Pulau Penyengat merupakan satu kawasan yang memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Pentingnya Pulau Penyengat dapat dilihat dari dua hal, pertama Pulau Penyengat merupakan benteng pertahanan terakhir Raja Haji fi Sabilillah dalam perjuangannya melawan VOC yang berakhir dengan gugurnya Raja Haji fi Sabilillah. Kedua, Pulau Penyengat sebagai pusat peradaban Melayu di bidang bahasa dan kebudayaan. Karya yang lahir dari Pulau Penyengat, yaitu Kitab Bustan Al-Katibin, buku tata bahasa Melayu dan pantun “Gurindam Dua Belas” yang ditulis oleh Raja Ali Haji. Pengaruh karya-karya Raja Ali Haji tidak hanya berpengaruh bagi Bangsa Indonesia tetapi juga bagi negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Pulau Penyengat terletak di Provinsi Kepulauan Riau dan termasuk wilayah administratif Kota Tanjung Pinang. Pulau Penyengat ditetapkan menjadi Cagar Budaya pada 2018 dengan nomor 112/M/2018. Berdasarkan UU 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, tindak lanjut setelah penetapan Cagar Budaya adalah melakukan kajian sistem zonasi. Kegiatan kajian sistem zonasi Pulau Penyengat telah dilaksanakan pada 2015 oleh Kemendikbud melalui BPCB Sumatera Barat. Kajian Zonasi 2015 mencakup 19 Cagar Budaya yang termasuk dalam kawasan Pulau Penyengat. Namun pada perkembangannya, jumlah temuan Cagar Budaya yang ada di Kawasan Pulau Penyengat terus bertambah sehingga perlu dilakukan review zonasi.
Pada tahun 2021, kajian zonasi Pulau Penyengat dilakukan kembali oleh Kemendikbud melalui BPCB Sumatera Barat didukung oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan. Secara teknis pelaksanaan kajian zonasi dilakukan oleh BPCB Sumatera Barat kemudian ditindaklanjuti dengan sosialisasi kepada masyarakat dan pengusulan keputusan menteri oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan. Kegiatan sosialisasi yang direncanakan pada November 2021 ini dilakukan langsung kepada masyarakat dalam rangka penyampaian hasil zonasi sehingga muncul pemahaman bersama untuk melindungi cagar budaya sehingga tetap lestari dan bermanfaat bagi masyarakat.