Gunung Padang sisi timur
Dinding sisi timur halaman pertama dengan batu-batu pembatas yang disusun miring. Kecuraman bukit di sampingnya mencapai kemiringan lebih dari 40 derajat.

Sebagai bangunan prasejarah terbesar di Asia Tenggara, Gunung Padang sudah lama menjadi perhatian ilmuwan dan masyarakat umum yang mencoba memahami latar belakang sejarah pendirian, arsitektur, teknologi konstruksi, dan kebudayaan masyarakat yang menghasilkannya. Sejak 1921 bangunan ini sudah dicatat sebagai warisan budaya oleh pemerintah Belanda. Berbagai penelitian dan survei kemudian dilakukan untuk menjawab banyak persoalan, antara lain bagaimana mempertahankan bangunan purbakala ini dari perubahan zaman. Untuk maksud itu pada 1998 situs Gunung Padang ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Keputusan Menteri Nomor 139/M/1998 tertanggal 16 Juni 1998 dengan luas 17.196,52 m2. Keputusan ini dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sebagai landasan hukum. Pada 17 Januari 2014 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan situs Gunung Padang menjadi Cagar Budaya Nasional melalui Keputusan Nomor 023/M/2014 berlandaskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992. Luasnya bertambah dari 17.196,52 menjadi 291.800 m2.

Batas dari situs Gunung Padang di sebelah utara adalah Sungai Cimanggu; di sebelah timur Kali Cikuta; di sebelah selatan Kali Cikuta, Kampung Empang, Pasir Cikuta, dan Kampung Cikuta; dan di sebelah barat adalah Kali Cipanggulaan, Pasir Cipanggulaan, dan Kampung Cipanggulaan. Koordinat pada pusat punden berundak tercatat  6°57′ Lintang Selatan dan 107°1′ Bujur Timur.

Secara terpisah situs Gunung Padang juga telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Bupati Cianjur pada 2010 melalui Surat Keputusan nomor 431/389b/ Disbudpar/2010 sebagai Situs Cagar Budaya.

Nilai penting bangunan punden berundak ini sebagai warisan budaya yang sangat berharga, bersifat langka dan unik dalam kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu punden berundak ini diposisikan sebagai warisan yang tak tergantikan (ireplaceable) sepanjang masa. Maka dipandang penting untuk mempertahankan kelestariannya melalui upaya pelestarian yang holistik dan tepat sasaran. Untuk mencapai tujuan itu maka perlu disusun rencana induk guna mempertahankan warisan budaya yang penting ini.

Penyusunan rencana induk itu harus memperhatikan beberapa hal yaitu:

  1. evaluasi atas hasil penelitian dan pelindungan yang pernah dilakukan sejak 1979 hingga sekarang;
  2. tinjauan kritis atas kondisi bangunan dan lingkungan sekitarnya, dengan menggunakan data yang terkumpul sejak 2012 hingga 2015;
  3. kunjungan wisata ke situs maupun bangunan punden;
  4. kondisi bangunan dan lingkungan pada saat ini; dan
  5. pemanfaatan situs dan bangunan purbakala sebagai daya tarik wisata maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan oleh kalangan umum.

Berdasarkan kelima hal tersebut, Rencana Induk Pelestarian Situs Gunung Padang akan mencakup:

  1. pemugaran bangunan purbakala punden berundak;
  2. penataan bukit Gunung Padang dan pemanfaatan lahan di sekitarnya;
  3. pengendalian air dan vegetasi;
  4. penataan ruang dan zonasi situs;
  5. presentasi situs, bangunan, dan benda-benda masa lalu; dan
  6. manajemen wisata dan ruang. (Albert&Tim)