Kebesaran Purnawarman yang hampir terlupakan

 Alih aksara:

vikrānto ‘yaṃ vanipateḥ | prabhuḥ satyaparā[k]ramaḥ

narendraddhāvajabhūtena | śrīmataḥ pūrṇṇavarmaṇaḥ

Alih bahasa:

“Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia, Yang Mulia Pūrṇṇawarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja”.

Segala puji bagi Yang Mulia Purnawarman, penguasa Tarumanagara yang kecemerlangannya bagai sang Ditya. Semoga sejahtera baginda Purnawarman, panji sekalian raja-raja.

Jembatan bambu menuju lokasi prasati yang diikat pada bagian bawah untuk pijakan kaki, dan bagian samping kanan untuk pegangan tangan.
Jembatan bambu menuju lokasi prasati yang diikat pada bagian bawah untuk pijakan kaki, dan bagian samping kanan untuk pegangan tangan.

Untaian esensi prasasti yang ditemukan di tepi Sungai Cidanghiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten adalah penyemangat tim untuk mencapai lokasi prasasti. Lebih kurang 1 km harus ditempuh dengan melintasi medan yang cukup berat. Jalanan makadam yang selalu tergenang air dan licin setelah hujan. Ditambah kontur tanah khas dataran tinggi yang tidak stabil terbukti memacu adrenalin dalam berkendara menuju lokasi. Bersama Memet Ali Jaya, juru pelihara prasasti, dan dua orang rekannya menyusuri jalanan menggunakan motor.

Sesampainya di lokasi, tantangan tidak berhenti begitu saja. Satu-satunya akses menuju Prasasti Cidanghiang adalah jembatan bambu. Jembatan itu dibuat dari bambu yang diikat pada bagian bawah untuk pijakan kaki. Bagian samping kanannya untuk pegangan tangan. Ikatan bambu ini dibuat sebagai pengganti jembatan permanen yang hancur setelah diterjang arus deras pada akhir 2017 silam.

Jembatan ini melintasi aliran buatan yang dibuat sebagai upaya mengurangi debit air yang mengancam keberadaan Prasasti Cidanghiang. Akses mulai membaik setelah melewati jembatan yang lebih bagus. Meski berupa jalanan setapak, tetapi dibuat dengan cor-semen. Jembatan kecil ini dibuat oleh pemilik perkebunan sawit di sekitar lokasi.

Setelah berjalan sekitar 100 m, sampailah kami di cungkup berdinding tebal. Melingkupi Prasasti Cidanghiang yang masih insitu. Cungkup ini berjasa dalam mengamankan prasasti dari gerusan aliran Sungai Cidanghiang. Meskipun air masih sering menyelinap masuk di saat musim hujan.

Harus segera dilestarikan

Prasasti Cidanghiang dipahatkan di permukaan batuan andesit. Berukuran 3 x 2 x 2 meter. Menggunakan aksara pallawa dan bahasa sankskerta. Prasasti Cidanghiang kali pertama diketahui dari laporan kepala Dinas Purbakala, Toebagoes Roesjan, pada 1947. Kemudian pada 1954, ahli epigrafi dari Dinas Purbakala datang ke tempat prasasti ini ditemukan.

Sungguh ironis, prasasti yang telah ditetapkan sebagai benda Cagar Budaya peringkat nasional berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 204/M/2016 kondisinya sangat memprihatinkan. Mulai dari akses yang sulit, penunjuk jalan menuju lokasi pun tidak ada. Upaya penanggulangan debit air sungai yang belum efektif. Kondisi cungkup  perlu pemeliharaan berkala. Juga ketiadaan papan informasi sebagai sarana edukasi bagi wisatawan.

Sudah sepantasnya, apabila kajian serta pelestarian terhadap kelestarian Cagar Budaya Prasasti Cidanghiang dilakukan secara berkala. Mengingat statusnya yang sudah ditetapkan pada tingkat nasional. Suatu kerugian besar apabila generasi mendatang tidak dapat kembali mempelajari dan memaknai kebesaran dari Sang Purnawarman, panji sekalian raja-raja. Sebagai akibat dari kesalahan kita dalam menyikapi problematika tersebut.  (Rendy Aditya Putra E.-Sub Direktorat Registrasi Nasional)

Baca juga: Prasasti-prasasti tentang Purnawarman