Pohon Pinang dan Religiusitas Percandian Muarajambi

0
6107
Dua pohon pinang berjajar di belakang salah satu struktur di Candi Kembarbatu.
Dua pohon pinang berjajar di belakang salah satu struktur di Candi Kembarbatu.

Penghubung dunia dewa dan manusia

“Bukanlah suatu kebetulan ada pohon pinang di sekitar candi. Contohnya pada relief di candi-candi masa Majapahit. Itu sebagai antena penghubung antara dunia dewa dan dunia manusia!”. Filosofi tentang pohon para dewata ini menyeruak dari lisan Prof. Dr. Agus Aris Munandar. Sesaat setelah menyadari keberadaan beberapa pohon pinang, di sela-sela kunjungan Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) ke kawasan cagar budaya Muarajambi, kamis (28/06). Ia adalah guru besar Departemen Arkeologi Universitas Indonesia,

Pinang (Areca catechu L.) merupakan tanaman endemik tropis yang dapat ditemui di kawasan Pasifik, Asia, dan Afrika Timur. Secara anatomis, pohon pinang memiliki batang lurus langsing yang menjulang tinggi. Tangkai daunnya pendek, dan helaian daunnya memanjang.

Menggantikan kalpataru sebagai pohon suci

Pada peradaban masa kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara, pohon pinang menempati posisi sakral. Pohon ini menggantikan kalpataru yang populer sebagai pohon suci di India. Keistimewaan bagian-bagian pohon ini ternyata turut membentuk persepsi religius moyang kita. Kemudian dituangkan dalam nilai-nilai keagamaan, terutama Hindu dan Buddha.

Dalam perspektif Hindu-Buddha Nusantara, batang pohon pinang yang lurus menjulang ke atas merupakan jembatan penghubung antara dunia manusia dengan dunia para dewa. Konsep ini tertuang dalam penggunaan kata “panjat”, yang selalu diasosiasikan dengan segala bentuk usaha manusia dalam mencapai tujuan. Misalnya, tradisi “panjat pinang”, yang secara filosofis melambangkan upaya manusia dalam mencapai anugerah—yang letaknya di puncak—dengan bersusah payah terlebih dahulu. Kemudian bagian daun, rontal (ron=daun, tal=pohon pinang) dipercaya menyimpan kekuatan dewa. Sebelum menuliskan mantra ataupun naskah kidung dan kakawin di rontal, para pendeta biasanya beryoga terlebih dahulu dengan tujuan memanggil para dewa. Para dewa ini kemudian akan bersemayam dan memberikan energi ke dalam lembaran-lembaran rontal tersebut.

Selanjutnya, bagian ijuk dan hasil sadapan air pinang (enau) juga dipercaya mampu memberikan kekuatan positif bagi manusia. Ijuk merupakan interpretasi dari rambut Dewi Parwati, yang menaungi manusia dari segala marabahaya, sehingga dimanfaatkan sebagai atap (semi-permanen) pada bangunan candi, patirtaan maupun rumah warga. Sementara air pinang, dianggap sebagai air suci atau air susu dewi yang seringkali dikonsumsi dalam ritual-ritual keagamaan.

Jejeran pohon pinang di belakang struktur Candi Induk, Candi Kembarbatu.
Jejeran pohon pinang di belakang struktur Candi Induk, Candi Kembarbatu.

Menginang

Selain batang pohon, daun, ijuk, dan hasil sadapan air yang memiliki kekuatan magis, buah pohon pinang juga memiliki peran tak kalah penting dalam tradisi masyarakat Indonesia. Buah pinang, dipadukan dengan sirih, kapur, serta bahan-bahan lain yang berbeda di tiap daerah secara rutin dikonsumsi oleh masyarakat pada masa lampau. Tradisi inipun ternyata masih dapat kita saksikan hingga sekarang di daerah-daerah di Sumatera hingga Nusa Tenggara Timur. Meskipun intensitas penggunaannya terbatas pada masyarakat berusia di atas 60 tahun-an. Tradisi bersirih atau menginang ini ternyata berasal dari masa yang lebih tua, yakni neolitikum. Air ludah orang yang menginang akan berwarna merah, yang bermakna darah, simbol kehidupan.

Penanaman pohon pinang di percandian Muarajambi, diperkirakan sudah mulai digalakkan pada masa kerajaan Sriwijaya dan Malayu. Mengingat fungsi dari kompleks ini sebagai tempat peribadatan. Sekaligus mandala atau kawasan studi para bhiksu dan bhiksuni di Asia Tenggara (jika hipotesis mengenai Muarajambi sebagai pusat keagamaan Sriwijaya-sebagaimana laporan I Tsing – diterima). Namun sayang, tidak ada bukti arkeologis yang secara eksplisit mampu menjelaskan keberadaan pohon pinang di Muarajambi pada masa tersebut. Melainkan hanya berasal dari interpretasi dan perbandingan dengan relief-relief yang ditemukan di candi-candi Pulau Jawa, belaka.

Diharapkan penelitian mendatang mampu mengungkap keberadaan serta peran pohon para dewata tersebut pada masa lampau. Pemerintah pusat, bersinergi dengan pemerintah daerah dan masyarakat Desa Muarajambi turut ambil bagian dalam upaya menjaga nilai religio-magis kawasan ini. Dengan tetap membudidayakan pohon pinang bersanding dengan tanaman duren, duku, serta kakao yang tentunya lebih bernilai ekonomis. (Rendy Aditya Putra E.-Sub Direktorat Registrasi Nasional)

Baca juga:

Kawasan Muarajambi

Percandian Muarajambi