Geostrategi Kepulauan Maya-Karimata: Telaah Arkeologi dan Sejarah Maritim[1]

Oleh: Eko Herwanto, Imam Hindarto, Nugroho Nur Susanto[2]

Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Kepulauan Maya-Karimata memberikan gambaran penting akan peranan pulau-pulau dalam perkembangan budaya maritim. Kepulauan ini berada di Selat Karimata yang merupakan pusaran arus pelayaran dan perdagangan regional maupun internasional. Keletakkan kepulauan ini diapit oleh pusat-pusat budaya regional khususnya di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Karakteristik internal dari pulau-pulau di kepulauan ini berpotensi sebagai “titian” yang menghubungkan pusat-pusat budaya (cf. Herwanto, 2010:104). Karakteristik ini berpotensi menumbuhkan kekhasan budaya tersendiri, khususnya budaya kepulauan.

Pelayaran dan perdagangan dalam budaya maritim merupakan dua hal yang saling berkaitan. Hubungan dari kedua hal tersebut pada fungsi sekundernya sebagai penggerak budaya dapat diterangkan dalam model kausal. Inti dari model ini, antara lain: (1) kebutuhan manusia akan komoditas menggerakkannya untuk mendapatkan komoditi tersebut melalui upaya pertukaran atau jual beli; (2) kebutuhan manusia akan pengetahuan baru, menggerakkan manusia untuk keluar dari ranah pengetahuan asalnya; (3) kedua jenis kebutuhan tersebut mendorong orang untuk pergi ke negeri-negeri lain (yang dihuni bangsa-bangsa lain) yang di antaranya banyak terletak di seberang lautan; (4) kebutuhan akan komunikasi tersebut di satu sisi mendorongnya untuk menyeberangi lautan, di sisi lain mengembangkan sikap terbuka terhadap pendatang asing; dan (5) kebutuhan menyeberangi lautan mendorong berkembangnya pengetahuan mengenai pelayaran (Sedyawati, 2006:333–334).

Nilai penting Kepulauan Maya-Karimata tidak hanya dipandang dalam geostrategis yang berada di jalur pelayaran dan perdagangan. Lebih daripada itu, posisi demikian untuk memahami kekhasan dari kepulauan ini yang perlu dilihat lebih lanjut sebagai unsur kekuatan laut (sea power) yang mendukung karakteristik kepulauan. Unsur kekuatan laut tersebut terdiri atas; (a) posisi geografis; (b) pembawaan fisik dan keadaan alaminya; (c) keluasan laut; (d) panjang dan seluk beluk pantainya; (e) jumlah penduduk yang bermukim di sepanjang pesisir; (f) karakter dari keseluruhan penduduk pada umumnya; dan (g) karakter dan kebijakan penguasa (Joesoef, 2014:103).

Penjajagan arkeologis dan kesejarahan Kepulauan Maya-Karimata telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Kalimantan Selatan (dulu Balai Arkeologi Banjarmasin) selama dua tahap. Tahap pertama dilakukan di kawasan pesisir Kalimantan Bagian Barat Daya khususnya di Kabupaten Kayong Utara dan Pulau Maya. Hasil dari penjajagan tahap ini berhasil mengidentifikasi beberapa situs arkeologi di daerah tersebut, seperti Situs Totek, Situs Kemboja, dan Gua Sedahan. Tahap kedua, dilakukan pada 2010 dengan menjajagi 7 pulau di Kepulauan Maya dan Karimata. Simpulan pada tahap ini bahwa telah terdapat okupasi di beberapa pulau pada masa lalu baik bersifat sementara maupun permanen. Ragam aktivitas manusia terkait dengan okupasi tersebut, antara lain, keagamaan, perdagangan, dan pertahanan militer. Selain itu, juga disimpulkan adanya keberlanjutan budaya, terkait dengan okupasi mulai dari awal masehi hingga era modern (Tim Penelitian, 2010:41–42). Kajian pendahuluan mengenai keletakkan dan kearkeologian Pulau Maya telah diulas oleh Herwanto (2010). Dalam artikelnya dilontarkan asumsi bahwa Pulau Maya memiliki nilai penting tidak hanya bagi Kalimantan, Sumatera dan Jawa, serta daerah kepulauan lainnya. Nilai penting tersebut terutama sebagai “jembatan budaya” baik dalam aktivitas ekonomi, keagamaan maupun perluasan hegemoni politik (Herwanto, 2010:104–105).

Pengkajian ini berusaha menyintesiskan hasil-hasil penelitian maupun kajian terdahulu. Perhatian utama ditujukan pada identifikasi aspek-aspek dalam sejarah kepulauan maupun kemaritiman. Hal tersebut bertujuan untuk mendukung pemahaman akan geostrategi dari Kepulauan Maya-Karimata. Kerangka umum dalam geostrategi ini menempatkan ruang sebagai kategori utama dari pemikiran strategis[3]. Pengkajian ini akan menempatkan geostrategi hanya dalam analisis ragam data baik pada konteks ekonomi, politik, budaya, maupun militer. Hasil analisis tersebut, lebih lanjut dapat diteladani melalui perumusan strategi umum yang terkait dengan strategi geomaritim (cf. Joesoef, 2014:34).

Gambaran Umum Situs-Situs Arkeologi di Kepulauan Maya-Karimata

Kepulauan Maya-Karimata terdiri atas gugusan pulau-pulau yang tersebar di wilayah administrasi Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Dinas Perikanan dan Kelautan setempat, pada 2009 telah mencatat bahwa di wilayah kerjanya terdapat 103 pulau yang sudah diberi nama oleh masyarakat. Pulau-pulau tersebut mengelompok menjadi beberapa kepulauan kecil, contohnya Kepulauan Maya terdiri atas Pulau Maya, Upeh, Nenas, Meresak, Dua, dan Hantu. Dari keseluruhan jumlah pulau tersebut yang terindikasi terdapat artefak arkeologi adalah Pulau Maya, Datu, Meledang, Karimata dan Serutu. Berikut ini gambaran umum dari situs-situs dan artefak yang diresume dari hasil laporan penelitian arkeologi di Kepulauan Maya-Karimata.

Pulau Maya

Pulau Maya merupakan pulau terbesar di Kepulauan Maya-Karimata (112.000 Ha). Jarak antara Pulau Maya dengan pesisir Pulau Kalimantan kurang lebih 0.5 Km. Sebagian besar wilayah pulau ini berupa rawa yang ditumbuhi bakau. Dataran tinggi terdapat di bagian barat pulau dengan beberapa gunung, yaitu Gunung Dusun, Gunung Sebiyau, dan Gunung Totek. Dari gunung-gunung tersebut mengalir sungai-sungai kecil yang bermuara dipantai. Kompleksitas artefak arkeologi dapat ditemukan di daerah Gunung Sebiayu dan Gunung Totek. Selain itu, kompleksitas temuan juga terdapat di bagian timur Pulau Maya terutama di Desa Kamboja. Lokasi desa tersebut cukup strategis karena berhadapan langsung dengan Kota Sukadana.

Di daerah Gunung Sebiyau terdapat di lokasi yang padat akan artefak arkeologi, yaitu di Hulu Sungai Gunung Sebiyau dan Sungai Cabang Neraka. Sebagian besar artefak arkeologi yang ditemukan di kedua lokasi ini berupa keramik-keramik yang berasal dari Cina dengan kronologi abad ke-10–13 M. Informasi dari penduduk setempat menyatakan bahwa di kedua lokasi tersebut juga sering ditemukan berbagai bentuk perhiasan berupa manik-manik baik dari batu maupun emas. Oleh karena itu, penambangan emas secara liar terjadi di kedua lokasi tersebut dari beberapa tahun.

Sebaran artefak arkeologi di Gunung Totek ditemukan di hulu Sungai Totek dan Pasir Putih. Temuan arkeologis yang cukup menarik di hulu Sungai Totek adalah satu batu besar yang dipahat dua motif relief stupa. Kedua motif relief stupa digambarkan berbeda namun memiliki bagian-bagian umum dalam struktur stupa. Relief pertama memiliki ukuran lebih tinggi dibandingkan dengan relief kedua. Postur penggambaran relief pertama juga lebih ramping daripada relief kedua. Di sekitar batu berelief stupa juga pernah ditemukan satu arca batu oleh para pencari harta karun. Arca tersebut sudah dijualbelikan sehingga tidak terlacak lagi keberadaannya. Lokasi Pasir Putih berada di sebelah barat dari Gunung Totek. Penamaan lokasi ini dilatarbelakangi oleh kondisi bentang lahan yang berupa pasir laut yang berwarna putih. Sebaran artefak yang ditemukan di lokasi Pasir Putih berupa fragmen gerabah dengan berbagai bentuk dan ukuran.

Kompleksitas artefak arkeologi selanjutnya berada di bagian timur dari Pulau Maya. Lokasinya temuan artefak tersebut di sekitar parit-parit kecil yang bermuara di Sungai Meledang. Beberapa artefak yang bisa diidentifikasi adalah fragmen keramik, pipisan, dan lunas kapal yang sudah terfragmentaris. Artefak arkeologi yang masih utuh juga disimmpan oleh penduduk setempat, seperti beberapa jenis keramik.

Pulau Datu

Pulau Datu terletak berimpit dengan pesisir Pulau Kalimantan. Dalam kondisi air laut surut Pulau Datu bisa dijangkau dengan jalan kaki melewati hamparan pasir putih. Namun, ketika air mulai pasang terdapat selat yang memisahkan antara Pulau Datu dengan Pulau Kalimantan. Artefak arkeologi yang ditemukan di pulau ini hanya makam yang sudah diberi cungkup dan bagian laintainya diplaster dengan semen. Seperti halnya situs-situs arkeologi lainnya makam di Pulau Datu ini juga sudah rusak akibat penggalian liar. Penggalian liar tersebut juga berdampak tersingkapnya batu bata yang tersebar acak di permukaan tanah. Kondisi sekarang dari makam hanya tampak pada bagian batu nisan yang berbentuk persegi panjang. Bagian atas dari batu nisan ini meruncing atau berbentuk segitiga. Pada bagian tengah dari batu nisan terdapat motif lingkaran.

Pulau Meledang

Pulau Meledang merupakan dua pulau yang disatukan oleh dataran genting yang yang dulunya merupakan selat. Lebar dataran genting yang yang memisahkan kedua pulau kurang lebih 150 M. Penduduk setempat menjadikan dataran genting tersebut sebagai lokasi pemukiman. Sumber air tawar juga ditemukan di beberapa titik. Salah satu sumber tersebut telah berupa sumur yang dipercaya sudah ada sejak dulu. Artefak arkeologi berupa keramik dan makam Islam ditemukan di sekitar sumur tersebut. Selain itu, artefak berupa fragmen keramik mulai dari abad ke-10–19 M juga tersebar luas di area pemukiman penduduk. Pencarian barang antik secara liar pernah dilakukan di pulau ini. Menurut penuturan penduduk setempat selama pencarian barang antik pernah menemukan keramik, gerabah, logam, bekas kapal dan rangka manusia.

Pulau Karimata

Pulau Karimata memiliki bentang lahan yang bergunung-gunung. Titik tertinggi di pulau ini di Gunung Cabang dengan ketinggian 1039 m dpl. Sumber-sumber mata air tawar mengalir melewati sungai-sungai kecil di beberapa bagian pulau. Bagian pesisir pulau ini memiliki banyak teluk namun tidak semuanya dapat disandari oleh kapal dengan ukuran besar. Kendala utama hal tersebut adalah kedalaman air laut di daerah pantai yang cukup dangkal. Daerah pantai yang bisa digunakan berlabuh kapal besar berada di bagian barat pulau (Desa Betok).

Ragam artefak arkeologi yang ditemukan di pulau ini cukup bervariasi. Sebagian besar artefak yang ditemukan berupa fragmen keramik. Artefak tersebut tersebar di sepanjang pantai Desa Padang Karimata dan ada pula yang disimpan oleh penduduk. Di Desa ini juga ditemukan bekas keraton dengan meriam yang berada di halaman depannya. Kondisi sekarang, bekas keraton tersebut didiami dan dirawat oleh keluarga/keturunan Teuku Simbo. Di depan bekas keraton terdapat lapangan dan masjid kuna yang sudah mengalami banyak renovasi. Temuan arkeologis lainnya berupa makam Islam yang berada kurang lebih 100 m sebelah utara dari bekas Keraton. Penduduk setempat menyebut makam tersebut adalah makam tokoh yang bernama Teuku Abdul Jalil.

Pulau Serutu

Pulau Serutu adalah pulau yang terjauh dari keseluruhan pulau di Kepulauan Maya-Karimata. Jarak antara pesisir Pulau Kalimantan dengan pulau ini lebih kurang 84 Km. Lokasi Pulau Serutu berada di sebelah barat dari Pulau Karimata atau di sebelah timur dari Kepulauan Bangka Belitung. Artefak arkeologi yang ditemukan di Pulau Serutu berupa mercusuar dan dua prasasti batu. Mercusuar berada di bukit di bagian barat pulau. Sedangkan, kedua prasasti berada di lokasi yang dinamakan Pasir Cina dan Pasir Kapal. Penamaan kedua lokasi tersebut digunakan pula untuk penamaan masing-masing prasasti.

Kedua prasasti beraksara dan berbahasa Cina. Pada prasasti Pasir Cina media pemahatannya berupa tebing batu yang dialiri oleh air tawar. Pahatan aksara ditempatkan di beberapa tempat di bagian tebing tersebut. Hasil transliterasi[4] dari beberapa pahatan prasasti tersebut menunjukkan frasa “Quan Shi” yang berarti ‘air mancur’ dan “Qing” berarti ‘bersih atau jernih’. Selain kedua frasa tersebut, terdapat pula diagram yang dipahatkan di dinding tebing. Bentuk diagram berupa gambar kotak persegi empat yang dibagi menjadi delapan bagian. Teknik pembagiannya dengan menyatukan kedua sudut diagonal dan membagi rata bagian tengah bidang (vertikal-horisontal).

Prasasti Pasir Kapal dipahatkan pada batu besar dengan bidang pahat yang datar. Pada batu ini terpahat huruf Cina dengan pembacaan dari atas ke bawah. Beberapa huruf dalam prasasti tersebut sudah aus sehingga tidak terbaca. Namun, berdasarkan pembacaan bagian yang lain memberikan petunjuk tentang nama Kerajaan Yuan, adanya utusan (caraka), jumlah kapal, dan kronologi waktu.

Pembahasan Posisi Strategis: Jalur Pelayaran dan Perdagangan di Nusantara

Pada kurun waktu seribu tahun pertama sebelum masehi, daerah-daerah di Nusantara sudah termasuk suatu kawasan budaya besar yang rentangannya mengandaikan adanya hubungan laut yang tetap. Rentangan waktu pada masa ini disebut masa perunggu-besi atau perkembangan Kebudayaan Dongson (dari nama situs di Vietnam Utara). Artefak arkeologis dari masa ini dicirikan dengan penggunaan logam, seperti nekara atau moko. Sebaran artefak tersebut mulai dari Kerinci (dataran tinggi Sumatera) sampai Kepulauan Kei (Lombart, 2010:11; C.f Bellwood, 2000:387–391). Nekara juga ditemukan di daerah pesisir Kalimantan, yaitu di Sambas dan Kotawaringin. Persebaran nekara di sejumlah wilayah di Nusantara sangat mungkin terkait melalui jaringan pelayaran dan perdagangan. Sebaran ini mengalami tumpang tindih dengan jaringan kontak dengan India pada awal tarikh masehi (Bellwood, 2000:402–403).

Keberadaan Budaya Dongson di kawasan Selat Karimata (pesisir Sambas dan Kotawaringin) menunjukkan bahwa kawasan tersebut sudah masuk dalam jaringan pelayaran dan perdagangan. Perkembangan selanjutnya pada masa awal tarikh masehi dengan adanya kontak dengan budaya India seperti di daerah pesisir utara Jawa, seperti di Situs Batujaya (Djafar, 2010:97–98). Belum dapat diketahui peranan Kepulauan Maya-Karimata pada fase awal terbentuknya jaringan pelayaran dan perdagangan ini. Namun, jaringan pelayaran dan perdagangan tersebut dapat dipastikan melalui jalur Selat Karimata.

Pengalaman dalam mengarungi lautan selatan berlanjut dan berkembang pada masa sesudahnya. Cina sebagai pusat ekonomi telah membawa dampak besar terhadap pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara. Jalur-jalur pelayaran untuk mendapatkan sumber komoditi mulai dipetakan dalam catatan-catatan pelaut. Roderich Ptak (1998:269–270), berdasarkan kajian atas catatan tersebut melihat pelayaran menuju Asia Tenggara melalui dua rute yang berbeda. Pertama, dari Fujian mengikuti pesisir Cina menuju Guangdong, kemudian menuju Hainan terus pesisir Champa dan Pulau Condore. Dari sini berlanjut ke tiga arah, yaitu Siam, barat laut Borneo, dan pesisir timur Semenanjung Malaya. Berpangkal dari pesisir timur Semenanjung Malaya, pelayaran bisa dilanjutkan menuju Trengganu, Pahang, Pulau Tioman, Johore, dan Singapura yang memungkinkan menuju Samudra Hindia.

Rute kedua menghubungkan Fujian ke Asia Tenggara dengan beberapa bagian. Pertama dari Fujian menuju barat daya Taiwan dan Barat Laut Luzon. Selanjutnya, pelayaran dapat menuju Mindoro dan Kepulauan Calamian. Dari Selat Mindoro, pelayaran biasanya langsung menuju Palawan kemudian sampai di Selat Babalac dan Kota Kinibalu di pesisir Sabah. Bagian selanjutnya pelayaran dari pesisir utara Borneo (baca Kalimantan) menuju ke Tanjung Datu, di mana akan bergabung dengan jalur percabangan dari Vietnam Selatan. Dari barat laut Borneo, pelayaran dapat melanjutkan ke Johor, atau meloncat ke selatan menuju Pontianak, Kepulauan Karimata, Kepulauan Belitung, timur Sumatera dan utara Jawa.

Aspek-Aspek Geostrategi Kepulauan Maya-Karimata

Kekuatan laut Kepulauan Maya-Karimata memberikan nilai penting kawasan ini dalam geostrategi. Cakupan geostrategi tersebut meliputi aspek politik, ekonomi, budaya dan pertahanan militer yang saling terkait dalam kerangka sistemik. Oleh karena itu, pembahasan mengenai satu aspek akan selalu terkait dengan aspek-aspek lainnya. Sebagai contoh strategi pembangunan ekonomi akan melibatkan kebijakan politik dalam penerapan pemotongan pajak. Kebijakan militer pun dilakukan demi keamanan kawasan, atau menjaga sumber daya yang menjadi komoditi. Interaksi dalam ekonomi baik regional maupun internasional juga berdampak pada komunikasi lintas budaya. Alhasil, pertumbuhan mode budaya baru menjadi sesuatu yang sulit dihindari.

Aspek ekonomi

Kepulauan Maya-Karimata berada dalam kawasan strategis perdagangan dan pelayaran baik lokal, regional, maupun internasional. Pengalaman sejarah dan budaya maritim menunjukkan bahwa penduduk di kepulauan ini sudah mampu memanfaatkan kekuatan laut yang dimilikinya. Kepulauan Maya-Karimata sudah masuk dalam jaringan perdagangan dan pelayaran internasional sejak abad ke-10. Beberapa fragmen keramik dari abad ke-10 banyak ditemukan di Pulau Maya dan Meledang. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi dengan Cina sudah mulai terjalin. Pulau Karimata juga telah termaktub dalam catatan Shi Bi (Sejarah Dinasti Yuan) yang menceritakan pelayaran menuju Jawa yang melewati Laut Cina Selatan (Groneveldt, 2009:36).

Catatan selanjutnya diperoleh dari Xingcha Shenglan (1436) yang memberikan gambaran topografi Pulau Karimata. Selain itu, diceritakan pula kebiasaan penduduk setempat yang menggunduli kepala dan mengenakan jaket pendek dari kain bambu dan sarung pendek. Penduduk memakan buah-buahan, membuat garam, dari arak dari tebu. Dalam perdagangan penduduk memerdagangkan tempurung penyu dan antelop. Sedangkan, barang yang dibeli dari pedagang yang datang antara lain kain Jawa, manik-manik, kain katun bermotif bunga, beras, dan sebagainya (Groneveldt, 2009:161–162).

Catatan pada 1512–1515 oleh Tome Pires dalam Suma Oriental, menyebutkan adanya Kerajaan Tanjungpura yang berada di barat daya Pulau Kalimantan. Komoditi perdagangan dari Tanjungpura berupa berlian, budak, madu dan lilin. Sedangkan, barang yang di datangkan dari Malaka antara lain, kain yang bernilai di Jawa, bretangi merah dan hitam, serta kain putih dari Bengal. Pada kurun waktu selanjutnya Tanjungpura disebut dengan Sukadana. Belum diketahui proses atau peristiwa pergantian ini. Namun, lokasi baik Tanjungpura maupun Sukadana berada di pesisir selatan Kalimantan (Cortesao, 2015:308–309).

Menjelang 1600, Kepulauan Maya-Karimata diramaikan dengan perdagangan perkakas dari besi khususnya parang dan kapak. Diuraikan dalam beberapa catatan pelaut Eropa, bahwa orang Melayu memakai keris yang bahannya dari Karimata. Bahkan, Banten yang menjadi pusat perdagangan di bagian barat Jawa juga mengimpor biji besi dari Karimata. Pada 1631, orang Belanda juga membeli hampir sepuluh ribu kampak dan parang dan delapan ribu pada 1637 (Reid, 2011:126). Selama penjajakan arkeologis dilakukan di Pulau Karimata belum didapatkan sisa-sisa peleburan besi. Kendati demikian, keberadaan Pulau Kapak dan Pulau Besi yang berada dalam satu gugusan dengan Pulau Karimata memberi kemungkinan adanya tradisi tersebut pada masa lalu.

Gambaran singkat tentang keadaan topografi, sejarah, demografi, maupun perdagangan daerah kepulauan Karimata ditelaah cukup baik oleh P.J. Veth (1854). Mengenai Pulau Karimata Besar diceritakan pada 1822 terdapat Negeri Palembang yang berpenghuni 10 pondok sederhana. Mata pencaharian penduduk di sini terdiri atas menangkap ikan, pengumpul sarang burung walet, lilin, karet, tripang, menempa logam besi. Selanjutnya, diceritakan tentang kondisi Pulau Serutu yang banyak terdapat koral merah. Orang dari Kubu[5] banyak mengambil koral ini untuk campuran sirih. Sedangkan, orang-orang Cina banyak yang membeli koral ini dipakai untuk obat (Veth, 2012:126–128).

Perdagangan dan pelayaran di kepulauan ini selain didukung oleh adanya komoditas juga keberadaan penduduk dan sumber air tawar yang melimpah. Artefak arkeologi yang ditemukan di Kepulauan Maya-Karimata memiliki keterkaitan dengan adanya sumber daya air tawar di masing-masing pulau. Keberadaan air tawar juga mendukung penghunian pulau-pulau tersebut. Kebutuhan logistik khususnya air tawar dalam pelayaran dapat ditemukan di Pulau Serutu, Karimata, Pelapis, Meledang, Maya, Penumbangan dan beberapa pulau lainnya.

Beberapa pulau di Kepulauan Maya-Karimata memiliki teluk-teluk dengan berbagai karakteristik topografi yang dapat digunakan sebagai pelabuhan alam. Pesisir selatan Pulau Serutu cukup layak untuk digunakan pendaratan perahu-perahu dengan ukuran kecil. Hal ini dikarenakan banyaknya terumbu karang yang mendangkalkan pesisir tersebut. Pulau Karimata memiliki teluk yang cukup dalam di Desa Betok yang memungkinkan dilakukan pendaratan kapal dengan ukuran besar. Muara sungai yang berada di sebelah timur Pulau Maya dapat digunakan sebagai pelabuhan alami.

Kepulauan Maya-Karimata memiliki pelabuhan regional yang berada Sukadana. Selain sebagai pusat pemerintahan, Sukadana juga berfungsi sebagai hub port[6]. Posisi pelabuhan ini cukup strategis karena berada di teluk teduh dan chokepoint[7] lokal berupa selat kecil di Teluk Batang. Pelabuhan ini cukup berkembang pada pertengahan 1800-an dengan memuat karet dan intan yang diperoleh dari beberapa daerah kepulauan dan pedalaman. Berikut catatan Veth (2012:123) tentang kapal dari Pontianak yang berlabuh di Sukadana maupun sebaliknya.

Tahun Dari Sukadana ke Pontianak Dari Pontianak ke Sukadana
Kapal Last Kapal Last
1843 9 31 6 21
1844 16 230 21 91
1845 16 120 22 138
1846 34 170 24 87
1847 25 139 18 103
1848 28 73 8 19
1849 12 62 7 9
1850 31 92 15 28

 

Aspek politik

Artefak keagamaan yang berkarakter budaya abad ke-7–8 M di Pulau Maya memberikan asumsi bahwa daerah tersebut sudah memiliki struktur sosial yang mapan. Artefak pertama berupa arca Visnu yang memiliki kesamaan langgam seni dengan arca di Kepulauan Bangka-Belitung. Secara geobudaya kedua kepulauan ini cukup berdekatan, sehingga dalam perkembangan budaya dapat dipastikan akan sangat saling pengaruh. Kedua, artefak relief stupa Buddha yang ditemukan di lokasi yang sama dengan arca Visnu. Buddhisme di kawasan ini sangat dipengaruhi oleh hegemoni Sriwijaya di Sumatera. Secara politik, hegemoni politik Sriwijaya juga sampai di bagian barat wilayah Jawa. Namun, apakah pengaruh hegemoni tersebut juga meliputi Kepulauan Maya-Karimata yang berada di pintu masuk Laut Jawa? Sejauh ini masih belum ditemukan data-data yang mendukung hal tersebut.

Penyebutan Tanjungpura pertama kali termaktub dalam Negarakrtagama atau kakawin Desa Warnana. Susastra ini ditulis oleh Prapanca pada 1365 M, atau pada era pemeritahan Hayam Wuruk. Dalam teks Negarakrtagama digambarkan perjalanan Hayam Wuruk yang mengunjungi beberapa daerah di bagian timur Kerajaan Majapahit. Prapanca juga memberikan catatan kerajaan-kerajaan vasal Majapahit yang meliputi daerah Sumatera, Kalimantan sampai Maluku. Khusus daerah vasal di Kalimantan, Prapanca menuliskan dalam wirama 14 sebagai berikut.

Kadhangdhangani landha len ri samedhang tirem tan kasah ri sedhu buruneng ri kalka saludhung ri solot pasir, baritwi sawaku muwah ri tabalung tanjung kute, lawan ri malano maka pramuka tang ri tanjung puri[8].

Terjemahan:

Kadangdangan, Landa, Samedang, dan Tirem tak terlupakan Sedu Bruneng (Brunai) Kalka, Saludung, Solot, dan Pasir, Barito, Sawaku, serta Tabalung, dan Tanjung Kutai, serta Malano yang terkemuka di Tanjungpura (Riana, 2009:98).

Tanjungpura kembali muncul dalam Prasasti Waringin Pitu, atau Sorodokan yang dikeluarkan oleh Wijayaparakramawardhana pada 1474 M. Uraian dalam teks prasasti memberikan gambaran mengenai penetapan daerah Waringin Pitu sebagai perdikan dharma yang bernama Rajakusumapura. Teks prasasti juga menjelaskan kondisi politik dan susunan pemerintahan di Majapahit pada masa Raja Wijayaparakramawardhana. Terkait dengan wilayah Tanjungpura, wilayah ini dipimpin oleh seorang yang bernama Dyah Suragharini (Djafar, 2009:9–11 dan 161).

Pararaton yang disalin pada 1600 M juga menerangkan tentang Tanjungpura. Dalam teks tersebut, Gajah Mada menempatkan Tanjungpura sebagai wilayah yang cukup penting bagi Majapahit. Oleh karena itu, Tanjungpura masuk dalam daftar pedudukan atas Majapahit seperti yang termaktub pada Sumpah Palapa Gajah Mada:

Tan ayun amuktiha phalapa sira Gajah Mada. Lamun uwus kalah nusantara ingsun amuktiyalapa. Lamun alah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Aru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sundha, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.

Terjemahan:

Gajah Mada tidak hendak menikmati kesenangan. “Jika sudah kalah nusantara, aku akan menikmati kesenangan. Jika sudah kalah Gurun, Seran, Tanjungpura, Aru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, setelah itu aku akan menikmati kesenangan.” (Kriswanto, 2009:106–107).

Pada bagian akhir dari teks Pararaton, disebutkan bahwa berdasarkan silsilah keluarga penguasa Tanjungpura masih memiliki ikatan dengan Tumapel. Berikut uraian dari teks Pararaton.

Bhre Tumapel aputra jalu nejneng ing Wengker, angambil I Bhre Matahun. Aputra manih Bhre Paguhan. Putra lan rabi anom, Bhre Jagaraga kambil denira Bhra Prameswara, tan aputra.

Manih Bhre Tanjung Pura kalap denira Bhre Paguhan, tan aputra. Manih Bhre Pajang kalap denira Bre Pajang kalap denira Bhre Paguhan kalap dho tan aputra.

Terjemahan:

Bre Tumapel memiliki putra laki-laki, bertakhta di Wengker, dan menikahi Bre Metahun; berputra lagi Bre Peguhan; berputra dengan istri muda, yaitu Bre Jagaraga, yang dinikahi oleh Prameswara, tidak memunyai putra;

Berputra lagi Bre Tanjung Pura, yang dinikahi oleh Bre Paguhan, tidak memunyai putra; berputra lagi Bre Pajang yang dinikahi oleh Bre Paguhan sebagai istri kedua, tidak memiliki putra (Kriswanto, 2009:112–113).

Penyebutan Tanjungpura dalam Negarakrtagama mengindikasikan kerajaan ini sudah berdiri sebelum kakawin tersebut ditulis. Uraian dalam Pararaton juga menujukkan terdapat hubungan kekerabatan antara Tanjungpura dengan Tumapel. Strategi politik Gajah Mada untuk menduduki Tanjungpura kiranya didasari oleh pemahaman sejarah Tanjungpura pada masa sebelumnya. Gajah Mada tidak akan memasukkannya dalam daftar pendudukan apabila tidak memiliki peranan strategis. Kondisi politik-ekonomi pada abad ke-14 M di Asia Tenggara juga mendorong penguasaan atas Tanjungpura. Hal ini disebabkan adanya persaingan dalam penguasaan jalur perdagangan dan pelayaran. Dalam geoekonomi, Tanjungpura menduduki lokasi strategis sebagai chokepoints dalam jalur pelayaran dan perdagangan yang masuk atau keluar dari Laut Jawa. Penguasaan atas kerajaan ini akan berimbas pada kemampuan kontrol jalur barat dari perdagangan dan pelayaran baik yang masuk maupun keluar Laut Jawa (Cf. Ptak, 1998: 281).

Dalam geopolitik kerajaan ini selalu mengalami dinamika yang tidak menentu. Mulai dari Majapahit hingga masa sesudahnya tetap menaruh perhatian kepada keberadaan kerajaan ini. Tome Pires (1512–1515) seorang berkebangsaan Portugis juga memiliki penilaian lebih. Dalam catatannya yang telah disusun ulang oleh Armando Cortesao, Pires telah menyebut Tanjungpura sebanyak 11 kali. Terkait dengan peristiwa politik, Tome Pires mennyebutkan bahwa Kerajaan Demak telah menguasai Tanjungpura.

Beliau sangat berkuasa sehingga mampu menaklukkan seluruh wilayah Palembang, Jambi, Kepulauan Monamby dan banyak pulau lainnya. Penaklukkan ini dilakukan dengan cara melawan Tanjungpura dan selanjutnya, semua wilayah tersebut tunduk padanya (Cortesao, 2015:257).

Menjelang awal abad ke-17 M kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara mengalami penurunan hegemoni. Bersamaan dengan hal tersebut muncul pula kerajaan-kerajaan baru di daerah pesisir dengan karakter Islam. Reid (2004:9) menyebut masa ini sebagai modern tahap awal yang ditandai dengan kemajuan perniagaan, teknologi baru militer, pertumbuhan negara baru yang terpusat, dan penyebaran ortodoksi agama-agama kitabiah (scriptual) yang disahkan secara eksternal. Berdasarkan hal tersebut tampaknya wilayah pesisir Kalimantan juga mengalami perkembangan yang serupa. Kerajaan-kerajaan di pesisir bermunculan dengan karakter budaya Islam, seperti Banjar, Kotawaringin, Sukadana, Pontianak, Mempawah dan Sambas.

Pada periode ini Tanjungpura sudah tidak disebut dalam catatan sejarah. Dalam catatan-catatan berikutnya penyebutan wilayah Tanjungpura digantikan dengan Sukadana. Belum dapat diketahui secara pasti apakah Sukadana sama dengan Tanjungpura, atau satu kesatuan politik yang berbeda. Kendati demikian, kedua kekuatan politik tersebut menempati ruang yang sama yaitu di bagian barat daya pesisir Kalimantan. Berdasarkan hal tersebut terdapat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada waktu itu selain perkembangan sosial budaya global yang tengah terjadi. Pertama, Sukadana merupakan kota sekaligus pelabuhan utama dari Tanjungpura di pesisir barat daya Kalimantan yang pada periode selanjutnya menjadi negara kota. Kedua, ketidakadaan keturunan dari penguasa terakhir Tanjungpura—seperti diceritakan dalam Pararaton—menjadikan kerajaan ini berjalan tanpa kepemimpinan yang sebagaimana mestinya.

Sukadana yang menempati ruang Selat Karimata dengan daerah Kepulauan Maya-Karimata masih menjadi perhatian bagi kerajaan-kerajaan lainnya. Pada 1622 Mataram melakukan penyerangan terhadap wilayah ini dengan motivasi penguasaan sumber komoditi. Sukadana memiliki sumber biji besi yang melimpah di Pulau Karimata. Komoditi ini menjadi primadona dalam perdagangan baik lokal maupun regional. Selain itu, pelabuhan Sukadana merupakan pelabuhan pengumpul berlian yang didapatkan dari daerah pedalaman (Reid, 2011:126; Schrieke, 1960:29–31).

Pada perkembangan barikutnya, Sukadana mengalami pasang surut baik dalam perdagangan maupun politik. Setelah terbebas dari pengaruh Mataram, Sukadana menjadi vasal dari Kesultanan Banjarmasin (Cf. Schrieke, 1960:31). Selanjutnya, pada 1786 Sukadana mengalami keterpurukan akibat serangan dari Sultan Pontianak yang dibantu dengan beberapa kapal VOC. Serangan tersebut telah menghancurkan total Sukadana dan masyarakat yang mendiaminya disebar ke beberapa daerah. Kekosongan Sukadana menjadi peluang bajak laut (lanun) untuk menghuni wilayah ini. Namun, tidak berselang lama Belanda kembali menyerang, dan pada 1822 tempat ini sama sekali ditinggalkan (Veth, 2012:122).

Pada saat menjelang pecah Perang Dunia II, Jepang telah merencanakan tiga fase perang. fase 1: menyerang dan merebut Nanyo yang kaya yaitu daerah selatan yang kaya yaitu Nusantara/koloni Hindia Belanda, Filipina, Malaya dan Burma serta daerah Pasifik. Fase 2: setelah diserang dan direbut diperkuat dan mengisolasi diri dengan mengandalkan posisi benteng pulau-pulau, dan fase ke-3: kekalahan musuh yang diakhiri dengan penjanjian perdamaian. Belanda tentu tahu tentang rencana-rencana ini, dan setelah penyerangan Pearl Harbor pada 8 Desember 1941, pada hari itu juga Belanda mengumumkan menyatakan perang terhadap Jepang. (Onghokham, 2014:222–223).

Aspek Budaya

Selat Karimata dari sisi budaya berperan sangat besar sebagai sarana yang menghubungkan masyarakat yang ada di kawasan ini dan wilayah sekitarnya. Bicara perkembangan kebudayaan bercorak Hindu-Buddha di kawasan Selat Karimata, sudah barang tentu tidak hanya menampilkan data material dari Kepulauan Karimata tersebut. Namun lebih luas lagi harus mengaitkan dengan wilayah lainnya di sekitar selat tersebut, baik Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Khusus Kalimantan, meliputi daerah sepanjang pesisir Barat Kalimantan yang membentang mulai dari Tanjung Datok-Sambas hingga daerah Kendawangan-Ketapang yang berbatasan dengan Kotawaringin. Sumatera sendiri meliputi daerah pesisir Timur Sumatera dan beberapa gugusan kepulauan yang ada, seperti Kepulauan Bangka-Belitung. Sedangkan Jawa yang bersentuhan langsung dengan selat ini yaitu daerah pesisir utara bagian barat. Jejak rekam panjang yang menandakan hubungan tersebut terefleksikan dari tinggalan material keagaamaan dari masa Hindu-Buddha.

Persebaran Budhisme

Indikasi kuat berkembangnya Buddha ditunjukkan dengan temuan relief stupa dan inskripsi yang memuat mantra Buddha. Temuan pertama yaitu temuan relief stupa yang mengandung inskripsi mantra Buddha yang ditemukan di Situs Batu Pahat, tepi Sungai Tekarek, Desa Pahit, Kecamatan Nanga Mahap. Dahulu wilayah ini masuk Kabupaten Sanggau; pada masa sekarang wilayah tersebut menjadi bagian Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat. Secara geografis lokasi situs tersebut terhubungkan dengan Selat Karimata melalui Sungai Kapuas.

Temuan relief stupa dan inskripsi tersebut pernah di bahas oleh Chhabra dan ditinjau ulang oleh M.M. Sukarto K. Atmodjo dalam tulisannya yang berjudul Beberapa Temuan Prasasti Baru di Indonesia (1994). Dari situs tersebut diketahui bahwa pahatan yang ada pada sebongkah batu besar di tepi Desa Pahit tersebut berisi 7 relief stupa lengkap dengan payungnya yang disebut sebagai chattra, dan satu pahatan sebagai pattra. Dari inskripsi tersebut diketahui bahwa yang dipahatkan di batu tersebut adalah ye-te mantra agama Buddha. Selain berisi japa mantra, prasasti tersebut memuat nama kerajaan yang ada di Barat Daya Kalimantan yang diperkirakan sebagai Wijayapura, seperti tafsir Wolters. Pada sepenggal bagian prasasti tersebut juga memuat angka tahun Caka 578 (Atmodjo, 1994:1–2). Cukup menarik bahwa penanggalan tersebut adalah penanggalan tertua yang ditemukan di Kalimantan hingga saat ini.

Temuan relief stupa juga ditemukan di Situs Gunung Totek, Pulau Maya. Temuan tersebut seperti di singgung di atas, berjumlah 2 relief stupa (Tim Penelitian, 2009 dan 2010). Relief stupa tersebut tidak disertai inskripsi dan angka tahun seperti halnya di Situs Batu Pahit

Temuan inskripsi bercorak Budhisme beserta percandian juga ditemukan di Situs Batujaya, Pantai Utara Jawa Barat. Berdasarkan perbandingan inskripsi yang ada beserta temuan, lainnya menunjukkan kesamaan dengan di Lembah Bujang, Kedah, Malaysia. Dan dapat dipastikan bahwa corak keagamaan yang berkembang adalah agama Buddha Mahayana (Djafar, 2010:118–121). Berbagai temuan artefak Buddha mulai dari Semenanjung Malaysia, Pulau Maya, daratan Kalimantan Bagian Barat, Pantai Utara Jawa Barat, dan sudah barang tentu pesisir Timur Sumatera, menunjukkan begitu kuatnya jaringan keagamaan Buddha pada masa itu yang terhubungkan oleh adanya Selat Karimata.

Persebaran Vaisnawa

Perkembangan agama Hindu, seperti halnya agama Buddha, juga berlangsung di sekitar Selat Karimata ini. Berkembangnya agama Hindu sudah barang tentu didukung oleh adanya kekuasaan dan penduduk yang ada pada saat itu. Yang menarik di sekitar Selat Karimata dan wilayah sekitarnya, yaitu adanya temuan Arca Wisnu. Penemuan arca tersebut tersebar mulai dari Situs Gunung Totek-Pulau Maya (Tim Penelitian, 2009), temuan arca Wisnu di Situs Kota Kapur-Pulau Bangka (Marhaeni, 1997:17–29), dan Arca Wisnu di Cibuaya-Pantai Utara Jawa Barat, yang dikenal sebagai Arca Cibuaya I, II, dan III (Djafar, 2010:1).

Berdasarkan langgam, temuan penyerta, dan karakteristik tempat temuan Arca Wisnu tersebut, menunjukkan dahulunya di kawasan ini ada pemujaan Dewa Wisnu (Herwanto, 2010), atau yang dikenal dengan aliran Vaisnawa. Perkembangan aliran Vaisnawa ini hampir bersamaan dengan perkembangan Buddha Mahayana, yang ada pada masa Tarumanegara dan awal Sriwijaya.

Tradisi melaut era sesudahnya

Tradisi melaut, atau hal-hal yang berkenaan dengan kemaritiman, masih dilakukan oleh masyarakat di sekitar Selat Karimata. Tradisi tersebut antara lain berkenaan dengan tata cara bermukim di pantai, pembuatan kapal dan kemampuan dalam hal menguasai navigasi laut. Masyarakat hingga kini masih berprofesi sebagai nelayan, dengan berbargai tangkapan hasil laut, serta meramaikan perdagangan antar pulau di Selat Karimata.

Berdasarkan pengamatan aktivitas kemaritiman di kepulauan Karimata tersebut digerakkan oleh masyarakat Bugis, Melayu, Madura, Banjar, dan Jawa. Aktivitas perdagangan tradisional dan penangkapan ikan laut di Selat ini bergantung Musim. Pergantian musim berpengaruh terhadap bergeseran penduduk dan aktivitas bermukim di Selat ini. Pergerakan dinamis masyarakat di Selat Karimata ini membawa

Aspek Pertahanan Militer

Kepulauan Maya-Karimata memiliki kekuatan laut yang mumpuni sebagai benteng alam. Kepadatan dan keadaan alami dari pulau-pulau di kepulauan ini memberikan aspek keamanan bagi penghuni pulau. Jumlah pulau yang banyak dan mengelompok menjadi beberapa gugusan membuat selat-selat pemisah antarpulau seperti labirin. Kondisi ini akhirnya memungkinkan daerah kepulauan ini menjadi daerah persembunyian. Didukung pula banyaknya teluk-teluk tertutup oleh bakau dan akses menuju pantai yang tertutup lumpur atau terumbu karang yang dangkal membuat kapal besar tidak bisa mendarat. Selain itu, karakter umum yang dimiliki penduduk kepulauan ini memberi dukungan terhadap sistem pertahanan alami.

Serangan Mongolia atas Jawa pada akhir abad ke-13 yang dicatat dalam Sejarah Dinasti Yuan telah menempatkan daerah kepulauan di Selat Karimata sebagai tempat singgah dalam perjalanan. Catatan Shi Bi, Sejarah Dinasti Yuan Buku 162 yang menyatakan:

Angin bertiup sangat kencang dan lautan begitu bergelombang sehingga kapal terombang-ambing. Para prajurit tidak bisa makan selama berhari-hari. Mereka melewati Samudra Tujuh Pulau (Kepulauan Paracels) dan Long Reef (Macclesfield Bank). Mereka melewati tanah Jiaozhi dan Campa. Pada bulan pertama tahun selanjutnya, mereka tiba di kepulauan Dong Timur (Natuna?), Kepulauan Dong Barat (Anamba?) memasuki Samudra Hindia (?), dan berturut-turut tiba di Pulau Zaitun (?), Karimata, dan Gao-lan (Belitung). Di sana mereka berhenti dan menebang pohon untuk membuat perahu kecil yang akan digunakan memasuki sungai (Groeneveldt, 2009:36)

Berdasarkan catatan tersebut, Groeneveldt (2009:45–46) memberikan analisis bahwa armada Mongol tidak mengikuti jalur biasa yang menyusuri Malaka dan Sumatera. Armada ini menuju Laut Jawa dengan mengambil jalan pintas. Oleh karena itu, cukup sulit untuk mengidentifikasi nama-nama pulau yang telah dilaluinya. Namun, dapat dipastikan bahwa armada ini pasti melewati Selat Karimata dan mencapai Pulau Ge-lan atau Gaolan untuk memerbaiki kapal yang rusak dan membuat perahu kecil.

Uraian Sejarah Dinasti Yuan berikut hasil analisis tersebut di atas tampaknya menguatkan keberadaan prasasti Pasir Cina dan prasasti Pasir Kapal di Pulau Serutu. Pada prasasti Pasir Kapal terdapat frasa Da Yuan Guo (Da dalam google translator diartikan ‘besar’ sedangkan Guo adalah ‘negara’). Istilah Yuan sebagai sinonim dari ‘mahamulia’, ‘asli’, ‘pertama’, dan ‘agung’ muncul pertama kali ketika Kubilai menyatakan dirinya sebagai seorang Khan pengganti Monkhe dari Mongolia. Istilah ini secara resmi digunakan sebagai nama dinasti yang dipimpin oleh Kubilai Khan pada Desember 1271 (Man, 2010:131). Dinasti ini berkiprah dalam kronik sejarah Cina antara 1271–1368 M. Berdasarkan hal tersebut maka Da Yuan Guo dapat diartikan sebagai ‘Dinasti Yuan yang besar’.

Dalam uraian selanjutnya—pada teks yang terbaca—disebutkan pula adanya utusan atau caraka, 500 kapal kecil dan penanggalan tahun ke-30 bulan Januari dan tanggal 18. Teks prasasti tersebut kiranya memerkuat dugaan keberadaan dari armada Mongol yang telah berlabuh di Pulau Serutu. Oleh karena itu, perlu ditinjau lagi toponimi Gao-lan yang diidentifikasi sebagai Pulau Belitung. Disebutkan dalam berita Cina tersebut bahwa di pulau ini mereka menebang kayu untuk membuat kapal kecil. Artinya armada tersebut memerlukan waktu mulai dari menebang kayu sampai membuat kapal bahkan mengisi ulang logistiknya. Dari hal tersebut muncul permasalahan bagaimana menyembunyikan armada ratusan kapal dengan ribuan prajurit tanpa terdeteksi keberadaannya oleh militer Jawa?

Posisi Belitung berada di jalur yang ramai, atau berada pada jalur perniagaan, dan cukup dekat dengan Sumatera. Hal ini akan berdampak terhadap diketahuinya secara langsung keberadaan armada ini oleh militer Jawa mengingat di Sumatera juga telah berlangsung ekspedisi Pamalayu. Kiranya pendaratan tersebut lebih memungkinkan dilakukan di Kepulauan Karimata. Terlebih lagi daerah ini memunyai topografi dan sumber daya alam yang mencukupi sebagai benteng alam. Gugusan pulau-pulau dengan teluk-teluk yang dipenuhi bakau cukup digunakan untuk menyembunyikan armada ini agar tidak terdeteksi oleh musuh. Daerah pegunungan di Pulau Karimata juga mampu mendukung kebutuhan logistik selama ekspedisi.

Pulau Serutu yang berada dalam gugusan Kepulauan Karimata memiliki sumber daya air tawar untuk keperluan logistik. Dalam prasasti Pasir Cina telah dipahatkan dalam tebing batu frasa “Quan Shi” yang berarti ‘air mancur’ dan “Qing” berarti ‘bersih’. Sampai hari ini sumber air tawar tersebut masih digunakan oleh penduduk yang bermukim untuk mencukupi kebutuhan akan air bersih. Sumber daya kayu untuk pembuatan kapal juga disediakan di daerah kepulauan. Salah satu kayu yang sering digunakan oleh penduduk saat ini untuk membuat perahu adalah kayu resak (Vatica, spp).

Pergulatan politik Kepulauan Maya-Karimata pada periode berikutnya memberikan gambaran nilai penting dari geografis wilayah ini. Dalam geoekonomi daerah ini berfungsi sebagai kontrol jalur pelayaran dan perdagangan. Namun, dalam geostrategi militer Kepulauan Maya-Karimata menjadi “pintu benteng” pertahanan untuk memasuki zona Laut Jawa. Pertimbangan tersebut kemungkinan dilakukan baik oleh Gajah Mada maupun Patih Unus untuk menguasai kawasan ini.

Kemerosotan perekonomian dan perpolitikan daerah Kepulauan Maya-Karimata akibat kapitalisme dan imperialime Belanda menjadikan daerah ini tidak lagi diperhatikan oleh Gubernemen Belanda. Oleh karena itu, para bajak laut yang beroperasi di Selat Karimata mengambil alih kepulauan ini sebagai benteng persembunyiannya. Bahkan, Kepulauan Karimata mendapat julukan kepulauan rendezvous (pertemuan kembali) karena berfungsi sebagai tempat berkumpul bajak laut sebelum kekuatan mereka diperairan dipatahkan (Veth, 2012:126). Berikut ini gambaran umum mengenai bajak laut di Pulau Karimata.

Untuk perjalanan perampokan mereka hanya memiliki dua kapal, setiap kapal diisi dengan 2 meriam, dan dengan ini mereka bersama dengan orang laut dari Belitung setiap tahun waktu musim timur, melakukan perjalanan perampokan ke pantai utara Jawa. Kepala mereka, Batin Galang yang dikatakan dilindungi oleh raja-raja Matan dan Simpang…..(Veth, 2012:320).

Di masa kolonialisme Belanda, sebelum penyerangan Pearl Harbor terjadi, sebenarnya Belanda berharap pada 2 negara besar dalam menghadapi ovensif Jepang di kawasan Asia Tenggara, yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Bak mendapat ‘pepesan kosong’ sehingga Hindia Belanda seakan berjuang sendiri. Kesepakatan awal, memang kedua negara (Inggris dan Amerika) sepakat bahwa mengenai Asia Tenggara dan Pasifik terhadap ofensif Jepang hanya defensif saja, dan tenaganya akan disimpan untuk menghadapi di Eropa. Belanda akhirnya tidak berharap banyak terhadap peran Inggris dan Amerika. Selanjutnya harapan bertumpu, khususnya pada angkatan lautnya untuk memertahankan Jawa dan Kalimantan yang kaya minyak. Teknologi dan peralatan tempur dan kapal-kapal Belaada yang usang memermudah pihak Jepang menguasainya. Suatu hal yang perlu diingat bahwa, saat itu Belanda menyadari terkait keadaan geografis dan situasi perang, maka tugas-tugas yang berat terletak pada angkatan laut dan angkatan udara. Belanda melengkapi dengan 3 kapal perusak, 6 kapal buru terpedo, 11 kapal selam, disamping membangun lapangan terbang baru dan menyediakan pesawat-pesawat tempur ( Onghokham, 2014:264). Salah satu lapangan terbang yang dibangun adalah lapangan terbang di Singkawang, Kalimantan bagian barat untuk mengawasi Selat Karimata (Onghokham, 2014:266).

Simpulan

Nilai geostrategi

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kawasan Selat Karimata memiliki arti stategis bagi kepulauan yang ada di sekitar selat tersebut. Arti penting tersebut tidak hanya bagi Kepulauan Maya-Karimata, namun juga memiliki arti penting bagi kawasan sekitarnya seperti Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Arti penting Selat Karimata tersebut secara lebih luas juga penting bagi kawasan regional Asia Tenggara, dan bahkan Cina dan India. Hal tersebut dapat dibuktikan secara historis dan arkeologis, mulai dari proto historis, masa klasik Hindu-Buddha, era modern saat kedatangan pengaruh Islam, masa kolonialisme hingga sekarang.

Arti penting Selat Karimata tersebut meliputi aspek ekonomi, politik, budaya, dan pertahanan militer. Sudah barang tentu aspek-aspek tersebut berlaku hingga sekarang. Posisi strategis di tengah–tengah jalur perhubungan dan potensi setiap pulau yang ada di kawasan ini, merupakan nilai stategis yang harus dikembangkan dan menjadi pusat perhatian bersama.

Rekomendasi

Melihat arti penting Selat Karimata di masa lalu, ada beberapa hal penting yang bisa dikembangkan di masa mendatang. Dalam bidang politik dan pertahanan militer, Selat Karimata berada di tengah-tengah Alur Laut Kepulauan Indonesia I (ALKI I) yang menghubungkan Selat Sunda, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan. Selain menghubungkan kawasan ALKI I, Selat Karimata merupakan jalur strategis yang menghubungkan dengan Selat Malaka dan Laut Jawa. Berbagai kekuatan politik dan militer telah menjadikan Selat Karimata ini menjadi batu loncatan untuk mendominasi kawasan sekitarnya. Sudah barang tentu untuk menjaga suhu politik dan keamanan kawasan ini dan wilayah sekitarnya, perlu kiranya menperhatikan Selat Karimata dan pulau-pulau di sekitarnya sebagai kawasan strategis nasional dalam bidang pertahanan dan keamanan.

Selain aspek politik dan pertahanan militer, hal-hal yang bisa dikembangkan dalam bidang ekonomi yaitu pengembangan budidaya kelautan dan kepariwistaaan bahari/ kepulauan. Selat Karimata memiliki potensi besar akan hal tersebut. Sedangkan untuk aspek sosial budaya, jaringan yang sudah ada perlu dirawat, dengan adanya wadah khusus untuk pengembangan dan tempat dialog budaya Kawasan Selat Karimata.

Pada akhirnya aspek ekonomi, politik, pertahanan keamanan, dan sosial budaya tersebut merupakan satu kesatuan utuh, yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Maka dari itu dalam pengembangan kawasan Selat Karimata tersebut, perlu dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan dalam upaya mengembangkan Wawasan Nasional, khususnya dalam hal kemaritiman.

Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Mas Nugroho Harjo Lukito yang telah membantu penulis dalam menganalisis temuan keramik di Kepulauan Maya Karimata saat penelitian pada 2009 dan 2010; serta Ulce Oktrivia yang membantu dalam analisis keruangan kawasan tersebut.

Kepustakaan

Atmodjo, M.M. Soekarto Karto. 1994. “Beberapa Temuan Prasasti Baru di Indonesia”, dalam Berkala Arkeologi tahun XIV Edisi Khusus 1994. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, Hlm. 1–2.

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia (Edisi Revisi). Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Cortesao, Armando (Penyunting). 2015. Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues. Yogyakarta. Penerbit Ombak.

Djafar, Hasan. 2009. Masa Akhir Majapahit Girindrawarddhana dan Masalahnya. Depok. Komunitas Bambu.

—– 2010. Kompleks Percandian Batujaya: Rekontruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Joesoef, Daoed. 2014. Studi Strategi Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Groeneveldt, W.P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok. Komunitas Bambu.

Herwanto, Eko. 2010. “Pulau Maya dan Hubungannya dengan Segitiga Emas Sumatera-Jawa-Kalimantan” dalam Naditira Widya Volume 4 Nomor 1, April 2010. Banjarbaru. Balai Arkeologi Banjarmasin. Hlm. 95–106

Kriswanto, Agung. 2009. Pararaton Alih Aksara dan Terjemahan. Jakarta. Wedatama Widya Sastra.

Lombart, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II Jaringan Asia. Jakarta.PT. Gramedia Pustaka Utama.

Man, John. 2010. Kubilai Khan Legenda Sang Penguasa Terbesar dalam Sejarah. Tangerang. Pustaka Alvabet.

Marhaeni S.B., Tri.1997. Berita Penelitian Arkeologi 2: Laporan Penelitian Situs Kota Kapur, Kabupaten Bangka, Provinsi Sumatera Selatan. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.

Monika, Fika. 2011. “Aspek Geostrategis Selat Malaka dalam Konteks Ketahanan Nasional Indonesia”. Tesis Program Pascasarjana Kajian Strategik Ketahanan Nasional. Jakarta. Universitas Indonesia

Ptak, Roderich. 1998. “From Quanzhou to the Sulu Zone and beyond: Questions Related to the Early Fourteenth Century” dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 29 No. 2 (September 1998). Hlm. 269–294. Diakses pada http://jstor.org/stable/20072046 pada 23 November 2010

Schrieke, B. 1960. Indonesian Sociological Studies Part One (Edisi Kedua). Bandung. Sumur Bandung.

Sedyawati, Edi. 2006. “Pelayaran dan Perdagangan sebagai Penggerak Dinamika Kebudayaan di Sumatra; Sebuah Kerangka Permasalahan” dalam Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Jakarta. Pustaka LP3ES Indonesia.

—— 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680 Jilid 2 Jaringan Perdagangan Global. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

—– 2014. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680 Jilid 1 Negeri di Bawah Angin. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana Utawi Nagara Krtagama Masa Keemasan Majapahit. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Tim Penelitian. 2009. Penelitian Eksplorasi Arkeologi Gugusan Pulau-Pulau Kecil di Selat Karimata Kalimantan Barat. (belum diterbitkan)

Tim Penelitian. 2010. Penelitian Eksplorasi Arkeologi di Kepulauan Maya-Karimata Kalimantan Barat. (belum diterbitkan)

Veth, P.J. 2012. Borneo Bagian Barat Geografi, Statistis, Historis (Terjemahan oleh P. Yeri, OFM). Pontianak. Institut Dayakologi.

 

[1] Makalah ini disampaikan pada Seminar dan Kongres Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA XIV) oleh IAAI Pusat pada 24 s.d 27 Juli 2017 di Bogor.

[2] Imam Hindarto dan Eko Herwanto: Peneliti Pertama, Nugroho Nur Susanto: Peneliti Madya di Balai Arkeologi Kalimantan Selatan. E mail: nugi_balarbjm@yahoo.com

[3] Daoed Joesoef memberikan pengertian strategi merupakan keseluruhan operasi intelektual dan fisik yang diniscayakan untuk menanggapi, menyiapkan, dan mengendalikan setiap kegiatan kolektif di tengah-tengah konflik (Joesoef, 2014:5)

[4] Ucapan terima kasih yang dalam kepada saudara Sofwan Noerwedi atas bantuannya telah menghubungkan dengan saudara Tu Hua (Student in International Master of Quaterenary and Prehistory 2010–2012 Institute de Paleontologie Humaine Museum National de Histoire Naturelle, Paris) yang mentransliterasi dan alih aksara kedua prasasti tersebut.

[5] Lokasi Kubu berada di bagian barat laut Kepulauan Maya-Karimata atau pesisir selatan Pulau Kalimantan

[6] Hub Port (pelabuhan pengumpul) sering disebut dengan the new chokepoint karena merupakan titik terpadat dalam lalu lintas barang dan memiliki konektivitas yang tinggi baik lokal, regional bahkan global. Pelabuhan pengumpul dibangun sebagai terminal distribusi maritim bertindak sebagai pusat distribusi yang menghubungkan ke transportasi daratan, dan memainkan peranan dalam sistem dukungan logistik yang menyangga ekonomi global (Monika, 2011:53).

[7] Jean-Paul Rodrigue menyebut choke-points sebagai konsep umum dalam geografi transportasi, karena merujuk pada lokasi yang membatasi kapasitas sirkulasi dan tidak dapat dengan mudah dilewati, karena mudah untuk diblokir (Monika, 2011:52).

[8] Hasan Djafar (2009:161) menaruh perhatian terhadap perbedaan penamaan Tanjungpura dengan Tanjung puri seperti diberitakan dalam Negarakrtagama dan Pararaton. Belum dapat dipastikan apakah Tanjungpura dan Tanjungpuri tersebut satu kerajaan yang sama. Oleh karena, itu perlu kehati-hatian dalam mengidentifikasi lokasi dari Kerajaan Tanjung Pura itu sendiri.