Oleh: Gunadi Kasnowihardjo

IAAI Komda DIY-Jawa Tengah

Diciptakan oleh Saridjah Niung

Judul makalah ini diambil dari kalimat pertama lirik lagu anak-anak ciptaan Ibu Soed pada 1940. Nama aslinya Saridjah Niung kelahiran Sukabumi, Jawa Barat 26 Maret 1908. Pada 1927 menikah dengan Raden Bintang Soedibjo dan kemudian terkenal dengan sebutan Ibu Saridjah Niung Bintang Soedibjo atau Ibu Soedibjo dan disingkat menjadi nama panggilan “Ibu Soed”. Sosok Ibu Soed dikenal sebagai pencipta lagu anak-anak yang mengandung pesan-pesan moral sangat tinggi, baik pesan-pesan yang bersifat menumbuhkan semangat perjuangan dan kepahlawanan maupun pesan-pesan yang dapat menjunjung harkat-martabat dan jatidiri bangsa. Lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut”, salah satu ciptaan Ibu Soed yang mengandung nilai-nilai pesan moral dan mengekspresikan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang terbiasa mengarungi samudera nan luas. Dengan kata lain lagu tersebut mengekspresikan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki dan menguasai pengetahuan tentang kemaritiman.

Benarkah kita bangsa Indonesia adalah bangsa maritim, bangsa yang memiliki nenek moyang pelaut ulung? Mengapa bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa agraris? dua hal yang saat ini menjadi permasalahan bangsa cukup krusial. Sebagai bangsa maritim kita belum mampu mengelola secara maksimal lautan dan samudera yang kita miliki. Kementerian Kelautan baru terbentuk pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, kelautan dan kemaritiman mulai keluar “taring”nya sejak Ibu Susi menjadi menteri. Demikian pula sebagai bangsa agraris masalah swasembada pangan hingga saat ini negara kita masih import beras, gula, jagung, kedelai dan bahkan garam.

Permasalahan bangsa Indonesia, apakah kita ini bangsa maritim atau bangsa agraris tidak perlu diperdebatkan karena hanya menghabiskan waktu dan tenaga yang hasilnyapun sia-sia. Permasalahan penting yang perlu diangkat saat ini adalah bagaimana mengembalikan kejayaan nenek moyang bangsa ini sebagai bangsa maritim. Bangsa yang mampu mengarungi samudera nan luas mengokupasi ribuan pulau-pulau yang tersebar di Samudera Pasifik, dan menguasai perniagaan laut, seperti pada ribuan tahun yang lalu hingga munculnya kerajaan-kerajan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit.

Out of Taiwan

Mengacu pada teori “Out of Taiwan” (Bellwood, 2006) sejak kira-kira 3000 BC nenek moyang kita telah mengarungi Laut Cina Selatan, Pasifik, dan Samudera Indonesia. Antara 1000 BC–500 BC, mereka mulai mengokupasi pulau-pulau di Nusantara. Hingga masa-masa kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit bangsa kita diakui sebagai bangsa maritim yang disegani oleh bangsa-bangsa lain. Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat 5 (lima) jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan.

Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan.  Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera (Hall, 1985:20–25). Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.

Mengacu pada kerangka pikir di atas, maka kajian ini bertujuan mengangkat kembali kejayaan bangsa ini di masa lampau sebagai bangsa maritim yang disegani oleh bangsa-bangsa lain. Sesuai dengan tema yang diajukan oleh Panitia Kongress dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia 2017, hasil kajian historis-arkeologis dalam makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada Pemerintah dalam mengembangkan kemaritiman di Indonesia.

Siapa Nenek Moyang Bangsa Indonesia?

Jauh sebelum datangnya para penutur rumpun bahasa Austronesia, di Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya sudah hidup homo sapien-sapien kira-kira 40.000 tahun yang lalu, seperti misalnya jenis manusia Homo Wajakensis. Homo Wajakensis tergolong  manusia purba jenis homo sapien atau manusia modern, yaitu makhluk yang berakal budi (memiliki volume otak 1300-an cc). Fosil Homo Wajakensis ditemukan oleh von Reitschoten pada 1889 di daerah Wajak, dekat Campurdarat, Tulung Agung, Jawa Timur. Temuan ini diselidiki kali pertama oleh Eugene Dubois yang berupa ruas leher dan tengkorak yang memiliki volume otak kurang lebih 1.630 cc. Selain itu, Eugene Dubois pada 1890 menemukan fosil di daerah Wajak yang terdiri atas fragmen tengkorak, rahang atas dan bawah, tulang kering, serta tulang paha.

Manusia Wajak termasuk ras Austromelanesoid diperkirakan hidup antara 40.000–25.000 tahun BP, bersamaan waktunya dengan manusia Niah di Serawak, Malaysia, dan manusia Tabon di Palawan, Filipina. Di Cina Selatan juga pernah ditemukan fragmen rahang atas yang menyerupai manusia Wajak. Temuan manusia Wajak ini menunjukkan bahwa sekitar antara 40.000–25.000 tahun yang lalu di Indonesia sudah dihuni oleh manusia jenis Homo Sapiens.

Manusia purba di lembah Bengawan Solo

Pada 1931–1934, von Koenigswald dan Weidenrich menemukan fosil-fosil manusia purba di lembah Sungai Bengawan Solo di dekat Desa Ngandong. Jenis manusia purba dari lembah Bengawan Solo tersebut dinamakan Homo Soloensis. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa manusia purba jenis Homo Soloensis lebih tinggi tingkatannya dari pada Homo Erectus. Sebagian para ahli menggolongkan ke dalam kelompok Homo Neanderthal, yang merupakan manusia purba jenis Homo Sapiens yang ditemukan di daratan Eropa yang sama-sama hidup dilapisan Pleistosen Atas. Seperti dikatakan Rushton (1997) bahwa Homo Sapien adalah: “The formal species name for living mankind. It is also extended to cover populations known from fossils that are distinguished as being above the evolutionary level of Homo erectus. There is debate over whether Neanderthals are to be included as a subspecies of Homo sapiens or made into a separate species”.

Di Jawa, selain Homo Wajakensis Ras Austromelanesoid ditemukan di Pegunungan Sewu, yaitu di Situs Goa Braholo. Selain itu, peneliti Situs Goa Braholo juga menemukan rangka manusia bercirikan Ras Mongoloid. Dijelaskan oleh Truman Simanjuntak bahwa jauh sebelum para penutur rumpun bahasa Austronesia migrasi ke Jawa, di Gunung Sewu telah hidup manusia dari Ras Mongoloid. Baik manusia Braholo, manusia Wajak maupun manusia Solo, ketiga homo sapien ini hidup beranak pinak mengembangkan keturunannya di Jawa dan diperkirakan menyebar ke pulau-pulau lain. Homo sapien-sapien yang hidup setelah kala Pleistosen atas atau kala awal Holosen, diklasifikasikan sebagai manusia prasejarah.

Migrasi Mongol dari Cina Selatan ke Taiwan

Kira-kira 3500 BC terjadilah perpindahan penduduk (bangsa Mongol) secara besar-besaran dari daratan Cina Selatan ke Taiwan. Pada saat itu mereka telah mengenal sistem domestikasi tanaman dan hewan yang kemudian berkembang menjadi sistem bercocok tanam dan berternak. Teknologi pembuatan peralatan batu ditemukan teknologi upam, seperti yang ditemukan pada pembuatan Beliung dan Belincung. Mereka juga telah mengenal pembuatan wadah dari tanah liat bakar (tembikar) dan teknologi pembuatan perahu. Masa itu dikenal dengan jaman Batu Baru atau Neolitik, perubahan yang sangat spektakuler dalam kehidupan manusia itu, maka Cole (1970) menyebutnya sebagai “Revolusi Neolitik”.

Setelah beberapa waktu lama mereka mengokupasi Taiwan, akhirnya di antara mereka keluar dari Situs-situs prasejarah dan protosejarah di Pantai Utara Jawa seperti Buni, Batujaya, Plawangan, Binangun, Leran, dan Tanjungan, diperkirakan situs-situs “Austronesia” yang diokupasi para imigran ras Mongoloid kira-kira 500 BC. Situs Buni terletak di kawasan Pantai Utara Jawa bagian barat, secara administratif berada di wilayah Kabupaten Bekasi. Berdasarkan temuan artefaktual seperti fragmen gerabah slip merah, beliung persegi, bandul jala, dan artefak yang terbuat dari bahan logam, menunjukkan bahwa Situs Buni merupakan situs prasejarah-protosejarah (Soejono dan Leirissa, 2008:387–390), yang  diperkirakan terkait dengan para imigran Austronesia. Taiwan dan menyebar ke Asia Tenggara, terus ke Selatan sampai New Zealand, ke Barat hingga Madagaskar, dan ke Timur hingga Pulau Paskah.

Penutur rumpum bahasa Austronesia

Mereka adalah para penutur rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Austronesia ini berasal dari bahasa Austrik yang berkembang menjadi bahasa Austro-Asiatik menyebar ke daratan Cina seperti Indo China, Thailand, dan Munda di India Selatan. Sedangkan bahasa Austronesia berkembang di Philipina, Indonesia, Malaysia, hingga Pasifik. Mereka adalah para imigran Ras Mongoloid, yang menyebar tidak hanya ke Asia Tenggara, Pasifik, dan Madagaskar, akan tetapi juga ke Asia Utara, Asia Timur, India Timur Laut, Eropa Utara, Amerika Utara, dan Amerika Selatan (Rushton, 1997:304). Pada 3000–2000 BC imigran Mongoloid mencapai Kepulauan Philippina, kemudian  1000 BC mengokupasi Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan pulau-pulau di Indonesia timur, selanjutnya pada 500 BC mereka mencapai Pulau Jawa.

Bagan gambaran keberadaan Ras bangsa-bangsa di Kepulauan Indonesia sejak awal Holosen hingga awal abad XVI Masehi.

Situs Batujaya, awalnya diketahui sebagai situs dari masa Hindu-Budha, karena yang tampak awal adalah reruntuhan candi bata. Setelah dilakukan penelitian ditemukan rangka manusia yang sengaja dikubur di lokasi percandian. Berdasarkan arah hadap dan sistem penguburannya diperkirakan kubur masa prasejarah. Dengan demikian kawasan Buni dan Batujaya sudah diokupasi sejak masa prasejarah dan berlanjut hingga masa sejarah (www.arkenas.kemdikbud.go.id 30 Januari 2017). Demikian pula dengan situs-situs di Jawa Tengah antara lain seperti: Situs Binangun, Kecamatan Lasem, Situs Leran, Kecamatan Sluke, Situs Plawangan dan Situs Tanjungan, Kecamatan Kragan yang terletak di kawasan Pantai Utara Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, adalah bukti adanya pemukiman prasejarah-protosejarah di kawasan tersebut (Gunadi Dkk. 2012; 2013; 2014; 2015; 2016; dan 2017).

Berasal dari daratan Asia

Mengacu pendapat para sarjana terdahulu antara lain Prof. Dr. H. Kern menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia. Pendapat Kern tersebut berdasarkan kajian linguistik yaitu adanya kesamaan antara bahasa  yang digunakan di Indonesia, Melanesia, Polinesia dan Mikronesia satu rumpun bahasa Austronesia yang berakar dari bahasa Austrik di Asia (Simanjuntak, 2011). Berdasarkan data arkeologis yang ditemukan, baik di Kepulauan Indonesia maupun artefak-artefak yang ditemukan di daratan Asia seperti beliung dan tembikar slip merah, Robert von Heine Geldern menyimpulkan bahwa kedua jenis artefak tersebut sebagai bukti adanya relasi antara kedua wilayah.

Teknologi pembuatan tembikar slip merah dan beliung maupun belincung ini dibawa dan dikembangkan oleh para imigran Austronesia di tempat-tempat mereka bermukim. Terkait dengan migrasi bangsa penutur rumpun bahasa Austronesia, lebih lanjut Geldern menyatakan ada dua gelombang besar yang datang ke Indonesia dengan membawa tradisi Megalitik yaitu Gelombang Megalitik Tua kira-kira 2000 BC dan Gelombang Megalitik Muda 500 BC (Geldern, 1945).

Beranak-pinak hingga Masa Pleistosen

Sejak kira-kira 40.000 tahun yang lalu Homo Sapien di Indonesia beranak-pinak hingga menurunkan manusia-manusia yang hidup sejak masa Pleistosen akhir hingga awal Holosen. Kedatangan para imigran Austronesia di Kepulauan Indonesia memberikan dan mengajarkan budaya yang mereka miliki seperti bahasa, ilmu pengetahuan, teknologi, religi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem mata pencaharian, dan kesenian (7 unsur  dalam kebudayaan). Sejak itu, mereka berinteraksi dengan penduduk asli yang dijumpai yang masih hidup di goa-goa ataupun ceruk-ceruk (rock shelter).

Di antara mereka terjadi kawin-mawin dan beranak-pinak selama ribuan tahun. Mereka tidak lagi tinggal di goa ataupun ceruk melainkan tinggal di rumah-rumah dalam perkampungan dengan sistem organisasi atau kelembagaan yang maju. Model kawin campuran seperti di atas terjadi pula untuk ras-ras lain yang datang dan bermukim di Indonesia berikutnya seperti bangsa Arab, India, dan Eropa walaupun dalam skala yang sangat kecil. Manusia-manusia  yang lahir dari perkawinan campuran sejak ribuan atau ratusan tahun lalu hingga sekarang, itulah  bangsa Indonesia.

Kejayaan Kemaritiman pada Masa Lampau

Kemaritiman dalam arti sempit yaitu kegiatan pelayaran dan perdagangan atau pelayaran niaga, seperti yang dipahami oleh sebagian masyarakat kita. Sedangkan pengertian maritim yang sebenarnya yaitu mencakup ruang atau wilayah permukaan laut, zona pelagik dan mesopelagik yang merupakan daerah subur di mana pada daerah ini terdapat kegiatan seperti pariwisata, lalu lintas, pelayaran dan jasa-jasa kelautan lainnya. Selain itu, kemaritiman mencakup kegiatan di darat seperti pelabuhan, pemukiman nelayan dan industri maupun kerajinan hasil laut. Pada masa prasejarah–protosejarah–hingga masa sejarah abad ke-5–15 Masehi, kemaritiman Bangsa Indonesia disegani terutama di wilayah Asia Tenggara.

Situs kubur prasejarah-protosejarah di Binangun, Leran, Plawangan, dan Tanjungan di Pantura Jawa, menginformasikan bahwa kira 2640 ± 160 BP atau abad ke-5 BC di kawasan tersebut pernah hidup manusia-manusia yang memiliki status sosial-ekonomi yang tinggi. Hal ini berdasarkan temuan rangka manusia yang dikubur di sepanjang pantai utara antara Kecamatan Lasem dan Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Rangka Binangun dan Leran diketahui bahwa manusia Binangun dan manusia Leran mereka mengenal budaya modifikasi gigi, seperti budaya orang-orang Amerika Latin pada 5000 BC (Kasnowihardjo, Suriyanto, Kusbardiyati, dan Murti, 2013). Sedangkan dari Situs Plawangan dan Tanjungan diperoleh informasi bahwa beberapa kubur berupa wadah tempayan dan adapula yang menggunakan nekara perunggu. Data di atas menunjukkan adanya situs permukiman di kawasan pantai dan diperkirakan mereka adalah para pelaku kemaritiman pada masa itu.

Pesan Moral

JAS MERAH…….Pesan Bung Karno kepada seluruh rakyat Indonesia di awal kita menapaki kehidupan sebagai bangsa yang merdeka terlepas dari belenggu penjajahan bangsa-bangsa lain. “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” adalah pesan moral dari seorang pemimpin bangsa yang mencintai rakyatnya. Pesan moral yang mengandung makna sangat dalam bagi kehidupan manusia, karena sejarah adalah acuan, referensi dan bahkan sebagai tuntunan bagi kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang. Studi arkeologi adalah memelajari sejarah berdasarkan tinggalan artefak, ekofak, dan ideofak yang tersisa dari kehidupan manusia masa lampau.

Asal-usul dan kejayaan bangsa Indonesia dimasa lampau adalah bukti sejarah yang tidak bisa kita pungkiri atau kita tinggalkan. Keberadaan Ras Australoid yang terlebih dahulu tinggal di kepulauan ini, kemudian datang Ras Mongoloid bermigrasi secara besar-besaran tidak ada satupun rintangan. Demikian pula kedatangan bangsa-bangsa lain berikutnya, yang akhirnya mereka harus saling berhubungan, berintegrasi, dan kawin-mawin, itu semua adalah Sunatullah yang patut kita syukuri (Kasnowihardjo, 2016).

Budaya maritim

Kajian historis-arkeologis di atas jelas menunjukkan bahwa nenek moyang kita adalah keturunan dari manusia atau orang-orang yang sangat berpengalaman mengarungi samudera dan menjalani kehidupan di lingkungan kelautan dalam kurun waktu yang cukup lama. Dengan kata lain nenek moyang kita adalah bangsa yang memiliki budaya kemaritiman. Budaya kemaritiman tidak hanya kegiatan di laut, akan tetapi adapula berbagai kegiatan yang dilakukan di darat. Kata maritim berasal dari kata maritime yaitu sesuatu yang berkaitan dengan laut.

Kegiatan kemaritiman selain pelayaran, dan mencari ikan ataupun sumberdaya laut lainnya, juga beberapa kegiatan seperti membuat perahu dan peralatan pelayaran lainnya, mengolah hasil tangkapan ikan dan melakukan perdagangan. Ketrampilan dan keahlian baik dalam kehidupan di laut maupun di darat seperti tersebut sudah diajarkan oleh nenek moyang kita sejak ribuan tahun yang lalu. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pada awal pertengahan Millenium Pertama (Abad ke-5 M) hingga pertengahan Millenium Kedua (Abad ke-15 M), di Nusantara muncul kerajaan-kerajaan yang telah go international dan disegani oleh kerajaan-kerajaan lain (dari Kerajaan Kalingga hingga Kerajaan Majapahit).

Putri Simha Ratu Kalingga

Antara Abad ke-5 hingga 7 Masehi menurut berita Cina ada satu kerajaan di Jawa yang bernama Kalingga. Dipimpin oleh seorang Ratu yaitu Putri Simha. Ia dikenal sangat jujur, adil, tegas, dan bijaksana dalam memimpin rakyatnya. Kehebatan Ratu Simha dan Kerajaan Kalingga sampai terdengar oleh bangsawan Arab. Hingga suatu hari bangsawan Arab tersebut datang ke Kalingga dan meletakkan pundi-pundi yang berisi kepingan uang emas di dekat tempat keramaian (pasar). Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit contoh lain kejayaan bangsa Indonesia pada masa lalu. Oleh karena kemampuan kemaritiman yang dimilikinya, sehingga mampu menguasai perdagangan antar pulau maupun antar negara. Di Indonesia Timur, pelaut Bugis-Makassar sejak ratusan tahun yang lalu mengarungi lautan Pasifik mencari Teripang hingga mencapai Benua Australia.

Dapat dibayangkan betapa hebatnya bangsa Indonesia pada masa lalu, potensi kemaritiman yang berupa sumberdaya alam dapat dikelola dengan kemampuan sumberdaya manusia yang mumpuni. Hasilnya, kesejahteraan rakyat khususnya nelayan tercapai sehingga apabila rakyat makmur, maka negara/kerajaanpun menjadi kuat. Hal ini telah dibuktikan oleh nenek moyang kita pada masa-masa yang lampau. Walaupun demikian, kejayaan masa lampau tidak semata-mata dari kejayaan kemaritiman saja, potensi kehidupan in land tidak kalah pentingnya dalam mendukung kejayaan dunia kemaritiman. Tonggak Revolusi Neolitik seperti domestikasi tanaman dan hewan dapat mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa agraris. Pertanian dan peternakan berkembang sangat pesat karena didukung posisi geografis negara Indonesia yang dilewati katulistiwa dan memiliki dua musim yang menjadikan tanah Indonesia tanah yang subur……thukul kang sarwo tinandur.

Sumberdaya alam dari pedalaman seperti Emas, Cendana, Gaharu, dan Barus merupakan komoditi eksport. Dicari oleh para pedagang dari Eropa, Timur Tengah, India, dan negara Asia lainnya. Muara Kaman yang berada di antara pertemuan Sungai Mahakam dan Sungai Kedangrantau di pedalaman Kalimantan Timur, sejak masa protosejarah sudah dikenal sebagai pusat perdagangan emas dan gaharu. Waktu itu, Kudungga yang berperan sebagai Big Man atau Syahbandar di Muara Kaman, dan akhirnya ia mampu mengantarkan cucunya Mulawarman sebagai raja pertama di Nusantara. Beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Mulawarman itulah yang menandai berakhirnya masa prasejarah dan dimulainya masa sejarah di Indonesia (Cahyono dan Gunadi, 2007).

Penutup

Kejayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim di masa lalu adalah sejarah yang seharusnya kita suri tauladani. Demikian pula kejayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa agraris harus kita kaji kembali. Semestinya, di awal Millenium ketiga bangsa dan negara Indonesia sudah tergolong sebagai negara yang maju, sudah tinggal landas istilah Pak Harto. Namun kenyataannya, Millenium ketiga sudah berjalan hampir 20 tahun, kita masih di landasan bahkan makin terpuruk. Sampai-sampai akhir-akhir ini muncul anekdot: Piye Bro Kabare Saiki, Isih Enak Jamanku To? satu ungkapan bahwa kehidupan rakyat saat ini lebih susah dibanding jamannya Pak Harto, Allahu alam bissawwab.

Mengapa kejayaan kemaritiman dan keagrarisan kita akhirnya tidak bertambah maju bahkan cenderung terpuruk? Di mana kesalahan kita? Mampukah kita mengkaji sejarah bangsa ini dari waktu ke waktu? Bagaimana kebijakan para penguasa di negeri ini dalam mengelola sumberdaya alam Indonesia, yang semestinya itu adalah sumber kehidupan rakyat dan untuk kemakmuran rakyat. Marilah kita menengok sejarah perjalanan bangsa ini. Sudahkah selama ini kita mengacu pada sejarah nenek moyang, atau justru sebaliknya kita telah meninggalkan sejarah mereka?

Sebagai bangsa yang besar kita harus mampu menghargai dan melestarikan peninggalan nenek moyang baik yang bersifat tangible maupun yang intangible. Mengapa Kerajaan Kalingga, Sriwijaya, Singosari, dan Majapahit merupakan suatu kekuasaan yang disegani di Asia Tenggara. Hingga masuknya pengaruh Islam ke Nusantara Kerajaan-kerajaan seperti Samudera Pasai, Demak, dan beberapa Kasultanan di Kalimantan dan Indonesia bagian Timur lainnya merupakan kekuatan-kekuatan yang disegani oleh bangsa lain.

Mereka adalah kerajaan-kerajaan yang dikenal memiliki kekuatan kemaritiman yang tangguh. Dari Indonesia Timur, orang Bugis-Makassar memiliki semboyan: Kualleangi Tallanga Natowalia” diterjemahkan bebas menjadi: “Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut Ke Pantai” Namun arti sebenarnya kata “Kualleangi Tallanga Natowalia” adalah “Lebih Kupilih Tenggelam (di lautan) daripada Harus Kembali Lagi (ke pantai)”. Semboyan yang jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka adalah para pelaut sejati yang memiliki kemampuan kemaritiman. Berabad lamanya mereka mondar-mandir antara Makassar dan Arnhem Land, Australia Utara, menaklukkan Laut Arafuru untuk mencari teripang di Tanah Aborigin (http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/07/kisah-mesra-pelaut-makassar-dan-orang-aborigin-pada-masa-lalu).

Setelah 77 tahun

Bagaimana kondisi kemaritiman bangsa Indonesia sejak lirik lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” ditulis oleh Ibu Sud 77 tahun yang lalu hingga saat ini? Para antropolog mungkin lebih banyak mengetahuinya. Bagaimana nasib para nelayan kita, karena kehidupan nelayan adalah salah satu barometer kemaritiman. Kehidupan mereka yang semakin hari semakin terpinggirkan, inilah akar permasalahan hancurnya kemaritiman bangsa Indonesia. Padahal berawal dari para pelaut, para nelayan yang memiliki kemampuan menerjang ombak dan melawan badai di samudera nan luas, kita bisa mengonsumsi protein tinggi dari biota laut.

Mengapa kita tidak bisa menghargai perjuangan mereka? Bahkan ada kecenderungan secara pelan-pelan ada upaya “membunuh karakter” mereka. Aspek-aspek sosial budaya, sosial ekonomi, dan sosial politik dalam kemaritiman bagi para pelaut dan nelayan kita mulai direduksi oleh kebijakan-kebijakan segelintir penguasa. Akhirnya para pelaut ulung diposisikan sebagai buruh atau awak kapal milik perusahaan ataupun Juragan Kapal. Mereka tidak mendapatkan pembagian hasil tangkapan mereka sendiri, tetapi berapapun besarnya hasil tangkapan mereka, para buruh hanya menerima upah harian dengan standar UMR.

Gaung lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” sudah saatnya dikumandangkan kembali agar meresap dan mengakar di hati sanubari generasi muda kita. Semangat kemaritiman ditumbuhkembangkan dengan membangun sarana-prasarana kemaritiman. Akan tetapi yang paling utama adalah memersiapkan sumberdaya manusia dan memberdayakannya secara proporsional dan profesional. Untuk memasyarakatkan lagu di atas perlu upaya-upaya dan pemikiran yang serius. Kebiasaan generasi muda kita yang telah lama terbungkus oleh budaya sekuler, dan mulai terlepas dari ikatan emosional tradisi-tradisi nenek moyang kita, satu kondisi yang sangat memprihatinkan. Sedangkan mengubah kebiasaan dan pola pikir suatu generasi merupakan pekerjaan yang sangat berat dan perlu kebijakan-kebijakan pemerintah yang tepat.

Kesimpulan dan Rekomendasi:

  • Negara Indonesia adalah negara Maritim yang berkekuatan agraris atau negara Agraris yang berkekuatan Maritim. Sejak masa prasejarah keduanya merupakan kekuatan besar yang harus dikembangkan secara simultan dan paralel.
  • Sejarah adalah acuan atau referensi, terutama sejarah kejayaan suatu bangsa, tidak hanya sebagai acuan akan tetapi dapat dijadikan sebagai tuntunan.
  • Kejayaan kemaritiman bangsa Indonesia mari kita wujudkan kembali. Kita bangun semangat “nenek moyangku orang pelaut”. Kita tumbuh kembangkan jiwa-jiwa pelaut muda kita dengan memberikan pendidikan dan fasilitas yang memadai untuk siap menjadi nelayan dan pelaut yang mumpuni yang memiliki jiwa kemaritiman tinggi.
  • Para buruh akan kembali menjadi nelayan lagi, dan menjadi awak kapal untuk kapalnya sendiri. Tidak seperti yang kita lihat saat ini di antara rumah-rumah kumuh dan sangat sederhana tempat tinggal buruh nelayan itu, berdiri megah bangunan 3 lantai dengan garasi yang cukup untuk 3 mobil milik Juragan Kapal. Itulah kondisi kampung nelayan di Pantura Jawa.
  • Lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” telah berusia 77 tahun, liriknya menyimpan pesan moral yang tidak ternilai tingginya, rasanya lagu yang sarat akan makna kemanusiaan itu sekarang sudah jarang terdengar. Mari kita nyanyikan lagi, kita ajarkan kepada anak-anak usia dini, dari generasi ke generasi. Untuk melestarikannya, mungkinkah lagu ciptaan Ibu Sud ini bersama dengan lagu-lagu lain yang sejiwa dan senilai kita usulkan untuk ditetapkan sebagai intangible heritage atau memory of the humanity? Sekalipun hanya sebagai “warisan” tingkat nasional. Apakah IAAI ingin berkontribusi ?.

Makalah ini dipaparkan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.

Daftar Bacaan

Bellwood, Fox, and Tryon. 2006. The Austronesians, Historical and Comparative Perspective, The Australian National University E-PRESS.

Cahyono, Dwi dan Gunadi, 2007. Kerajaan Kutai Martapura, Kajian Arkeologi Sejarah, Diterbitkan oleh: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. ISBN 978-979-16595-0-5.

Cole, Sonia, 1970. The Neolithic Revolution, Trustees of the British Museum London, Fifth Edition, Printed in England by Staples Printers Limited.

Gunadi, Dkk., 2012. Penelitian Situs Kubur Prasejarah di Pantai Utara Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Laporan Penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta (Belum diterbitkan).

Gunadi, Dkk., 2013. Penelitian Kubur Prasejarah di Situs Leran, Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, Laporan Penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta (Belum diterbitkan).

Gunadi, Dkk., 2014. Pola Permukiman Masa Prasejarah di Kawasan Pantai Utara, Wilayah Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, Laporan Penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta (Belum diterbitkan).

Gunadi, Dkk., 2015. Pola Permukiman Masa Prasejarah-Protosejarah di Kawasan Pantai Utara Jawa: Situs Tanjungan, Desa Tanjungan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Laporan Penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta (Belum diterbitkan).

Gunadi, Dkk., 2016. Pola Permukiman Masa Prasejarah-Protosejarah di Kawasan Pantai Utara Jawa: Laporan Penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta (Belum diterbitkan).

Hall, Kenneth R. 1985. Maritime Trade and State development in Early Southeast Asia, Honolulu: University of Hawaii Press.

Heine-Geldern, Robert von, 1945. “Prehistoric Research in the Netherlands Indies”, Science and Scientist in the Netherlands Indies, dalam Pieter Honig and Frans Verdoorn (eds.), New York: Board for Netherlands Indies, hlm. 129–162.

(http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/07/kisah-mesra-pelaut-makassar-dan-orang-aborigin-pada-masa-lalu). Diunggah pada tanggal 22 Juli 2016, Jam 14:11.

Kasnowihardjo, Gunadi; Suriyanto, Rusyad Adi; Kusbardiyati, Toetik; dan Murti, Delta Bayu,. 2013. “Modifikasi Gigi Manusia Binangun dan Leran, Temuan Baru di Kawasan Pantura, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah”, Berkala Arkeologi, Volume 33, No. 2, edisi November. Hal. 169–184.

Kasnowihardjo, Gunadi, 2016. “Kontribusi Hasil Penelitian Arkeologi dalam Program Kebhinekaan Sebagai Pemersatu Bangsa: Studi kasus pada situs kubur prasejarah di pantai utara Jawa Tengah”, Berkala Arkeologi, Volume 36, Edisi No. 2–November. Hal. 161–172.

Khairunnisa, Nur, TT. “Zona Pelagik, Mesopelagik, dan Abisal”, diunggah dari www.academia.edu/25689990/Zona Pelagik, Meso-pelagik dan Abisal.

Rushton, J, Philippe. 1997. Race, Evolution, and Behavior A Life History Perspective, First paperback edition by Transaction Publisher, New Brunswick, New Jersey 08903.

Soejono, R. P. dan Leirissa, R. Z. 2008. “Zaman Prasejarah di Indonesia”, dalam: Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.al), Sejarah Nasional Indonesia I, Balai Pustaka, Edisi Pemutakhiran, Cetakan Kedua.

Simanjuntak, Truman, 2011. “Austronesia Prasejarah di Indonesia” dalam M. Irfan Mahmud dan Erlin Novita Idje Djami (ed.al.) Austronesia & Melanesia di Nusantara: Mengungkap Asal-Usul dan Jati-Diri dari Temuan Arkeologis, Penerbit Ombak, Yogyakarta.

Nenek Moyangku Seorang Pelaut

nenek moyangku orang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa

angin bertiup layar terkembang
ombak berdebur di tepi pantai
pemuda b’rani bangkit sekarang
ke laut kita beramai-ramai