Oleh: Gde Yadnya Tenaya

Pengelolaan Cagar Budaya berbasis kearifan lokal

Pengelolaan Situs Kapal Usat Liberty sebagai Objek Wisata Berbasis Kearifan Lokal di Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.

Tidak terbantahkan lagi bahwa Negara Republik Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang dihuni oleh berbagai macam suku dan agama serta didukung oleh jumlah sumber daya manusia yang cukup besar adalah negara yang sangat kaya dengan sumberdaya alam dan sumberdaya budaya. Kekayaan yang berasal dari sumberdaya alam berada pada dua lokasi antara lain di wilayah daratan dan di wilayah perairan laut, danau, dan sungai. Kekayaan yang berasal dari sumber daya budaya antara lain adat istiadat, tradisi, agama, dan budaya. Salah satu kekayaan yang bersumber dari kekayaan budaya adalah tinggalan arkeologi. Jika dipilah ke dalam bagian yang lebih spesifik, tinggalan arkeologi dibedakan menjadi dua bagian yakni tinggalan arkeologi yang berada di wilayah daratan dan di perairan. Tinggalan arkeologi yang berada di wilayah daratan seperti arca, candi/pura, arca, prasasti, dan lain-lain, sedangkan tinggalan arkeologi yang berasal dari wilayah perairan seperti kapal tenggelam beserta muatan kapal.

Di dalam pengelolaan dan pengembangan bagi kelangsungan hidup untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan dalam realitasnya masih didominasi oleh pemanfaatan kekayaan alam. Bahkan tidak jarang pemanfaatan yang dilakukan tidak terkontrol. Suatu hal tidak kalah pentingnya dengan kekayaan alam, kekayaan yang berasal dari sumberdaya budaya juga akan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat apabila dikelola dengan baik dan benar serta bijak. Di era pariwisata global seperti yang tengah terjadi dewasa ini, pengelolaan dan pengembangan terhadap sumber daya budaya, dalam hal ini sumberdaya budaya tinggalan arkeologi, telah menjadi viral di kalangan masyarakat luas. Sebagai contoh di Bali, pengembangan situs arkeologi (cagar budaya) yang berada di wilayah daratan sebagai objek dan tujuan wisata antara lain Pura Tirta Empul, Gunung Kawi, dan Goa Gajah di Kabupaten Gianyar, Tanah Lot di Kabupaten Tabanan, Taman Ayun dan Pura Uluwatu di Kabupaten Badung, dan Pura Pucak Penulisan di Kabupaten Bangli. Contoh situs cagar budaya bawah air yang telah dikembangkan sebagai objek dan tujuan wisata adalah situs kapal USAT Liberty di Desa Tulamben, Karangasem.

500-an titik situs arkeologi bawah air

Situs arkeologi bawah air merupakan salah satu kekayaan sumber daya budaya bangsa Indonesia, di samping situs arkeologi yang berada di wilayah daratan. Berdasarkan catatan Akademi Pelayaran Nasional (AKBP), situs-situs bawah air berupa kapal-kapal kuno yang tenggelam di wilayah perairan Indonesia yang telah ditemukan titik-titiknya berjumlah sekitar 500-an titik. Dari sekian banyak titik-titik tersebut baru sebagian kecil saja yang teridentifikasi dan sebagian besar belum dapat diketahui lokasinya. Penyebabnya adalah faktor keletakan yang terlalu dalam dan lokasinya atau aksesnya yang sulit dijangkau.

Tinggalan kapal Jepang di Perairan Pantai Amed Karangasem.

Beberapa titik lokasi situs yang teridentifikasi dapat dikemukakan. Antara lain yang terdapat di Bali utara berupa kapal kuno. Kapal ini diduga sebagai tinggalan dari masa kolonial Jepang. Tepatnya berada di wilayah perairan pantai Dusun Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem. Jangkarnya ditemukan pada areal perairan di sebelah timurnya sekitar 3 kilometer dari lokasi bangkai kapal. Di wilayah situs Sembiran juga ditemukan keramik Arikamedu yang menurut dugaan berasal India (Sedyawati, 2012:5).

Tinggalan bawah air kapal freighter di Teluk Wairterang Flores.

Di wilayah perairan Gili Meno, Lombok Utara ditemukan kapal selam kecil, yang diduga milik Angkatan Laut Jepang. Posisinya berada di kedalaman lebih dari 40 meter. Di wilayah perairan Teluk Wair Terang, Kecamatan Wai Gete, Provinsi Nusa Tenggara Timur teridentifikasi satu kapal jenis freighter. Kapal ini diduga milik Angkatan Laut negara Jepang pada kedalaman antara 10–32 meter.

Beberapa keramik temuan permukaan di Teluk Santong, Sumbawa NTB.

Di Teluk Santong, Kecamatan Empang, Sumbawa, ditemukan barang muatan kapal berupa keramik yang diduga buatan Vietnam. Keramik-keramik tersebut ditemukan penduduk/nelayan setempat pada kedalaman 7–9 meter. Sangat disayangkan, sebagian besar temuan-temuan tersebut telah dijual oleh penemunya. Beberapa di antaranya dikoleksi oleh masyarakat lokal, misalnya beberapa keramik yang telah telah dimiliki oleh Zein Sembang (60 tahun) mantan Camat Empang. Barang-barang tersebut ditemukan pada bangkai kapal kayu yang tenggelam karena terbakar.

Lain halnya dengan Teluk Santong Sumbawa, di teluk kecil di daerah yang sangat terpencil dan tersembunyi dekat perairan Pulau Semau, Kupang, diberitakan oleh media internet bahwa terdapat satu kapal milik tentara Jepang yang tenggelam karena terkena bom. Sampai saat ini titik ini belum dapat diketahui secara pasti karena terkendala faktor cuaca dan kondisi perairan yang tidak memungkinkan diselami.

Sebagian besar belum diaktualkan

Situs-situs tersebut sebagian besar belum diaktualkan oleh masyarakat selaku pemiliknya. Sebagai kekayaan budaya, situs-situs tersebut tak ubahnya sebagai kekayaan yang masih terpendam di dalam air. Untuk ke depannya sangat berpotensi besar dapat dikembangkan. Melakukan pengembangan situs bawah air, lebih-lebih untuk kepariwisataan, disadari merupakan suatu pekerjaan yang tidak gampang. Oleh karena dalamnya praktiknya dibutuhkan waktu dan proses yang panjang, pemahaman akan arti penting, dan kesadaran, serta hal-hal penting lainnya yang mempengaruhi keberhasilan di dalam pengembangannya. Permasalahannya adalah belum adanya pemahaman dan kesadaran terhadap arti penting tinggalan arkeologi bawah air di kalangan masyarakat luas. Sebagai akibatnya kerap kali terjadi ‘pembalakan’ dengan tujuan semata-mata untuk keuntungan pribadi karena tergiur nilai uang (Supardi, 2012:132). Kejadian seperti itu adalah sangat sering terjadi terhadap tinggalan bawah air di negeri ini. Misalnya pengangkatan terhadap barang muatan kapal secara illegal, pengangkatan terhadap besi-besi kapal, dan masih banyak lagi perlakuan semacam itu yang terjadi di negara ini.

Tiga komponen penting

Keberhasilan pengembangan situs cagar budaya sebagai objek dan tujuan wisata adalah tidak terlepas dari peran dan keterlibatan tiga komponen penting yakni masyarakat pemilik situs, pengusaha, dan pemerintah. Pengelolaan terhadap situs cagar budaya bawah air tinggalan bangkai kapal USAT Liberty di Desa Tulamben merupakan salah satu contoh pengelolaan dan pengembangan situs berbasis masyarakat berlandaskan modal budaya dan kearifan lokal. Kearifan lokal, terdiri atas dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (http://ariefksmwrdn.blogspot.co.id/2014/06/pengertian-kearifan-lokal.html). Kearifan lokal yang diaplikasikandi dalam pengelolaan dan pengembangan situs cagar budaya bawah air di Desa Tulamben adalah dalam bentuk ide atau gagasan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai luhur, disinergikan dengan budaya yang berakar dari tradisi lokal dan dilaksanakan secara bersama dan konsisten.

Bertolak dari pemahaman tersebut, seperti telah disebutkan di atas, bahwa situs-situs yang diduga sebagai situs cagar budaya bawah air di wilayah perairan Indonesia masih sangat banyak jumlahnya dan berpotensi untuk dikembangkan namun sulit berkembang sebagai objek dan tujuan wisata. Kesulitan berkembang karena terkendala oleh banyak faktor. Di antaranya seperti aksesnya sulit karena berada di daerah terisolir dan tidak didukung infrastruktur yang memadai, masyarakat pemiliknya tidak memahami/mengerti tentang cagar budaya, masyarakatnya kurang jeli melihat celah/peluang usaha, pemerintah daerah tidak konsen dan kurang memberikan perhatian terhadap cagar budaya, dan lain-lainnya.

Pengelolaan Situs Kapal USAT Libertysebagai Objek Wisata

Riwayat Pengembangan

Pengembangan Situs Kapal U.S.A.T.Libertydari awal sampai dengan situasi terkini secara garis besarnya dapat dibagi ke dalam tiga fase. Pertama fase awal (1942–1979), kedua fase perintisan (1980-2005), dan ketiga fase pengembangan (2006-sekarang).

Fase awal berlangsung sekitar 1942–1979. Pada fase ini kondisi sosial ekonomi masyarakat Tulamben pendapatan perkapita penduduknya sangat rendah dan tergolong ke dalam salah satu desa miskin di Bali. Pada fase ini sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan, petani, penambang batu kapur di laut, dan berkebun pada tanah lahan yang kering dan tandus. Bertambah parah dan memperihatinkan lagi akibat dari beberapa kali letusan Gunung Agung. Masa berikutnya adalah Perang Dunia II yang berlangsung pada 1942–1945. Bagi masyarakat Desa Tulamben, peristiwa ini merupakan momentum sejarah yang sangat penting bagi masyarakat Desa Tulamben. Puncak momentum tersebut terjadi pada 11 Januari 1942. Pada saat itulah Kapal USAT. Liberty ditorpedo oleh tentara sekutu di Selat Lombok. Upaya penyelamatan dibantu oleh kapal Belanda Van Gent dengan tujuan utama pelabuhan laut di Singaraja, karena dalam kondisi rusak berat dan tidak memungkinkan melanjutkan perjalanan akhirnya terdampar di perairan pantai Desa Tulamben. Pada awal kandasnya Kapal U.S.A.T. Liberty pada mulanya berada pada garis pantai Desa Tulamben, seluruh badan kapal dapat dilihat dengan jelas.

Terdamparnya kapal ini, warga masyarakat lokal tak pernah membayangkan bahwa bangkai kapal tersebut akan memberikan berkah yang luar biasa bagi perekonomian masyarakat setempat seperti sekarang ini. Kendatipun demikian, aktivitas rutinnya sebagai nelayan, penambang kapur, maupun sebagai petani masih tetap dijalani sebagaimana biasanya. Awal kunjungan wisatawan di wilayah Desa Tulamben terjadi pada 1987 dirintis oleh seorang agen perjalanan wisata selam bernama Pak Hien berasal dari Denpasar. Pada tahun tersebut Pa Hien beberapa kali membawa wisatawan untuk menyelam di pantai Desa Tulamben denganjasa ongkos angkut peralatan selam sebesar seribu rupiah (Rp1.000,00) per set. Pada masa itu wisatawan yang datang masih sangat sedikitbahkan masih jarangyakni sekitar 20–30 orang. Seiring dengan perjalanan waktu, dirasakan dampaknya yang begitu besar dengan adanya kunjungan wisatawan di wilayah desanya, di masa-masa selanjutnya dikalangan masyarakat lokal muncul keinginan berlomba-lomba untuk mendapatkan rezeki dari pekerjaan melayani wisatawan. Semakin banyak wisatawan yang berkunjung pelayanan yang diberikan oleh masyarakat lokal menjadi semakin tidak tertib. Hal itu disebabkan oleh praktik-praktik pelayanan yang tidak sehat di antara sesama warga lokal. Menengahi persoalan tersebut, melalui perangkat adat yakni Bendesa Adat setempat (I Nyoman Kariasa) permasalahan dapat diselesaikan dengan arif dan bijak. Sejak saat itu untuk pertama kalinya dibentuk organisasi pelayan tamu (porter/helper). Pengelolaan diatur oleh desa adat dengan ketentuan dan kesepakatan sistem bagi hasil. Penghasilan yang diperoleh setiap hari dipotong 20% untuk desa adat, 80% sisanya menjadi bagian mereka. Masa-masa selanjutnya wisatawan yang datang menjadi semakin ramai. Untuk memfasilitasi mereka dibuatlah areal parkir pada 5 Mei 2004, dengan tujuan untuk memfasilitasi para wisatawan dalam melakukan bongkar muat barang dengan harapan wisatawan akan merasa tenang dan nyaman.

Campur tangan Pemerintah

Semakin banyaknya wisatawan datang ke Desa Tulamben, campur tanganpun muncul dari Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem dengan alasan melestarikan lingkungan dan keberadaan bangakai kapal. Campur tangan pemerintah daerah bukannya membuat warga masyarakat merasa tenang akan tetapi sebaliknya, masyarakat menjadi merasa resah. Masyarakat merasa resah karena pemerintah mengeluarkan aturan terhadap masyarakat berupa larangan mencari/menangkap ikan dengan radius 100 meter di sekitar kapal yang karam. Keresahan kegundahan berlangsung selama tiga tahun, namun setelah diluruskan oleh Bendesa Adat Tulamben barulah mereka tumbuh kesadarannya. Fase perintisan berlangsung sekitar 1980–1997. Pada fase ini kunjungan wisatawan baik asing maupun domestik setiap harinya semakin banyak. Untuk mengantispasi keamanan dan untuk kenyamanan wisatawan dibuka fasilitas dua lahan parkir tambahan, di bagian barat di depan karamnya kapal (di belakang Hotel Puri Madha) dan di dekat lokasi spot dive drop off. Fasilitas hotel/restauran yang dibangun pertama kali adalah Hotel Paradise dan Hotel Mimpi. Hotel Mimpi dirintis oleh Patrick Schwarz pengusaha yang berasal dari Negara Swiss. Pengusaha ini sangat tertarik dengan potensi yang dimiliki oleh pantai Tulamben. Kedua hotel mulai dibangun pada 1984 dan mulai beroperasi pada 1986.

Pengembangan

Fase pengembangan sebagai daerah tujuan wisata berlangsung mulai sekitar 1997–sekarang. Pada fase ini para pengusaha asing, nasional, dan lokal berdatangan menanamkan investasinya di wilayah Desa Tulamben. Lahan-lahan yang dipandang strategis menjadi berpindah tangan dibangun hotel/bungallow/villa, restauran, counter dive, dan fasilitas lainnya terkait dengan wisata selam. Bangunan fasilitas tersebut hampir seluruhnya terkonsentrasi di sepanjang garis pantai dan di sepanjang perkampungan, sedangkan lahan-lahan yang berada di bagian belakang perkampungan dan agak jauh dari garis pantai dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan. Selebihnya merupakan lahan yang kurang produktif untuk lahan pertanian. Semakin berkembangnya kepariwisataan di desa ini, masyarakat lokal yang tidak mau ketinggalan dalam memanfaatkan peluang yang tersedia secara berangsur-angsur mulai terjun dan larut ke dalam dunia pariwisata.

Desa Tulamben sebagai daerah tujuan wisata yang telah berkembang telah memenuhi persyaratan sebagaimana kriteria daerah tujuan wisata seperti yang dinyatakan oleh Cooper dkk. (1995:81) yang mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) komponen yang harus dimiliki sebagai daya tarik wisata, yaitu (1) atraksi (attractions), seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah yang menawan dan seni pertunjukan. (2) Aksesibilitas (accessibilities) seperti transportasi lokal dan adanya terminal. (3) Amenitas atau fasilitas (amenities) seperti tersedianya akomodasi, rumah makan, dan agen perjalanan. (4) Ancillary services yaitu organisasi kepariwisataan yang dibutuhkan untuk pelayanan wisatawan seperti destination marketingmanagement organization, conventional and visitor bureau.Komponen atraksinya adalah kapal karam U.S.A.T. Liberty, dengan didukung oleh enam lokasi titik spot dive, keindahan alam bawah air maupun panorama alam di wilayah daratan. Komponen aksesibilitas, didukung oleh transportasi yang lancar, karena berada pada jalur lalulintas utama yang menghubungkan wilayah Kabupaten Kareangasem dengan Buleleng. Sehingga lokasi ini dengan akses yang mudah dicapai, baik dari ibukota provinsi maupun dari ibukota kabupaten. Komponen fasilitas (amenities) yang ada di Desa Tulamben antara lain didukung oleh 17 warung, 3 mini market, dan 33 hotel/restauran/villa. Fasilitas wisata yang dibangun terakhir adalah Bali Dive Resort dibangun pada 2014, dan telah beroperasi sejak 2015. Komponen organisasi kepariwisataan yang dibutuhkan untuk pelayanan wisatawan (ancillary services), yang telah ada di Desa Tulamben antara lain, pemandu wisata selam, porter/helper, jukung, pengelola retribusi, massas, dan siskamling.


Pengembangan Ruang Kawasan Situs

Berdasarkan karakteristik wilayahnya, ruang kawasan situs Kapal USAT Liberty berkarakteristik wilayah pantai terdiri dari elemen daratan dan perairan. Berdasarkan keluasannya, ruang kawasan situs Kapal USAT Liberty adalah ruang dengan keluasan yang sangat memadai untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata. Di dalam konteks kepariwisataan, ruang daratan dimanfaatkan sebagai ruang fasilitas dan akomodasi antara lain hotel/villa, dan restaurant, parkir, operasional diving, pengelolaan kepariwisataan, dan tentunya sebagai ruang pemukiman masyarakat lokal. Ruang perairan dimanfaatkan sebagai ruang atraksi dan transportasi kepariwisataan. Atraksi utama berlokasi pada titik bangkai kapal USAT Liberty, sedangan atraksi alternatif antara lain Coral Garden, The River, Drop Off, dan Emerald. Pengembangan terhadap kedua ruang kawasan adalah di dalam menunjang kesuksesan pariwisata. Pitana dan Surya Diarta (2009:134) mengemukakan bahwa pengembangan suatu daerah menjadi destinasi wisata adalah penggabungan beberapa aspek antara lain, aspek aksesibilitas, karakteristik infrastruktur pariwisata, tingkat interaksi sosial, keterkaitan/kompatibilitas dengan sektor lain, daya tahan akan dampak pariwisata, tingkat resistensi komunitas lokal, dan seterusnya.

Tanggungjawab komponen bangsa

Pemberdayaan terhadap sumberdaya budaya adalah menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa ini yakni pemerintah pusat dan daerah, para arkeolog, dan serta masyarakat. (Sedyawati (2002) menyatakan bahwa di dalam pengelolaan sumber daya budaya semua komponen bangsa harus berada pada posisi dan tujuan yang sama serta dapat mengambil peran aktif sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Pemberdayaan terhadap ruang kawasan situs kapal USAT Liberty baik ruang daratan dan perairan sebagai tempat berinteraksinya wisatawan dalam dunia kepariwisataan minat khusus secara nyata telah memberikan kontribusi nyata dan berdampak positif bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masayarakat lokal, meningkatkan pendapatan pemerintah daerah, dan memberikan keuntungan bagi para pengusaha lokal maupun asing. Bagi masyarakat lokal, terbukanya peluang pekerjaan pada sektor pariwisata. Di dalam realitasnya, hampir 90% masyarakat lokal terserap ke dalam dunia kerja maupun memiliki usaha jasa pariwisata diving antara lain sebagai karyawan hotel/villa, tergabung ke dalam organisasi seperti helper/porter, tukang massas, pemandu wisata selam, dan transportasi perahu motor tempel (jukung), dan sebagai tenaga pengelola retribusi. Kehadiran para pengusaha yang bergerak dalam bidang jasa wisata selam juga memberikan imbas positif bagi lembaga adat setempat yakni berupa pemasukan dana yang disesuaikan dengan skala perusahaan.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengembangan ruang kawasan wilayah daratan dan perairan situs kapal USAT Liberty oleh komponen masayarakat lokal, pengusaha dan pemerintah daerah adalah pengembangan situs melalui adaptasi. Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menyatakan bahwa adaptasi upaya pengembangan Cagar Budaya untuk Kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.

Pengelolaan Ruang Kawasan Situs

Beberapa dive resort pada areal parkir barat Situs Tulamben.

Cooper dkk. (1995:81) yang mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) komponen yang harus dimiliki sebagai daya tarik wisata, yaitu (1) atraksi (attractions), seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah yang menawan dan seni pertunjukan. (2) Aksesibilitas (accessibilities) seperti transportasi lokal dan adanya terminal. (3) Amenitas atau fasilitas (amenities) seperti tersedianya akomodasi, rumah makan, dan agen perjalanan. (4) Ancillary services yaitu organisasi kepariwisataan yang dibutuhkan untuk pelayanan wisatawan seperti destination marketingmanagement organization, conventional and visitor bureau. Di situs Tulamben komponen atraksinya adalah kapal karam U.S.A.T. Libertysebagai atraksi utama, dan didukung oleh enam lokasi titik spot dive, keindahan alam bawah air maupun panorama alam di wilayah daratan. Komponen aksesibilitas, didukung oleh transportasi yang lancar, karena berada pada jalur lalulintas utama yang menghubungkan wilayah Kabupaten Karangasem dengan Buleleng, sehingga lokasi ini dengan akses yang mudah dicapai, baik dari ibukota provinsi maupun dari ibukota kabupaten. Komponen fasilitas (amenities) yang ada di Desa Tulamben antara lain didukung oleh 17 warung, 3 mini market, dan 33 hotel/restauran/villa. Fasilitas wisata yang dibangun terakhir adalah Bali Dive Resort dibangun pada 2014, dan telah beroperasi sejak 2015.

Pariwisata

Komponen organisasi kepariwisataan yang dibutuhkan untuk pelayanan wisatawan (ancillary services), beberapa organisasi yang telah ada di Desa Tulamben antara lain, pemandu wisata selam, porter/helper, jukung, pengelola retribusi, dan tukang pijat (massas).

Seorang helper/porter sedang melakukan pelayanan jasa kepada wisatawan.

Sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas dan memadai merupakan salah satu aspek penting yang harus tersedia di dalam suatu destinasi wisata. Di dalam mendukung pengembangan situs Tulamben sebagai objek dan destinasi wisata, dibentuk beberapa organisasi profesi lokal antara lain pemandu wisata selam (dive guide), porter/helper, jukung, pengelola retribusi, massas, dan karyawan hotel/villa sebagai lapangan kerja masyarakat lokal. Untuk pertama kalinya dibentuk organisasi pelayan wisatawan yang bertugas membantu mengangkut peralatan selam (porter/helper), kemudian menyusul organisasi pemandu selam (dive guide), organisasi transportasi perahu motor tempel (jukung), organisasi tukang pijat wisatawan (masas), dan organisasi penyelamat pantai. Pengelolaan diatur oleh desa adat dengan ketentuan dan kesepakatan sistem bagi hasil. Penghasilan yang diperoleh setiap hari, dipotong 20% diserahkan kepada desa adat, 80%, sisanya menjadi bagian mereka.

Apa yang dilakukan oleh masyarakat lokal di dalam pengelolaan ruang kawasan situs sebagaimana disebutkan di atas adalah sesuai dengan pandangan Natori (Madiun, 2010:62) tentang definisi pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism development) yakni sebagai aktivitas masyarakat lokal untuk mempromosikan berbagai nilai dan menciptakan suatu masyarakat yang diisi dengan energy, dengan memanfaatkan alam, budaya, sejarah, industri, orang-orang yang mempunyai bakat, dan sumber-sumber lainnya secara penuh. Definisi ini menginginkan seluruh komponen dan anggota masyarakat untuk berpikir, berdiskusi, dan mengambil tindakan-tindakan nyata.

Berdasarkan uraian di atasdapat disimpulkan bahwa pengelolaan ruang kawasan situs kapal USAT Liberty oleh masyarakat lokal melalui pemanfaatan dan pengembangan potensi ruang secara terpadu untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteran. Dengan demikian, masyarakat lokal secara nyata mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagaimana disebutkan pada pasal 78–84 yang menyatakan bahwa: “pengembangan Cagar Budaya dapat diarahkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, yang hasilnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan pemeliharaan cagar budaya itu sendiri maupun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.

Pelestarian Cagar Budaya

Di dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 84 (ayat) 1 disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Merujuk pasal tersebut, dalam konteks pemanfaatannya kekiniannya situs kapal USAT Liberty Tulamben dimanfaatkan untuk beberapa kepentingan antara lain kepentingan sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Di dalam aktivitas kepariwisataan memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat lokal, pada sisi lainaktivitas kepariwisataan dapat memberikandampak buruk bagi kelestarian benda cagar budaya itu sendiri.

Seperti telah disinggung di atas bahwa atraksi merupakan salah satu komponen utama di dalam suatu destinasi wisata. Atraksi utama di situs Tulamben adalah bangkai kapal USAT Liberty dan didukung oleh beberapa titik atraksi alternative berupa titik-titik spot diveyang menyajikan keindahan panorama bawah laut antara laincoral garden, the river, drop off, dan emerald. Adapun unsur-unsur sumberdaya budaya dan sumberdaya alam yang dilestarikan dan dilindungi adalah bangkai kapal USAT Liberty dan lingkungan alam flora dan fauna bawah laut. Di dalam konteksnya dengan kepariwisataan, kedua sumberdaya tersebut telah memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal, peningkatan Peningkatan Asli Daerah (PAD), dan devisa Negara.

Paradigma pelestarian

Di era modern seperti sekarang ini, paradigma pelestarian terhadap tinggalan arkeologi adalah tidak lagi bertumpu kepada pemerintah saja, tetapi melibatkan seluruh komponen yang ada antara lain pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Ascherson (Suantika, 2008:261) menyatakan bahwa keberadaan sumberdaya arkeologi di suatu tempat/daerah adalah juga milik dari masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, masyarakat lokal memiliki hak azasi untuk menginterpretasikan, memelihara dan mengelola sumber daya yang mereka miliki. Pemerintah atau instansi yang berwenang hanya sebagai fasilitator dalam pengelolaan sumberdaya budaya yang bersangkutan. Pengelolaan terhadap sumberdaya arkeologi situs bawah air kapal USAT Liberty di Desa Tulamben adalah pengelolaan situs berbasis masyarakat dengan berlandaskan tatanan budaya lokal setempat. Tatanan budaya lokal dengan kearifan lokal yang dimiliki diaplikasikan didalam pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian situs bawah air yang mereka miliki. Regulasi lokal (awig-awig desa pakraman) adalah salah satu tatanan budaya lokal yang diaplikasikan di dalam pemanfaatan dan pelestarian situs kapal USAT Liberty. Beberapa poin penting regulasi lokal terkait dengan pemanfaatan dan pelestarian situs beserta bangkai kapal yang ditetapkan dalam bentuk aturan tidak tertulis (perarem) sebagai bagian dan penjabaran dari aturan adat tertulis (awig-awig). Di dalam konteksnya dengan kelestarian bangkai kapal dan lingkungan sekitarnya perarem tersebut adalah aturan-aturan yang pada intinya berupa beberapa larangan antara lain larangan memancing pada radius 100 meter di sekitar lokasi kapal tenggelam;tidak mengambil ataupun memanfaatkan sisa-sisa kapal yang rusak untuk kepentingan komersial; tidak mengganggu terumbu karang yang tumbuh dan berkembang pada dinding-dinding kapal yang akan berdampak rusaknya kapal yang telah menjadi habitat dari ekosistem laut; tidak mengambil batu-batu yang ada di sekitar kawasan pantai, dan larangan lainnya terkait dengan tujuan kelestarian cagar budaya dan lingkungannya. Di dalam aplikasinya, perarem tersebut diberlakukan bagi warga masyarakat setempat maupun bagi warga dari luar Desa Tulamben. Termasuk bagi wisatawan dalam konteksnya dengan kepariwisataan tanpa memandang status sosialnya. Dengan diberlakukan ketententuan (regulasi lokal) dalam bentuk aturan seperti itu ternyata berdampak sangat positif bagi keberlanjutan ekonomi, sosial, pariwisata, kelestarian benda cagar budaya (artefak kapal), dan kelestarian lingkungan. Bagi kelestarian cagar budaya, vandalisme yang merupakan bagian sisi gelap kelestarian situs beserta benda cagar budayanya dapat diantisipasi secara efektif. Bagi yang melanggar dikenakan sangsi sosial yakni dikucilkan oleh adat, dan dikenakan sangsi adat dalam bentuk ritual keagamaan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. Segala permasalahan yang muncul di dalam pelaksanaan pengelolaannya juga diselesaikan secara adat, yakni di dalam aktivitas musyawarah adat yang dilaksanakan setiap bulan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tulamben memberdayakan potensi budaya dan tradisi lokal yang dimiliki dalam mengelola asset cagar budaya adalah salah satu wujud peranserta masyarakat mendukung upaya pemerintah dalam upaya pelestarian cagar budaya. Oleh karena secara nyata mereka telah melakukan aktivitas pelestarian dengan melakukan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Sebagaimana dikemukakan oleh Sedyawati (2010:33) bahwa di dalam pemanfaatannya harus tetap berpedoman pada “pelestarian terlebih dahulu” baru yang lain-lainnya. Hal tersebut sejalan juga dengan penegasan WTO yang menyatakan bahwa di dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan harus menganut tiga prinsip yakni Ecological Sustainability, Social and Cultural Sustainability, dan Economic Sustainability, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yangakan datang. Selain keberlanjutan sumberdaya alam dan ekonomi, keberlanjutan kebudayaan merupakan sumberdaya yang penting dalam pembangunan kepariwisataan. Pariwisata berkelanjutan akan tercapai bila ada kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam sumberdaya budaya, sumberdaya manusia, serta keberlanjutan ekonomi secara adil dan merata (Ariana, 2010:179).

Penutup

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, mengakhiri tulisan ini dapat disampaikan beberapa poin simpulan sebagai berikut.

  1. Situs-situs cagar budaya bawah air sebagai jejak-jejak kemaritiman di wilayah perairan di Indonesia cukup banyak. Sangat berpotensi untuk dikembangkan bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal, bagi pendapatan asli daerah, devisa Negara dari sektor pariwisata. Akan tetapi sebagian besar kekayaan tersebut masih terpendam oleh karenakurangnya peran aktif masyarakat, keterbatasan kwalitas sumberdayamanusia, dan faktor-faktor penting lainnya yang dapat mendukung suatu keberhasilan.
  2. Pengelolaan situs bawah air kapal USAT Liberty di Desa Tulamben adalah pengelolaan cagar budaya berbasis masyarakat dengan mengedepankan pelestarian cagar budaya dan lingkungan, keberlanjutan sosial ekonomi, berlandaskankearifan lokal yang bersumber dari budaya/tradisi lokal.

Makalah ini disampaikan pada Seminar dan Kongres Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA XIV) oleh IAAI Pusat pada 24 s.d 27 Juli 2017 di Bogor.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Ariana, Nyoman. 2010. Pembangunan Pariwisata Bali yang Berkelanjutan dalam Perspektif Postmodernisme, dalam Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global, Udayana University Press.

http://ariefksmwrdn.blogspot.co.id/2014/06/pengertian-kearifan-lokal.html

Madiun, I Nyoman. 2010. Nusa Dua Model Pengembangan Kawasan Wisata Modern, Udayana University Press.

Pitana, I Gde, Prof. Dr. M. Sc, Surya Diarta, I Ketut, SP, MA. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Suantika, I Wayan. 2008. Pengembangan Sumberdaya Arkeologi Berbasis Kearifan Lokal. Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI. Solo 13–16 Juni 2008.

Supardi, Nunus, 2012. Arkeologi untuk Masyarakat-Masyarakat untuk Arkeologi, dalam Arkeologi untuk Publik, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Sedyawati, Edi. 2002. Pembagian Peranan dalam Pengelolaan Sumberdaya Budaya. Dalam Manfaat Sumberdaya arkeologi untuk Memperkokoh Jatidiri Bangsa. Upada Sastra. Denpasar.

Sedyawati, Edi. 2010. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sedyawati, Edi. 2012. Arkeologi Membidik Sasaran yang Senantiasa Bergerak, dalam Arkeologi Publik, Ikatan ahli Arkeologi Indonesia.