ini, peristiwa tersebut tidak lain politik, militer, atau juga agama.Tradisi itu cukup lama bertahan sampai akhirnya pada abad ke-20 muncul aliran Annales di Prancis yang menekankan bahwa sejarah bukanlah event tetapi struktur, baik struktur geografi maupun ekonomi. Dengan demikian timbul kebutuhan akan sumber-sumber lain yang dapat menjelaskan mainstream aliran itu. Kelak, paham struktural ini akan kembali lagi kepada event pada 1980-an meskipun dalam konteks yang berbeda (Burke 1990).

Sementara itu dalam kurun 1970-an muncul aliran baru di Italia yang disebut microhistory yang cenderung menggunakan metode dan sumber-sumber etnografi untuk mempelajari suatu komunitas, sebuah keluarga atau bahkan individu. Yang dipelajari dalam aliran ini adalah hubungan-hubungan sosial dan interaksi di antara pelaku sejarah secara konkret (Muir dan Ruggiero [ed.] 1991). Kemudian, pada 1980-an, trend penelitian sejarah diramaikan oleh aliran “sejarah kebudayaan baru” (the new cultural history) di Amerika Serikat dan Eropa. Perhatian aliran itu sangat beragam seperti ritus, upacara, sejarah buku, dan sebagainya. Kelompok aliran itu menggunakan pendekatan antropogi dan semiotil dalam penelitiannya (Hunt [ed.] 1989).

 

V

 

Kalau saja “stamina” para peneliti terus terjaga dan suasana kehidupan kultural dan intelektual cukup menunjang, maka tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan “telantarnya” sumber-sumber yang tergolong langka. Artinya masih terbuka harapan bahwa penggalian makna atas “misteri” masa lampau sebagaimana terekam dalam sumber-sumber itu masih akan dilakukan. Yang patut dijaga adalah ialah bahwa pencarian makna masa lampau itu tidak menjadikan peneliti atau sejarawan “jatuh” menjadi antikuariat. Artinya “memelihara” masa lampau demi kelampauan itu sendiri. Kelampauan harus bisa diartikulasikan dalam kekinian sehingga memberikan manfaat bagi kehidupan nyata.

 

Garut, 18 – 19 Februari 2009

 

 

DAFTAR ACUAN

 

Allen, Barbara dan William Lynwood Mantell (1981), From Memory to History : Using Oral Sources in Local Historical Research. Nashville : The American Association for State and Local History.

Burke, Peter (1990), The French Historical Revolution : The Annales School 1929-89. Cambridge, UK : The Polity Press.

Hunt, Lynn (ed.) (1989), The New Cultural History. Berkeley : University of California Press.

Lohanda, Mona (1998), Sumber Sejarah dan Penelitian Sejarah. Depok : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.

Margana, S. (2004a), Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769 – 1974, cet.I. Yogyakarta : Pustaka Pelajar bekerja sama dengan The Ford Foundation.

_________ (2004b), Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial, cet.I. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.