Pada awalnya museum secara tradisional berorientasi pada pengamanan objek. Seiring berjalannya waktu, museum kini fungsinya menjadi lebih kompleks yaitu melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat. Implikasinya, individu yang melihat objek koleksi museum (yang biasanya ditata dan diklasifikasikan berdasarkan pendekatan taksonomi atau kronologi) dianggap telah melakukan proses pembelajaran. 

Dengan melihat dan melakukan observasi terhadap objek yang telah dipamerkan di dalam museum, proses pembelajaran dipercaya telah terjadi dengan sendirinya. Pada masa itu pula, guru atau pengajar (begitu pula dengan museum sebagai institusi pendidikan) dianggap sebagai ahli yang harus memberikan pengetahuan. Mereka tidak perlu memperhatikan kebutuhan individu anak didiknya. Kegiatan belajar mengajar difokuskan pada proses transfer ilmu secara pasif.

Pada perkembangan berikutnya pelayanan di museum pun berorientasi pada masyarakat atau publik. Hal ini sejalan dengan perkembangan teori belajar. Proses pembelajaran akan lebih efektif apabila dilakukan dengan cara yang menyenangkan, sehingga batas antara kegiatan edukasi dan kegiatan bermain menjadi ‘bias’. Proses pembelajaran ideal dianggap sebagai sesuatu yang interpretatif, terbuka dan fokus terhadap identitas pembelajar.

Pengajar dalam hal ini edukator museum dituntut untuk lebih memperhatikan kebutuhan pembelajar. Terutama dalam perbedaan gaya belajar (learning styles) teori multiple intelligence, dan juga terhadap pengalaman yang akan didapatkan dari proses belajar (learning experience). Jadi proses pembelajaran di museum tergantung pada edukator museum.

Edukator Sebagai Ujung Tombak Pelayanan Museum

Demi menjalankan fungsi-fungsi di atas,  maka diperlukan edukator museum yang kompeten. Hal ini sudah dibahas dalam penjelasan PP Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum, yaitu pada Pasal 11 Ayat (2) Huruf (e), edukator adalah petugas teknis yang melakukan kegiatan edukasi dan penyampaian informasi. Dengan demikian edukator menjadi ujung tombak pelayanan di museum yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Edukator memiliki peran dan lingkup pekerjaan yang sangat luas. Mulai dari “mengajar” di museum dan di luar museum (outreach program). Kemudian mengedukasi guru, melatih (training) pegawai museum, terlibat dalam kerjasama dengan berbagai pihak, merancang dan menjalankan berbagai program edukasi dan program publik. Hingga melakukan penilaian dan evaluasi, melakukan pekerjaan administrasi, berhubungan dengan pemasaran dan publikasi, penggalangan dana, dan melaksanakan berbagai pekerjaan lainnya.

Dibutuhkan Standar Kompetensi Edukator Museum

Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman pada 2018 melakukan Penyusunan SKKNI Edukator Museum sebagai dasar untuk pelaksanaan sertifikasi. SKKNI Edukator Museum ini merupakan norma standar, sekaligus tolak ukur bagi edukator dalam memberikan pelayanan di museum.

Pada saat penyusunan SKKNI edukator, wakil dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia menyarankan agar SKKNI yang disusun tidak hanya edukator, melainkan mencakup bidang permuseuman secara keseluruhan. Oleh karenanya output kegiatan ini adalah SKKNI Bidang Permuseuman, yang di dalamnya juga membahas tentang SKKNI edukator museum.

Tahapan penyusunan SKKNI sesuai dengan Permenaker Nomor 3 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia adalah:

  1. Penentuan Komite Standar Kompetensi, tim perumus, dan tim verifikator;
  2. Penyusunan draft (oleh tim perumus);
  3. Verifikasi internal;
  4. Pra Konvensi nasional;
  5. Perbaikan setelah pra konvensi;
  6. Verifikasi eksternal oleh Tim Kemenaker;
  7. Konvensi Nasional;
  8. Perbaikan setelah konvensi nasional;
  9. Penyerahan ke Kemenaker RI; dam
  10. Penetapan (oleh Menteri Ketenagakerjaan).

Secara umum Penyusunan Naskah SKKNI Edukator Museum bertujuan agar tersedianya Naskah Rumusan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) Profesi Edukator Museum. Sementara tujuan khususnya adalah sebagai salah satu tolak ukur untuk untuk merumuskan kemampuan kerja, yang mencakup aspek Pengetahuan (knowledge), Keterampilan dan/atau Keahlian (skills) serta Sikap kerja (attitude) yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan edukator. Selain itu juga sebagai dasar untuk pelaksanaan sertifikasi edukator museum.

Pada 2018 lalu, kegiatan ini dilaksanakan pada Februari-April 2018. Pra-konvensinya dilaksanakan pada 2 Mei 2018 dengan melibatkan 50 orang, dan Konvensi dilaksanakan pada 23 Juli 2018 melibatkan 106 orang.

Baca juga: Kompetensi Edukator Museum Harus Sesuai Standar