Pendekatan Teori Jaringan-Aktor dan Konsep Assemblage dalam Kajian Arkeologi Maritim

0
9763
Gambar perahu layar di Liang Besar (Dok. Balai Arkeologi Kalimantan Selatan). Westerdahl memberikan contoh lukisan gua (rock art) yang menggambarkan bentuk yang bisa ditafsirkan sebagai gambar perahu. Meskipun terletak di pedalaman yang jauh dari laut, keberadaan elemen “maritim” yang tampak pada lukisan gua menandakan bahwa pembuat lukisan gua tersebut menjadikan pengetahuan tentang laut sebagai bagian dunia kognitif mereka
Gambar perahu layar di Liang Besar (Dok. Balai Arkeologi Kalimantan Selatan). Westerdahl memberikan contoh lukisan gua (rock art) yang menggambarkan bentuk yang bisa ditafsirkan sebagai gambar perahu. Meskipun terletak di pedalaman yang jauh dari laut, keberadaan elemen “maritim” yang tampak pada lukisan gua menandakan bahwa pembuat lukisan gua tersebut menjadikan pengetahuan tentang laut sebagai bagian dunia kognitif mereka

Oleh: Fadjar I. Thufail[1]

Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SDR-LIPI)

Sejak buku tentang “Arkeologi Maritim” yang ditulis oleh Keith Muckelroy terbit pada 1978, kajian arkeologi maritim mengalami perkembangan yang pesat dan menarik, terutama berkaitan dengan eksperimen konseptual dan teori yang sejalan dengan ditemukannya lebih banyak situs arkeologi bawah air di berbagai belahan dunia. Di beberapa negara yang memiliki wilayah perairan yang luas, seperti Inggris, Yunani, Indonesia, Australia, atau Filipina, arkeologi maritim menjadi salah satu bidang spesialisasi dan bahkan dijadikan bagian dari sistem birokrasi setempat. Namun demikian, perkembangan kelembagaan arkeologi maritim belum diikuti oleh perkembangan konseptual dan teoritis yang luas dan mendalam. Di pihak lain, kegiatan penelitian arkeologi maritim sebagian besar masih didominasi oleh kegiatan penyelamatan (salvage) dan pendokumentasian. Baru akhir-akhir ini kegiatan pengelolaan situs arkeologi maritim sebagai cagar budaya menjadi perhatian para arkeolog.

Tulisan pendek ini tidak dimaksudkan sebagai rangkuman perkembangan kajian arkeologi maritim, tetapi lebih difokuskan pada tawaran pendekatan yang dapat dimanfaatkan untuk menempatkan kajian arkeologi maritim sebagai salah satu kajian ilmu sosial, khususnya di Indonesia. Seperti yang telah lama dikemukakan bahwa penting untuk memahami prinsip archaeology as anthropology, maka penguasaan teori dan metode antropologi (sosial) sangat penting untuk kerangka analisis dan memerkuat sudut pandang interpretasi seorang arkeolog. Tulisan pendek ini menawarkan salah satu cara untuk memahami artefak dan situs arkeologi maritim dengan merujuk kepada perkembangan konsep dan teori sosial di bidang antropologi sosial dan bidang kajian sains, teknologi, dan masyarakat (STS: Science, Technology, and Society). Untuk membingkai interpretasi arkeologis dengan kerangka konseptual dan teoritis tersebut diperlukan kajian yang mendalam tentang letak artefak, sebagai budaya material (material culture), dalam jaringan sosial. Tulisan pendek ini akan membahas kegunaan Teori Jaringan-Aktor (ANT, Actor-Network Theory) yang dapat diterapkan sebagai kerangka metodologis dan pendekatan untuk memahami konsep artefak sebagai assemblage.[2] Perspektif semacam ini tidak hanya bermanfaat untuk kajian arkeologi maritim tetapi juga dapat dapat diterapkan pada kajian arkeologi yang lain karena pada dasarnya setiap artefak atau situs merupakan bagian dalam jaringan sosial.

Teori Jaringan-Aktor (ANT) dan Artefak Sebagai Assemblage[3]

Teori Jaringan-Aktor, untuk selanjutnya di sini disebut ANT (Actor-Network Theory) biasa dikaitkan dengan Bruno Latour, seorang antropolog ahli tentang kajian sains dan teknologi. ANT merupakan pendekatan yang pada awalnya dipakai dalam studi STS (Science, Technology, and Society), salah satu kajian multidisiplin dan transdisiplin yang meneliti tentang cara teknologi memengaruhi perubahan sistem politik, ekonomi, dan perilaku masyarakat. Studi STS bukan sekedar kajian tentang fungsi dan pemanfaatan teknologi oleh manusia, tetapi kajian yang lebih mendalam tentang cara teknologi mengubah struktur dan perilaku manusia yang terjadi melalui jaringan perdebatan politik, ilmiah, dan kultural tentang pembuatan dan penerapan bentuk teknologi. ANT memberikan satu warna pada studi STS dengan memertanyakan dikotomi antara manusia/teknologi, atau lebih dikenal dengan dikotomi culture/nature, dan memberikan kerangka metodologis untuk memahami jaringan sosial dan pengetahuan sains-teknologi.

Dalam perkembangannya, ANT tidak saja dipakai dalam studi STS tetapi sudah banyak dipakai dalam studi lingkungan, sejarah dan ilmu pengetahuan medis, budaya populer, dan infrastruktur. ANT dimulai dari pandangan yang memerlihatkan hubungan erat antara manusia (human) dengan budaya material atau non-manusia (non-human). Dalam penelitian atau kajian arkeologi, ANT belum banyak dimanfaatkan,[4] meskipun pada dasarnya ruang lingkup kajian ANT adalah aspek material dan pendekatan ANT seringkali disebut material turn dalam teori ilmu sosial. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip archaeology as anthropology, maka pemanfaatan perspektif ANT harus diperkenalkan lebih jauh, karena ANT merupakan strategi konseptualisasi dan metodologi yang sangat cocok dengan arkeologi, ilmu yang sangat tergantung pada interpretasi terhadap budaya material.

Bruno Latour menegaskan bahwa ANT bukan merupakan teori baru karena pada dasarnya teori sosial sejak dulu sudah mengenal topik jaringan sosial dan sudah juga menekankan pentingnya budaya material. Di pihak lain, ANT memersoalkan konsep “sosial” yang dipakai dalam teori sosial moderen sejak era setelah Durkheim, dan ANT mengembalikan konsep “sosial” tersebut pada kerangka dasarnya sebagai “proses asosiasi”. Menarik untuk melihat posisi teori arkeologi dalam konteks ini karena pada prinsipnya teori arkeologi bertujuan juga untuk menjelaskan dimensi asosiatif dan interaksi sosial ini, khususnya dalam konteks masyarakat lampau. Namun, seperti yang dikemukakan oleh Dolwick (2009), teori arkeologi agak enggan memersoalkan lebih lanjut konsepsi teoritis tentang “asosiasi” tersebut dan cenderung menyederhanakannya menjadi pandangan tentang variasi dalam komposisi budaya material yang ditemukan di situs.[5] Padahal, variasi budaya material tidak selalu bisa dipakai sebagai dasar asumsi tentang relasi sosial tanpa adanya penafsiran lebih lanjut tentang sejarah interaksi antara aspek material tersebut dengan perilaku dan peristiwa sosial. Dalam hal ini, ANT membantu untuk membongkar lapisan-lapisan sejarah yang terkait dengan artefak.

ANT terdiri atas lima preposisi dasar: aktor atau kelompok; peristiwa; jaringan; posisi; dan representasi. Dua hal terakhir, yaitu posisi dan representasi lebih relevan dengan kajian antropologi atau sosiologi sosial, oleh karena itu tidak akan dibahas dalam tulisan ini. Fokus utama ANT adalah kritik terhadap konsep sosial, dan dalam konteks ini dapat diperlakukan juga sebagai kritik terhadap konsep budaya. Arkeologi selalu menyimpulkan bahwa artefak adalah produk suatu kebudayaan, dan dalam hal ini secara ontologis artefak disamakan dengan “masyarakat” (society) karena artefak dan masyarakat sama-sama merefleksikan norma dan nilai budaya. Teori sosial pada umumnya menjelaskan masyarakat sebagai produk dari sistem nilai, yaitu tataran abstrak yang mengikat individu-individu ke dalam organisme (Durkheim), fungsi (Parsons), atau struktur (Strauss). Sementara itu, pendekatan simbolisme dalam penafsiran arkeologi juga mengatakan bahwa artefak (budaya material) mencerminkan sistem nilai yang ada dalam masyarakat kuna pembuat artefak tersebut. Preposisi pertama ANT mengkritik pandangan tersebut dengan mengemukakan sudut pandang lain yang melihat masyarakat sebagai jaringan asosiasi, bukan semata-mata refleksi dari fungsi organisme atau nilai struktural. Apabila diterapkan dalam penafsiran arkeologis, preposisi pertama ANT ini dapat dipakai sebagai kritik terhadap pandangan bahwa artefak atau situs tidak memliki agensi (agency) sendiri selain sebagai hasil produksi manusia. Dalam kritik terhadap pandangan itu, ANT memerlihatkan kompleksitas budaya material sebagai mediator relasi politik, sosial, budaya, atau ekonomi, dan bahkan asosiasi antara manusia dan non-manusia (non-human). Artefak seperti roda kemudi kapal memediasi hubungan antara kapten kapal dengan anak buah kapal karena pengaturan akses terhadap kemudi kapal itu memerlihatkan struktur dan pola hubungan kerja di kapal. Kemudi kapal menjadi agensi dan aktor, karena tanpa adanya benda tersebut, hubungan kerja antara kapten dengan anak buahnya tidak bisa terjadi.

Preposisi kedua ANT tentang “peristiwa” adalah konsep terpenting dalam ANT. Selama ini teori sosial membedakan “peristiwa” dari “hasil peristiwa” tersebut: pot keramik adalah hasil dari orang membakar tanah liat di tungku; masyarakat adalah hasil kumpulan individu yang diikat oleh suatu norma atau struktur; penyakit adalah hasil virus yang menyerang manusia atau hewan. Teori sosial menarik garis perbedaan antara proses, yang selalu dilihat sebagai proses “sosial”, dengan obyek yang berupa benda material atau kesatuan sosial seperti masyarakat, grup etnis, atau kelompok agama. Dalam pandangan semacam ini, obyek adalah akibat dari peristiwa, dan hubungan antara obyek dengan peristiwanya bersifat satu dimensi, satu arah, dan bersifat sebab-akibat. Teori sosial klasik juga sering memerlakukan “hasil” tersebut sebagai sesuatu yang pasif, sekali terbentuk tidak berubah lagi. Teori tentang kelompok etnis dan kelompok agama adalah contoh terbaik tentang pandangan bahwa kelompok sosial adalah kesatuan yang tidak berubah. Interpretasi arkeologi seringkali sejalan dengan pandangan ini, misalnya kesimpulan bahwa candi Hindu dibangun dan dimanfaatkan hanya oleh kelompok masyarakat Hindu. Ini adalah contoh hubungan satu dimensi antara budaya material (candi) dengan kelompok sosial (masyarakat Hindu).

ANT mengatakan bahwa kelembagaan atau bentuk material adalah konstruksi asosiatif sementara, oleh karena itu analis sosial perlu mengubah pandangan mereka yang melihat material sebagai “hasil/produk” menjadi material sebagai “peristiwa” (event).[6] Konstruksi sosial atau material (misalnya lembaga sosial atau artefak) adalah asosiasi yang aktif, selalu berada dalam relasi dengan aktor lain, dan proses relasi itu secara terus menerus mengubah posisi aktor atau elemen dalam asosiasi atau assemblage sosial maupun material tersebut. ANT menegaskan bahwa setiap bentuk konstruksi (sosial maupun material) selalu bersifat precarious (tak pasti) karena relasi yang aktif secara terus menerus akan mengubah “bentuk” menjadi “peristiwa.” “Bentuk” (form) hanya merupakan asosiasi atau assemblage sementara.

Memang tampaknya agak sulit bagi arkeologi untuk melihat “bentuk” sebagai peristiwa dan menelusuri social precarity (ketidakpastian sosial) karena analisis arkeologi dimulai melalui benda non-human berupa artefak, situs, atau ekofak. Namun hal itu bisa diatasi dengan mengubah cara pandang, dari cara pandang artefak sebagai “benda” menjadi artefak sebagai “proses assemblage”. Dalam konteks cara pandang ini, lapisan assemblage yang tersusun menjadi artefak adalah lapisan peristiwa, sehingga tugas arkeologi adalah menemukan kembali relasi-relasi yang membentuk assemblage tersebut. Semakin kompleks atau rumit suatu artefak atau situs, semakin banyak asosiasi assemblage yang harus diurai untuk menelusuri peristiwa yang terjadi. Misalnya, asosiasi assemblage yang membentuk satu guci tempayan polos mungkin berbeda dengan asosiasi assemblage yang membentuk satu kapal lintas samudra. Namun perlu dimengerti bahwa kompleksitas asosiasi assemblage berbeda dengan kesulitan teknik pembuatan atau kerumitan desain. Guci tempayan polos mungkin saja memiliki kerumitan assemblage yang kompleks apabila misalnya tempayan itu dibuat oleh orang yang tinggal di tempat yang tidak tersedia bahan dasar tanah liat sehingga bahan tersebut harus didatangkan dari tempat yang jauh. Kerumitan assemblage kemudian terlihat dari kompleksitas jaringan perdagangan untuk mendatangkan bahan baku tersebut. Sebagai “peristiwa” (event), guci tempayan polos ini bisa memiliki asosiasi assemblage yang sama rumitnya dengan pembuatan kapal.

Preposisi ketiga ANT adalah tentang jaringan. Dalam teori sosial, jaringan dipahami semata-mata sebagai elemen pasif dalam hubungan antara dua aktor atau lebih yang masing-masing bersifat independen. ANT sebaliknya menegaskan bahwa jaringan itu harus bersifat aktif dan saling memengaruhi, jaringan memungkinkan satu agensi atau aktor melakukan sesuatu terhadap aktor lain yang terkait, dan juga memungkinkan aktor lain melakukan hal yang sama terhadap aktor pertama. Tidak ada jaringan tanpa adanya hubungan saling memengaruhi tersebut. Salah satu titik penting dalam preposisi ini adalah pengertian bahwa jaringan memungkinkan seorang atau satu aktor berubah dalam relasinya dengan aktor lain. Dalam hal ini, pola dan arah jaringan pun akan berubah sejalan dengan aktor yang berubah. Hal penting yang juga ditegaskan oleh preposisi ANT tentang jaringan adalah perubahan aktor dapat memunculkan jaringan baru yang mungkin tidak terkait dengan aktor lama. Ibarat akar pohon, perubahan bisa memunculkan cabang akar baru yang tidak bisa diduga sebelumnya. Dalam ANT, jaringan selalu bersifat terbuka. Untuk arkeologi, preposisi ANT tentang jaringan ini bisa diterapkan dengan memelajari keterlibatan artefak dalam lapisan-lapisan perilaku sosial atau perubahan posisi artefak atau situs dalam jaringan sosial.

Dalam kaitannya dengan perubahan posisi artefak dalam jaringan sosial ini, sebenarnya teori arkeologi sudah lebih dulu membahasnya sebelum ANT. Misalnya perubahan fungsi guci dari alat masak menjadi benda yang dipertukarkan sebagai cindera-mata sampai menjadi wadah penyimpan abu jenazah adalah contoh perubahan posisi artefak dalam jaringan sosial yang berbeda. Tetapi, ANT membuka wawasan baru ketika artefak dipahami sebagai budaya material yang memiliki sejarah asosiasi yang kompleks dan tugas arkeolog adalah menceritakan lapisan-lapisan sejarah asosiasi yang kompleks tersebut. Ambil contoh alat navigasi seperti kompas atau sextant. Dalam lapisan yang paling luas, alat navigasi kelautan ini adalah bagian dari sejarah rasionalisasi Barat ketika penguasaan terhadap gejala alam diterjemahkan melalui ilmu pengetahuan astronomi dan fisika, terlepas dari ilmu pengetahuan yang dipakai oleh, misalnya, suku-suku maritim di Kepulauan Pasifik. Eduardo Viveiros de Castro dalam kajiannya tentang kosmologi di Amazon mengatakan kita tidak perlu memaksakan rasionalisasi Barat ke dalam kosmologi lokal, misalnya dengan mengatakan bahwa suku Trobriand juga memiliki ilmu astronomi. Castro menegaskan antropolog perlu memahami perspektif yang dipakai oleh suku-suku lokal untuk membaca gejala alam, termasuk di antaranya perspektif yang melibatkan unsur-unsur non-manusia, tanpa menerjemahkannya ke dalam ilmu pengetahuan Eropa. Contoh ini memerlihatkan bahwa alat navigasi kompas atau sextant merupakan bagian “kosmologi” terkait dengan pengetahuan astronomi yang dapat ditarik ke jaman Yunani. Dalam lapisan sejarah lain, asosiasi assemblage alat navigasi memunculkan pengetahuan tentang perspektif geografis yang membagi bumi menjadi empat kategori mata angin. Pengetahuan ini memerlihatkan kemunculan jaringan pengetahuan baru tentang konsep orientalisme dan oksidentalisme, yaitu pemahaman bahwa dunia itu terdiri atasperadaban oriental di timur dan peradaban oksidental di barat. Selain lapisan kosmologi dan pengetahuan tersebut, artefak kompas juga menunjukkan lapisan baru tentang prinsip efisiensi ekonomis dalam transportasi laut, karena kompas diperlukan untuk membantu perjalanan agar efisien dengan tujuan memeroleh keuntungan ekonomi maksimal. Oleh karena itu, keberadaan kompas dapat mengindikasikan adanya perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat yang ingin melakukan efisiensi ekonomis.

Lanskap Budaya Maritim dan ANT

Apabila ANT dapat diterapkan dalam konteks yang lebih luas sebagai perspektif kritis dalam interpretasi dan analisis arkeologi, ANT juga bermanfaat sebagai alternatif yang dapat diterapkan untuk memerluas perspektif teoritis dan metodologis khususnya dalam kajian arkeologi maritim. Di Indonesia, eksplorasi teoritis dalam kajian arkeologi maritim masih dalam tahap awal, dan sejauh ini kerja arkeologi maritim masih lebih difokuskan pada salvage archaeology dan dokumentasi cagar budaya. Interpretasi arkeologis juga sebagian besar masih terbatas pada studi tentang fungsi artefak dan situs. Eksplorasi teoritis dengan mengkaitkan interpretasi arkeologis dengan teori sosial kontemporer masih belum dilakukan secara luas.

Salah satu perdebatan yang muncul dan berlanjut sampai saat ini dalam perkembangan teori arkeologi maritim adalah antara pandangan tentang sifat ideografis (ideographic) situs dan artefak arkeologi maritim, dengan pandangan yang mengatakan bahwa situs dan artefak arkeologi maritim adalah bagian dari lanskap budaya maritim (maritime cultural landscape). Secara genealogis, perdebatan ini bersumber pada perdebatan yang lebih luas antara relativisme kebudayaan dengan kebudayaan sebagai pandangan dunia (worldview atau weltanschaung).[7] Perspektif ideografis mengatakan bahwa situs atau artefak maritim hanya bisa dijelaskan melalui fungsi maupun relasinya dengan ekologi maritim atau kegiatan sosial yang berkaitan dengan laut dan perairan. Perspektif ideografis juga menganggap laut sebagai dunia yang berbeda dengan daratan, oleh karena itu untuk mengerti dunia laut berserta kegiatan-kegiatan yang ada di laut, arkeologi perlu mengembangkan kerangka interpretasi dan analisis yang spefisik hanya berlaku dalam kaitannya dengan dunia kelautan atau perairan. Hal ini lah yang kemudian disebut ideographic. Perspektif ini digunakan untuk membingkai penjelasan teoritis yang mirip dengan teori relativisme kebudayaan, yaitu pandangan bahwa suatu sistem budaya adalah unik dan berbeda dengan sistem budaya lain, dan salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah topografi dan ketersediaan sumber daya.[8]

Perspektif ideografis menghasilkan konsep sistem laut (sea system), yaitu konsep tentang kawasan maritim yang dianggap memiliki karakter khas, seperti misalnya kawasan Mediteranean atau kawasan Pasifik. Perspektif ini mengasumsikan bahwa kawasan tersebut menghasilkan budaya material yang khusus pula, misalnya jenis perahu bercadik tunggal yang ditemukan di kawasan Pasifik. Contoh sistem laut adalah yang dikemukakan oleh Adrian B. Lapian, yang mengatakan kawasan laut yang terbentang di perairan Filipina Selatan, sekitar Sabah, dan sebelah utara Sulawesi merupakan kesatuan teritorial yang menyatukan komunitas-komunitas yang tinggal di pesisir pantai di kawasan tersebut. Di wilayah laut ini interaksi budaya terjadi secara erat sejak dahulu kala sampai sekarang, menunjukkan bahwa sistem laut ini telah terbentuk jauh sebelum adanya batas-batas negara. Meskipun konsep sistem laut dapat menjadi alternatif terhadap dasar konseptual yang lebih sering mengutamakan wilayah darat (terrestrial), konsep sistem laut sebenarnya tak berbeda dari penerapan teori sistem budaya yang sering dipakai sebagai kerangka pendekatan analisis untuk memahami interaksi manusia dengan lingkungannya. Bedanya hanya terletak pada konteks ekologi saja. Dengan kata lain, konsep sistem laut juga masih menjadi bagian kerangka relativisme kebudayaan.

Christer Westerdahl (2011) mengemukakan konsep maritime cultural landscape (MCL) untuk mengkritik perspektif ideografis. Apabila pendekatan ideografis menekankan soal relativisme, maka MCL bermula dari aspek kognitif tentang lanskap. Karena menekankan aspek kognitif, perspektif MCL memahami lanskap bukan sebagai rentang topografis, tetapi sebagai ruang kognitif. Westerdahl menggarisbawahi bahwa pembedaan antara “laut” dan “darat” semata-mata berdasarkan topografi adalah kesalahan, karena kedua konteks topografi tersebut dapat menjadi bagian dunia kognitif yang sama, dunia kognitif yang disebut lanskap kebudayaan (cultural landscape). Meskipun MCL memakai istilah maritime yang merujuk pada artefak dan situs yang berkaitan dengan kelautan, konsep MCL selalu melihat hubungan antara “laut” dan “darat” sebagai bagian dari proses kognitif yang harus diinterpretasikan oleh arkeolog, antropolog, dan sejarawan. Sebagai proses kognitif, tidak penting untuk memersoalkan apakah MCL ditemukan di wilayah “laut” atau “daratan”. Westerdahl memberikan contoh lukisan gua (rock art) yang menggambarkan bentuk yang bisa ditafsirkan sebagai gambar perahu. Meskipun terletak di pedalaman yang jauh dari laut, keberadaan elemen “maritim” yang tampak pada lukisan gua menandakan bahwa pembuat lukisan gua tersebut menjadikan pengetahuan tentang laut sebagai bagian dunia kognitif mereka. Hal serupa dapat ditemukan juga pada lukisan ritual kematian di piramid Mesir yang menggambarkan penggunaan perahu dalam rangkaian ritual tersebut. Sebaliknya di laut, kapal sering menggunakan ballast (penyeimbang) yang terbuat dari batu atau guci minuman anggur. Selain dipakai sebagai penyeimbang, guci minuman juga dijadikan komoditas perdagangan. Contoh ini memerlihatkan bahwa dunia maritim juga memerlukan unsur-unsur yang biasanya terdapat di darat. Sistem kognitif tentang teknologi pembuatan kapal memerlukan kedua hal tersebut secara bersamaan.

MCL adalah contoh kerangka teori struktural yang diterapkan dalam kajian arkeologi. Meskipun MCL menekankan hubungan antara “laut” dan “darat”, dasar konsep MCL adalah kategori biner antara “laut” dan “darat”, dan kategori ini diletakkan sebagai oposisi yang tidak akan berubah dalam konsep MCL sebagai sistem kognitif. Sebaliknya, ANT mengkritik pandangan strukturalis semacam ini. ANT tidak akan membedakan “laut” dan “darat” sebagai dua kategori yang berlawanan. ANT melihat MCL sebagai assemblage yang sudah distabilkan atau distandarkan. ANT ingin mengetahui relasi yang terbentuk antara berbagai unsur di dalam masing-masing kategori “laut” dan “darat” tersebut tanpa mengasumsikan bahwa relasi yang terbentuk akan bersifat permanen. Oleh karena itu, bagi ANT lebih penting mencari unsur material di dalam masing-masing kategori tersebut yang dapat bertindak sebagai aktor atau aktant (actant). Dalam contoh ballast tadi misalnya, ANT akan menelusuri hubungan yang terjadi antara jenis batu tertentu dengan konstruksi kapal tertentu, dan bertanya apakah jenis kapal yang berbeda memerlukan penyeimbang dari jenis batu yang berbeda. Kemudian ANT juga akan menelusuri apakah kelompok kerja yang mengatur atau mengawasi ballast berbeda atau sama dengan kelompok kerja yang membuat atau mencari material tersebut, dan bagaimana posisi kelompok kerja tersebut dengan struktur kerja pelaut yang ada di kapal. Dalam perspektif ANT, akan terlihat bahwa ballast yang terdiri atas batu akan memiliki assemblage yang berbeda dengan ballast berupa guci anggur. Secara fungsi teknis, batu maupun guci anggur memiliki fungsi sama sebagai penyeimbang kapal. Tetapi, percabangan jaringan relasinya berbeda. Guci anggur, sebagai komoditas yang diperdagangkan, menjadi bagian jaringan ekonomi lintas kawasan, sementara jaringan ballast batu mungkin hanya terbentuk antara kapal dan masyarakat di wilayah material itu diperoleh. Meskipun mungkin saja jaringan ballast batu juga meluas, tergantung dari jenis batu yang digunakan. Dalam ilustrasi ini, ANT memberikan perspektif berbeda untuk melihat relasi antara “darat” dan “laut” dengan cara yang lebih dinamis, dan tidak semata-mata terjebak pada struktur kognitif seperti yang dikemukakan oleh konsep maritime cultural landscape.

Epilog

Perspektif teoritis mutakhir tentang arkeologi maritim menempatkan situs dan artefak arkeologi maritim sebagai patch (bagian sambungan) dari assemblage yang terbentuk sebagai asosiasi manusia dan non-manusia. Hal ini sesuai dengan sifat situs dan artefak arkeologi maritim yang selalu terkait dengan mobilitas manusia dan teknologi transportasi. Saat ini, beberapa arkeolog telah mencoba menerapkan Teori Jaringan-Aktor (Actor-Network Theory atau ANT), yang dikemukakan oleh Bruno Latour, untuk memahami jaringan interaksi antarmanusia dan antara manusia dengan non-manusia, termasuk teknologi. ANT memunculkan konsep assemblage sebagai asosiasi yang terdiri atas bahan, teknologi dan proses pembuatan, ideologi, struktur sosial, dan simbolisme, dan tercermin melalui pola desain artefak atau bentuk struktur pelabuhan dan situs bawah air lainnya. Tulisan ini membahas konsep assemblage dalam perspektif ANT untuk memahami bentuk dan ontologi jaringan sosial sebagai bagian interpretasi tentang lanskap budaya maritim dalam kajian arkeologi maritim. Dengan perspektif ini, situs dan artefak arkeologi maritim yang ditemukan di Indonesia harus dipahami sebagai salah satu patch dalam sebaran jaringan assemblage lintas situs maupun lintas regional.

Salah satu pertanyaan penting yang belum dijawab dalam tulisan ini—dan ini bisa menjadi bahan renungan teoritis selanjutnya—adalah apakah masih relevan untuk membicarakan “kawasan maritim”? Apabila dianggap masih relevan, bagaimana mengemukakan konsep “kawasan maritim” yang dinamis tanpa terjebak pada determinisme topografis atau penjelasan struktural seperti yang dilakukan oleh Westerdahl dengan konsepnya tentang MCL? Dalam hal ini, perkembangan terakhir tentang material turn dalam teori antropologi mungkin dapat menolong, khususnya pandangan tentang ontologi sebagai bentuk material.[9] Satu kawasan mungkin dapat dipahami sebagai ruang ontologis tempat jaringan material membentuk assemblage yang stabil secara sementara. Dalam tingkatan yang luas, assemblage perdagangan pala, misalnya, dapat menghasilkan dua ontologi kapitalisme yang berbeda: melalui perdagangan bebas atau melalui sistem eksploitasi. Masing-masing ontologi ini tersusun dari assemblage material yang berbeda. Interpretasi dan analisis arkeologi adalah cara untuk menyusun kembali unsur-unsur assemblage tersebut yang terdiri atas budaya material yang ditemukan di darat maupun di laut. Konsep tentang ontologi ini bersifat dinamis, asosiatif, dan relasional, dan pada saat yang sama juga tetap memerhatikan perbedaan kategorisasi “laut” dengan “darat”.

Daftar Pustaka

Dolwick, Jim S. 2009. “‘The Social’ and Beyond: Introducing Actor-Network Theory.” Journal of Maritime Archaeology 4 (1) (June): 21–49.

Holbraad, Martin, and Morten Axel Pedersen. 2017. The Ontological Turn: An Anthropological Exposition. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Latour, Bruno. 2005. Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. Clarendon Lectures in Management Studies. Oxford ; New York: Oxford University Press.

Westerdahl, Christer. 2011. “The Binary Relationship of Sea and Land.” In The Archaeology of Maritime Landscape, edited by Ben Ford, 291–310. New York: Springer.

[1] Disampaikan pada Kongres IAAI dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV, Bogor, 24–17 Juli 2017. Kontak penulis: fadjarthufail@gmail.com.

[2] Istilah assemblage masih baru dalam khazanah teori sosial di Indonesia. Oleh karena itu, masih belum ditemukan padanan kata yang cocok untuk assemblage. Sementara ini, tulisan ini akan tetap memakai kata assemblage.

[3] Uraian tentang ANT di bagian ini merujuk pada Latour (2005).

[4] Penulis baru menemukan satu artikel di jurnal arkeologi yang secara eksplisit menggunakan ANT. Lihat Dolwick (2009).

[5] Hal ini juga terkait dengan pengertian assemblage dalam teori dan penafsiran arkeologis.

[6] Di sini saya menempatkan arkeolog sebagai analis sosial, karena pada dasarnya arkeologi adalah ilmu tentang proses sosial dan interpretasi arkeologis dibangun melalui teori sosial.

[7] Teori sosial mutakhir sebenarnya telah lama meninggalkan perdebatan semacam ini. Tulisan singkat ini juga berangkat dari posisi di luar perdebatan klasik tersebut. Tetapi, perdebatan tersebut perlu didiskusikan secara singkat untuk memahami kaitan antara teori arkeologi maritim dengan teori sosial.

[8] Dalam teori arkeologi yang ada di Indonesia, pandangan relativistik semacam ini dikenal dengan istilah local genius.

[9] Diskusi lebih lengkap tentang material and ontological turn dalam teori sosial, khususnya antropologi, dapat dilihat di Holbraad and Pedersen (2017).