Prasasti sebagai Sumber Sejarah

Prasasti merupakan bukti arkeologis yang dapat dijadikan sumber sejarah. Penemuan prasasti menandakan perpindahan dari masa nirleka (prasejarah) menuju masa mengenal tulisan (sejarah). Sumber tertulis ini biasanya dibuat atas perintah raja yang isinya meliputi perintah, tokoh, kejadian tertentu, hingga aspek-aspek kehidupan lainnya. Dengan kata lain, prasasti mencatat berbagai hal di masa lalu yang diabadikan pada media tertentu dengan aksara dan bahasa tertentu. Ukiran-ukiran ini menjadikan prasasti mempunyai peran penting dalam mengungkap kehidupan di masa lalu, khususnya masa klasik Hindu dan Buddha.

Sebagian besar prasasti ditemukan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang notabene melalui masa klasik dalam kurun waktu yang cukup lama. Prasasti yang ditemukan di dua wilayah ini ratusan jumlahnya, berbeda dengan yang di Jawa Barat, hanya ditemukan 39 prasasti. Prasasti-prasasti di Jawa Barat diukirkan di berbagai macam media seperti emas, lempengan tembaga, perunggu, batu alam, arca, tempayan, terakota, dan materai.

Penggunaan Aksara dan Bahasa yang Beragam

Aksara dan bahasa pada prasasti-prasasti di Jawa Barat tergolong beragam, dari aksara Pallawa dengan bahasa Sansekerta, aksara Jawa Kuna dengan bahasa Jawa Kuna dan Sunda Kuna, serta aksara Sunda Kuna dengan bahasa Sunda Kuna.

Jika dinilai dari sisi perkembangan aksara dan bahasa, prasasti Jawa Barat dapat disebut lebih lengkap dibandingkan prasasti-prasasti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari ke-39 prasasti, beberapa berasal dari masa protosejarah dan kerajaan awal nusantara.

Prasasti-prasasti tertua menggunakan aksara Pallawa Awal.  Contohnya adalah prasasti-prasasti kerajaan Tarumanagara yang dikeluarkan oleh raja Pūrnawarman pada tahun 450 M. Prasasti-prasasti tersebut adalah prasasti Tugu, Pasir Awi, Ciaruteun, Kebon Kopi I, Muara Cianten, Jambu atau Pasir Koleangkak, dan Lebak atau Cidanghiang. Hasan Djafar menyebutkan bahwa prasasti Pasir Awi dan Muara Cianten bukanlah aksara, melainkan gambar. Prasasti beraksarakan Pallawa Awal hanya ditemukan di Jawa Barat dan Kutai, Kalimantan Timur.

Prasasti yang menggunakan aksara Pallawa Akhir ditemukan di kawasan percandian Batujaya. Delapan prasasti tersebut menggunakan bahasa Sansekerta. Hasan Djafar pada tahun 2010 menyebutkan bahwa prasasti-prasasti ini berasal dari masa kerajaan Tarumanagara, sekitar abad ke-7 dan ke-8 Masehi.

Setelah kerajaan Tarumanagara, muncul kerajaan berikutnya yang bernama Kerajaan Sunda. Keberadaan Kerajaan Sunda dibahas dalam prasasti Kebon Kopi II yang ditulis dengan aksara Pallawa Akhir berbahasa Melayu Kuna. Prasasti dari kerajaan Sunda yang berikutnya menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuna, yaitu prasasti Mandiwunga, Sanghyang Tapak I dan II, serta prasasti Sadapaingan.

Prasasti dengan aksara dan bahasa Sunda ditemukan di situs Astana Gede, Ciamis, sebanyak enam prasasti, yaitu prasasti Kawali I, Kawali II, Kawali III, Kawali IV, Kawali V, dan Kawali VI. Prasasti Kebantenan yang ditemukan di Kebantenan, Bekasi juga menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuna.

Keragaman penggunaan aksara dan bahasa pada prasasti-prasasti di Jawa Barat menunjukkan pentingnya kawasan Jawa Barat di dalam sejarah perjalanan kerajaan-kerajaan di nusantara pada masa lalu, khususnya dari masa protosejarah menuju masa klasik yang kemudian sebagian besar terkonsentrasi di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju diharapkan dapat menemukan tinggalan sejarah lainnya yang dapat menguak lebih jauh tentang kerajaan Tarumanagara dan kerajaan Sunda.

Referensi:

Nastiti, Titi Surti & Hasan Djafar. 2016. “Prasasti-prasasti dari Masa Hindu Buddha (Abad ke-12-16 Masehi) di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat” dalam Purwawidya Vol. 5 No. 2: 101-116. Bandung: Balai Arkeologi Jawa Barat.

Baca juga:

Prasasti Pasir Awi, Jejak Tarumanegara di Perbukitan Cipamingkis

Tiga Prasasti Tarumanagara, Bukti Legitimasi Kekuasaan Raja Purnawarman

Prasasti Cidanghiang, Prasasti Purnawarman di Pandeglang