Oleh: Baskoro Daru Tjahjono

Balai Arkeologi Sumatera Utara

Hingga saat ini dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara dikenal ada 2 kerajaan maritim yang kuat, yaitu Sriwijaya di Sumatera dan Majapahit di Jawa. Kerajaan-kerajaan besar pada masa Hindu-Buddha itu telah menguasai laut dengan armadanya dan memanfaatkannya untuk mempersatukan Nusantara. Sriwijaya berperan penting dalam perdagangan Asia pada pertengahan abad ke-7 M. Setelah sejarahnya dihidupkan kembali oleh para sejarawan modern, kerajaan ini menjadi terkenal dalam sejarah Indonesia, terutama di kalangan orang Indonesia. Mereka membanggakannya sebagai kekuatan laut yang besar dan kerajaan tertua dalam sejarah kebangsaan Indonesia (Wolters, 2011:1). Sedangkan kebesaran Majapahit tercatat dalam Nagarakrtagama, yang menyatakan bahwa wilayah yang disatukan Majapahit meliputi Nusantara, Desantara (Indocina), dan Dwipantara (Cina dan India) (Nugroho, 2010:42).

Namun menurut Irawan Djoko Nugroho tidak hanya kedua kerajaan itu yang merupakan negara maritim tetapi juga kerajaan-kerajaan Jawa sebelum Majapahit, seperti: Kaling, Medang, Kahuripan, Kadiri, dan Singasari. Mereka adalah kerajaan-kerajaan maritim yang kuat pada masanya, yang telah menguasai zona-zona perdagangan Asia. Padahal selama ini khususnya Medang atau dikenal sebagai Mataram Kuna diyakini sebagai negara agraris karena pusat kerajaannya berada di pedalaman, jauh dari aktivitas kemaritiman. Maka sesuai judul di atas pertanyaan muncul, manakah yang benar, Mataram Kuna: Agraris atau Maritim.

Kerajaan Mataram kuna berkuasa di wilayah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur pada abad VIII–XI M. Kerajaan ini dikenal sebagai kerajaan yang bersifat agraris karena pusat kerajaannya berada di pedalaman serta perekonomiannya mengandalkan pada hasil bumi. Hal ini berbeda dengan kerajaan yang hampir semasa yaitu kerajaan Sriwijaya yang lebih dikenal sebagai kerajaan maritim karena pusatnya berada di kawasan sekitar selat Malaka dan perekonomiannya lebih mengandalkan pada kegiatan perdagangan antar bangsa dan antar pulau. Namun ada satu lagi kerajaan di Nusantara pada masa lalu yang besar karena tidak saja mengandalkan pada hasil buminya tetapi juga pada perdagangan yaitu kerajaan Majapahit, yang berpusat di Jawa bagian timur pada abad XIII–XVI M. Kerajaan Majapahit selain dikenal sebagai negara agraris juga sebagai negara maritim karena memiliki armada laut yang kuat sehingga bisa mempersatukan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Demikian juga kerajaan Sriwijaya yang pada masanya bisa berkembang menjadi kerajaan besar dan kuat karena didukung oleh kekuatan armada lautnya yang berhasil menguasai selat Malaka yang pada saat itu menjadi salah satu jalur perdagangan dunia.

Lalu bagaimana dengan kerajaan Mataram kuna yang pada abad VIII–XI M juga menjadi kerajaan besar, apakah hanya mengandalkan hasil bumi tanpa mempunyai kekuatan maritim untuk dapat menaklukkan kerajaan-kerajaan sekitarnya atau melakukan perdagangan dengan kerajaan lain untuk memperkuat perekonomiannya. Bagaimana mereka bisa berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain di luar pulau Jawa jika tanpa mempunyai armada laut.

Pusat Pemerintahan dan Dinasti yang  Berkuasa

Pada awalnya Kerajaan Mataram Kuna diperkirakan berpusat di poros Kedu-Prambanan, yang didasarkan pada banyaknya tinggalan bangunan-bangunan monumental berupa candi-candi yang sangat megah di kawasan itu. Poros Kedu-Prambanan meliputi daerah-daerah yang termasuk wilayah Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya sekitar Prambanan. Di kawasan Kedu terdapat Candi Borobudur, Mendut, Pawon, Ngawen, dan masih banyak candi-candi lain di sekelilingnya. Di kawasan sekitar Prambanan terdapat Candi Prambanan (Lorojonggrang), Sewu, Plaosan, Sari, Kalasan, Sambisari, dan candi-candi lainnya. Selanjutnya pada masa pemerintahan Pu Sindok pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa Timur.

Nama Mataram baru muncul sekitar awal abad VIII M, yaitu saat Sanjaya berkuasa. Ia menyebut dirinya sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Namun leluhurnya sudah mulai memerintah di Jawa Tengah sejak abad VII M yang diawali oleh Dapunta Selendra sebagai pendiri wangsa Syailendra. Pada waktu itu nama kerajaannya belum diketahui karena belum ditemukan prasasti yang menyebutkan hal itu. Pada abad V M berita-berita Cina dari jaman dinasti Sung Awal (420–470 M) menyebut Jawa dengan sebutan She-p’o, kemudian berubah menjadi Ho-ling pada masa dinasti T’ang (618–906 M) dan berlangsung hingga 818 M. Selanjutnya berubah lagi menjadi She-po sejak 820 sampai 856 M (Damais, 1964:140–141; Poesponegoro, 1984:93).

Dari data prasasti diketahui terdapat sejumlah nama tempat yang diduga sebagai pusat-pusat pemerintahan atau lokasi ibukota kerajaan Mataram Kuna. Diketahui pula bahwa ibukota kerajaan mengalami beberapa kali perpindahan. Ibukota kerajaan Mataram Kuna pertama adalah Poh Pitu seperti yang tercantum dalam prasasti Mantyasih. Perpindahan lokasi ibukota kerajaan diketahui dari prasasti Siwagrha yang berangka tahun 778 Saka (856 M) yang berasal dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi. Dalam prasasti tersebut dikatakan bahwa ibukota kerajaan terletak di Mamratipura (kadatwan i mdang i bhumi mataram i mamratipura). Sampai saat ini lokasi Poh Pitu maupun Mamratipura belum dapat diidentifikasi. Meskipun demikian yang dapat dipastikan adalah keduanya, baik Poh Pitu  maupun Mamratipura terletak di daerah Jawa Tengah sekarang. Raja Mataram Kuna lainnya yang memindahkan ibukota kerajaan yang tercatat dalam prasasti adalah Raja Sindok yang bergelar Sri Isanawikramottunggadewa, yang memindahkan ibukota kerajaan ke daerah Jawa Timur (Nastiti, 2003:24–27; Boechari, 1976; Poesponegoro, 1984:157).

Daerah Jawa Timur sudah dikuasai kerajaan Mataram Kuna sejak masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung (898–911 M). Jawa Timur dengan Sungai Brantasnya sangat memungkinkan untuk meningkatkan jalur-jalur perdagangan ke seluruh wilayah Nusantara maupun untuk jalur-jalur perdagangan internasional. Dengan alasan tersebut Pu Sindok merencanakan pindah ke Jawa Timur, akan tetapi karena adanya bencana alam maka kepindahannya terburu-buru sehingga tidak sempat membangun istananya terlebih dahulu. Oleh sebab itu, jelas mengapa dalam prasasti Gulung-gulung yang berangka tahun 851 Saka (929 M) tidak menyebutkan nama keratonnya dan baru tiga bulan kemudian Pu Sindok mengumumkan bahwa ia berkeraton di Tamwlang, yang diidentifikasikan dengan Desa Tambelang di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Keterangan tersebut terdapat dalam prasasti Turyyan yang berangka tahun 851 Saka (929 M). Akan tetapi dari prasasti Anjukladang yang berangka tahun 859 Saka (937 M) dan prasasti Paradah yang berangka tahun 865 Saka (943 M) ibukota kerajaan disebutkan terletak di Watugaluh (kadatwan ri mdang ri bhumi mataram i watugaluh) yang diidentifikasikan dengan Desa Watugaluh, di tepi Sungai Brantas, yang termasuk Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pindahnya ibukota kerajaan dari Tamwlang ke Watugaluh diperkirakan karena adanya serangan musuh (Poesponegoro, 1984:167). Sampai masa pemerintahan Raja Dharmmawangsa Tguh ibukota kerajaan masih terletak di Watugaluh. Keterangan ini diketahui dari Prasasti Wwahan yang berangka tahun 907 Saka (995 M), yang masih menyebutkan kadatwan ri mdang ri bhumi mataram ri watugaluh (Boechari, 1986:190).

Menurut Poerbatjaraka di Jawa hanya ada satu dinasti yang berkuasa atas Mataram Kuna yaitu Dinasti Syailendra. Sanjaya dan keturunan-keturunannya adalah raja-raja dari keluarga Syailendra yang menganut ajaran Siwa. Tetapi sejak Panangkaran ber­pindah ajaran menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di Matarām men­jadi penganut Buddha Mahāyāna juga (Poerbatjaraka, 1958:254–264). Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Kabupaten Batang menyebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sam­pūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Mdaŋ (Boechari, 1966:241–251).

Silsilah raja-raja keturunan dinasti Syailendra dapat diketahui dari dua prasasti yang dikeluarkan oleh Balitung yaitu prasasti Mantyasih I (907 M) dan prasasti Wanua Tengah III (908 M). Yang menarik dari dua prasasti ini walaupun sama-sama dikeluarkan oleh Balitung tetapi daftar nama raja yang dituliskan agak berbeda. Ada empat nama yang terdapat dalam prasasti Wanua Tengah III tidak ditemukan pada prasasti Mantyasih I, yaitu Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewendra, dan Dyah Bhadra. Menurut Kusen perbedaan itu disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang dikeluarkannya prasasti tersebut. Prasasti Mantyasih diterbitkan dalam rangka melegitimasi dirinya sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga yang dicantumkan hanya para raja yang berdaulat penuh atas seluruh wilayah kerajaan. Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewendra, dan Dyah Bhadra tidak berdaulat penuh atas wilayah kerajaan sehingga tidak dimasukkan dalam daftar. Sedangkan Prasasti Wanua Tengah III dikeluarkan dalam kaitannya dengan perubahan status sawah di Wanua Tengah, sehingga semua penguasa yang berkepentingan dengan perubahan status sawah dimasukkan dalam daftar (Kusen, 1994:90–91). Selain itu, prasasti Mantyasih I hanya menyebutkan urut-urutan nama raja yang memerintah, sedangkan prasasti Wanua Tengah III selain urutan nama-nama raja juga menyebutkan angka tahun kenaikan tahta dan pengunduran diri atau meninggalnya, sehingga dapat diketahui lama masa pemerintahannya (Setiawan, 1995: 16)

Berdasarkan prasasti Mantyasih I dapat diketahui bahwa raja pertama Mataram Kuna adalah Sanjaya atau rahyanta ri Mdang menurut prasasti Wanua Tengah III.  Sanjaya naik tahta pada 717 M dan memerintah selama 29 tahun sampai 746 M. Pada masa pemerintahannya, Sanjaya mengeluarkan prasasti Canggal (732 M). Dari prasasti ini dapat diketahui bahwa sebelum Sanjaya naik tahta, maka raja yang memerintah Jawa atau Ho-ling adalah Sanna. Raja ini kemudian meninggal karena diserang oleh musuh. Karena ibukota kerajaan telah diserang musuh maka ketika Sanjaya naik tahta setelah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, ia memindahkan pusat kerajaannya ke Medang yang terletak di Poh Pitu. Sanjaya adalah anak Sannaha saudara Sanna (Poesponegoro, 1984:94).

Pada 746 M Rake Panangkaran naik tahta menggantikan ayahnya Sanjaya. Dia memerintah selama 38 tahun, yaitu sampai 784 M. Rake Panangkaran menyebut dirinya sebagai Permata Wangsa Sailendra dan bergelar Sri Wirawairimathana. Pada masa pemerintahannya, ia mengeluarkan prasasti Hampran, yang memperingati pemberian tanah di desa Hampran yang terletak di wilayah Trigramwya oleh seorang yang bernama Bhanu dalam kebaktian terhadap Isa dengan persetujuan Sang Siddhadewi. Selanjutnya raja ini mendirikan candi-candi kerajaan untuk ibadah agama Buddha. Di antaranya adalah Candi Kalasan yang tertulis dalam prasasti Kalasan pada 778 M, Candi Sewu untuk pemujaan Manjusri seperti tercatat dalam Prasasti Kelurak pada 782 M, Candi Plaosan Lor yang melambangkan kesatuan kerajaan, Candi Borobudur untuk pemujaan pendiri Dinasti Sailendra, dan satu wihara di bukit Ratu Boko yang didirikan 8 tahun setelah turun tahta sebagaimana tertulis dalam prasasti Abhayagiriwihara tahun 792 M (Poesponegoro, 1984:109–110). Berdasarkan prasasti Wanua Tengah III yang dikeluarkan oleh Raja Balitung pada 908 M, dapat diketahui bahwa Rake Panangkaran telah menganugerahkan sebidang sawah di Wanua Tengah sebagai sima bihara di Pikatan. Bihara di Pikatan ini didirikan oleh Rahyangta i Hara adik Sanjaya atau paman Rake Panangkaran (Kusen;1994:82).

Rake Panangkaran digantikan oleh Rake Panaraban (Panunggalan), yang  memerintah pada 784–803 M. Pada masa pemerintahannya, tidak mengeluarkan prasasti pun. Dia adalah anak Rakai Panangkaran dan merupakan pewaris tahta yang sah. Seperti yang tertulis pada lempengan emas yang ditemukan di dekat Gapura Utama Ratu Boko yang mengatakan bahwa dia telah membantu Rakai Panangkaran membangun gapura utama kompleks tersebut (Kusen, 1994:85).

Rake Warak Dyah Manara menggantikan Rake Panaraban, bertahta selama 24 tahun, dari 803 sampai dengan 827 M. Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III dapat diketahui bahwa Rake Warak ini beragama Siwa dan telah mencabut status sawah di Wanua Tengah sima di Bihara Pikatan. Rake Warak adalah anak Rake Panaraban. Dia disebut juga sebagai Sang Lumah i Kelasa (Kusen,1994:85).

Selanjutnya Dyah Gula naik tahta setelah Rake Warak meninggal. Namun dia hanya bertahta selama 6 bulan, dari 827 sampai dengan 828 M. Dia adalah anak Rake Warak, yang pada waktu naik tahta masih berusia muda sehingga belum bergelar rake. Sebagaimana ayahnya dia beragama Siwa.

Rake Garung berhasil naik tahta karena merebut kekuasaan dari tangan Dyah Gula, keponakannya sendiri. Dia bertahta selama 19 tahun dari tahun 828 sampai dengan 847 M. Rake Garung adalah anak dari Sang Lumah i Tuk yang kemungkinan adalah Rake Panaraban dan beragama Buddha. Pada masa pemerintahannya dia mengembalikan status sima sawah di Wanua Tengah. Sebelum memerintah telah mengeluarkan sati prasasti pada 819 M. Pada masa memerintah mengeluarkan Prasasti Tru i Tpussan pada 842 M, yang berisi penetapan sima desa Tru i Tpusan bagi Kamulan di Bhumisambhara dan menyebut nama Sri Kahulunan yang berarti ibu suri. Selain itu juga mengeluarkan Prasasti Garung pada 842 M, yang berisi tentang  pembebasan tanah Mamrati dari beberapa jenis pungutan atau pajak (Kusen,1994:86–87).

Rake Pikatan Dyah Saladu menggantikan Rake Garung, bertahta selama 8 tahun dari 847 sampai dengan 855 M. Rake Pikatan Dyah Saladu beragama Siwa, dia adalah anak Rake Gurunwangi Dyah Ranu yang kawin dengan anak Rake Warak. Dia telah mencabut kembali status sima sawah di Wanua Tengah. Sebagai penganut Siwa maka dia memerintahkan membangun candi kerajaan yang berlandaskan agama Siwa, yaitu Candi Loro Jonggrang (Candi Prambanan). Hal ini diketahui dari Prasasti Siwagrha pada 856 M (Casparis, 1956:280–330; Poesponegoro, 1984:120). Nama Dyah Saladu selain terdapat pada Prasasti Wanua Tengah III juga terdapat pada bagian harmika dua stupa perwara Candi Plaosan Lor, yang tertulis: “Anumoda rake Gurunwangi Dyah Saladu astupa sri maharaja rake Pikatan” (Casparis, 1958:11; Kusen, 1994:88). Pada masa pemerintahannya telah terbit Prasasti Tulang Air, tepatnya pada 850 M, yang berisi tentang penetapan Sima di Desa Tulang Air oleh Rakai Patapan pu Manuku. Rakai Pikatan Dyah Saladu kemungkinan naik tahta dengan jalan merebutnya dari pewaris tahta yang sah. Dugaan ini muncul karena dalam prasasti Siwagrha pada 856 M tersirat adanya peperangan yang terjadi sebelum Rake Kayuwangi Dyah Lokapala naik tahta (Casparis, 1956:316–319; Kusen, 1994:89).

Setelah Rake Pikatan meninggal kerajaan dipimpin oleh Rake Kayuwangi Dyah Lokapala. Dia memerintah selama 30 tahun, dari 855 sampai dengan 885 M. Rake Kayuwangi Dyah Lokapala diidentifikasikan sebagai anak Rake Pikatan Dyah Saladu. Pada masa pemerintahannya dia mengeluarkan beberapa prasasti antara lain Prasasti Wanua Tengah I (863 M), yang berisi tentang penetapan Sima di wilayah Wanua Tengah oleh Rakai Patapan pu Manuku sedangkan yang menjadi raja  pada masa itu adalah Rakarayan Kayuwangi pu Lokapala. Selain itu adalah Prasasti Wuatan Tija pada 880 M, berisi tentang pembebasan desa Wuatan Tija dari kekuasaan wilayah Wintri dan pembebasan pajak dan cukai selama Dyah Bumi berkuasa di Wuatan Tija. Dyah Bumi adalah anak dari Sri Maharaja Rake Kayuwangi Dyah Lokapala.

Dyah Tagwas menggantikan kedudukan ayahandanya Rake Kayuwangi. Dia tidak memakai gelar Rake karena pada waktu naik tahta belum dewasa. Dia naik tahta pada 885 M, masa pemerintahannya sangat singkat hanya 8 bulan. Dia digulingkan oleh Rake Panumwungan Dyah Dewendra. Namun setelah digulingkan tetap menyatakan dirinya sebagai raja dengan mengeluarkan Prasasti Er Hangat. Menurut Jones prasasti itu dikeluarkan pada 888 M (Jones, 1984: 19; Kusen, 1994: 89). Dalam prasasti itu dia menyebut dirinya Sri Maharaja Dyah Tagwas Jayakirtiwarddhana.

Rake Panumwungan Dyah Dewendra memerintah selama 1 tahun 4 bulan yaitu dari 885 sampai dengan 887 M. Dia digulingkan oleh Rake Gurunwangi Dyah Bhadra. Setelah digulingkan Dyah Dewendra masih mengeluarkan Prasasti Poh Dulur pada 890 M, dan menyebut dirinya Rake Limus Dyah Dewendra (Jones, 1984:197–198; Kusen, 1994:90).

Rake Gurunwangi Dyah Bhadra yang telah berhasil merebut tahta dari tangan Dyah Dewendra ternyata hanya memerintah selama 28 hari. Meskipun pemerintahannya sangat singkat dia masih sempat mengeluarkan Prasasti Munggu Antan pada 887 M. Prasasti ini kemungkinan merupakan langkah politik untuk memperkokoh kedudukannya tetapi tidak berhasil (Kusen, 1994:90).

Setelah Rake Gurunwangi Dyah Bhadra meninggalkan istana, tahta kerajaan kosong selama 7 tahun. Kekosongan itu berakhir ketika Rake Wungkalhumalang (Watuhumalang) naik tahta. Dia memerintah selama 4 tahun dari 894 sampai dengan 898 M. Selain disebut dalam prasasti Mantyasih, Rake Watuhumalang juga disebut dalam prasasti Panunggalan pada 896 M dengan gelar haji (Poesponagoro, 1984:135; Kusen, 1994:90).

Setelah Rake Wungkalhumalang meninggal yang kemudian naik tahta adalah Rake Watukura Dyah Balitung. Raja ini naik tahta pada 898 M dan memerintah sampai 913 M. Raja ini mengeluarkan prasasti paling banyak, prasasti tertua yang menyebut nama Rakai Watukura Dyah Balitung adalah prasasti Telahap (Kedu) pada 899 M, sedangkan yang termuda adalah prasasti Tulangan (Jedung I) pada 910 M.

Masih ada lima raja lagi yang memerintah Mataram Kuna setelah Dyah Balitung, sehingga tidak masuk dalam daftar raja-raja. Balitung digantikan oleh Pu Daksa, yang bergelar Çri Dakşottama Bāhubajrapratipakşakşaya. Prasasti yang menyebutkan Pu Daksa sebagai raja ialah prasasti Timbangan Wungkal yang berangka tahun 196 Sanjaya (913 M) (Brandes, 1913:53–54; Setiawan, 1995:44). Akhir masa pemerintahan Pu Daksa diperkirakan pada 919 M, yang didasarkan pada prasasti Wintang Mas B (Stuart, 1875:31; Setiawan, 1995:44). Tahta kerajaan kemudian diduduki oleh Rakai Layang Dyah Tulodong.

Prasasti Lintakan (919 M) menandai awal masa pemerintahan Dyah Tulodong. Tidak banyak prasasti yang dikeluarkan oleh raja ini. Prasasti terakhir yang masih menyebutkan Dyah Tulodong sebagai raja ialah prasasti Harinjing B (921 M) (Kartoatmojo, 1984:48–50), sedangkan prasasti Harinjing C (927 M) tidak menyebut nama raja (Poesponagoro, 1984:151–154). Dengan demikian, pemerintahan Dyah Tulodong diperkirakan berakhir pada 927 M (Setiawan, 1995:44–45).

Selanjutnya terdapat seorang raja bernama Sri Maharaja Pu Wagiswara, yang tertulis dalam prasasti Palebuhan (927 M) (Stutterheim, 1935:432–435). Pu Wagiswara hanya memerintah dalam waktu singkat, yang diketahui dari prasasti Wulakan (927 M) yang menyebutkan Sri Maharaja Dyah Wawa sebagai raja yang mengeluarkan prasasti (Goris, 1928:66–68). Pemerintahan Dyah Wawa diperkirakan berakhir pada 928 M, yang didasarkan dari prasasti Blota (Panggumulan III) (Brandes, 1913:110–113; Setiawan, 1995:46).

Dyah Wawa digantikan oleh Pu Sindok, yang sebelumnya telah menjabat sebagai rakai Halu pada masa pemerintahan Dyah Tulodong dan sebagai rakai Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa. Pu Sindok kemudian memindahkan pusat kerajaan Mataram Kuna ke Jawa Timur. Berdasarkan prasasti Gulunggulung, Pu Sindok mulai memerintah pada 929 M dengan gelar Sri Maharaja Sri Içana Wikrama Dharmmotunggadewa (Poesponagoro, 1984:159; Setiawan, 1995:48). Masa pemerintahan Pu Sindok berakhir pada 947 M, yang didasarkan dari prasasti Paradah I (947 M) sebagai prasasti terakhir Pu Sindok (Krom, 1915:68; Setiawan, 1995:49). Setelah berakhirnya masa pemerintahan Pu Sindok, ada masa gelap selama 70 tahun sampai dengan pemerintahan Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama (Poesponagoro, 1984:168–171; Setiawan, 1995:49–50).

Agraris atau Maritim

Negara maritim adalah negara yang memiliki visi atau pandangan hidup maritim untuk mengontrol dan memanfaatkan laut sebagai syarat mutlak mencapai kesejahteraan dan kejayaan. Enam syarat negara maritime adalah lokasi geografis, karakteristik tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, serta pemerintahan (Nugroho, 2010:13; Suroyo, dkk., 2007:11). Negara maritim harus dapat mengendalikan pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaannya, sehingga wajib memiliki armada laut yang tangguh, baik armada perang maupun armada dagang (Nugroho, 2010:13; Suroyo, dkk., 2007:43).

Kenneth R. Hall menyatakan bahwa ada lima zona komersial di Asia Tenggara pada abad ke-14 dan awal abad ke-15. Pertama, zona Teluk Benggala, mencakup India Selatan, Srilangka, Birma, dan pantai utara Sumatera. Kedua, kawasan Selat Malaka. Ketiga, kawasan Laut Cina Selatan, meliputi pantai timur Semenanjung Malaysia, Thailand, dan Vietnam Selatan. Keempat, kawasan Sulu, mencakup pantai barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanau, dan pantai utara Kalimantan. Kelima, kawasan laut Jawa, meliputi Kalimantan Selatan, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara (Nugroho, 2010:13–14; Suroyo, dkk., 2007:9). Selain lima zona itu ada dua zona lain, yaitu kawasan Laut Arab, meliputi Cochin, Malabar, Oman, dan Aden; dan kawasan Laut Merah, meliputi Mombasa, Mogadishu, Muza, Berenike, yang berujung di Alexandria (Nugroho, 2010:14).

Ketujuh zona komersial itu tidak terbatas pada abad ke-14 dan awal abad ke-15 saja, melainkan pada abad-abad sebelumnya juga sudah berlangsung. Demikian pentingnya tujuh zona komersial menyebabkan gesekan perebutan dominasi di kawasan itu, baik oleh Arab (Dazi), India (Magadha, Colamandala, Pandya), Daratan Asia Tenggara (Khmer), Mongol, maupun Jawa. Perebutan dominasi itu juga melibatkan Jawa dan wilayah sekitarnya, seperti kerajaan-kerajaan di Sumatera, Malaka, Kalimantan, dan Sulawesi (Nugroho, 2010:14).

Secara umum, gesekan perebutan dominasi di tujuh zona komersial menyebabkan konflik terbuka seperti Mongol dengan Jawa, India dengan Jawa, Khmer dengan Jawa, serta Jawa dengan Sumatera, dan konflik tertutup dengan Arab. Dalam setiap konflik tersebut Jawa selalu menang, sehingga kapal-kapal Jawa mendominasi seluruh kawasan. Menurut Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai, serta informasi Arab, jumlah perahu yang dimiliki negara-negara di Asia dalam satu ekspedisi umumnya sebanyak 100 perahu. Banyaknya armada kapal menunjukkan kuatnya kerajaan yang memilikinya. Armada yang memiliki jumlah kapal di atas rata-rata adalah Makasar dan Jawa. Makasar memiliki 200 perahu, sedangkan Jawa memiliki lebih dari 2.800 perahu dalam satu ekspedisi (Nugroho, 2010:16).

Dalam Carita Parahiyangan diungkapkan bahwa setelah membangun kembali kerajaannya, Sanjaya raja Medang menganeksasi Melayu, Kemir, Keling, Cina, dan Kahuripan. Setelah aneksasi tersebut, sumber Arab yang ditulis oleh Sulayman dalam perjalanannya ke India dan Cina pada 851, menyebutkan bahwa Sribuza (Sriwijaya), Ramni (daerah di Sumatera), dan Kalah (Semenanjung Malaka) sebagai daerah Jawa (Medang). Informasi ini menunjukkan bahwa sebelum Majapahit di Jawa ada kerajaan besar lain, yaitu Medang. Informasi adanya aneksasi atas Sriwijaya juga diperkuat dengan berita Cina masa Dinasti Tang yang menyatakan bahwa Sriwijaya mengirim utusan ke Cina pada 670–673, 713–741, dan utusan terakhir pada 742. Sejak itu tidak ada lagi utusan Sriwijaya yang datang (Nugroho, 2010:31–33).

Aneksasi-aneksasi yang dilakukan Raja Sanjaya adalah upaya untuk menguasai lima zona komersial di Asia Tenggara. Aneksasi atas Keling (India) merupakan bentuk penguasaan zona Teluk Benggala, aneksasi atas Melayu merupakan bentuk penguasaan zona Selat Malaka, aneksasi atas Kemir (Khmer) dan Cina merupakan bentuk penguasaan zona Laut Cina Selatan, aneksasi atas Kalimantan merupakan bentuk penguasaan zona Sulu, dan aneksasi atas Kahuripan merupakan bentuk penguasaan zona Laut Jawa. Sementara itu dua zona lain, yaitu Laut Arab dan Laut Merah telah dikuasai kerajaan pendahulunya yaitu Kaling (Nugroho, 2010:33–34).

Melalui data filologi di atas Nugroho dapat mengungkapkan bahwa tradisi maritim sebenarnya sudah lama dianut oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara, tidak saja oleh Sriwijaya dan Majapahit, melainkan juga kerajaan-kerajaan Jawa pra Majapahit, yaitu Kaling, Medang (Mataram), Kahuripan, Kadiri, dan Singasari. Mereka menyadari bahwa dengan menguasai jalur-jalur perdagangan laut akan menguasai perekonomian dunia pada masa itu.

Namun apakah data filologi yang menyatakan kehebatan armada laut Jawa, khususnya pada masa Mataram Kuna, juga didukung oleh data arkeologi. Memang belum banyak penelitian arkeologi yang membahas tentang kemaritiman masa Mataram Kuna karena adanya anggapan bahwa kerajaan itu bersifat agraris. Maka menjadi menarik apa yang telah diungkap Nugroho tersebut, sekaligus menyadarkan dan menjadi tantangan para arkeolog untuk mengungkap kemaritiman masa Mataram Kuna. Sebagai kerajaan besar yang mampu bertahan hingga rentang waktu 300 tahun, mustahil kalau Mataram Kuna tidak memiliki armada laut yang kuat, karena yang dihadapi tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa saja tetapi lebih banyak musuh dari luar Jawa. Armada laut itu tidak hanya untuk berperang menghadapi musuh tetapi juga untuk berdagang dengan kerajaan-kerajaan atau bangsa-bangsa lain, seperti Arab, India, Cina, Sriwijaya, Malaka, dan lain-lain.

Data arkeologi memang mempunyai keterbatasan, sehingga akan sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk dapat mengungkap jumlah armada perahu yang dimiliki oleh Jawa khususnya Mataram Kuna, sebagaimana dinyatakan dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai maupun informasi Arab. Namun informasi dari data filologi maupun data sejarah lainnya dapat membantu penelusuran tinggalan masa lalu melalui penelitian arkeologi. Misalnya jika ada informasi mengenai pelabuhan-pelabuhan kuna di suatu tempat tentunya bisa ditelusuri kebenarannya melalui penelitian arkeologi. Informasi mengenai bentuk dan ukuran perahu tentu bisa untuk perbandingan dengan temuan-temuan perahu yang sudah ada.

Perahu Kuna yang ditemukan di Desa Punjulharjo, Rembang, Jawa Tengah merupakan temuan perahu kuna terlengka dan tertua. Tampak perahu sedang direndam larutan PED agar kondisi kayu-kayu penyusun perahu dapat tidak rapuh.

Temuan perahu kuna spektakuler di Desa Punjulharjo, Rembang telah diteliti oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada 2008. Temuan perahu ini spektakuler karena merupakan temuan perahu kuna yang relatif utuh. Berdasarkan pertanggalannya, perahu kuna Punjulharjo itu berkisar antara 660–780 M. Dikaitkan dengan konteks kesejarahan, masa tersebut berada pada peradaban masa Sriwijaya di Sumatera dan Mataram Kuna di Jawa (Riyanto, 2013:5).

Perahu kuna ini belum dapat dipastikan apakah milik Sriwijaya atau Mataram Kuna, namun berdasarkan ciri-ciri teknologinya (teknik papan ikat dan kupingan pengikat) dapat dipastikan bahwa perahu Punjulharjo adalah perahu Nusantara atau Asia Tenggara secara umum (Riyanto, 2013:5). Walaupun belum dapat dipastikan sebagai milik Sriwijaya atau Mataram Kuna, namun karena perahu ini adalah perahu Nusantara bisa jadi perahu ini milik Sriwijaya atau Mataram Kuna. Penemuan ini menjadi sangat penting mengingat tingkat kesulitan yang tinggi untuk bisa menemukan sisa-sisa perahu kuna lainnya, apalagi yang relatif masih utuh, sehingga penelitian yang mendalam sangat diperlukan untuk dapat mengungkap siapa pemilik perahu itu.

Perahu Punjulharjo ini mempunyai ukuran yang cukup besar, panjang 15 meter dan lebar 4,6 meter. Perahu ini termasuk dalam kategori perahu berbadan lebar yang mampu membawa muatan yang cukup banyak, sehingga diduga sebagai perahu dagang yang dapat berlayar jauh mengarungi lautan lepas. Menurut Manguin, pakar Arkeologi Maritim dari EFEO Perancis, kapasitas perahu sekitar 60 ton dengan jumlah orang sekitar 24 orang. Dijelaskan pula bahwa perahu ini bukan jenis perahu nelayan atau perahu perang, tetapi kemungkinan perahu dagang (Riyanto, 2013:6).

Data arkeologis mengenai kemaritiman masa Mataram Kuna juga dapat ditelusuri melalui relief-relief candi. Aktivitas pelayaran yang dilakukan oleh masyarakat masa lalu, kemungkinan masyarakat yang tinggal di wilayah Kerajaan Mataram Kuna, dapat diamati dari relief-relief perahu yang terdapat di Candi Borobudur. Dalam panel-panel relief itu digambarkan beberapa jenis perahu, ada jenis perahu berukuran kecil yang biasa digunakan di sungai laut dekat pantai, maupun perahu berukuran besar yang biasa digunakan di lautan lepas atau samudera. Dengan adanya relief-relief perahu berbagai ukuran dan berbagai manfaat itu menunjukkan bahwa masyarakat Mataram Kuna telah mengenal teknologi perahu, mungkin juga ada yang berprofesi sebagai nahkoda perahu.

Prasasti Puhawang Glis atau prasasti Gondosuli Prasasti pada batu, ditemukan di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti itu ditulis dalam aksara Jawa Kuna dan bahasa Melayu Kuna. Isinya kurang begitu jelas, antara lain menyebutkan bahwa pada tanggal 8 paro terang bulan Jyesta tahun 749 Śaka (7 Mei 827) Dang Puhawang Glis dan istrinya meresmikan sīma. Menurut informasi Bambang Budi Utomo prasasti itu berisi tentang puja bakti yang dilakukan oleh seorang nahkoda kapal terhadap satu bangunan suci di Gondosuli. Jika dilihat konteksnya Dang Puhawang Glis adalah nahkoda yang berasal dari Jawa atau Mataram Kuna, karena pekerjaannya sebagai nahkoda (dang puhawang), ia lama merantau. Pada suatu kesempatan rindu akan kampung halamannya, maka ia pulang dengan tidak lupa memberikan persembahan kepada dewa yang dipujanya.

Tentu masih banyak lagi data arkeologis yang berkaitan dengan kemaritiman, khususnya masa Mataram Kuna, yang dapat ditelusur. Namun perlu kerja keras untuk dapat mengungkapnya, karena belum banyaknya informasi data arkeologi maritim yang berkaitan dengan Mataram Kuna.

Penutup

Sekelumit data arkeologi di atas telah menyiratkan bahwa masa Mataram Kuna ada nuansa kemaritiman. Memang baru sedikit, namun yang sedikit tersebut mampu memberikan harapan bagi para arkeolog untuk lebih berani mengungkapkan data kemaritiman pada masa Mataram Kuna. Bangsa-bangsa yang hidup di pulau-pulau yang dikitari oleh lautan luas tentu menyadari situasi dan kondisinya tersebut, sehingga akan beradaptasi dengan lingkungan geografis yang demikian. Pada akhirnya adaptasi dengan lingkungan itu akan menghasilkan karakter yang khas bangsa itu. Maka sudah selayaknya kalau Mataram Kuna juga muncul sebagai kerajaan maritim, sebagaimana tetangganya Sriwijaya dan kerajaan sesudahnya seperti Majapahit.

Jika dalam Prasasti Canggal (732 M) disebutkan bahwa Pulau Jawa sangat indah, hijau, subur, dan kaya akan emas, tidak harus diartikan bahwa Mataram Kuna yang berada di Pulau Jawa sangat bergantung pada hasil bumi tersebut sehingga dapat dikatakan sebagai negara agraris. Kekayaan alam Pulau Jawa itu dapat dikatakan sebagai bonus atau nilai tambah yang dimiliki oleh Mataram Kuna, sehingga kekuatan ekonomi Mataram Kuna tidak saja bergantung pada hegemoninya terhadap tujuh zona perdagangan Asia, tetapi juga ditopang oleh hasil buminya, sebagaimana Kerajaan Majapahit.

Oleh karena itu, apa yang telah dikemukakan oleh Nugroho bahwa Mataram Kuna adalah salah satu kerajaan maritim dengan armada lautnya yang kuat, menjadi tantangan bagi para arkeolog untuk membuktikannya. Data filologi maupun data kesejarahan lain dapat membantu para arkeolog untuk mencari dan menggali data arkeologis yang tersurat atau tersirat dalam data filologi atau sejarah tersebut.

Makalah ini dipaparkan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.

Daftar Pustaka

Boechari, 1966, “Preliminary Report on the Discovery of an Old Malay Inscription at Sojomerto”, dalam MISI 3 (2&3):241–251

Boechari dan A.S. Wibowo, 1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional. Jilid I. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional.

Brandes, J.L.A.1913. “Steen van Soerabaja”, OJO LII. Batavia/S. Hage: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Casparis, J.G. de, 1956, Inscriptie uit de Çailendra-tijd (Prasasti Indonesia I), hlm. 38–41, Bandung: Masa Baru

__________ 1958. “Short Inscription from Tjandi Plaosan Lor”. Berita Dinas Purbakala No. 4. Djakarta: Dinas Purbakala.

Damais, L.C. 1964. “La transcriptions Chinoise Ho-Ling comme designation de Java”. BEFEO, LII. Hlm 93-141.

Jones, A.M.B. 1984. “Early Tenth Century Java from the Inscriptions a Study of Economic, Social, and Administrative Conditions in the First Quarter of the Century. VKI 107. Dordrecht: Foris Publication.

Krom, N.J. 1915. “Oudheidkundig Verslag Over Het Tweede Kwartaal 1915”. OV. Uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenscappen, Weitvreden Abrecht and Co/ S. Hage M. Nijhoff.

Kusen. 1994. “Raja-raja Mataram Kuna dari Sanjaya sampai Balitung, Sebuah Rekonstruksi berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III”. Berkala Arkeologi. Tahun XIV–Edisi Khusus.

Moens, J.L. 1937. “Çrivijaya, Yawa en Kataha”, dalam TBG 77:317–487.

Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar pada Masa Mataram Kuna Abad IX–XI Masehi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Nugroho, Irawan Djoko. 2011. Majapahit Peradaban Maritim: Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia. Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti.

Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: P.N. Balai Pustaka.

Riyanto, Sugeng. 2013, Perahu Kuna Punjulharjo dan Arkeologi Maritim Nusantara, dalam, Inajati Adrisijanti. Perahu Nusantara. Yogyakarta: Kepel Press.

Setiawan, I.G.N. Made Budiana. 1995. “Pergeseran Kedudukan Pejabat Tinggi Kerajaan Mataram Kuna Pada Abad IX–X Masehi: Kajian Terhadap Situasi Politik Pemerintahan”. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Stuart, A.B. Cohen. 1875. Kawi Oorkonden in Facsimile, met inleiding en Transcriptie. Leiden: E.J. Brill.

Stutterheim, W.F. 1935. “Een Javaansche Acte van Uitspraak uit het Jaar 922 AD”, TBG. Vol. 75. Hlm. 420–437.

Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 2007. Sejarah Maritim Indonesia I: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad Ke-17. Semarang: Jeda.

Wolters, O.W. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III–Abad VII. Jakarta: Komunitas Bambu.