Papua kaya

“Papua, Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi”. Tulisan ini tidak sengaja saya baca di kaos seorang pengunjung swalayan saat saya berada di Jayapura, beberapa pekan lalu. Saya setuju dengan si pencipta tulisan di kaos itu. Bagaimana tidak, Papua dianugerahi keindahan gunung, lembah, pantai, danau, dan ragam budaya. Bumi Papua juga dilimpahi kekayaan tambang, yang jika dikelola dengan adil konon dapat memakmurkan seluruh penduduk di Nusantara.

Ini adalah kali kedua saya ke Papua, setelah yang pertama enam tahun lalu. Kali ini saya bersama teman-teman datang ke Asei, pulau kecil di tengah Danau Sentani. Untuk saya, pulau ini berkesan karena dua hal. Pertama, di pulau ini berdiri bangunan gereja tua yang bersejarah. Nama aslinya adalah Gereja Filadelfia, namun orang lebih mengenalnya dengan nama Gereja Tua Asei. Menurut cerita Om Robert, warga Asei yang menemani perjalanan kami ke Pulau Asei, gereja ini didirikan sekitar 1928. Semula berada di tengah pemukiman, di tepi danau. Namun kemudian gereja hancur karena perang. Pada 1950 dibangun kembali tepat di puncak bukit di Pulau Asei. Lokasi yang sempurna, karena kita dapat melihat Danau Sentani dan deretan perbukitan yang mengelilingi pulau.

Gereja Tua Asei berlatar Danau Sentani.
Gereja Tua Asei berlatar Danau Sentani.

Lukisan kulit kayu

Hal kedua yang menarik di Pulau Asei adalah, dari sinilah asal lukisan kulit kayu, karya seni khas Papua. Hampir semua masyarakat Pulau Asei membuat lukisan unik ini. Saat di Asei, saya melihat mama-mama (ibu-ibu) menjemur lembar-lembar lukisan di halaman rumah mereka. Motif-motif lukisan yang mereka buat sederhana, namun entah kenapa saya sangat menyukainya. Saya membeli satu lembar lukisan, meskipun saat saya datang ke Papua enam tahun lalu saya sudah membelinya.

Situs Megalitik Tutari

Selain ke Pulau Asei, kami juga datang ke Situs Megalitik Tutari di Distrik Doyo Lama, Kabupaten Jayapura. Situs ini sangat luas, berada di perbukitan di tepi Danau Sentani. Di dalamnya kita bisa melihat ribuan batu berwarna hitam, dan berukuran cukup besar. Sebagian di antaranya bergambar ikan, kura-kura, dan binatang air lainnya. Ada juga batu-batu yang dipahat menyerupai bentuk-bentuk hewan. Di salah satu sisi situs, terdapat sebaran menhir berukuran kecil. Masyarakat sekitar percaya jika tempat itu adalah kuburan nenek moyang mereka.

Pos perbatasan RI-PNG di Skouw, Jayapura.
Pos perbatasan RI-PNG di Skouw, Jayapura.

Tapal batas

Ke Papua belum sah bila belum ke perbatasan, begitu kata orang-orang. Selama ini tapal batas yang paling banyak diceritakan adalah Merauke. Saya dan teman-teman memilih titik lain yang mudah dicapai dari Kota Jayapura, yaitu Skouw. Jika Merauke adalah tapal batas Indonesia-Papua Nugini (RI-PNG) di sisi selatan Pulau Papua, Skouw adalah tapal batas di sisi utara.

Perjalanan ke Skouw hanya sekitar 2 jam dari Abepura, Jayapura, tempat kami menginap. Kondisi jalan sangat bagus. Pun ketika sampai di pos perbatasan. Bangunan pos perbatasan sangat megah. Desain bangunannya mirip dengan desain bandar udara modern masa kini. Lantai dan langit-langit bernuansa kelabu mengkilat. Terdapat fasilitas X-ray untuk memastikan semua orang yang keluar masuk wilayah Indonesia tidak membawa barang atau benda berbahaya. Puluhan personil TNI juga berjaga di area pos perbatasan ini. Mereka ramah menyapa setiap orang yang datang.

Merasakan kultur yang berbeda

Kondisi berbeda terjadi di pos perbatasan milik Papua Nugini. Bangunan pos berukuran kecil dan sangat sederhana. Penjaganya tak lebih dari lima pegawai imigrasi dan dua tentara. Tidak ada pintu X-ray seperti di pos milik RI. Tidak ada pemeriksaan khusus yang diterapkan. Kami bisa masuk ke wilayah PNG tanpa melalui pemeriksaan apapun.

Suasana berbeda juga langsung terasa saat kami sudah berada di wilayah Papua Nugini. Walaupun masih berjarak kurang dari 500 meter dari wilayah RI, kulturnya terasa sangat berbeda. Jika di lokasi 500 meter sebelumnya kami masih bisa tersenyum dan mengobrol hangat dengan penduduk, tidak dengan tempat kami berdiri saat itu. Orang-orang PNG hampir tidak ada yang tersenyum, apalagi menyapa. Saat kami bertransaksi di toko makanan, hanya ada gerak tangan di antara kami saja. Mereka mengambil barang yang kami beli dan kami mengulurkan uang kepada mereka. Tidak ada komunikasi verbal. Saya yang awalnya berniat mengobrol dengan mereka, tiba-tiba menjadi tidak antusias karena sikap dingin mereka.

Surga memang di Papua, bukan di tempat lain! (Ratna Yunnarsih-Subdit Registrasi Nasional)