Oleh: Bambang Sugiyanto

Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Kajian Maritim merupakan sesuatu yang baru dalam kegiatan penelitian arkeologi di Kalimantan, termasuk wilayah Kalimantan Selatan. Subyek kajian maritim dalam hal ini lebih bersifat sosial-budaya, yaitu segala pemikiran, pandangan, perilaku manusia beserta semua benda budaya yang terkait dengan kehidupan manusia yang kaitannya dengan laut. Menurut Edy Sedyawati, kajian maritim dapat dilaksanakan berdasarkan tema kajian seperti: kosmopologi dan mitologi yang berkenaan dengan laut, taksonomi kelautan, dan teknologi perkapalan serta pelayaran (Sedyawati 2005:4). Menurut Mundarjito, kajian maritim dapat dilakukan pada tiga golongan besar, yaitu: 1. Benda-benda arkeologis, baik yang berada di laut dan di darat; 2. Artifact, feature, dan ecofact, yang bernilai sejarah; 3. Masyarakat yang kini masih hidup di laut dan di pantai. Ketiga golongan sumber daya budaya Maritim ini perlu dikaji untuk memberikan kemungkinan kepada kita untuk mengetahui dan memahami sistem ideologi, sistem sosial, dan sistem teknologi dari masyarakat pendukungnya (Mundarjito 2005:8-9).

Penjelasan di atas, memberikan gambaran yang jelas bahwa kajian maritim dapat dilakukan pada sumber daya budaya maritim baik yang di laut maupun di darat, berupa artefak, fitur, dan ekofak. Salah satu artefak budaya maritim yang baru-baru ini ditemukan adalah gambar-gambar perahu dengan warna hitam pada beberapa dinding gua di kawasan karst Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Sugiyanto et.al. 2016). Secara umum, penemuan gambar-gambar pada dinding gua di wilayah Kalimantan Selatan, khususnya pada kawasan karst Mantewe terjadi pada tahun 2012, dan baru diteliti secara serius 2013.

Gambar-gambar pada dinding gua dengan warna hitam ini, memiliki banyak variasi bentuk. Ada gambar yang tidak diketahui bentuknya, dan yang jelas bentuk gambarnya. Gambar perahu merupakan salah satu bentuk gambar yang jelas, selain gambar tokoh manusia dan binatang, serta bentuk geometris lainnya. Gambar yang sesuai dengan kajian maritim adalah gambar-gambar perahu yang ditemukan pada situs Liang Kacamata (Sugiyanto et.al. 2016).

Permasalahan

Permasalahan yang menarik untuk diajukan dalam penulisan artikel ini adalah:

  1. Bagaimana bentuk gambar perahu pada dinding gua di Kalimantan Selatan?
  2. Apa makna dan arti dibalik pembuatan gambar perahu tersebut pada masa lalu?
  3. Kapan gambar perahu itu dibuat?

Ketiga permasalahan di atas, menarik untuk dibahas sebagai upaya untuk mengetahui sejarah perkembangan budaya maritim pada masa lalu dan sejarah teknologi perkapalan di wilayah Kalimantan Selatan.

Pembahasan

Budaya maritim identik dengan teknologi perkapalan dan pelayaran. Teknologi perkapalan dan pelayaran berkembang pesat pada masa sejarah, yaitu pada masa berkembangnya kerajaaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Relief gambar perahu yang ada pada Candi Borobudur merupakan salah satu bukti perkembangan teknologi perkapalan dan pelayaran pada masa itu. Bagaimana dengan masa sebelum sejarah atau masa prasejarah? Apakah teknologi perkapalan dan pelayaran belum dikenal pada masa prasejarah?

Penelitian prasejarah yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Kalimantan Selatan pada kawasan karst di Kecamatan Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, menemukan adanya indikasi kegiatan maritim pada masa prasejarah. Indikasi itu muncul dari penemuan gambar-gambar perahu dengan warna hitam pada dinding-dinding gua pada situs Liang Kacamata dan Liang Susu. Kedua situs gua ini berada pada satu kawasan karst yang sama, hanya berbeda bukit karst dengan jarak lurus sekitar 1 km. Gambar perahu di situs Liang Kacamata dilukiskan pada dinding gua sebelah kiri saat kita memasuki situs. Kondisi gambar-gambar perahu di sini sangat memprihatinkan, karena sudah bercampur dengan coretan vandalisme lainnya.

Ada 3 gambar perahu dengan warna hitam pada dinding Liang Kacamata, yang menariknya digambarkan salah satunya dengan tokoh manusia di atasnya. Penggambaran tokoh manusia ini sangat menarik, karena digambarkan dengan posisi berdiri dengan sebilah senjata digambarkan pada bagian pinggangnya. Bentuk senjata yang digambarkan menyerupai bentuk hulu keris atau pedang, karena digambarkan dengan pelindung genggaman tangan.

Kemungkinan besar dibuat oleh masyarakat penghuni gua

Hasil pengamatan yang lebih cermat, menunjukkan bahwa gambar-gambar perahu itu kemungkinan besar dibuat oleh masyarakat penghuni gua yang sudah mengenal metalurgi (logam). Senjata yang ada pada pinggang seorang tokoh yang digambarkan di atas perahu menjadi penanda kronologi relatif tersebut. Masa logam merupakan masa yang lebih maju jika dilihat dari tingkat kemampuan dan teknologi yang dikuasai manusia. Kemungkinan besar, pembuatan perahu pada masa itu sudah menggunakan alat-alat dari bahan logam seperti yang tergambarkan pada dinding gua di situs Liang Kacamata.

Sementara bentuk perahu yang digambarkan pada situs Liang Kacamata semuanya terlihat masih sederhana. Bentuk gambar itu dapat disimpulkan sebagai penggambaran bentuk perahu yang digerakkan dengan dayung (tenaga manusia). Tidak ada gambar perahu yang dilengkapi dengan layar pada situs ini. Bentuk gambar perahu dengan layar ada pada situs Liang Susu. Penggambaran perahu pada Liang Susu sangat jelas menggunakan layar sebagai sarana untuk menangkap angin yang akan menggerakkan perahu tersebut. Perahu layar di Liang Susu digambarkan dengan lebih maju, meskipun bentuk dan posisi layar ada beberapa yang tidak tepat letaknya. Kemungkinan besar, gambar perahu layar pada Liang Susu ini dibuat pada masa yang lebih muda jika dibandingkan dengan pembuatan gambar perahu di Liang Kacamata.

Penggalian (ekskavasi) yang dilakukan di kedua situs itu memerlihatkan data temuan yang cukup berbeda. Tespit yang dilakukan pada teras Liang Kacamata memerlihatkan data hunian prasejarah yang cukup intensif, berupa pecahan batu (tatal), serpih, bilah, dan beberapa fragmen gerabah. Artinya, situs Liang Kacamata memang digunakan sebagai tempat tinggal pada masa prasejarah. Sementara tespit yang dilakukan pada ruangan di dalam Liang Susu, tidak menemukan artefak apapun. Kenyataan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh morfologi Liang Susu sebagai gua sungai bawah tanah. Pada musim kemarau, kondisi Liang Susu mengering dan bisa dimasuki sampai jauh ke dalam. Kondisi ini akan berbeda sekali pada musim penghujan, semua ruangan Liang Susu akan dipenuhi dengan air sungai bawah tanah yang cukup jernih dan dalam. Ketinggian air sungai bawah tanah ini masih bisa kita lihat bekas-bekasnya pada dinding gua yang ada gambar perahu layarnya.

Gambar perahu sederhana di Liang Kacamata 1 (Dok. Balai Arkeologi Kalimantan Selatan).

Mungkinkah manusia prasejarah yang masih tinggal di dalam gua-gua sudah memiliki kemampuan membuat perahu?

Penemuan gambar perahu ini memunculkan banyak pertanyaan seputar teknologi perkapalan dan pelayaran pada masa lalu. Mungkinkah manusia prasejarah yang masih tinggal di dalam gua-gua sudah memiliki kemampuan membuat perahu? Perhitungan kronologi umur lukisan yang akan membuktikan apakah benar bahwa kemampuan membuat perahu dan teknologi pelayaran sudah dikuasi manusia prasejarah pada saat mereka masih tinggal di dalam gua-gua. Teknologi perkapalan dan pelayaran ini ditenggarai dikembangkan oleh kelompok penutur bahasa Austronesia yang penyebarannya meliputi kawasan yang sangat luas, termasuk di dalamnya adalah Pulau Kalimantan.

Selepas masa Glasiasi, Kalimantan yang pernah bergabung dengan benua Asia, Sumatera, dan Jawa dengan nama Paparan Sunda, mulai terpisah menjadi satu pulau besar. Kondisi ini menyebabkan munculnya keperluan akan sarana transportasi, untuk menghubungkan daerah pedalaman dengan pesisir melalui jalur sungai besar dan kecil di Pulau Kalimantan. Pada saat Kalimantan masih menjadi bagian dari “paparan Sunda”, pergerakan kelompok manusia hampir semuanya dilakukan dengan berjalan kaki. Teknologi perkapalan kemungkinan besar diperkenalkan oleh kelompok manusia berpenutur bahasa Austronesia, yang merambah masuk ke hutan pedalaman Kalimantan melalui daerah pesisir (Bellwood 2000:198).

Gambar perahu layar di Liang Besar (Dok. Balai Arkeologi Kalimantan Selatan).

Sekitar 5.000 tahun lalu, kelompok manusia berbahasa Austronesia ini masuk ke pedalaman Kalimantan melalui jalur sungai-sungai dengan menggunakan perahu (Petersen 2001:25). Perahu-perahu yang mereka gunakan pada awalnya adalah bentuk perahu atau rakit yang digerakkan dengan tangan (dayung). Perkembangan selanjutnya, dayung sebagai penggerak perahu mulai digabungkan dengan teknologi angin dengan bentuk “layar perahu”. Dengan menggunakan layar, pergerakan perahu lebih cepat dan lebih ekonomis jika dibandingkan dengan menggunakan dayung. Teknologi perahu layar ini pada umumnya dilakukan pada daerah pesisir dan laut, sementara untuk pelayaran di sungai-sungai masih lebih banyak menggunakan “dayung” sebagai tenaga penggeraknya.

Sarana angkutan air yang paling adalah rakit-rakit bambu

Geoffery Irwin menduga bahwa daerah perairan antara Philipina–Indonesia bagian utara hingga daerah Melanesia menjadi semacam koridor pelayaran bagi komunitas manusia berpenutur bahasa Austronesia awal. Di sepanjang koridor ini lah, mereka berlatih dan mempraktikkan berbagai teknologi pelayaran baru, sehingga kemampuan berlayar masyarakat berpenutur bahasa Austronesia berkembang pesat (Utomo 2016:13–14). Selanjutnya dijelaskan bahwa sarana angkutan air yang paling awal pada masyarakat berpenutur bahasa Austronesia adalah rakit-rakit bambu, kemudian berkembang menggunakan balok-balok kayu yang diganungkan. Balok-balok kayu ini kadangkala di ceruk pada bagian dalamnya, sehingga menyerupai “kano”.

Bentuk perahu pada awalnya sangat sederhana, yaitu berasal dari batang pohon yang cukup besar dan panjang. Batang pohon itu dipahat bagian tengahnya sehingga menimbulkan satu lubang yang panjang sepanjang batang pohonnya. Kedua bagian ujung batang pohon dipahat dan dibentuk sesuai dengan keinginan mereka, menjadi buritan dan ujung perahu. Menurut Petersen ada dua tipe perahu yang dibuat dengan proses ini, yaitu perahu yang dioleh dari batang pohon yang dibelah dua, dan perahu yang dioleh langsung dari satu batang pohon utuh (petersen 2001:5). Untuk menggerakannya, mereka membuat “dayung” dari batang kayu lainnya yang lebih kecil. Bentuk dayung ini dibuat dengan bagian bawah melebar untuk dapat mengambil tenaga penggerak perahu dari air. Perahu-perahu jenis ini masih bisa dijumpai pada kelompok etnis yang ada di Papua sekarang. Proses pembuatan perahu ini, menjadi dasar pembuatan perahu yang sekarang berkembang pesat di Kalimantan pada umumnya. Lunas perahu (dasar) tetap dibuat atau dibentuk dari batang pohon yang khusus dipahat bagian tengahnya. Proses berikutnya adalah penambahan papan-papan kayu untuk membuat dinding-dinding perahu dan bagian tengahnya yang akan digunakan sebagai tempat duduk penumpang dan pengemudi perahu.

Perahu seperti ini lah yang kemungkinan besar dikenal pertama kali oleh kelompok manusia prasejarah yang tinggal di dalam gua-gua di wilayah Tanah Bumbu. Gambar-gambar perahu sederhana yang ada pada dinding gua-gua di kawasan tersebut menjadi saksi bisu kehadiran teknologi perkapalan dan pelayaran di Kalimantan Selatan. Mereka bergerak secara lambat dari pesisir pantai menuju ke daerah pedalaman, melalui sungai-sungai besar dan kecil. Lokasi favorit mereka adalah kawasan karst yang berada di sekitar daerah aliran sungai, sehingga dapat dengan mudah dijangkau dengan bantuan teknologi pelayaran menggunakan perahu. Kemudian setelah menemukan gua atau ceruk serta kawasan karst yang sesuai dengan yang mereka harapkan, mereka memutuskan untuk tinggal di dalam kawasan tersebut dengan menghuni salah satu gua atau ceruk. Selama tinggal di dalam gua-gua ini, mereka tetap mengembangkan sistem perburuan binatang dan pengumpulan (peramuan) sumber bahan makanan alternatif lain yang bisa didapatkan dari lingkungan hutan di sekitar gua tempat tinggal mereka.

Teknologi itu tergambar di dinding gua

Teknologi pembuatan perahu yang tergambarkan pada dinding gua-gua pada kawasan karst Mantewe, menjadi catatan penting bahwa masyarakat prasejarah pada masa itu sudah memiliki teknik yang cukup maju. Teknologi pembuatan perahu ini kemudian berkembang terus sampai masa-masa awal sejarah di Kalimantan Selatan. Petersen menyatakan bahwa pembuatan perahu (jukung) di dataran rendah Barito telah berkembang sejak zaman besi sekitar abad ke-6 hingga 7 Masehi. Pada masa itu, terdapat bukti dari para linguist bahwa orang Maanyan yang bermukim di dataran rendah Barito mampu melakukan pelayaran sampai ke Madagaskar. Jenis perahu yang bagaimana yang mereka pergunakan untuk melakukan perjalanan tersebut, masih belum bisa dijelaskan (Petersen 2001:1).

Berdasarkan pada uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa temuan budaya rock-art yang terlukis pada dinding-dinding gua pada kawasan karst Mantewe, merupakan hasil karya manusia prasejarah yang tinggal di dalam gua-gua pada masa lalu. Mereka ini diyakini sebagai kelompok manusia Ras Mongolid berdasarkan pada pengamatan ciri-ciri morfologi terhadap rangka penguburan yang ditemukan di situs Liang Bangkai 10 dan Liang Ulin 2 (Sugiyanto et.al., 2015). Kelompok manusia Mongolid ini kemungkinan besar sudah mengenal dan memiliki kemampuan dalam membuat perahu (jukung) dari bahan batang kayu utuh panjang. Kemampuan membuat perahu ini tercermin pada gambar-gambar perahu yang ada pada dinding-dinding gua di kawasan karst Mantewe. Mulai dari perahu sederhana sampai yang menggunakan layar digambarkan secara jelas di situs tersebut. Penggambaran perahu pada dinding-dinding gua itu cenderung dilakukan pada zaman logam, merujuk pada gambaran senjata logam yang diselipkan pada pinggang sosok gambar manusianya.

Maksud penggambaran perahu itu kemungkinan besar didasari oleh keinginan untuk mengenang perjalanan yang pernah mereka lakukan sampai menemukan tempat tinggal mereka pada kawasan karst tersebut. Kemungkin lain adalah keyakinan kuat tentang perahu yang mendasari kehidupan mereka, sehingga mereka merasa perlu dan harus menggambarkan perahu tersebut. Selain itu, penggambaran perahu secara sederhana itu secara tidak langsung memberikan bukti valid tentang kemajuan dan tingkat teknologi yang sudah mereka capai pada masa lalu.

Kemampuan membuat kapal atau teknologi perkapalan ini pada akhirnya berkembang pesat di bumi Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan. Hampir semua kelompok etnis yang ada di Kalimantan Selatan bisa membuat perahu (jukung) sendiri, bahkan pada masyarakat Banjar kemudian berkembang secara pesat dengan “budaya sungai”nya.

Penutup

Penjelasan panjang di bagian sebelumnya telah memberikan gambaran kepada kita, bahwa budaya maritim yang berkembang pada masyarakat Kalimantan Selatan saat ini memiliki akar budaya yang sangat panjang. Kemampuan tersebut diawali dari manusia penghuni gua-gua pada kawasan karst di sekitar Pegunungan Meratus. Kondisi geografis di sekitar kawasan karst Pegunungan Meratus 5.000 tahun lalu, kemungkinan besar masih berupa teluk yang besar. Kondisi ini tidak menjadi hambatan untuk kelompok manusia prasejarah saat itu. Mereka sebelumnya sudah memiliki kemampuan membuat dan mengendarai perahu sederhana, sehingga mereka dapat melakukan perjalanan dari dan antar pulau dalam wilayah kepulauan Nusantara. Mereka masuk ke kalimantan melalui daerah pesisir kemudian melewati muara-muara sungai sampai pada kawasan karst tertentu di Kalimantan. Perjalanan panjang ini lah yang ingin dikenang, dan yang kemudian telah digambarkan pada dinding-dinding gua tempat mereka tinggal.

Gambar perahu yang sederhana merupakan bentuk gambar perahu yang paling awal diketahui dan bisa dibuat oleh mereka. Gambar perahu yang lebih muda adalah gambaran perahu dengan sosok manusia yang menyelipkan sebilah senjata logam di pinggangnya. Bisa disimpulkan bahwa kemampuan membuat perahu ini berkembang sejak awal kedatangan sampai pada masa logam awal. Gambaran tersebut menimbulkan pertanyaan: apakah pada masa logam, masih ada kelompok manusia prasejarah yang tinggal di dalam gua-gua?

Makalah ini dipaparkan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.

Daftar Pustaka

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Mundarjito. 2005. Pelestarian Sumberdaya Budaya Maritim Indonesia, dalam Edi Sedyawati (ed.) Eksplorasi Sumberdaya Budaya Maritim. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Nonhayati bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan RI kerjasama dengan Universitas Indonesia, hlm. 7– 12.

Petersen, Erik. 2001. Jukung dari Dataran Rendah Barito, Banjarmasin: Banjarmasin Post Grup.

Sedyawati, Edi. 2005. Kajian Maritim Aspek Sosial-Budaya: Ragam dan Peluangnya, dalam Edi Sedyawati (ed.) Eksplorasi Sumberdaya Budaya Maritim. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Nonhayati bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan RI kerjasama dengan Universitas Indonesia, hlm. 1–6.

Utomo, Bambang Budi. 2016. Warisan Bahari Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sugiyanto, Bambang et.al., 2016. Penelitian survei dan Ekskavasi kawasan karst di Desa Dukuhrejo, Kecamatan Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarbaru: Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

——-. 2015. Penelitian Survei dan Ekskavasi Gua Hunian pada Bukit Lancip dan sekitarnya, Desa Dukuhrejo, Kecamatan Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarbaru: Balai Arkeologi Kalimantan Selatan, belum diterbitkan.