Perhatian dunia internasional terhadap wilayah Kalumpang telah berlangsung sejak 1935. Ketika P.V. van Stein Callenfels mempresentasikan hasil ekskavasinya di Bukit Kamasi pada 1933 dalam The Second Congress of Prehistorians of the Far East di Manila (Callenfels 1951). Kemudian Callenfels melakukan penggalian di Situs Palemba yang juga terletak di Desa Kalumpang, tepatnya di sisi selatan, pada sudut pertemuan antara Sungai Karataun dan Sungai Karama.
Penelitian di Situs Kamasi kemudian dilanjutkan oleh Heekeren pada 1949, dengan membuka kotak ekskavasi di sekitar kotak gali Stein Callenfels. Selain di Kamasi, Heekeren (1972) melakukan survei di Minanga Sipakko yang letaknya di tepi utara Sungai Karama, sekitar 4 km di selatan Desa Kalumpang dan memperoleh temuan yang serupa dengan temuan dari Kamasi. Temuan dari hasil penelitian Stein Callenfels dan Heekeren itulah yang menjadi tonggak awal penelitian arkeologi di wilayah Kalumpang, sehingga memunculkan istilah budaya Neolitik Kalumpang.
Truman Simanjuntak melakukan penelitian ulang terhadap Situs Minanga Sipakko pada 2004–2005, dan menemukan sisa pemukiman Neolitik awal yang masih in situ pada kedalaman 80-100 cm dari permukaan sekarang. Penelitian intensif di situs Neolitik Minanga Sipakko dilakukan kembali pada 2007–2008. Hasil ekskavasi di Minanga Sipakko pada 2004–2005 dan 2007, dan di Kamasi pada 2008 menunjukkan adanya lapisan hunian Neolitik dengan karakteristik relatif sama, yang dimulai sekitar 3600 tahun yang lalu.
Fragmen tembikar yang ditemukan pada lapisan hunian bagian bawah, khususnya dilihat dari bentuk tepian dan permukaan tembikar yang diberi slip merah, mengingatkan pada temuan dari Filipina dan Taiwan, yang umurnya sedikit lebih tua. Di samping temuan artefaktual juga terdapat fragmen tulang dan gigi binatang yang didominasi oleh tulang dan gigi babi. Hasil identifikasi gigi babi positif menunjukkan adanya Sus scrofa, yaitu spesies babi yang sudah didomestikasi, yang jelas didatangkan dari luar Sulawesi.
Berdasarkan hasil penelusuran data pustaka, sampai dengan 2014 tercatat 20 situs arkeologi di sepanjang DAS Karama, 10 di antaranya terdapat di wilayah Kecamatan Kalumpang. Kamassi diteliti kembali pada 2011 oleh Balai Arkeologi Makassar, demikian pula beberapa situs lain di tepian Sungai Karama, seperti Sikendeng (Simanjuntak dkk., 2004; Intan, Mahmud, Simanjuntak 2007) dan Palemba (Anggraeni, in press). Beberapa situs baru juga ditemukan di tepi Sungai Karama, antara lain adalah Lattibung (Simanjuntak et al. 2004; Intan, Mahmud, Simanjuntak 2007) dan Pantaraan 1 (Anggraeni, 2012; Anggraeni dkk., 2014) yang lebih dekat dengan muara Karama, Situs Salu Makula (Balai Arkeologi Makassar, 2011) di antara Minanga Sipakko dan Kamassi, dan Kaindoro, 9 km di sebelah barat daya Kalumpang (Balai Arkeologi Makassar, 2012-2013).
Menelusuri riwayat penelitian dan hasil-hasilnya yang dilakukan oleh peneliti dari luar dan dalam negeri, semakin memperkuat dugaan betapa pentingnya situs ini, tidak hanya dalam konteks lokal dan nasional, namun juga sangat penting dalam tataran regional. Tinggalan yang diperoleh merupakan salah satu kunci dalam memahami asal usul dan perkembangan masyarakat Indonesia dan budayanya serta interaksinya dengan dunia luar yang telah terjalin setidaknya sejak 3800 tahun yang lalu. Menurut Simanjuntak (2008), kebudayaan ini membuktikan persebaran ras mongoloid di wilayah selatan yang menjadikan daerah ini fenomenal, tidak saja pada tingkat Asia Tenggara, tetapi hingga ke wilayah pasifik, sekaligus menjadi dasar terbentuknya suku-suku yang ada di Pulau Sulawesi saat ini. Dengan demikian, wilayah ini tidak hanya penting untuk pemahaman sejarah dan budaya lokal, tetapi lebih luas lagi, untuk lingkup nasional dan regional, bahkan untuk lingkup global—kawasan persebaran petutur Austronesia—sejak sekitar 4000 tahun yang lalu hingga sekarang. (Albert&Tim)
KEGIATAN SURVEI PENYELAMATAN
Survei dilaksanakan pada Juli 2014, di sekitar dua Daerah Aliran Sungai di wilayah Kabupaten Mamuju, yaitu di Sungai Karama (Bone Karama) di Kecamatan Kalumpang dan di Sungai Hau (Bone Hau) di Kecamatan Bonehau. Di wilayah Kalumpang 11 situs disurvei, sedangkan di Daerah Aliran Sungai Bone Hau terdapat 20 situs yang berhasil didata dan dikunjungi. Survei yang dilakukan di daerah Kalumpang dan Bonehau ini adalah survei permukaan dengan cara mengamati permukaan tanah dari jarak dekat. Pengamatan tersebut untuk mendapatkan data arkeologi dalam konteksnya dengan lingkungan sekitarnya serta untuk mengetahui hubungan antar data arkeologi. Selain survei, dilakukan juga ekskavasi yaitu teknik pengumpulan data melalui penggalian tanah yang dilakukan secara sistematik untuk menemukan suatu himpunan tinggalan arkeologi dalam keadaan in situ. Jenis ekskavasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah ekskavasi test pit, yakni ekskavasi yang dilakukan untuk memperoleh gambaran jumlah dan keragaman tinggalan, kedalaman lapisan budaya dan jenis lapisan tanah dengan sistem pengukuran yang tidak terlalu secure.