Gereja tua di Sentani

Gereja Asei merupakan gereja tua di Sentani. Tepatnya di Desa Asei Besar, Kec. Sentani Timur, Kab. Jayapura, Papua. Secara astronomis berada di titik koordinat 02⁰36’16,9’’ LS, 140⁰34’49,7’’ BT dengan elevasi 90 mdpl. Untuk menuju lokasi gereja tua ini harus menggunakan perahu. Mengingat posisinya berada di tengah Danau Sentani.

Agama Kristen masuk ke Papua berkat dua misionaris Jerman, yang bernama  W.Ottow Carl dan Johann G.Geissler di Manokwari pada1855. Mereka mewartakan injil di pesisir utara Papua sampai teluk Youtefa. Terus ke pedalaman sampai ke belakang gunung Cycloop. Misi penyebaran injil kemudian dilanjutkan oleh JL van Hasselt dari Utrecht Missionary Society. Pada 1 Juli 1928 Agama Kristen mulai masuk ke Pulau Asei. Peringatan masuknya agama Kristen ke Pulau Asei ini kemudian di abadikan dalam bentuk tugu peringatan. Tanggal itui juga dijadikan sebagai hari besar bagi jemaat Gereja Asei.

Hancur akibat perang

Menurut penuturan Yohanes Pouw (45 th) Gereja Asei kali pertama dibangun sekitar 1930-an. Letaknya di kaki bukit, dibangun dengan bentuk yang sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari bahan gaba-gaba (pelepah sagu), dengan atap rumbia. Pada Perang Dunia Kedua, sekitar 1944, gereja ini hancur akibat pertempuran antara Jepang dan sekutu (Amerika Serikat). Pulau asei termasuk dalam wilayah pergerakan tentara Jepang, atau lintasan merah. Maka dibombardir lah Pulau Asei Sekutu. Akibatnya banyak bangunan yang rusak, dan penduduknya banyak yang mengungsi ke daerah lain.

Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, masyarakat di Pulau Asei membangun kembali gereja baru di tempat yang paling tinggi. Tepanya di bukit Pulau Asei. Pembangunan Gereja dipercayakan kepada seorang tukan kayu setempat, bernama Wolfram Wodong. Desainnya didapatkan dari Jerman, dari salah satu Sekolah Teknik di sana. Berbekalkan desain tersebut, Wolfram Wodong dan masyarakat Asei mewujudkannya hingga seperti yang sekarang. Pengaruh arsitektur Jerman ini terlihat pada bentuk jendela yang besar dengan motif kotak. Gereja ini mulai diresmikan pada 01 Januari 1950. Angka tahun ini terlihat di salah satu trap anak tangga teras depan sebelah utara.

Pada 2000 Gereja Asei mengalami kerusakan yang cukup berat. Hanya menyisakan atap menara paling bawah. Sebagian dinding gereja sudah dirobohkan, karena Jemaat di sana menganggapnya sudah rapuh. Dengan maksud untuk memperbaikinya, mereka pun hendak merobohkan tembok bagian belakang. Beruntung dapat dicegah oleh pihak Kanwil Diknas Irian Jaya. Selanjutnya bangunan tersebut dipugar pada 2001 dan dijadikan situs gereja tua oleh Pemerintah Daerah Irian Jaya.

Ruang Gereja Asei dengan deretan tiang.
Ruang Gereja Asei dengan deretan tiang.

Neo-vernakuler

Nama asli gereja ini adalah GKI Philadelfia. Oleh karena berada di puncak bukit Pulau Asei, gereja ini lebih dikenal dengan Gereja Asei. Arsitekturnya bergaya Neo-Vernakuler. Denahnya empat persegi panjang. Luasnya 12 x 40 meter persegi, menghadap ke barat. Atapnya berbentuk pelana, membujur barat-timur. Terbuat dari seng bergelombang dengan kerangka kayu.

Lantai gereja terbuat dari plesteran semen, dan tidak memiliki plafond. Kerangka atap disangga oleh 10 tiang kayu. Menggunakan pasak setinggi 3,3 meter. Jumlah tiang penyangga ini melambangkan jumlah marga yang mendiami pulau Asei (ohee, Ongge, Pepoho, Asabo, Nere, Puhiri, Pouw, Kere, Modow, dan Yapese). Maknanya bahwa setiap marga berkewajiban menopang gereja itu. Tiang-tiang tersebut berjajar simetris di sisi kanan-kiri masing-masing 5 tiang. Tiang di dekat pintu terdapat ornament patung, yang dipahatkan di bagian atas tiang. Patung sebelah kiri setinggi 90 cm melambangkan hawa. Patung di sebelah kanan setinggi 70 cm melambangkan Adam, sepasang manusia pertama di bumi.

Di ruang utama di dekat dinding sebelah utara terdapat mimbar berukuran 160 x 120 cm. Mimbar terbuat dari bata dan dan plesteran semen. Di dinding sisi kanan dan kiri mimbar terlihat susunan bata ekspose bercat warna merah tua, dan spesinya berwarna putih. Di sisi kiri dan kanan mimbar dihiasi sayap. Bagian depannya dihiasi ornamen yang menggambarkan Yesus dengan tangan menengadah, dan matahari bersinar di bagian kanan atasnya. Tulisan “ Bumilah Alas Kakiku” terdapat di bagian bawahnya. Di sisi kanan dan kirinya terdapat dua trap anak tangga.

Dinding Gereja Asei yang terbuat dari kayu dan beton.
Dinding Gereja Asei terbuat dari kayu dan beton.

Unik

Gereja Asei memiliki dinding bangunan yang unik. Terbuat dari kayu dan tembok beton (semen, batu kecil, kerangka besi). Kerangka utama dindingnya adalah tiang-tiang kayu setebal 10 cm. Bagian tengah tiang dihubungkan dengan kayu melintang, sehingga membentuk seperti kisi-kisi. Kisi-kisi itu dibatasi tiang kayu, dan diisi dengan beton.

Empat belas jendela berukuran 72 x 36 cm berderet di sepanjang dinding. Empat jendela di bagian selatan, 6 jendela bagian utara, 2 jendela di bagian barat, dan 2 jendela di bagian timur. Jendela-jendela tersebut tidak dilengkapi kaca maupun daun jendela. Hanya menggunakan sekat-sekat kayu yang membentuk 18 kotak-kotak kecil berukuran 12 x 12 cm.

Di sisi barat bangunan terdapat pintu utama dengan dua daun pintu. Model panil kayu dengan bukaan ke dalam. Kuncinya berupa gerendel yang juga terbuat dari kayu. Pintu berukuran 230 x 120 cm itu diapit dua jendela. Di atas pintu terdapat hiasan berbentuk setengah lingkaran dengan jari-jari di dalamnya. Pintu seperti ini juga terdapat di dinding sebelah timur dan selatan.

Selain bangunan utama, di gereja ini terdapat ruang kecil di sebelah selatan. Ruang berukuran 7 x 8 meter persegi itu dahulu digunakan sebagai ruang sekolah. Sebelum dibangun ruangan sekolah baru di sebelah selatannya. Sekarang digunakan sebagai ruang kostori (tempat pendeta dan majlis jemaat). Beberapa elemen di ruangan ini sudah diganti dengan bahan baru. Lantainya sudah diganti dengan keramik, dan jendela sudah diganti dengan bahan yang baru.

Atap menara Gereja Asei yang mirim masjid lama di Jawa.
Atap menara Gereja Asei yang mirim masjid lama di Jawa.

Mirip atap masjid di Jawa

Meskipun sederhana, gereja ini memiliki ciri khas. Salah satunya adalah bagian terasnya yang unik. Teras ini memiliki bentuk persegi empat dengan ukuran 4 x 6 meter persegi. Atap teras berbentuk menara setinggi 12 meter bersusun tiga (semakin ke atas atap semakin mengecil). Mirip atap-atap masjid di Pulau Jawa. Atap teras terbuat seng dan ditopang balok-balok kayu.

Dinding menara terbuat dari kayu dengan motif kotak-kotak. Dilengkapi jendela dan lubang terbuka di setiap dinding dalam tingkatan menara. Di bagian puncak terdapat piramid runcing tempat salib berdiri. Di menara teratas dulu ditempatkan lonceng perunggu. Saat lonceng ditarik dengan tali, bunyi lonceng menyebar melalui jendela dan lubang yang terbuka di menara itu. Sekarang lonceng tersebut tidak bisa difungsikan. Diganti dengan lonceng tabung oksigen yang diletakan di depan halaman gereja. Untuk masuk ke teras harus menaiki tiga trap anak tangga yang terletak di sisi utara dan selatan. (Pandu Mahendratama-PED)

Baca juga: Papua, Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi